Kejatuhan Bisnis Brandon yang dulunya berjaya kini berada di ambang kehancuran. Semua orang di industri tahu bahwa kejatuhan ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari rencana licik yang dirancang oleh Erlan dan dua sepupunya, Vito dan Bara. Ketiganya adalah pengusaha sukses dengan pengaruh besar dan kekuatan yang tak terhitung di dunia bisnis.Di sebuah ruang rapat besar di kantor pusat perusahaan Erlan, ketiga sepupu itu duduk bersama, merayakan kemenangan mereka dengan senyum terbaik. Di tengah ruangan, layar besar menampilkan berita terbaru tentang kebangkrutan perusahaan Brandon."Erlan, Bro! Lo benar-benar luar biasa," ucap Vito sambil mengangkat gelasnya. "Gue tidak percaya kita akhirnya bisa menghancurkan Brandon."Erlan tersenyum penuh kemenangan. "Semua ini karena kerja sama kita. Brandon tidak akan pernah tahu apa yang menimpanya."Bara, yang duduk di ujung meja, menatap layar dengan puas. "Brandon pantas mendapatkannya. Ingat malam itu? Ketika dia menjebakmu da
Kehebohan hari berikutnya,Bisnis Jordan dan ayahnya, Tuan Baldi, yang dulu berjaya, kini berada di ambang kehancuran. Kejatuhan mereka adalah hasil dari rencana teliti yang dirancang oleh Arjuna, seorang ahli strategi bisnis yang bertekad membantu sepupunya, Erlan. Arjuna tak memberi ampun kepada Jordan dan Tuan Baldi setelah mengetahui bahwa mereka berani mengusik rumah tangga Erlan dan Mitha.Di kantor pusat perusahaan Arjuna, sebuah pertemuan penting sedang berlangsung. Setelah pulih dari rumah sakit, pria tampan itu memutuskan untuk segera masuk kantor dan menyelesaikannya semuanya.Arjuna duduk di ujung meja, memimpin rapat dengan kehadiran tim intinya."Seperti yang kalian tahu, kita telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk melemahkan posisi bisnis Tuan Jordan dan Tuan Baldi," seru Arjuna dengan suara tegas. "Sekarang, kita akan memastikan mereka tidak bisa bangkit lagi."Salah satu eksekutif, seorang pria bernama Raka, mengangguk. "Pak Bos, Anda tidak perlu khawati
Berita kejatuhan bisnis Jordan dan Tuan Baldi tersebar luas, dan kabar itu akhirnya sampai ke telinga Erlan. Saat itu, Erlan sedang duduk di kantornya, mendiskusikan strategi bisnis terbaru dengan kedua sepupunya, Vito dan Bara."Bro Erlan, Lo sudah dengar tentang Jordan dan Tuan Baldi?" tanya Vito sambil menyandarkan diri di kursinya.Erlan mengangguk."Ya, gue sudah dengar. Apa mereka benar-benar telah jatuh?"Bara tersenyum penuh arti."Itu semua karena Arjuna. Dia yang merancang rencana untuk menjatuhkan mereka."Apa?”Erlan terkejut mendengar ini. Perasaannya seketika menjadi campur aduk, antara rasa terima kasih dan rasa bersalah. Arjuna telah banyak membantunya, namun dia juga ingat saat-saat marahnya kepada Arjuna.Vito melihat perubahan ekspresi Erlan dan menepuk pundaknya. "Bro Erlan, gue pikir ini saatnya Lo menemui Arjuna. Ucapkan terima kasih padanya dan mungkin ... meminta maaf."Erlan menarik napas dalam. "Kalian benar. Gue sudah terlalu lama menyimpan perasaan bersal
Sore itu, selepas pulang kantor, Erlan merasa gugup dan penuh harap. Dia masih mengingat nasihat sepupunya, Arjuna, yang memintanya untuk mendekati Mitha dengan hati terbuka. Pertengkaran terakhir mereka telah membuat jarak di antara keduanya semakin lebar, terutama setelah Mitha mengalami keguguran. Erlan tahu dia harus memperbaiki hubungan mereka, dan sore ini sang pria bertekad untuk melakukannya.Erlan mengemudi mobilnya menuju rumah orang tuanya, Kediaman Levin, di mana Mitha telah tinggal sejak mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Di kursi penumpang, seikat bunga mawar merah terletak rapi, siap untuk diberikan kepada istrinya sebagai tanda permintaan maaf dan cintanya yang begitu besar untuk Mitha. Saat mobilnya meluncur di jalan, Erlan merasa hatinya, campur aduk antara harapan dan ketakutan. “Apa yang akan aku katakan pada Mitha? Apakah dia akan menerima ku kembali?”Setibanya di rumah, Erlan memarkir mobilnya dan melangkah keluar dengan membawa bunga di tangannya. Rumah
Beberapa waktu yang lalu,Saat mobil sedan mewah milik Opa Robi melaju di jalan berliku menuju Lembang, Bandung, hati Mitha terasa berdebar. Vila pribadi milik Keluarga Levin, mertuanya, menjadi tempat yang akan menjadi pelariannya sementara, tampak semakin dekat. Dengan latar belakang perbukitan yang hijau dan udara yang sejuk, vila itu seolah-olah menyambutnya dengan keheningan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya.Opa Robi menoleh ke belakang, melihat Mitha yang duduk di kursi belakang dengan tatapan kosong. Oma Rini di sampingnya memegang tangannya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Mereka tahu betapa berat beban yang dipikul Mitha saat ini."Vilanya sudah hampir dekat. Sabar ya," ucap Opa Robi, suaranya penuh kasih sayang.Mitha mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya masih terluka. Vila Keluarga Levin, tempat yang diperuntukkan untuk momen liburan keluarga , kini menjadi tempat perlindungannya dari dunia luar. Dari suaminya, Erlan, dan kenangan
Mitha tersenyum lebar ketika mobil yang dikemudikan Ayah Riski, mulai memasuki jalan berliku yang menanjak ke arah desa. Opa Robi yang baik hati itu, meminjam satu mobilnya untuk dipakai oleh keluarga Pak Riski. Pemandangan hijau yang membentang di sekeliling Mitha membuat hatinya terasa ringan. Sudah lama perempuan itu tidak merasakan udara sejuk dan segar seperti ini. Di sebelahnya duduk ibunya, Bunda Luna,juga tampak ceria. Mereka bertiga akhirnya akan menghabiskan waktu bersama di rumah Nenek Remi di sebuah desa yang masih berlokasi di daerah Jawa Barat."Bunda, lihat! Itu kebun teh!" seru Mitha dengan antusias saat mereka melewati deretan tanaman teh yang rapi. "Iya, Mitha. Cantik sekali, ya?" jawab Bunda Luna sambil tersenyum. "Nanti kita bisa jalan-jalan di sana."Tak berapa lama setelah itu, mobil berhenti di depan rumah Nenek Remi, sebuah rumah kayu sederhana tapi hangat. Nenek Remi sudah berdiri di depan pintu, melambaikan tangan dengan semangat. "Selamat datang! Mitha,
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyelimuti langit biru yang cerah, sementara Erlan melajukan mobilnya di jalan berkelok-kelok menuju desa kecil di daerah Jawa Barat. Dia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan pagi, sementara mobilnya meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan dan kebun teh yang membentang di sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak karuan. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam pikirannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melihat Mitha, istrinya. Apa Mitha akan menerimanya kembali, pertanyaan itu terus menghantuinya dari tadi.Sesampainya di desa, Erlan memarkir mobilnya di dekat pasar kecil yang ramai dengan aktivitas pagi. Dia turun dari mobil, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu-ibu yang sedang membawa keranjang belanjaan.“Permisi, Bu. Apa Ibu tahu rumah Nenek Remi?” tanyanya dengan sopan.Ibu itu menatapnya sebentar, kemudian tersenyum. “Oh, Nenek Remi? Tentu saja. Rumahnya ada
Setelah percakapan yang tegang di ruang tamu, Bunda Luna merasakan bahwa Erlan dan Mitha butuh waktu bersama untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka. Dengan suara lembut namun tegas, sang ibu berkata, “Mitha, bawakan koper Erlan ke dalam kamarmu. Ajak dia untuk tidur siang, suamimu pasti lelah setelah perjalanan jauh.”Mitha menatap ibunya sejenak, ada keraguan di matanya. Namun, dia tahu bahwa menolak permintaan ibunya bukanlah pilihan. Mitha menghela napas dan mengangguk. “Baik, Bu.” Kemudian dia beranjak ke arah koper Erlan yang tergeletak di sudut ruangan.Mitha mengangkat koper itu dan berjalan menuju kamarnya. Erlan mengikutinya dengan langkah pelan, rasa canggung jelas terlihat di wajahnya. Mereka berdua diam, hanya terdengar derit langkah mereka yang bergema di lantai rumah Nenek Remi.Begitu tiba di kamarnya, Mitha meletakkan koper Erlan di samping lemari kecil. Kamar itu sederhana, dengan dinding yang dihiasi beberapa foto keluarga dan jendela besar yang menghadap ke keb