Bicara dengan orang tepat memang menjadikan pandangan menjadi luas. Rongga kepalaku yang mulanya disesakkan dengan pikiran negatif, sekarang mulai dipenuhi dengan harapan.“Mana ada hubungan itu mulus tanpa hambatan. Justru kalau seperti itu patut dicurigai,” ucap Ria tadi.“Kenapa? Bukankah itu yang patut disyukuri? Semua dimudahkan.”Suara tawa Ria terdengar. “Raya. Tidak ada orang yang sempurna dan persis sama dengan apa yang kita harapkan. Kalau ada, bisa jadi yang nampak hanya kebohongan karena tuntutan kesempurnaan. Kamu mau hubunganmu penuh dengan kepura-puraan?”Aku mulai sadar dengan otakku yang bebal ini. Padahal saat aku menulis cerita, semua yang bersifat petuah mengalir begitu saja. Tak jarang pembaca banyak mengucapkan terima kasih karena mendapat inspirasi setelah membaca ceritaku. Namun, saat menjalani langsung ternyata tidak semudah itu. Kepala ini sering dikuasai emosi yang tidak pada tempatnya.“Kalian itu masa-masa penyesuaian, Yak. Dua kepala dari latar belakang b
“Lucu banget! Aku sampai lupa sama umur,” ucapku berakhir dengan membekap mulut. Aku tidak bisa menahan tawa teringat kejadian tadi malam.Ria yang menemuiku di kantin juga tertawa mendengar ceritaku ini. Tentu saja hanya cerita yang aman di dengar orang lain. Selebihnya dinikmati di hati saja.Niat awalnya Ria rela ke kampus untuk memastikan aku baik-baik saja. Katanya semalaman dia tidak bisa tidur kepikiran dengan keluhanku semalam.“Aku tidak rela kalau kalian sampai sepakat untuk berpisah. Ternyata kalian malah sudah sayang-sayangan,” celetuk Ria dengan bibir mencibir.Ria juga mendatangkan Lisa untuk bergabung. Dia ini yang akan menjadi mata-mata di kampus dan memantau perkembangan hubunganku dengan Alex. Ada-ada saja dengan rencananya.“Ingat, ya, Lisa. Kamu kan sering bertemu dengan Pak Alexander di sini. Pantau mereka jangan sampai berpikir atau bertindak bodoh!” seru Ria dibalas anggukan Lisa.Si adik ini seakan pasrah dengan tugasnya. Anggukan ternyata bukan berarti mengert
Mendapat dukungan sahabat melebarkan senyuman dan meringankan langkah yang tadinya sudah menyerah. Merekalah orang yang tidak sedarah tetapi tidak rela kalau kebahagiaanku tidak sempurna.Keluar dari gedung perpustakaan, aku sudah disambut dengan pemandangan kekasihku yang berdiri di samping mobilnya. Bersendekap dengan kaki disilangkan. Berkaca mata hitam dengan baju kasual yang menambah berlipat pesona.‘Hmm … pantas saja mahasiswi yang jalan di depannya terlihat melambatkan jalannya,’ bisikku dalam hati sambil tersenyum. Dia memang tampan, tapi dia hanya untukku seorang.Mbak Leni yang menggandengku mendorongku untuk berjalan lebih cepat. Seakan mengerti hati ini sudah tidak sabar untuk mendekat.“Buruan sana! Sudah ditunggu, tuh!”“Mbak Leni tidak ingin menyapa dulu?”“Tidak, lah. Dia nanti marah kalau aku menghampiri laki-laki yang lebih ganteng,” ucapnya sambil menggerakkan dagu ke samping. Aku mengikuti arah gerakannya dan tertumpu pada laki-laki berkaca mata hitam yang melamba
“Raya! Terobosan yang kita rancang menjadi percontohan. Aku dipanggil ke pusat untuk berbagi pengalaman!” seru Alex melalui ponsel.Aku yang masih di stasiun duduk kembali. Niatku untuk kembali setelah kereta api yang membawa Ibu hilang dari pandangan, urung. Suaranya terdengar girang di sana. Rentetan cerita pun mengikuti dengan antusias. Menjadikan dia besar dan semakin mengecilkan diriku.“Ini termasuk penelitian yang dilakukan Lisa dan proyek di tempat Ria itu!” serunya tidak memberiku kesempatan untuk menyela.Aku merasa menjadi pendengar dan penonton yang wajib tersenyum dan bersorak atas keberhasilannya.“Aku hebat, kan? Raya, Sayang?!” Suaranya terdengar keras. Mungkin dia sadar aku hanya diam mendengarkan ceritanya sedari tadi.“I-iya! Kamu hebat!” seruku setelah terlarut dengan rasa aneh yang menyelusup.Aku mengerti harusnya aku senang mendengar keberhasilan sang kekasih. Namun, kenapa ada setitik ketidakrelaan? Bukan karena dia, tapi karena keterlambatanku. Dia yang melesa
Kekasihku yang singgah tidak lama di meja kami, memantik lontaran godaan Lisa dan Ria sampai acara berakhir. “Pak Alexander kalau kerja serius dan galak. Ternyata bisa romantis-romantisan, ya?” ucap Lisa si hantu laboratorium. Tatapan mata sahabatku ini tidak terlepas dari lelaki yang baru saja menciumku. Begitu juga aku sambil menangkup pipi yang meninggalkan jejak geleyar indah akibat perlakuannya. “Memang Pak Alexander selalu begitu, ya,Mbak?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. “Iya, lah. Kalau tidak bersikap manis, untuk apa dijadikan kekasih.” “Lisa, Lisa. Kalau pertanyaanmu dijawab dengan jujur, nanti kamu terkejut-kejut? Coba kamu pikir, di depan kita saja berani cium kening. Nah kalau berdua saja apa yang mereka lakukan?” celetuk Ria disambut anggukan Lisa seperti baru tersadar.” “I see. Jadi Mbak Raya dan Pak Alex sudah__” “Hus! Itu rahasia!” sahutku memotong ucapan yang terdengar sudah menuduh. “Makanya punya pacar supaya bisa menikmati indahnya cinta,” celetuk
Seketika tanah tempatku berpijak seakan runtuh. Sama persis dengan impianku yang sebelumnya sudah terbangun. Harusnya dia menyodorkan tangan dengan sendirinya dan menyambut cincin di jari manis dengan senyuman bahagia.Namun yang aku dapati sekarang terlihat lain.Sorot matanya persis seperti dulu, saat dia dalam dilema menentukan menerimaku menjadi kekasihku atau tidak.Aku berusaha menenangkan diri, menekan rasa gusar ini. Wanita berbintang libra seperti Raya memang sering bimbang saat akan melangkahkan kaki. Sudah aku kupas habis segala tentang kekasihku ini. Dia akan melakukan sesuatu dengan ketulusan hati. Aku harus lebih bersabar.Kedua sudut bibir ini kuciptakan senyuman sebelum memulai berbicara.“Raya, Sayang. Aku tahu kamu pasti belum siap, kan? Aku akan menunggumu untuk menyematkan cincin ini,” ucapku sambil menutup kembali kotak kecil berkulit beludru hitam. Mungkin kejutanku ini terlalu cepat untuknya.Aku kembali berdiri dan memberi tanda. Alunan musikpun mengalun dengan
“Raya, Raya. Kamu ini terlalu bodoh. Di luar sana para wanita berlomba untuk mendapatkan posisimu, kamu malah menyia-nyiakan kesempatan,” ucap Ria terdengar kesal.Pulang diantar Alex, aku langsung menelpon kembali Ria yang dari tadi penasaran dengan kisahku. Aku menunjukkan cincin yang statusnya hanya titipan karena aku tolak.“Aku tidak enak, Ria. Aku belum merasa layak untuk Alex. Kalau teman jalan seperti sekarang, hatiku masih tenang. Tapi kalau sebagai tunangan … aku merasa itu masih membebani diriku.”Wajah Ria di layar ponsel terlihat mengkerut. Terlihat kalau apa yang aku ucapkan tidak masuk di kepalanya. Kepalanya menggeleng-geleng.“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu.”Aku tertawa kecil. Kok dia, aku pun bingung dengan apa yang aku rasakan. Hati ini berbunga berjalan di sampingnya, tapi saat diseriusi justru mencuat rasa tidak nyaman.“Kamu tahu, kan? Kalau aku memakai cincin ini berarti dia menjadikan aku calon istrinya?”“Iya. Dan itu suatu anugrah, kan?”Aku menghela nap
Matanya yang bulat dan bersinar tajam menatapku, seakan menguliti siapa aku sebenarnya. Dahinya yang putih klimis terlihat berkerut seiring dengan diriku yang terikut memicingkan mata.Setelah Pak Wira memanggilku, dia pamit pergi mengambil minum katanya. Pasti ini sekadar alasan untuk memberi ruang kepada wanita ini denganku.“Kamu yang namanya Nakaya Raya?” ucapnya terdengar ragu.Nadanya seakan menuduh kalau aku tidak pantas menyandang nama itu. Bibirnya pun berkerut tapi tidak mengurangi kecantikan wajahnya. Dan sekarang, kedua tangannya bersendekap dengan tatapan masih lekat menuntut kepastian.Bohong kalau aku tidak merasa diremehkan. Sikap wanita ini kebalikan dengan penampilan yang enak dipandang mata.‘Sosok ginian pantas dijadikan pemeran antagonis,’ pikirku.Entah dia dari mana mendapat namaku. Mungkin dia dari fakultas lain atau kalau menilik penampilannya, dia bukan orang sembarangan. Aku tidak mengenal merk terkenal dan mahal, tapi apa yang dibadannya terlihat eksklusive
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu