Matanya yang bulat dan bersinar tajam menatapku, seakan menguliti siapa aku sebenarnya. Dahinya yang putih klimis terlihat berkerut seiring dengan diriku yang terikut memicingkan mata.Setelah Pak Wira memanggilku, dia pamit pergi mengambil minum katanya. Pasti ini sekadar alasan untuk memberi ruang kepada wanita ini denganku.“Kamu yang namanya Nakaya Raya?” ucapnya terdengar ragu.Nadanya seakan menuduh kalau aku tidak pantas menyandang nama itu. Bibirnya pun berkerut tapi tidak mengurangi kecantikan wajahnya. Dan sekarang, kedua tangannya bersendekap dengan tatapan masih lekat menuntut kepastian.Bohong kalau aku tidak merasa diremehkan. Sikap wanita ini kebalikan dengan penampilan yang enak dipandang mata.‘Sosok ginian pantas dijadikan pemeran antagonis,’ pikirku.Entah dia dari mana mendapat namaku. Mungkin dia dari fakultas lain atau kalau menilik penampilannya, dia bukan orang sembarangan. Aku tidak mengenal merk terkenal dan mahal, tapi apa yang dibadannya terlihat eksklusive
“Pokoknya jangan datang ke rumah!” ucapku dengan suara naik satu nada.Kesal rasanya. Sudah aku katakan kalau aku ingin sendiri dulu, tapi Alex justru mencecar pertanyaan ini dan itu.“Aku mengerti, Sayang. Tapi aku itu ke sana untuk membantumu. Kalau kamu lapar, atau bahumu pegal, aku bisa pijit dan__”“CK! Alasan!” seruku sambil mendengkus ke arah layar.Aku sudah putuskan untuk konsentrasi penuh pada tulisanku kali ini. Targetku, aku meraih juara dalam perlombaan sebagai pengakuan aku bukan sekadar penulis receh. Memang sebagai penulis online, bayaran kami untuk membaca satu bab hanya recehan. Namun, jangkauan kami lebih luas yang tidak lekang pada batas negara. Itu yang menjadikan lumbung dollar.Uang sebagai pengakuan kalau karyaku diminati pembaca sudah aku dapat. Akan tetapi pengakuan dari juri-penilai profesional belum pernah aku dapat untuk karya novel. Itu yang menjadi tujuanku sekarang.“Boleh, ya? Aku hanya bawakan pizza,” ucapnya sekali lagi sambil mengedipkan mata.Huft!
"Kangen, ya?" Bohong kalau jawabnnya tidak. Pertanyaan ini yang mencuat dari sudut hatiku di setiap waktu. Dan itu yang membuatku hampir menyerah. Namun, ingatan pada ucapan yang mencibir diri ini, memaksa kedua kaki kembali tegak. Kedua telinga menuli dan mulut pun terbungkam walaupun sekadar menyebut namanya. Tidak pernah aku bayangkan, menahan rindu itu seberat ini. Akan tetapi, aku harus membuktikan kalau Nayaka Raya adalah teman hidup yang sepadan untuk seorang Alexander Dominic sang CEO. Huuft! Kalau teringat kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang memantapkan niatku untuk berpuasa bertemu dengan kekasih hati. Aku tidak mau main-main dengan niat mengikuti perlombaan ini. "Saya ingin bicara dengan kamu. Ikuti saya." Tanpa ada tanda apapun, seorang perempuan berkata seperti itu setelah berhasil menghentikan langkahku. Dalam kubangan pertanyaan, kaki ini tetap melangkah mengikutinya. Kenal saja tidak, kenapa wanita ini seakan mempunyai urusan denganku? Sedikit aku perc
Senyumannya tercipta seiring lesung pipit yang menjadikan jantung ini berhenti berdetak. Rindu yang berpendar berangsur memudar. Sampai-sampai mata ini pun enggan berkedip, kawatir kehilangan pandangan yang masih belum aku kutip. "Ka-kamu kenapa ke sini?" ucapku setelah tersadar kalau dia seharusnya belum di sini. Kesempatanku mengasingkan diri, bukankah masih berakhir hari besok pagi? Tepat nya nanti malam setelah pukul dua belas malam. Bukannya tidak senang dia datang, tapi rencanaku menyambut pertemuan ini gagal total. Lihat saja, aku belum sempat luluran, keramas, apalagi berdandan. Ini saja aku hanya mengenakan celana selutut yang aku padukan dengan kaos oblong rumah. Stss... aku pun belum mandi. Dia tertawa. Bibirnya mengulum sebelum berbicara. "Kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang menentukan berapa lama?""Tapi itu kan bukan sekarang tapi__""Sekarang, lah. Waktu satu hari dihitung saat kamu memberi ultimatum. Jam segini, kan? Tepat saat kita setelah makan siang."Ucapa
"Tara ...! Aku sudah siap. Yuk kita berangkat!" seruku sambil menyambar tas kecil di atas bufet. Tas slempang yang berisi printilan untuk jalan-jalan.Mandi kilat dan dandan tipis-tipis aja. Waktu adalah bukan uang, tapi rindu. Segitunya aku, ya.Pakaian yang aku pilih pun baju santai. Kaos oblong dan celana jeans. Rambutku yang masih belum panjang, aku pasang bando sebagai pemanis."Tapi jangan lama-lama, ya. Sebelum magrib sudah di rumah. Aku masih ada yang harus aku selesaikan," ucapku lagi.Sepatu putih bertali menjadi pilihan. Maksudku biar terlihat mudaan dikit. Kaos kaki sudah terpasang dan sekarang tinggal mengenakan sepatu.Gerakan tanganku terhenti saat sadar sedari tadi tidak ada tanggapan. Aku yang sudah membungkuk akan memakai sepatu, mendongak, mendapati Alex yang menatap ke arahku tanpa senyuman.Dia berdiri bersandar di meja makan dengan kedua tangan dimasukkan di saku celana."Kenapa?" tanyaku sambil menggerakkan dagu. Wajah yang tadinya terlihat datar, sekarang dim
“Ada masalah di kantor? Apa yang terjadi? Genting?”Aku tidak mau membuang waktu. Setelah membaca pesan dari nomor tidak bernama, aku langsung menghubungi Alex. Bukannya mendapati wajah yang terlihat mendapat masalah, dia justru menyajikan senyuman dan ekspresi santai.Layar ponsel menunjukkan dia sudah di kantor. Sekilas aku mendapati dahinya yang berkerut sesaat, mungkin karena kaget dengan pertanyaanku yang memberondong tiba-tiba ini.“Kamu kenapa, Raya Sayang? Bangun tidur karena mimpi buruk?” tanyanya balik sambil tertawa kecil.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Lega. Ternyata dia tidak terjadi apa-apa. Pasti ini ulah orang yang tidak senang melihat hubungan kami.Memang sih, orang yang sirik pasti jiwa dengkinya meronta melihat aku-wanita biasa mendapat kekasih brondong premium. Eh, avtur, ding!“Tapi benaran tidak terjadi apa-apa?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan.Tetap tidak melepas senyuman, dia menjawab, “Setiap perusahaan pasti ada masalah.”“T
Bab 86. Pasti perempuan antagonis itu. Berarti nomor telpon yang tidak tercatat dan mengirimkan pesan teror itu kemungkinan besar dia. Label yang aku sematkan tidak sengaja, justru menjadikan dia menjadi penghalang hubungan aku dan Alex.“Ada masalah, Raya?” tanya Mbak Leni. Mungkin dia menangkap ekspresiku yang berpikir keras. Tentu saja. Di kepala ini berputar menganalisis kenapa dan untuk apa perempuan itu bersikap seperti ini.Dia cantik, pintar, dan yang dikenakan menunjukkan strata sosial yang lumayan tinggi. Namun, kenapa mau dipusingkan dengan hubungan asmara orang lain?Penampilan seperti Bella Laurent itu, pasti tidak susah mencari laki-laki.“Hmm …. Tidak ada apa-apa, Mbak. Cuma ada orang yang nyari aku, katanya temen. Padahal sepertinya bukan.”“Terus? Dia berlaku jahat?” tanya Mbak Leni dengan mata membulat. Kalau hal ginian, seniorku sering pasang badan. Urusan melabrak orang, dia jagonya.“Tidak. Cuma bertanya kepada Pak Wira saja,” jawabku sambil menunjukkan senyuman.
Bab 87. Ternyata“Ayo, Raya!” seru Mbak Leni sembari menepuk bahu ini.Isi kepalaku yang masih berkutat dengan namanya Bella itu, terhenyak kaget. Sampai-sampai berkas di tanganku pun jatuh.Wanita berambut pendek ini memandang heran telapak tangannya, sembari berkata, “Eh, aku terlalu keras, ya?”Aku tertawa kecil.“Tidak, Mbak. Cuma aku kelamaan di rumah, jadi masih oleng kerja di depan komputer,” jawabku asal.“Makanya, kita ke kantin. Kali ini aku traktir, deh. Siomay sambal tiga sendok dan es the jumbo. Yuk!”Aku pasrah digelandang ke kantin. Teman kerjaku ini walaupun kecil, tapi kemauannya besar. Sebesar kekuatannya menyeretku. Semakin menyerah, ketika Jaka pun bergabung. Mereka saling bersautan menceritakan kisahnya sendiri. Tentang Mbak Leni yang mulai serius dengan kekasih terbarunya, dan Jaka yang nembak cewek tapi ditolak.“Kamu setiap bertemu cewek bening dikit langsung ditembak. Ya, kemungkinan besar ditolak, lah,” seru Mbak Leni.“Terus harus bagaimana?” Jaka garuk-garu