Tak sadar, tangan ini gemetaran seiring dengan bunyi ponsel yang tak kunjung berhenti. Inginku segera mengangkat telpon dan memaki si Bella itu. Namun, apakah ini bisa berujung pada selesainya masalah? Membantu Alex keluar dari masalah, atau justru akan membenamkannya?“Mbak Leni. Ini gimana?”Aku menatapnya dengan isi kepala kosong. Aku tidak ada ide apalagi strategi menghadapinya. Seandainya aku angkat, bisa jadi aku seperti prajurit terjun ke laga perang tanpa senjata apapun. Ini sama saja bun*h diri.Wanita berambut pendek ini menggeleng. Keningnya yang berkerut menunjukkan dia ikut memikirkan masalah ini.Untung saja bunyi telpon akhirnya berhenti. Aku menghela napas disertai menepuk dada yang masih berdegup kencang.“Tidak apa-apa. Orang wajar lah tidak angkat telpon. Apalagi kita kan kerja. Iya, kan?”“Iya, sih. Kecuali orang pengangguran yang kerjaannya menatap layar ponsel. Kita kan super sibuk dan tidak sempat mengurusi hal ginian,” seruku mencoba menghibur diri.Telunjuk
Tubuh ini seketika panas dingin. Aku seperti masuk perangkap dengan suka rela.Bodohnya aku. Kenapa tidak berpikir jauh? Baru saja mendapat ancaman tapi mau dijemput orang yang tidak dikenal.Akan tetapi aku juga tidak sepenuhnya salah. Aku tidak pernah mengira seorang Nayaka Raya ada yang rela menculik. Aku kan orang biasa.Atau …. Ini karena aku tidak pernah berburuk sangka. Semua tidak mungkin berbuat jahat, sampai-sampai melakukan penjemputan dengan mobil mewah seperti ini.Entah. Aku ini termasuk golongan naif atau bodoh.“Silakan, Bu Raya. Kita sudah sampai,” ucap lelaki berjas yang menjemputku.Dia membukakan pintu, dan berakhir dengan tubuh sedikit membungkuk. Dahiku mengernyit. Untuk kategori penculik, lelaki ini tidak ada seram-seramnya. Bahkan terlihat santun. Penampilannya pun bersih, jauh dari sosok menakutkan seperti di film-film itu. Wajar kan, kalau aku tidak sadar kalau ini penculikan.Tidak ada bentak-bentakan, apalagi seret-seretan sampai ancaman dengan senjata.Hm
Wajahnya memang cantik. Artis papan atas pun kalah. Penampilannya juga menunjukkan kelasnya. Semua yang menempel pada tubuhnya seakan menunjukkan dia bukan orang biasa. Akan tetapi, semua itu terasa hampar karena ekspresi yang tidak bersahabat. Apalagi sekarang ini. Kedua alis matanya bertaut bersamaan dengan dahi yang berkerut dalam. Sorot mata nyalang menunjukkan bara yang sudah membakar. Aku berhasil! Namun, sudut hatiku di sebelah sana merasa begidik. Memang aku bisa membuatnya tidak mengontrol emosi, tapi … apalah ini tidak membahayakan aku? Bibir berpulas warna merah itu tersenyum miring. Mungkin karena melihatku mulai goyah. Seandainya diumpamakan, aku seperti anak ayam sedangkan dia serigala yang sedang mengasah taring siap memangsa. “Sudah sadar? Kamu menghadapi siapa?” Aku menatapnya sesaat. Ingin rasanya menguliti perempuan ini. Rasanya ingin segera aku lepas aktingku yang pura-pura bodoh dan kembali menjadi diriku sendiri. Namun aku harus bersabar sedikit sebelum lang
POV Alexander“Pak Alex! Ada yang ketinggalan?”Aku yang sibuk mencari sosok yang aku rindukan pun terhenyak. Memutar badan seketika dan mendapati Mbak Leni yang sedang bersama dengan Jaka. Rasa heran menyentil mendengar pertanyaannya. Maksudnya apa?“Saya menjemput Raya, Mbak.”Mereka berdua tidak menjawab, malah menunjukkan dahi berkerut seperti tertulis tanda tanya.“Dia dimana?” tanyaku lagi.“Loh, Pak. Bukannya Pak Alex mengutus orang untuk menjemput Raya?” ucap Jaka menimpali.Seketika dahi ini pun berekspresi sama. Ada apa ini?!“Tidak!”Jawabanku memantik mereka menceritakan apa yang terjadi. Bagaimana Raya dijemput orang yang berseragam seperti karyawanku.“Mobil yang dipakai seperti yang digunakan Pak Tomo saat menjemput Raya. Saya tadi mikirnya itu suruhannya Pak Tomo. Raya pun juga ikut seperti biasa.”DEG!Seketika jantung ini berhenti berdetak. Ilustrasi yang digambarkan oleh Jaka menunjukkan Raya bukan dijemput orang biasa. Pasti semua ini ada hubungannya dengan masalah
Tomo langsung menyambutku. Wajahnya yang biasanya beku tanpa ekspresi, sekarang terlihat semakin kaku.“Silakan, Bos. Saya sudah siapkan semuanya,” ucapnya sembari mempersilakan ke ruangan lantai satu di sayap kiri.Langkah panjangku seiring dengan derap mereka yang terlihat siaga.Sempat terhenyak melihat upaya Tomo. Ruangan meeting yang biasanya kosong sekarang berubah menjadi ruang kerja dengan team yang sudah siap.“Saya memanggil mereka untuk operasi di sini. Ini lebih baik untuk kontrol kita,” ucapnya seakan memaksaku setuju dengan inisiatifnya.Mereka di ruangan ini sebenarnya ‘hidden team’ milik kami yang bergerak secara rahasia di dunia maya. Meng-couter semua berita buruk yang bisa jadi menurunkan nilai saham, bahkan memungkinkan menghancur suatu perusahaan yang berdiri kokoh.Semua sudah aku perhitungkan. Zaman sekarang, bekerja lurus-lurus saja akan dijegal pesaing. Bisa jadi tidak dari depan, tapi dengan menyebar hoak yang merugikan masa depan perusahaan.Dan, sekarang me
Kalau biasanya adegan kejar-kejaran aku lihat di film, ini aku sendiri yang mengalami. Helikopter benar-benar memangkas waktu. Dipandu oleh team yang memberi arahan dari kantor, akhirnya kami menemukan titik tujuan. Aku baru mengerti kalau di setiap tiang yang berdiri sepanjang jalan, ternyata terpasang kamera tersembunyi. Dan itu rahasia untuk khalayak umum. Aku pun tidak mengira kalau anak buah Bulan bisa menyusup sistem pengintai ini. Dari atas, aku melihat iring-iringan mobil yang sudah dipastikan membawa Raya menuju luar kota. Jalan bebas hambatan satu arah ini, memperjelas target kami. Dari atas, terlihat mencolok mobil mewah yang dikawal oleh beberapa mobil berwarna hitam. “Itu betul target kita, Bos!” seru pengintai yang sedari tadi menajamkan mata melalui teropong. “Coba pastikan target berbahaya atau tidak. Ingat, ini operasi penyelamatan!” seru Bulan dengan tegas. Wanita yang memiliki rambut pendek ini, menatap tajam pergerakan di depan. Dari pergerakan mobil di bawah
Semua yang ada di dunia ini memang titip dari-Nya. Harta, kekuasaan, termasuk orang yang kita sayangi. Saat akan diambil, iklaskan saja. Itu ujar beberapa orang di sana.Akan tetapi aku mempunyai pendapat sedikit berbeda.Memang itu titipan, tapi aku melihatnya itu sebuah kepercayaan yang berwujud tanggung jawab. Bukan rela atau tidak iklas, ini terletak bagaimana itu saat berada dalam genggaman tangan.Raya, kekasihku tidak kunjung sadar. Sesaat matanya memang terbuka dan bibir menyebut namaku. Setelahnya dia terkulai kembali. Teriakan menyebut namanya, tidak membuatnya kembali lagi. Justru denyut nadi nya pun melemah.Bulan dengan sigap memberi pertolongan penyelamatan. Napas yang sempat terhenti kembali menghembus. Aku yang melihat semua ini hanya bisa pasrah dan memohon kepada-Nya untuk diberi kesempatan lebih lama bersama cintaku ini. Merayu diberi tambahan waktu untuk menjalankan tanggung jawab.Sesampai di rumah sakit, team medis sudah siap dengan peralatan lengkap. Aku berlari
Kerinduanku pada sosok seorang ibu, sekarang terbayarkan. Bersama ibunya Raya, aku merasakan kehangatan seperti tertulis di buku-buku koleksiku.Benar, aku mencari rasa itu di seretan tulisan yang menggambarkan kasih sayang ibu tidak bisa ditakar. Itu yang aku lihat pada sosok wanita yang rambutnya sudah beruban ini.Demi anak, rasa lelah seperti hilang. Bahkan dia mampu menggadaikan tangisnya demi memunculkan senyum dan suasana gembira saat menemani Raya yang masih belum ada perubahan.“Nak Alex. Dirimu pulang saja,” serunya sambil meletakkan satu buku yang habis dia bacakan.Dia meneguk air putih, kemudian bersiap membaca buku berikutnya. Buku-buku ini dia bawa dari ruang kerja Raya.“Tidak, Bu. Biarkan saya yang membacakan buku, dan Ibu istirahat saja.”Dia tersenyum dan menggelengkan kepala.“Tidak. Ibu akan di sini saja. Pergilah, toh ada suster yang menemani ibu,” ucapnya sembari memberi tatapan mata sendu.“Bu …. Raya sekarang masih belum pulih, saya tidak mau ibu sakit.”Sekal
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu