Bermalam di rumah kekasih itu seperti satu atap dengan serigala. Bukannya takut karena tidak mampu menjinakkan keliarannya, tapi yang dikawatirkan diriku berubah menjadi werewolf.Lebih ganas, dong?Memang.“Kamu istirahat dulu. Atau kalau ingin mandi juga silakan. Ini areal kamu dan milik kamu. Aku tidak akan mengganggu,” ucapnya sambil mengedipkan mata.Baru saja pintu tertutup, sekarang terbuka kembali. Kepalanya menyembul menunjukkan senyuman yang menjengkelkan.“Apa?!”“Kalau kamu butuh aku, aku di kamar sebelah, ya. Trus kalau butuh apa-apa, itu di atas nakas ada interkom. Okey?”“Iya,” ucapku kemudian menutup pintu.Walaupun tadi dia mengatakan tidak akan menganggu, tetap pintu ini harus aku kunci. Anak kunci baru aku putar, tapi ketukan pintu terdengar. Pikirku, mungkin ini pekerja rumah di sini.“Ada apa lagi, Alex?”Tebakanku ternyata salah. Lelaki yang menjulang ini kembali berdiri tepat di hadapanku. Senyuman mengembang lebar dan mata menyorot jenaka.“Ada yang lupa aku bi
Kami berbincang banyak hal. Mengutarakan isi kepala untuk mencari titik tengah dari perbedaan latar belakang kami. Apa yang selama ini aku anggap benar, ternyata tidak seperti yang dikatakan yang mengalami. Makan malam pun selesai, dan hidangan di atas meja terganti dengan camilan manis dan dua cangkir teh hangat berserta poci keramik berwarna putih.. "Aku kehilangan banyak hal yang orang lain mengatakan itu hal yang lumrah,” ucapnya setelah beberapa saat terdiam. “Bukankah dengan keadaan keluarga kamu, seharusnya kamu memiliki segalanya? Ingin apapun tinggal tunjuk. Tidak berpikir saldo rekening atau jumlah uang yang ada di dompet.” Dia tertawa. “Nilai rasa. Aku tidak mempunyai titik kepuasan yang sama dengan orang lain. Saat kecil, aku merasa heran saja dengan anak-anak lainnya yang lari-lari membuang tenaga. Atau berkelahi hanya merebut mainan yang tersedia di toko,” ucapnya sambil mengambil kue kering dari gandum. Kemudian dia melanjutkan bicara. “Sampai sekarang. Anggap saja
“Hebat sekali. Tebar pesona sana-sini dan laku lagi,” ujar Alex.“Laki-laki seperti itu justru kenikmatannya dicabut oleh yang di Atas. Dia tidak bisa berhenti di satu wanita, tapi mempunyai kepuasan saat dia seperti layang-layang putus. ”“Laki-laki seperti itu punya apa, sih, sampai sepercaya diri itu? Aku yang tidak mempunyai nyali sebesar itu. Apa para korbannya itu buta?”Kedua tangannya terkait sebagai tumpuan dagu. Sorot matanya menunjukkan rasa penasaran. Mungkin yang aku ungkapkan terdengar aneh di pikiran lelaki yang selalu disibukkan dengan urusan CEO.Akupun sebenarnya tidak tahu pasti kenapa kasus serupa terjadi di kelompok penulis akhir-akhir ini. Mereka tidak pernah bertatap muka, hanya sekadar berteman melalui tulisan. Namun, kenapa justru cinta bersemi subur? Bahkan kecemburuan pun menyeruak dan berakhir dengan pertikaian.“Kemungkinan yang lelaki itu punya adalah harapan. Jujur, wanita mana yang tidak menginginkan laki-laki yang dewasa, sabar, mengayomi, terlebih dik
“Itu yang aku inginkan dari dulu. Seandainya itu bisa.”“Jadi kamu belum pernah ….”“Sama sekali dan aku iri pada mereka yang bercengkrama sambil desak-desakan di angkutan umum. Sepertinya bahagia sekali. Tidak sepertiku yang harus duduk di bangku belakang,” ucapnya sebelum mengawali cerita masa kecilnya.Sopir pribadi kepercayaan sang kakek yang menyertainya kemanapun Alex kecil pergi. Selalu diulang-ulang perintah untuk menjaga keselamatan Alex termasuk dalam pergaulan. Aku tidak mengira, sesuatu yang menurutku biasa yang bahkan menyebalkan karena naik angkot, ternyata diimpikan orang lain.Hidup itu memang sawang sinawang.“Aku tak ubahnya seperti anak TK yang kemana-mana dikuntit. Tidak boleh ini dan itu yang membahayakan,” ucap Alex kembali.“Kakek kamu bersikap seperti itu karena sayang dengan cucu satu-satunya.”Dia tertawa. “Tidak. Aku merasa Kakek melakukan itu hanya karena perlindungan pada apa yang dia miliki. Aku sekadar ahli waris yang diharuskan meneruskan apa yang dia m
“Dengar kata ibu!”“Ibu yang harus dengar ucapan Raya,” jawabku tidak mau kalah.Kami duduk di kursi meja makan. Setelah memaksa Alex untuk pergi, aku tadi segera menghampiri Ibu yang sudah bersiap dengan memasang wajah serius.Ibu menghela napas. Dia mengambil air putih dan meminumnya sampai habis. Terlihat jelas raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Sedari sampai tadi, dia langsung mendudukkan aku. Pertanyaan yang berkecamuk di kepala terjawab setelah Ibu mengeluarkan majalah bisnis yang terdapat artikel tentang Alex.Ibu mempermasalahkan tentang rentang usia di antara kami.“Ibu yang berpengalaman.”“Raya yang menjalani.”Kali ini aku harus memperjuangkan kebahagiaanku. Oke lah kalau itu menurut pendapat orang lain tidak layak atau di luar dari pemikiran orang umum, tapi ini aku tidak mau menggantungkan kebahagiaan pada pendapat orang, kan?Melihat sikap Ibu, ini pertanda kurang baik. Tidak biasanya wanita yang melahirkan aku ini memaksakan kehendak tanpa menerima alasan. Wajah tanp
“Bapakmu itu laki-laki hebat, Nduk. Dengan keterbatasannya, sampai titik penghabisan dia berusaha. Itu yang dari dulu mengukuhkan Ibu untuk berada di sampingnya. Kalau hati sudah terikat, wanita akan membalikkan apa yang diberikan laki-laki.”Ibu tersenyum setelah menyusut sisa air mata. Pandangannya terlempar jauh seakan mengingat masa-masa indah dulu.“Sikap wanita itu seperti cermin perlakukan pasangannya. Ketulusan bapakmu, menghapus rasa tidak nyaman yang sering mencuat di keseharian. Rasa jengkel, kesal, dan keinginan menuntut lebih supaya bapakmu menjadi suami yang dewasa, luruh saat dia menunjukkan ketulusan. Hati Ibu sudah terikat, Nduk. Mengerti?”“Iya, Bu.”“Sering hati Ibu ingin menyudahi tapi kaki ini enggan beranjak. Makanya, Ibu tidak ingin kamu akan mengalami ini saat bersama Alex.”“Alex secara finansial mapan, Bu. Bahkan sangat mapan.”“Nduk. Ibu tidak mempermasalahkan materi. Uang itu bisa dicari. Kebahagiaan itu bukan karena uang.”Aku mengambil majalah dan membuka
‘Biang keroknya pasti ini. Dan, tidak akan kubiarkan mereka menyerangku melalui tangan Ibu,’ bisikku dalam hati sambil mengangguk. Niatku sudah bulat saat Tomo minta persetujuan ulang tentang tuntutan yang akan dilayangkan kepada Arman atas penganiayaan.“Ingat. Tidak ada kesepakatan ataupun keringanan!” seruku memastikan lagi.Betapa tidak panas, aku membaca rentetan pesan laporan yang dikirim anaknya yang memberi majalah. Dia mengorek keterangan dan menyimpulkan kalau ini suruhan Pak Sanjaya untuk menunjukkan umur diriku.“Bapak saya disuruh membahas artikel yang menyatakan anak muda yang berhasil di negara ini. Disuruh membahas kenapa orang seumur segitu kok bisa sukses. Tapi tolong, Bapak saya tidak tahu apa-apa. Dia hanya disuruh Pak Sanjaya.” Pesan yang diucapkan orang itu.Memang dia mata-mata yang dipasang Tomo di sana. Orang itu pun tidak tahu kalau orang yang di artikel itulah yang memperkerjakan Tomo dan kawan-kawan.Bisa dipastikan, rentang usia yang menyebabkan masalah p
Bella Laurent, perempuan yang bertahan lama berteman denganku. Kami bertemu saat kuliah di MIT USA--Massachusetts Institute of Technology. Berasal dari negara yang sama dan kebetulan bertemu di beberapa projek membuat kami sering bersama.Bisa dikatakan aku dan dia satu spesies--penyuka ilmu pengetahuan dengan segala keunikan yang dianggap aneh oleh orang lain. Tak jarang kami saling berkeluh kesah, termasuk keruwetan percintaan.“Shit! I hate it! Dia dekat denganku hanya ingin ciuman!” seru Bella yang masih aku ingat benar. Tiba-tiba di menyelonong ke kamar asrama dan mengomel tentang pacar barunya.“Ya wajarlah.”“Wajar bagaimana? Kamu tahu kan, mulut itu rumah bagi ratusan mikroorganisme. Dan air liur itu media untuk bakteri, bahkan virus. Kalau dia menulariku bagaimana, hah?!”“Kok aku yang dimarahi?” ucapku sambil tertawa.“Iya, lah. Kamu menganggahku!”Kali ini aku melihatnya lucu, walaupun yang dikatakan seratus persen benar. Namun, masak kalau akan berciuman harus dites di lab