“Pokoknya jangan datang ke rumah!” ucapku dengan suara naik satu nada.Kesal rasanya. Sudah aku katakan kalau aku ingin sendiri dulu, tapi Alex justru mencecar pertanyaan ini dan itu.“Aku mengerti, Sayang. Tapi aku itu ke sana untuk membantumu. Kalau kamu lapar, atau bahumu pegal, aku bisa pijit dan__”“CK! Alasan!” seruku sambil mendengkus ke arah layar.Aku sudah putuskan untuk konsentrasi penuh pada tulisanku kali ini. Targetku, aku meraih juara dalam perlombaan sebagai pengakuan aku bukan sekadar penulis receh. Memang sebagai penulis online, bayaran kami untuk membaca satu bab hanya recehan. Namun, jangkauan kami lebih luas yang tidak lekang pada batas negara. Itu yang menjadikan lumbung dollar.Uang sebagai pengakuan kalau karyaku diminati pembaca sudah aku dapat. Akan tetapi pengakuan dari juri-penilai profesional belum pernah aku dapat untuk karya novel. Itu yang menjadi tujuanku sekarang.“Boleh, ya? Aku hanya bawakan pizza,” ucapnya sekali lagi sambil mengedipkan mata.Huft!
"Kangen, ya?" Bohong kalau jawabnnya tidak. Pertanyaan ini yang mencuat dari sudut hatiku di setiap waktu. Dan itu yang membuatku hampir menyerah. Namun, ingatan pada ucapan yang mencibir diri ini, memaksa kedua kaki kembali tegak. Kedua telinga menuli dan mulut pun terbungkam walaupun sekadar menyebut namanya. Tidak pernah aku bayangkan, menahan rindu itu seberat ini. Akan tetapi, aku harus membuktikan kalau Nayaka Raya adalah teman hidup yang sepadan untuk seorang Alexander Dominic sang CEO. Huuft! Kalau teringat kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang memantapkan niatku untuk berpuasa bertemu dengan kekasih hati. Aku tidak mau main-main dengan niat mengikuti perlombaan ini. "Saya ingin bicara dengan kamu. Ikuti saya." Tanpa ada tanda apapun, seorang perempuan berkata seperti itu setelah berhasil menghentikan langkahku. Dalam kubangan pertanyaan, kaki ini tetap melangkah mengikutinya. Kenal saja tidak, kenapa wanita ini seakan mempunyai urusan denganku? Sedikit aku perc
Senyumannya tercipta seiring lesung pipit yang menjadikan jantung ini berhenti berdetak. Rindu yang berpendar berangsur memudar. Sampai-sampai mata ini pun enggan berkedip, kawatir kehilangan pandangan yang masih belum aku kutip. "Ka-kamu kenapa ke sini?" ucapku setelah tersadar kalau dia seharusnya belum di sini. Kesempatanku mengasingkan diri, bukankah masih berakhir hari besok pagi? Tepat nya nanti malam setelah pukul dua belas malam. Bukannya tidak senang dia datang, tapi rencanaku menyambut pertemuan ini gagal total. Lihat saja, aku belum sempat luluran, keramas, apalagi berdandan. Ini saja aku hanya mengenakan celana selutut yang aku padukan dengan kaos oblong rumah. Stss... aku pun belum mandi. Dia tertawa. Bibirnya mengulum sebelum berbicara. "Kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang menentukan berapa lama?""Tapi itu kan bukan sekarang tapi__""Sekarang, lah. Waktu satu hari dihitung saat kamu memberi ultimatum. Jam segini, kan? Tepat saat kita setelah makan siang."Ucapa
"Tara ...! Aku sudah siap. Yuk kita berangkat!" seruku sambil menyambar tas kecil di atas bufet. Tas slempang yang berisi printilan untuk jalan-jalan.Mandi kilat dan dandan tipis-tipis aja. Waktu adalah bukan uang, tapi rindu. Segitunya aku, ya.Pakaian yang aku pilih pun baju santai. Kaos oblong dan celana jeans. Rambutku yang masih belum panjang, aku pasang bando sebagai pemanis."Tapi jangan lama-lama, ya. Sebelum magrib sudah di rumah. Aku masih ada yang harus aku selesaikan," ucapku lagi.Sepatu putih bertali menjadi pilihan. Maksudku biar terlihat mudaan dikit. Kaos kaki sudah terpasang dan sekarang tinggal mengenakan sepatu.Gerakan tanganku terhenti saat sadar sedari tadi tidak ada tanggapan. Aku yang sudah membungkuk akan memakai sepatu, mendongak, mendapati Alex yang menatap ke arahku tanpa senyuman.Dia berdiri bersandar di meja makan dengan kedua tangan dimasukkan di saku celana."Kenapa?" tanyaku sambil menggerakkan dagu. Wajah yang tadinya terlihat datar, sekarang dim
“Ada masalah di kantor? Apa yang terjadi? Genting?”Aku tidak mau membuang waktu. Setelah membaca pesan dari nomor tidak bernama, aku langsung menghubungi Alex. Bukannya mendapati wajah yang terlihat mendapat masalah, dia justru menyajikan senyuman dan ekspresi santai.Layar ponsel menunjukkan dia sudah di kantor. Sekilas aku mendapati dahinya yang berkerut sesaat, mungkin karena kaget dengan pertanyaanku yang memberondong tiba-tiba ini.“Kamu kenapa, Raya Sayang? Bangun tidur karena mimpi buruk?” tanyanya balik sambil tertawa kecil.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Lega. Ternyata dia tidak terjadi apa-apa. Pasti ini ulah orang yang tidak senang melihat hubungan kami.Memang sih, orang yang sirik pasti jiwa dengkinya meronta melihat aku-wanita biasa mendapat kekasih brondong premium. Eh, avtur, ding!“Tapi benaran tidak terjadi apa-apa?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan.Tetap tidak melepas senyuman, dia menjawab, “Setiap perusahaan pasti ada masalah.”“T
Bab 86. Pasti perempuan antagonis itu. Berarti nomor telpon yang tidak tercatat dan mengirimkan pesan teror itu kemungkinan besar dia. Label yang aku sematkan tidak sengaja, justru menjadikan dia menjadi penghalang hubungan aku dan Alex.“Ada masalah, Raya?” tanya Mbak Leni. Mungkin dia menangkap ekspresiku yang berpikir keras. Tentu saja. Di kepala ini berputar menganalisis kenapa dan untuk apa perempuan itu bersikap seperti ini.Dia cantik, pintar, dan yang dikenakan menunjukkan strata sosial yang lumayan tinggi. Namun, kenapa mau dipusingkan dengan hubungan asmara orang lain?Penampilan seperti Bella Laurent itu, pasti tidak susah mencari laki-laki.“Hmm …. Tidak ada apa-apa, Mbak. Cuma ada orang yang nyari aku, katanya temen. Padahal sepertinya bukan.”“Terus? Dia berlaku jahat?” tanya Mbak Leni dengan mata membulat. Kalau hal ginian, seniorku sering pasang badan. Urusan melabrak orang, dia jagonya.“Tidak. Cuma bertanya kepada Pak Wira saja,” jawabku sambil menunjukkan senyuman.
Bab 87. Ternyata“Ayo, Raya!” seru Mbak Leni sembari menepuk bahu ini.Isi kepalaku yang masih berkutat dengan namanya Bella itu, terhenyak kaget. Sampai-sampai berkas di tanganku pun jatuh.Wanita berambut pendek ini memandang heran telapak tangannya, sembari berkata, “Eh, aku terlalu keras, ya?”Aku tertawa kecil.“Tidak, Mbak. Cuma aku kelamaan di rumah, jadi masih oleng kerja di depan komputer,” jawabku asal.“Makanya, kita ke kantin. Kali ini aku traktir, deh. Siomay sambal tiga sendok dan es the jumbo. Yuk!”Aku pasrah digelandang ke kantin. Teman kerjaku ini walaupun kecil, tapi kemauannya besar. Sebesar kekuatannya menyeretku. Semakin menyerah, ketika Jaka pun bergabung. Mereka saling bersautan menceritakan kisahnya sendiri. Tentang Mbak Leni yang mulai serius dengan kekasih terbarunya, dan Jaka yang nembak cewek tapi ditolak.“Kamu setiap bertemu cewek bening dikit langsung ditembak. Ya, kemungkinan besar ditolak, lah,” seru Mbak Leni.“Terus harus bagaimana?” Jaka garuk-garu
Mbak Leni terdiam sebentar. Kemudian merebut tak sabar berkas di tanganku. Sesaat dia membaca dan membolak-balik, dan berakhir menatapku seakan tidak percaya.“Kenapa orang seperti dia mau ke tempat ini? Dia lo bisa beli buku tanpa meminjam,” ucapnya sambil mengetuk-ketuk telunjuk ke pipinya. Dahinya berkerut dan bibirnya pun mengerucut. Kalau sudah seperti ini, pertanda dia berpikir keras. Tidak boleh di-interupsi.“Tapi, Yak. Ini fenomena aneh. Alur si Nona Bos itu mirip dengan Bos Alex. Jangan-jangan dia ada yang ditaksir di perpustakaan ini. Seperti Pak Alex yang dulu mengejarmu. Iya, kan?”Matanya melebar seakan menemukan fakta yang tidak terpikir siapapun. Kemudian senyum yang sempat terbit tergantikan dengan kening berkerut kembali.“Tapi siapa laki-laki yang dia kejar? Masak iya kalau itu Jaka? Laki-laki yang agak bening di sini kan cuma dia?” celetuknya sambil tertawa kecil.Dalam hati aku pun tersenyum dengan hasil pemikirannya. Aku biarkan saja asumsinya mengalir. Kalau aku
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu