Bella Laurent, perempuan yang bertahan lama berteman denganku. Kami bertemu saat kuliah di MIT USA--Massachusetts Institute of Technology. Berasal dari negara yang sama dan kebetulan bertemu di beberapa projek membuat kami sering bersama.Bisa dikatakan aku dan dia satu spesies--penyuka ilmu pengetahuan dengan segala keunikan yang dianggap aneh oleh orang lain. Tak jarang kami saling berkeluh kesah, termasuk keruwetan percintaan.“Shit! I hate it! Dia dekat denganku hanya ingin ciuman!” seru Bella yang masih aku ingat benar. Tiba-tiba di menyelonong ke kamar asrama dan mengomel tentang pacar barunya.“Ya wajarlah.”“Wajar bagaimana? Kamu tahu kan, mulut itu rumah bagi ratusan mikroorganisme. Dan air liur itu media untuk bakteri, bahkan virus. Kalau dia menulariku bagaimana, hah?!”“Kok aku yang dimarahi?” ucapku sambil tertawa.“Iya, lah. Kamu menganggahku!”Kali ini aku melihatnya lucu, walaupun yang dikatakan seratus persen benar. Namun, masak kalau akan berciuman harus dites di lab
‘Ternyata Ibu benar.”Firasat seorang ibu terhadap pendamping anaknya itu patut didengar. Walaupun belum tentu benar seratus persen, tapi ini tidak ada salahnya kalau diperiksa kembali. Karena terkadang intuisi seorang ibu itu tajam terlebih naluri proteksionis terhadap anak gadisnya. Ibu juga lah yang mempunyai cinta kasih tanpa pamrih. Semua demi kebaikan anaknya.Seperti sekarang ini, aku yang berkutat dengan masalah dan berusaha memperjuangkan hubungan ini, kekasih yang aku upayakan justru berkencan dengan wanita lain.“Raya. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”“Aku tidak perlu menggunakan otak atau menganalisis hal ini. Mata dan telingaku masih normal. Bagaimana dia mengatakan kalau kamu sedang menunggu dia. Dengan sabar, lagi! Sesuatu yang dilakukan orang yang jatuh cinta.”Rasa kesal sudah di ubun-ubun. Tidak rela lelakiku ini berlaku spesial dengan wanita lain. Perasaanku ini tidak salah, kan? “Raya, please. Dengar aku __”“Kamu yang harus dengar! Kamu tahu kan, kita ti
“Silakan, Bu,” ucapku dengan hati-hati.Ibunya Raya menunjukkan senyuman sedikit. Ekspresinya masih kaku. Aku harus lebih hati-hati dan tidak bisa langsung sesantai dulu.Wanita yang aku dambakan sebagai ibu mertua ini, terlihat bersikap menahan diri. Kebalikan dari pertemuan sebelumnya-dia yang begitu memerlihatkan keinginan menjadikan aku menantu. Sekarang justru memasang jarak.“Maaf. Sabuk pengamannya.”“Iya. Saya tahu. Walaupun orang kampung, dulu pernah punya mobil,” jawabnya sambil melengos. Aku tersenyum sambil menunjuk bagian mana yang harus disatukan. Perlahan mobil aku jalankan.Ungkapan-ungkapannya terlihat sengaja memantik rasa kesal. Pasti aku sedang mendapat ujian kesabaran. Tidak apalah, ini tantangan. Seperti biasa aku harus bersikap tenang dan memilah pemasalahan satu demi satu. Seperti mengurai benang kusut, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian.Sebenarnya ada dua permasalahan. Pertama, restu karena perbedaan usia yang dipermasalahkan oleh Ibu. Dan yang kedua, ke
Pelakuan Kakek Sebastian saat aku kecil yang mengatur ini dan itu, sering membuatku kesal. Mungkin orang lain melihatku mempunyai kehidupan yang enak. Sekolah diantar sopir pribadi, bahkan tas dan lainnya pun dia bawakan. Mereka tidak mengerti kalau aku layaknya burung di sangkar emas. Keseharianku terjadwal dengan ketat. Semua rencana kegiatan harus disetujui oleh Kakek, dan itu tidak ada tertulis waktu bebas.Hanya waktu untuk tidur saja lah yang aku gunakan untuk melakukan yang aku suka. Salah satunya dengan melukis.Jangan harap bisa berbuat seenaknya. Kakek Sebastian tidak hanya menaruh ayah dari Tomo sebagai informan, dia juga memasang orangnya tanpa aku tahu siapa dia. Ingatanku terlempar pada kejadian dulu, saat aku masih SMP dan nekad ke luar kota.“Apa yang bisa jelaskan ini kepada Kakek!” seru Kakek Sebastian.Beberapa lembar foto dilempar di meja di depanku. Foto-foto diriku mulai keluar dari mobil sampai masuk kembali ke dalam mobil. Sebegitunya Kakek memperlakukan aku. A
‘Duh! Alamat perjuangan masih dilanjutkan,’ bisik hatiku berusaha tetap menunjukkan senyuman. Walaupun aku tidak salah, tapi tempat dan waktu sudah memaksaku menjadi terdakwa. Aku maklum kalau Raya cemburu.‘Bukankah cemburu tandanya dia cinta? Kira-kira apa ada korelasinya? Semakin cemburu berarti semakin cinta?’Aku membentangkan senyuman. Masih tidak berbalas, tapi wajahnya sudah tidak sekaku saat marah tadi.“Kamu masih marah?”“Sudah tahu kenapa bertanya?” jawabnya terdengar asal.Bibirnya yang cemberut dan pandangan mata dilemparkan ke arah lain, persis seperti anak yang merajuk. Aku menikmati reaksinya yang unik ini.“Terus sekarang bagaimana? Aku kan sudah jelaskan kalau hanya ada kamu di hatiku. Apa perlu di otopsi? Pasti di hatiku ada tulisannya. Milik Raya seorang,” jelasku mulai gombal. Kata dibuku, merayu wanita yang sedang marah itu perlu gombalan, tidak perlu penjelasan secara logika.Sudut bibirnya menciptakan lengkungan, tapi sedikit dan lenyap kembali.“Gombal! Mana
Bicara dengan orang tepat memang menjadikan pandangan menjadi luas. Rongga kepalaku yang mulanya disesakkan dengan pikiran negatif, sekarang mulai dipenuhi dengan harapan.“Mana ada hubungan itu mulus tanpa hambatan. Justru kalau seperti itu patut dicurigai,” ucap Ria tadi.“Kenapa? Bukankah itu yang patut disyukuri? Semua dimudahkan.”Suara tawa Ria terdengar. “Raya. Tidak ada orang yang sempurna dan persis sama dengan apa yang kita harapkan. Kalau ada, bisa jadi yang nampak hanya kebohongan karena tuntutan kesempurnaan. Kamu mau hubunganmu penuh dengan kepura-puraan?”Aku mulai sadar dengan otakku yang bebal ini. Padahal saat aku menulis cerita, semua yang bersifat petuah mengalir begitu saja. Tak jarang pembaca banyak mengucapkan terima kasih karena mendapat inspirasi setelah membaca ceritaku. Namun, saat menjalani langsung ternyata tidak semudah itu. Kepala ini sering dikuasai emosi yang tidak pada tempatnya.“Kalian itu masa-masa penyesuaian, Yak. Dua kepala dari latar belakang b
“Lucu banget! Aku sampai lupa sama umur,” ucapku berakhir dengan membekap mulut. Aku tidak bisa menahan tawa teringat kejadian tadi malam.Ria yang menemuiku di kantin juga tertawa mendengar ceritaku ini. Tentu saja hanya cerita yang aman di dengar orang lain. Selebihnya dinikmati di hati saja.Niat awalnya Ria rela ke kampus untuk memastikan aku baik-baik saja. Katanya semalaman dia tidak bisa tidur kepikiran dengan keluhanku semalam.“Aku tidak rela kalau kalian sampai sepakat untuk berpisah. Ternyata kalian malah sudah sayang-sayangan,” celetuk Ria dengan bibir mencibir.Ria juga mendatangkan Lisa untuk bergabung. Dia ini yang akan menjadi mata-mata di kampus dan memantau perkembangan hubunganku dengan Alex. Ada-ada saja dengan rencananya.“Ingat, ya, Lisa. Kamu kan sering bertemu dengan Pak Alexander di sini. Pantau mereka jangan sampai berpikir atau bertindak bodoh!” seru Ria dibalas anggukan Lisa.Si adik ini seakan pasrah dengan tugasnya. Anggukan ternyata bukan berarti mengert
Mendapat dukungan sahabat melebarkan senyuman dan meringankan langkah yang tadinya sudah menyerah. Merekalah orang yang tidak sedarah tetapi tidak rela kalau kebahagiaanku tidak sempurna.Keluar dari gedung perpustakaan, aku sudah disambut dengan pemandangan kekasihku yang berdiri di samping mobilnya. Bersendekap dengan kaki disilangkan. Berkaca mata hitam dengan baju kasual yang menambah berlipat pesona.‘Hmm … pantas saja mahasiswi yang jalan di depannya terlihat melambatkan jalannya,’ bisikku dalam hati sambil tersenyum. Dia memang tampan, tapi dia hanya untukku seorang.Mbak Leni yang menggandengku mendorongku untuk berjalan lebih cepat. Seakan mengerti hati ini sudah tidak sabar untuk mendekat.“Buruan sana! Sudah ditunggu, tuh!”“Mbak Leni tidak ingin menyapa dulu?”“Tidak, lah. Dia nanti marah kalau aku menghampiri laki-laki yang lebih ganteng,” ucapnya sambil menggerakkan dagu ke samping. Aku mengikuti arah gerakannya dan tertumpu pada laki-laki berkaca mata hitam yang melamba