Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri.
"Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas. Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka. "Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya. "Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum. "Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh. "Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu. "Acara apaan?" tanya Selena, bingung. "Pergi kemana atau mau ngapain gitu?" tanya Rangga lebih lanjut. Selena hanya menggelengkan kepala. "Santai aja, aku nggak kemana-mana. Kamu belajar aja, deh," jawab Selena, menyadari bahwa Rangga pasti sedang memeriksanya karena tugasnya untuk menjaga Selena. "Oke, hehe..." Rangga tersenyum lebar. Selena pun keluar dari kamar Rangga, dan Rangga menutup pintu kamar dengan pelan. Namun, saat berjalan ke arah jendela, Selena menyadari bahwa pintu jendela rumah masih terbuka. Ia mendekat untuk menutupnya, tapi tiba-tiba matanya tertuju pada sesuatu yang sangat aneh. Di langit yang mulai gelap, terlihat sesosok kereta kencana terbang menjauh, seolah meluncur dengan anggun di atas awan. Selena terdiam, terkejut. "Apa itu tadi?" gumamnya bingung. Ia merasa seolah baru saja melihat sesuatu yang mustahil, kereta kencana terbang di langit. Selena menutup pintu jendela dengan hati-hati, lalu menarik tirai ke samping, memastikan tidak ada cahaya yang masuk. Setelah itu, ia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Begitu sampai, ponselnya berdering, dan di layar tertera nama Nicholas yang langsung membuatnya tersenyum. "Halo, babang!" ujar Selena ceria, suaranya riang terdengar jelas. Nicholas terkekeh mendengar semangat di suara Selena. "Halo, lagi ngapain kamu, dek?" tanya Nicholas, penasaran. "Mau belajar, nih..." jawab Selena sambil menunjukkan buku yang terbuka di depannya. "Kok abang masih rebahan? Nggak masuk kelas?" tanya Selena, sedikit mencibir dengan nada usil. "Siang nanti masuknya, dek. Eh, butuh bantuan bikin PR nggak?" tawar Nicholas dengan suara santai. Selena langsung menyengir, wajahnya terlihat sangat lucu saat mengangguk-angguk. "Butuh banget, tau aja abang adek-nya kurang pinter," ujar Selena dengan canda. Nicholas pun terkekeh di ujung sana. "Bentar, cari buku yang lain dulu," jawab Selena sambil menggeser tumpukan buku di meja belajarnya, sementara Nicholas tetap setia menunggu. Nicholas memperhatikan layar ponselnya dengan seksama, tetapi bukan wajah Selena yang terlihat di sana. Ia malah melihat sosok yang berdiri tepat di belakang Selena. Sosok itu mengenakan pakaian hijau yang terkesan kuno, mirip dengan busana kerajaan, dan rambutnya disanggul rapi. Nicholas menatap lebih tajam, sosok itu tak bergerak, hanya memperhatikan Selena dengan tatapan tajam yang seolah menembus layar. "Dek, papa udah pulang belum?" tanya Nicholas, suaranya kini terdengar lebih khawatir, perasaan tak enak mulai menguasai dirinya. "Belum, papa tadi pagi bilang ada operasi di rumah sakit, jadi pulangnya nanti malam," jawab Selena, namun perasaan aneh mulai mengalir dalam dirinya. Ternyata, bukan hanya Nicholas yang melihat sosok itu. Selena pun merasakannya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dengan cepat ia memusatkan perhatian, menggunakan mata batinnya. Sosok itu kini benar-benar ada di belakangnya, persis seperti yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang di sekolah, hanya saja, matanya kini berbeda. Mata itu tak lagi tampak seperti mata reptil yang mengerikan, melainkan seperti mata manusia biasa, penuh misteri. "Dek..." suara Nicholas terdengar semakin cemas. "Apa yang terjadi?" "Aki..." Selena memanggil sosok yang sangat ia percayai dalam hatinya, dan tak lama setelah itu, sosoknya muncul di samping Selena. Sosok perempuan berpakaian hijau itu tersenyum penuh arti, senyum yang tampaknya menyimpan banyak makna, lalu seketika menghilang. Sosok Aki tidak mengejar, karena ia tahu bahwa Ratu itu belum melakukan apa-apa terhadap Selena. Jika Aki bertindak lebih dulu, itu berarti ia memulai pertempuran, dan itu adalah keputusan yang tidak diinginkan. "Huufftt..." Selena menghela nafas lega setelah sosok itu menghilang. Mengapa Selena memanggil Aki? Karena ia tahu dirinya bukan tandingan sosok Ratu itu. Selena sadar akan batas kemampuannya, dan sosok Ratu itu jelas lebih kuat serta berbahaya jika ia harus berhadapan dengannya sendirian. Jadi, ia memanggil Aki, berharap kekuatan Aki bisa menolongnya. Untungnya, Aki ternyata lebih kuat dari sosok Ratu itu, hingga akhirnya Ratu tersebut menghilang dengan sendirinya. "Dek, kamu nggak apa-apa?" tanya Nicholas dengan cemas. Selena menggeleng sambil tersenyum, berusaha menenangkan kekhawatiran Nicholas. "Ada Aki, hehehe..." sahut Selena, dan sosok Aki itu pun menghilang begitu saja. "Kenapa bisa ada sosok seperti Ratu itu? Nanti bilang papa untuk pagari rumah lagi, ya, dek," ujar Nicholas, khawatir. Selena mengangguk, menyetujui. "Hmm... bang, aku nggak sengaja mengganggu dia karena aku nolong calon tumbalnya," jawab Selena dengan nada sedikit bergurau. Nicholas memejamkan matanya, merasa semakin khawatir. "Dek, kan abang nggak selalu ada di sini sama kamu. Gimana kalau kamu kenapa-kenapa?" Nicholas berbicara dengan nada yang lebih serius, kekhawatirannya semakin dalam. "Nggak bang, aku pasti baik-baik aja... InsyaAllah. Kan ada papa, Rangga, Ustad Sholeh," jawab Selena, berusaha menenangkan Nicholas. "Tolong jangan sampe kamu kenapa-kenapa, ya, dek. Kalau kamu merasa nggak mampu, jangan dipaksakan. Bukan tugas kamu untuk menyelamatkan nyawa orang dari yang ghaib," pesan Nicholas dengan penuh perhatian. Selena tersenyum, mengangguk memahami. Selena merasakan kasih sayang Nicholas yang tulus. Walaupun mereka bukan saudara kandung, perhatian dan kebaikan Nicholas membuat Selena merasa sangat dekat dengannya. Bahkan, karena ketulusan Nicholas, Selena jadi sedikit manja, terutama kepada Nicholas saja. "Kalo dia nggak selamat, berarti memang takdirnya begitu. Kamu nggak perlu membahayakan nyawamu sendiri, paham?" ujar Nicholas dengan nada serius, berusaha menenangkan Selena. "Iya, bang," jawab Selena pelan, menyetujui dengan berat hati. "Janji sama abang, ya? Kadang kamu iya-iya aja, tapi tetep aja diam-diam nolong orang," kata Nicholas sambil sedikit ngomel. Selena terkekeh mendengar itu, merasa sedikit lucu dengan kekhawatiran Nicholas yang berlebihan. "Iya, janji," jawab Selena, sambil tersenyum, mencoba meyakinkan Nicholas. "Ya udah, jangan matiin video-nya, abang temenin kamu belajar sampai papa pulang. Kamu fokus belajar aja," kata Nicholas, memberi instruksi dengan nada ringan. "Siap, komandan!" jawab Selena ceria, membuat Nicholas tersenyum. Akhirnya, Selena mulai belajar dengan video Nicholas yang tetap menyala di ponselnya. Sesekali ia bertanya pada Nicholas mengenai PR yang sedang dikerjakannya. Meskipun tidak sedarah, Nicholas sangat sayang kepada Selena, entah karena amanat dari mendiang Raka atau memang Nicholas memang merasa terikat pada Selena. Hanya Nicholas sendiri yang tahu alasan pasti di balik perasaannya. Sampai akhirnya, Selena mulai mengantuk setelah menyelesaikan PR-nya. Ia berpamitan pada Nicholas untuk tidur, dan dengan lembut Nicholas menutup panggilan video itu, membiarkan Selena terlelap dalam tidurnya. Sementara itu di sisi lain, Nicholas sedang berada di kamar ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintunya. Ia bangun dan membuka pintu, dan di sana berdiri teman Nicholas, Justin, dengan wajah yang tampak lelah seperti baru bangun tidur. "Kenapa lu?" tanya Nicholas, sedikit bingung. Justin, teman sesama orang tanah air yang kebetulan satu universitas dengan Nicholas, terlihat buru-buru. "Nic, pinjemin gue baju dong, gue lupa belum laundry," jawab Justin, dengan nada kesal. "Ah, kebiasaan, lu cari aja di lemari," jawab Nicholas sambil melangkah menuju kamar mandi, tak terlalu peduli. Nicholas tinggal di sebuah apartemen yang dibeli oleh ayahnya. Apartemen itu terletak di kawasan strategis, namun harganya sangat tinggi. Teman dekat Nicholas, Justin, hanya menumpang di sana karena Nicholas merasa kasihan. Biaya sewa di tempat lain terlalu mahal, dan tinggal di asrama terasa membosankan, tidak sebanding dengan kebebasan yang didapat di apartemen. Saat Nicholas sedang di kamar mandi, Justin yang duduk di ruang tamu tak bisa menahan rasa penasaran. Layar ponsel Nicholas yang menyala mengundang perhatiannya karena ada notifikasi pesan masuk. Namun, yang benar-benar menarik perhatian Justin adalah wallpaper di layar ponsel Nicholas. Foto seorang gadis yang sangat cantik dan menawan, meski penampilannya tidak terlalu feminim, namun terlihat sangat menggemaskan dan lucu, gadis itu adalah Selena. Nicholas keluar dari kamar mandi, dan Justin pun tak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. "Nic, serius gue tanya… yang di HP lu itu beneran adik lu?" tanya Justin dengan nada penuh rasa ingin tahu. Nicholas melirik sekilas ponselnya, menyadari apa yang sedang Justin perhatikan. "Iya, kenapa?" jawab Nicholas santai, namun tampak sedikit bingung dengan pertanyaan Justin. "Dari sejuta wallpaper keindahan dunia atau foto artis, emang harus foto adik lu yang lu pasang?" Justin menggoda dengan senyum nakal. Nicholas hanya menghela napas, "Lu tau sendiri kan kalo gue nggak mau berkomitmen sama siapa-siapa di sini? Gue nggak mau ada cewek deket-deket gue, makanya satu-satunya foto yang gue pasang ya foto adik gue sendiri." Justin hanya melongo mendengar penjelasan Nicholas. "Agak aneh emang lu… padahal cewek-cewek bule cakep-cakep banyak, tuh," ujar Justin sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Udah sana, gue mau siap-siap," kata Nicholas, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut. Justin pun akhirnya pergi, masih dengan kepala yang terangguk-angguk, tak habis pikir dengan sikap Nicholas. Nicholas menatap layar ponselnya sejenak, tersenyum melihat foto Selena yang sedang memegang cup boba favoritnya. Tanpa sadar, senyum itu semakin lebar saat ia kembali membuka lemari pakaian dan mulai menyiapkan dirinya untuk keluar.Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny
Selena masuk kedalam kamar-kamar yang ada di ruangan itu, tapi Selena tak menemukan keberadaan Faaz, Selena terus memanggil Faaz, berharap akan ada sahutan. Dan saat itu Selena melihat nenek tua itu sedang muntah-muntah darah."Kak Faaz!" Panggil Selena dengan keras.Selena melihat Intan juga berubah menjadi mengerikan, Intan merangkak kesakitan, seluruh wajah nya berdarah-darah. Nenek tua itu tampak ngesot di lantai dan menuju ke sebuah pintu yang belum Selena masuki, Selena mengikutinya dan dia melihat Faaz."Kak Faaz!" Selena bergegas masuk dan langsung menghampiri Faaz yang sedang tak sadarkan diri."Kak Faaz! Bangun kak!" Selena menepuk Faaz tapi Faaz tetap tidak sadarkan diri."Kak Faaz, bangun ini Selena." Ujar Selena, dan saat itu Faaz membuka matanya."Kak, ayo kita pergi dari sini." Ujar Selena, dia menggandeng tangan Faaz tapi Faaz kebingungan."Kita dimana?" Tanya nya."Aku jelasin ntar, ayo sekarang kita pergi." Ujar Selena, dan menarik tangan Faaz.Faaz menutup mulut nya
Faaz duduk dan keheranan karena semua orang sedang mengaji, dan dia diletakkan di tengah seperti mayit. Tapi dari tatapan nya, Faaz terlihat seperti bukan Faaz.Ibunya hendak bangun dan menghampiri Faaz tapi dilarang oleh Selena."Jangan tante, tante harus tetap duduk." Ujar Selena."Kalian ngapain ngaji kayak gini!?" Faaz marah."Karena kami ingin mengeluarkan kamu, dari tubuh kak Faaz." Ujar Selena."Hei! Kamu pikir siapa kamu!? Suruh mereka berhenti!" Ujar Faaz, tapi tentu Selena tidak mendengarkan nya."Kamu nggak kenal dia, Fa? Dia Selena, bukan nya lo sering bahas dia?" Ujar Doni, dan Faaz tampak mengalami sakit kepala.'Selena?' Faaz seolah berpikir keras, siapa gerangan Selena yang dimaksud. "Kak Faaz nggak bakal inget, dia bukan dia karena di otak nya cuma dipenuhi oleh Intan." Ujar Selena, seketika Faaz menatap Selena."Mana pacar gue! Kalian apain pacar gue!" Faaz hendak menghampiri Selena tapi langkah nya terhenti karena dia seolah menabrak pembatas."Om, tante.. semuanya
Akhirnya pada sore harinya ketika kuliah berakhir, Doni langsung mencegah Faaz yang hendak keluar kelas. Faaz juga sudah mendapat panggilan dari ayah nya tapi Faaz menolak pulang dengan alasan dia ada tugas yang harus dikerjakan. "Fa, bokap lu nelpon gue, dia bilang minta lu pulang." Ujar Doni, Faaz menatap Doni dengan tatapan yang sangat dingin. "Lu yang minta, kan? Mau ngapain si lu!?" Ujar Faaz dan Doni sedikit tertegun. "Fa, lu tuh dalam bahaya dan kita semua sedang berusaha nyelamatin elu. Kita semua care sama nyawa lu jadi please pulang ya, Fa." Ujar Doni, Faaz hanya tersenyum dingin. "Nggak! Jangan ikut campur urusan gue, jangan deket-deket gue, jangan ganggu gue, lu paham!?" Ujar Faaz dengan penuh penekanan. Faaz hendak melangkah pergi tapi Doni akhirnya melakukan hal nekat. "BUGH!!" "UKH!" Doni memukul kepala Faaz sampai pingsan. "Sorry, Fa. Kalo nggak gini, lu nggak slamet." Ujar Doni, lalu menyeret tubuh Faaz. Selena sedang berjalan menuju ke kelas Faaz dan