“Raya! Terobosan yang kita rancang menjadi percontohan. Aku dipanggil ke pusat untuk berbagi pengalaman!” seru Alex melalui ponsel.Aku yang masih di stasiun duduk kembali. Niatku untuk kembali setelah kereta api yang membawa Ibu hilang dari pandangan, urung. Suaranya terdengar girang di sana. Rentetan cerita pun mengikuti dengan antusias. Menjadikan dia besar dan semakin mengecilkan diriku.“Ini termasuk penelitian yang dilakukan Lisa dan proyek di tempat Ria itu!” serunya tidak memberiku kesempatan untuk menyela.Aku merasa menjadi pendengar dan penonton yang wajib tersenyum dan bersorak atas keberhasilannya.“Aku hebat, kan? Raya, Sayang?!” Suaranya terdengar keras. Mungkin dia sadar aku hanya diam mendengarkan ceritanya sedari tadi.“I-iya! Kamu hebat!” seruku setelah terlarut dengan rasa aneh yang menyelusup.Aku mengerti harusnya aku senang mendengar keberhasilan sang kekasih. Namun, kenapa ada setitik ketidakrelaan? Bukan karena dia, tapi karena keterlambatanku. Dia yang melesa
Kekasihku yang singgah tidak lama di meja kami, memantik lontaran godaan Lisa dan Ria sampai acara berakhir. “Pak Alexander kalau kerja serius dan galak. Ternyata bisa romantis-romantisan, ya?” ucap Lisa si hantu laboratorium. Tatapan mata sahabatku ini tidak terlepas dari lelaki yang baru saja menciumku. Begitu juga aku sambil menangkup pipi yang meninggalkan jejak geleyar indah akibat perlakuannya. “Memang Pak Alexander selalu begitu, ya,Mbak?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. “Iya, lah. Kalau tidak bersikap manis, untuk apa dijadikan kekasih.” “Lisa, Lisa. Kalau pertanyaanmu dijawab dengan jujur, nanti kamu terkejut-kejut? Coba kamu pikir, di depan kita saja berani cium kening. Nah kalau berdua saja apa yang mereka lakukan?” celetuk Ria disambut anggukan Lisa seperti baru tersadar.” “I see. Jadi Mbak Raya dan Pak Alex sudah__” “Hus! Itu rahasia!” sahutku memotong ucapan yang terdengar sudah menuduh. “Makanya punya pacar supaya bisa menikmati indahnya cinta,” celetuk
Seketika tanah tempatku berpijak seakan runtuh. Sama persis dengan impianku yang sebelumnya sudah terbangun. Harusnya dia menyodorkan tangan dengan sendirinya dan menyambut cincin di jari manis dengan senyuman bahagia.Namun yang aku dapati sekarang terlihat lain.Sorot matanya persis seperti dulu, saat dia dalam dilema menentukan menerimaku menjadi kekasihku atau tidak.Aku berusaha menenangkan diri, menekan rasa gusar ini. Wanita berbintang libra seperti Raya memang sering bimbang saat akan melangkahkan kaki. Sudah aku kupas habis segala tentang kekasihku ini. Dia akan melakukan sesuatu dengan ketulusan hati. Aku harus lebih bersabar.Kedua sudut bibir ini kuciptakan senyuman sebelum memulai berbicara.“Raya, Sayang. Aku tahu kamu pasti belum siap, kan? Aku akan menunggumu untuk menyematkan cincin ini,” ucapku sambil menutup kembali kotak kecil berkulit beludru hitam. Mungkin kejutanku ini terlalu cepat untuknya.Aku kembali berdiri dan memberi tanda. Alunan musikpun mengalun dengan
“Raya, Raya. Kamu ini terlalu bodoh. Di luar sana para wanita berlomba untuk mendapatkan posisimu, kamu malah menyia-nyiakan kesempatan,” ucap Ria terdengar kesal.Pulang diantar Alex, aku langsung menelpon kembali Ria yang dari tadi penasaran dengan kisahku. Aku menunjukkan cincin yang statusnya hanya titipan karena aku tolak.“Aku tidak enak, Ria. Aku belum merasa layak untuk Alex. Kalau teman jalan seperti sekarang, hatiku masih tenang. Tapi kalau sebagai tunangan … aku merasa itu masih membebani diriku.”Wajah Ria di layar ponsel terlihat mengkerut. Terlihat kalau apa yang aku ucapkan tidak masuk di kepalanya. Kepalanya menggeleng-geleng.“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu.”Aku tertawa kecil. Kok dia, aku pun bingung dengan apa yang aku rasakan. Hati ini berbunga berjalan di sampingnya, tapi saat diseriusi justru mencuat rasa tidak nyaman.“Kamu tahu, kan? Kalau aku memakai cincin ini berarti dia menjadikan aku calon istrinya?”“Iya. Dan itu suatu anugrah, kan?”Aku menghela nap
Matanya yang bulat dan bersinar tajam menatapku, seakan menguliti siapa aku sebenarnya. Dahinya yang putih klimis terlihat berkerut seiring dengan diriku yang terikut memicingkan mata.Setelah Pak Wira memanggilku, dia pamit pergi mengambil minum katanya. Pasti ini sekadar alasan untuk memberi ruang kepada wanita ini denganku.“Kamu yang namanya Nakaya Raya?” ucapnya terdengar ragu.Nadanya seakan menuduh kalau aku tidak pantas menyandang nama itu. Bibirnya pun berkerut tapi tidak mengurangi kecantikan wajahnya. Dan sekarang, kedua tangannya bersendekap dengan tatapan masih lekat menuntut kepastian.Bohong kalau aku tidak merasa diremehkan. Sikap wanita ini kebalikan dengan penampilan yang enak dipandang mata.‘Sosok ginian pantas dijadikan pemeran antagonis,’ pikirku.Entah dia dari mana mendapat namaku. Mungkin dia dari fakultas lain atau kalau menilik penampilannya, dia bukan orang sembarangan. Aku tidak mengenal merk terkenal dan mahal, tapi apa yang dibadannya terlihat eksklusive
“Pokoknya jangan datang ke rumah!” ucapku dengan suara naik satu nada.Kesal rasanya. Sudah aku katakan kalau aku ingin sendiri dulu, tapi Alex justru mencecar pertanyaan ini dan itu.“Aku mengerti, Sayang. Tapi aku itu ke sana untuk membantumu. Kalau kamu lapar, atau bahumu pegal, aku bisa pijit dan__”“CK! Alasan!” seruku sambil mendengkus ke arah layar.Aku sudah putuskan untuk konsentrasi penuh pada tulisanku kali ini. Targetku, aku meraih juara dalam perlombaan sebagai pengakuan aku bukan sekadar penulis receh. Memang sebagai penulis online, bayaran kami untuk membaca satu bab hanya recehan. Namun, jangkauan kami lebih luas yang tidak lekang pada batas negara. Itu yang menjadikan lumbung dollar.Uang sebagai pengakuan kalau karyaku diminati pembaca sudah aku dapat. Akan tetapi pengakuan dari juri-penilai profesional belum pernah aku dapat untuk karya novel. Itu yang menjadi tujuanku sekarang.“Boleh, ya? Aku hanya bawakan pizza,” ucapnya sekali lagi sambil mengedipkan mata.Huft!
"Kangen, ya?" Bohong kalau jawabnnya tidak. Pertanyaan ini yang mencuat dari sudut hatiku di setiap waktu. Dan itu yang membuatku hampir menyerah. Namun, ingatan pada ucapan yang mencibir diri ini, memaksa kedua kaki kembali tegak. Kedua telinga menuli dan mulut pun terbungkam walaupun sekadar menyebut namanya. Tidak pernah aku bayangkan, menahan rindu itu seberat ini. Akan tetapi, aku harus membuktikan kalau Nayaka Raya adalah teman hidup yang sepadan untuk seorang Alexander Dominic sang CEO. Huuft! Kalau teringat kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang memantapkan niatku untuk berpuasa bertemu dengan kekasih hati. Aku tidak mau main-main dengan niat mengikuti perlombaan ini. "Saya ingin bicara dengan kamu. Ikuti saya." Tanpa ada tanda apapun, seorang perempuan berkata seperti itu setelah berhasil menghentikan langkahku. Dalam kubangan pertanyaan, kaki ini tetap melangkah mengikutinya. Kenal saja tidak, kenapa wanita ini seakan mempunyai urusan denganku? Sedikit aku perc
Senyumannya tercipta seiring lesung pipit yang menjadikan jantung ini berhenti berdetak. Rindu yang berpendar berangsur memudar. Sampai-sampai mata ini pun enggan berkedip, kawatir kehilangan pandangan yang masih belum aku kutip. "Ka-kamu kenapa ke sini?" ucapku setelah tersadar kalau dia seharusnya belum di sini. Kesempatanku mengasingkan diri, bukankah masih berakhir hari besok pagi? Tepat nya nanti malam setelah pukul dua belas malam. Bukannya tidak senang dia datang, tapi rencanaku menyambut pertemuan ini gagal total. Lihat saja, aku belum sempat luluran, keramas, apalagi berdandan. Ini saja aku hanya mengenakan celana selutut yang aku padukan dengan kaos oblong rumah. Stss... aku pun belum mandi. Dia tertawa. Bibirnya mengulum sebelum berbicara. "Kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang menentukan berapa lama?""Tapi itu kan bukan sekarang tapi__""Sekarang, lah. Waktu satu hari dihitung saat kamu memberi ultimatum. Jam segini, kan? Tepat saat kita setelah makan siang."Ucapa