Kalau biasanya adegan kejar-kejaran aku lihat di film, ini aku sendiri yang mengalami. Helikopter benar-benar memangkas waktu. Dipandu oleh team yang memberi arahan dari kantor, akhirnya kami menemukan titik tujuan. Aku baru mengerti kalau di setiap tiang yang berdiri sepanjang jalan, ternyata terpasang kamera tersembunyi. Dan itu rahasia untuk khalayak umum. Aku pun tidak mengira kalau anak buah Bulan bisa menyusup sistem pengintai ini. Dari atas, aku melihat iring-iringan mobil yang sudah dipastikan membawa Raya menuju luar kota. Jalan bebas hambatan satu arah ini, memperjelas target kami. Dari atas, terlihat mencolok mobil mewah yang dikawal oleh beberapa mobil berwarna hitam. “Itu betul target kita, Bos!” seru pengintai yang sedari tadi menajamkan mata melalui teropong. “Coba pastikan target berbahaya atau tidak. Ingat, ini operasi penyelamatan!” seru Bulan dengan tegas. Wanita yang memiliki rambut pendek ini, menatap tajam pergerakan di depan. Dari pergerakan mobil di bawah
Semua yang ada di dunia ini memang titip dari-Nya. Harta, kekuasaan, termasuk orang yang kita sayangi. Saat akan diambil, iklaskan saja. Itu ujar beberapa orang di sana.Akan tetapi aku mempunyai pendapat sedikit berbeda.Memang itu titipan, tapi aku melihatnya itu sebuah kepercayaan yang berwujud tanggung jawab. Bukan rela atau tidak iklas, ini terletak bagaimana itu saat berada dalam genggaman tangan.Raya, kekasihku tidak kunjung sadar. Sesaat matanya memang terbuka dan bibir menyebut namaku. Setelahnya dia terkulai kembali. Teriakan menyebut namanya, tidak membuatnya kembali lagi. Justru denyut nadi nya pun melemah.Bulan dengan sigap memberi pertolongan penyelamatan. Napas yang sempat terhenti kembali menghembus. Aku yang melihat semua ini hanya bisa pasrah dan memohon kepada-Nya untuk diberi kesempatan lebih lama bersama cintaku ini. Merayu diberi tambahan waktu untuk menjalankan tanggung jawab.Sesampai di rumah sakit, team medis sudah siap dengan peralatan lengkap. Aku berlari
Kerinduanku pada sosok seorang ibu, sekarang terbayarkan. Bersama ibunya Raya, aku merasakan kehangatan seperti tertulis di buku-buku koleksiku.Benar, aku mencari rasa itu di seretan tulisan yang menggambarkan kasih sayang ibu tidak bisa ditakar. Itu yang aku lihat pada sosok wanita yang rambutnya sudah beruban ini.Demi anak, rasa lelah seperti hilang. Bahkan dia mampu menggadaikan tangisnya demi memunculkan senyum dan suasana gembira saat menemani Raya yang masih belum ada perubahan.“Nak Alex. Dirimu pulang saja,” serunya sambil meletakkan satu buku yang habis dia bacakan.Dia meneguk air putih, kemudian bersiap membaca buku berikutnya. Buku-buku ini dia bawa dari ruang kerja Raya.“Tidak, Bu. Biarkan saya yang membacakan buku, dan Ibu istirahat saja.”Dia tersenyum dan menggelengkan kepala.“Tidak. Ibu akan di sini saja. Pergilah, toh ada suster yang menemani ibu,” ucapnya sembari memberi tatapan mata sendu.“Bu …. Raya sekarang masih belum pulih, saya tidak mau ibu sakit.”Sekal
Fajar menyingsing bersamaan harapanku yang kembali terbit. Waktu tunggu sudah berujung dengan senyuman kami, aku dan ibu. Tidak rela kami beranjak dari samping Raya yang masih mendapat pemeriksaan team medis. “Ingat ini siapa, kan?” tanya Dokter. “Ibu,” jawabnya dengan suara lemah, sesuai yang ditunjuk. Ibu langsung menghapus wajah kawatirnya dengan senyuman, sambil berucap, “Alhamdulillah. Syukurlah, Nduk. Kamu kembali pulih.” Aku mengerti kekawatiran ini. Katanya pernah ada kasus semacam ini, si pasien sadar tetapi ingatannya hilang. Hal ini karena sakitnya menyerang sistem syaraf. Tidak sabar, aku menunjukkan diri dengan menggeser perawat yang sudah memeriksa tekanan darah. “Aku ini siapa?” Sesaat sorot mata yang terlihat belum bertenaga itu menatapku. Pandangan kami di satu garis lurus. Akan tetapi kenapa dia tidak segera menjawab seperti pertanyaan sebelumnya? Bahkan sekarang dia mengernyit. “Bu Raya. Kalau ingat, tolong sebutkan namanya,” seru Pak Dokter seperti kekawatir
“Aku tidak mau pindah! Bagaimana pun bentuknya, itu rumahku dan aku nyaman di sana,” seru Raya membantah permintaanku.Memang apa yang salah kalau aku sebagai kekasihnya menyiapkan hunian yang lebih layak. Bukan berarti mewah, tapi cukup.Yah, minimal cukup menampung tiga pembantu, satu sopir, dan dua penjaga. Garase yang cukup untuk minimal tiga mobil. Bukan seperti sekarang, kalau aku ke rumahnya harus parkir di pinggir jalan. Itu pun harus mepet ke saluran air supaya cukup kalau ada kendaraan lain lewat.Untuk menyiapkan rumah yang menurutku ideal itu, bukan masalah besar untukku yang hanya sendiri dengan posisi sebagai CEO perusahaan global.Keinginanku tidak berlebihan, kan?“Raya, Sayang. Aku ingin kamu di tempat yang aman,” ucapku memberi alasan selain ‘cukup’ yang aku maksud. Kalau aku berterus terang, bisa jadi menyinggung perasaannya, dan malah bikin masalah jadi runyam.Dia justru mengembuskan napas panjang. Bukan tersenyum dan melonjak kegirangan, kemudian memelukku sambil
“Iya. Memang ini sementara,” ucap Alexander mengiyakan ucapanku yang tidak mau lama tinggal di tempat megah ini.Dia membuka pintu yang terhubung dengan taman, dan dia pun pergi menuju gasebo kecil di sana. Sedangkan aku, berkeliling kamar yang luaskan kali sekian dari kamarku yang lama.Ranjang kayu rustic dipadukan apik dengan kelambu putih transparan yang sesekali berkibar. Rak buku tinggi sampai langit-langit, menjadi pembatas dengan area kerja.Sebenarnya ini penataan yang aku suka. Meja tulis lebar lengkap dengan peralatan ‘tempur’ untuk menulis, menghadap tepat ke arah kolam ikan dimana Alex duduk di sana. Benar kata kekasihku, di tempat ini aku bisa mengumpulkan inspirasi.Jujur, aku merasa tidak nyaman berada di tempat yang berlebihan. Justru aku merasa ‘gerah’ dengan sesuatu yang kelewat mewah. Apapun itu. Mulai dari pakaian, perhiasan, dan hunian. Karenanya, tidak ada perhiasan gemerlap di tubuhku.Terserah orang lain menilaiku bukan orang berpunya dan tidak mau dekat, bahk
“Kamu bisa mengambil cuti panjang, Yak. Surat permohonan sudah disetujui pimpinan,” ucap Mbak Leni.Teman kerjaku ini datang saat jam istirahat siang. Dia menjenguk dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Katanya, walaupun aku di rumah ini kecukupan, yang membawa sahabat itu rasanya lebih nikmat.“Apa lagi dikupasin,” celetukku tadi sembari menyodorkan pisau.Sesekali memperkerjakan senior boleh, kan? Mumpung ada kesempatan. Makanya, kami ngobrol di gasebo kecil sambil makan buah apel bawaannya tadi.Aku yang tak henti mengunyah, menghentikan diri. Menatap dirinya dengan heran.“Memang siapa yang mengajukan cuti?”“Em …. Dari pimpinan mempunyai inisiatif setelah mengetahui tentang kasusmu.”“Kasusku?” tanyaku semakin tidak mengerti. “Memang aku punya kasus apa? Aku hanya sakit sedikit. Ini saja aku sudah sehat. Kamu lihat sendiri aku sekarang, kan?”Mbak Leni menaruh pisau buah. Keningnya berkerut seakan memikirkan sesuatu. Dia tidak kunjung menjawab, malah meneguk habis satu gelas es
“Yakin kamu menemani aku begadang?” tanyaku dengan memberi tatapan tidak percaya.Sudah dari beberapa hari yang lalu, kekasih brondongku ini mencecar pertanyaan tentang pengumuman hasil lomba menulis itu kapan. Pagi, siang, sore, pertanyaannya senada, dan jawabannya pun sama. “Menunggu balasan pesan dari Editor yang menunggu keputusan dari pusat.”Itu pun masih belum dipercayai dengan berbagai argumen dari sudut pandang CEO.Huft! Susah ngomong sama lelaki satu ini. Untungnya aku mendapat pesan dari Editor tepat saat makan siang dan orang yang menyebalkan ini datang untuk makan.[Pengumuman lomba menulis novel akan ditayangkan tepat jam 23.00] Pesan di layar ponsel.Tentu saja aku sambut dengan gembira. Lega karena apa yang aku lakukan berujung pada nanti malam, sekaligus terbebas dari tagihan si mas satu ini. Imbasnya, dia ngotot tidak mau pulang sampai pengumuman dilihat dengan mata kepalanya sendiri.“Yakin lah. Daripada aku pulang dan tidak bisa tidur karena kepikiran. Iya, kan?”