Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri.
"Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas. Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka. "Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya. "Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum. "Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh. "Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu. "Acara apaan?" tanya Selena, bingung. "Pergi kemana atau mau ngapain gitu?" tanya Rangga lebih lanjut. Selena hanya menggelengkan kepala. "Santai aja, aku nggak kemana-mana. Kamu belajar aja, deh," jawab Selena, menyadari bahwa Rangga pasti sedang memeriksanya karena tugasnya untuk menjaga Selena. "Oke, hehe..." Rangga tersenyum lebar. Selena pun keluar dari kamar Rangga, dan Rangga menutup pintu kamar dengan pelan. Namun, saat berjalan ke arah jendela, Selena menyadari bahwa pintu jendela rumah masih terbuka. Ia mendekat untuk menutupnya, tapi tiba-tiba matanya tertuju pada sesuatu yang sangat aneh. Di langit yang mulai gelap, terlihat sesosok kereta kencana terbang menjauh, seolah meluncur dengan anggun di atas awan. Selena terdiam, terkejut. "Apa itu tadi?" gumamnya bingung. Ia merasa seolah baru saja melihat sesuatu yang mustahil, kereta kencana terbang di langit. Selena menutup pintu jendela dengan hati-hati, lalu menarik tirai ke samping, memastikan tidak ada cahaya yang masuk. Setelah itu, ia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Begitu sampai, ponselnya berdering, dan di layar tertera nama Nicholas yang langsung membuatnya tersenyum. "Halo, babang!" ujar Selena ceria, suaranya riang terdengar jelas. Nicholas terkekeh mendengar semangat di suara Selena. "Halo, lagi ngapain kamu, dek?" tanya Nicholas, penasaran. "Mau belajar, nih..." jawab Selena sambil menunjukkan buku yang terbuka di depannya. "Kok abang masih rebahan? Nggak masuk kelas?" tanya Selena, sedikit mencibir dengan nada usil. "Siang nanti masuknya, dek. Eh, butuh bantuan bikin PR nggak?" tawar Nicholas dengan suara santai. Selena langsung menyengir, wajahnya terlihat sangat lucu saat mengangguk-angguk. "Butuh banget, tau aja abang adek-nya kurang pinter," ujar Selena dengan canda. Nicholas pun terkekeh di ujung sana. "Bentar, cari buku yang lain dulu," jawab Selena sambil menggeser tumpukan buku di meja belajarnya, sementara Nicholas tetap setia menunggu. Nicholas memperhatikan layar ponselnya dengan seksama, tetapi bukan wajah Selena yang terlihat di sana. Ia malah melihat sosok yang berdiri tepat di belakang Selena. Sosok itu mengenakan pakaian hijau yang terkesan kuno, mirip dengan busana kerajaan, dan rambutnya disanggul rapi. Nicholas menatap lebih tajam, sosok itu tak bergerak, hanya memperhatikan Selena dengan tatapan tajam yang seolah menembus layar. "Dek, papa udah pulang belum?" tanya Nicholas, suaranya kini terdengar lebih khawatir, perasaan tak enak mulai menguasai dirinya. "Belum, papa tadi pagi bilang ada operasi di rumah sakit, jadi pulangnya nanti malam," jawab Selena, namun perasaan aneh mulai mengalir dalam dirinya. Ternyata, bukan hanya Nicholas yang melihat sosok itu. Selena pun merasakannya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dengan cepat ia memusatkan perhatian, menggunakan mata batinnya. Sosok itu kini benar-benar ada di belakangnya, persis seperti yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang di sekolah, hanya saja, matanya kini berbeda. Mata itu tak lagi tampak seperti mata reptil yang mengerikan, melainkan seperti mata manusia biasa, penuh misteri. "Dek..." suara Nicholas terdengar semakin cemas. "Apa yang terjadi?" "Aki..." Selena memanggil sosok yang sangat ia percayai dalam hatinya, dan tak lama setelah itu, sosoknya muncul di samping Selena. Sosok perempuan berpakaian hijau itu tersenyum penuh arti, senyum yang tampaknya menyimpan banyak makna, lalu seketika menghilang. Sosok Aki tidak mengejar, karena ia tahu bahwa Ratu itu belum melakukan apa-apa terhadap Selena. Jika Aki bertindak lebih dulu, itu berarti ia memulai pertempuran, dan itu adalah keputusan yang tidak diinginkan. "Huufftt..." Selena menghela nafas lega setelah sosok itu menghilang. Mengapa Selena memanggil Aki? Karena ia tahu dirinya bukan tandingan sosok Ratu itu. Selena sadar akan batas kemampuannya, dan sosok Ratu itu jelas lebih kuat serta berbahaya jika ia harus berhadapan dengannya sendirian. Jadi, ia memanggil Aki, berharap kekuatan Aki bisa menolongnya. Untungnya, Aki ternyata lebih kuat dari sosok Ratu itu, hingga akhirnya Ratu tersebut menghilang dengan sendirinya. "Dek, kamu nggak apa-apa?" tanya Nicholas dengan cemas. Selena menggeleng sambil tersenyum, berusaha menenangkan kekhawatiran Nicholas. "Ada Aki, hehehe..." sahut Selena, dan sosok Aki itu pun menghilang begitu saja. "Kenapa bisa ada sosok seperti Ratu itu? Nanti bilang papa untuk pagari rumah lagi, ya, dek," ujar Nicholas, khawatir. Selena mengangguk, menyetujui. "Hmm... bang, aku nggak sengaja mengganggu dia karena aku nolong calon tumbalnya," jawab Selena dengan nada sedikit bergurau. Nicholas memejamkan matanya, merasa semakin khawatir. "Dek, kan abang nggak selalu ada di sini sama kamu. Gimana kalau kamu kenapa-kenapa?" Nicholas berbicara dengan nada yang lebih serius, kekhawatirannya semakin dalam. "Nggak bang, aku pasti baik-baik aja... InsyaAllah. Kan ada papa, Rangga, Ustad Sholeh," jawab Selena, berusaha menenangkan Nicholas. "Tolong jangan sampe kamu kenapa-kenapa, ya, dek. Kalau kamu merasa nggak mampu, jangan dipaksakan. Bukan tugas kamu untuk menyelamatkan nyawa orang dari yang ghaib," pesan Nicholas dengan penuh perhatian. Selena tersenyum, mengangguk memahami. Selena merasakan kasih sayang Nicholas yang tulus. Walaupun mereka bukan saudara kandung, perhatian dan kebaikan Nicholas membuat Selena merasa sangat dekat dengannya. Bahkan, karena ketulusan Nicholas, Selena jadi sedikit manja, terutama kepada Nicholas saja. "Kalo dia nggak selamat, berarti memang takdirnya begitu. Kamu nggak perlu membahayakan nyawamu sendiri, paham?" ujar Nicholas dengan nada serius, berusaha menenangkan Selena. "Iya, bang," jawab Selena pelan, menyetujui dengan berat hati. "Janji sama abang, ya? Kadang kamu iya-iya aja, tapi tetep aja diam-diam nolong orang," kata Nicholas sambil sedikit ngomel. Selena terkekeh mendengar itu, merasa sedikit lucu dengan kekhawatiran Nicholas yang berlebihan. "Iya, janji," jawab Selena, sambil tersenyum, mencoba meyakinkan Nicholas. "Ya udah, jangan matiin video-nya, abang temenin kamu belajar sampai papa pulang. Kamu fokus belajar aja," kata Nicholas, memberi instruksi dengan nada ringan. "Siap, komandan!" jawab Selena ceria, membuat Nicholas tersenyum. Akhirnya, Selena mulai belajar dengan video Nicholas yang tetap menyala di ponselnya. Sesekali ia bertanya pada Nicholas mengenai PR yang sedang dikerjakannya. Meskipun tidak sedarah, Nicholas sangat sayang kepada Selena, entah karena amanat dari mendiang Raka atau memang Nicholas memang merasa terikat pada Selena. Hanya Nicholas sendiri yang tahu alasan pasti di balik perasaannya. Sampai akhirnya, Selena mulai mengantuk setelah menyelesaikan PR-nya. Ia berpamitan pada Nicholas untuk tidur, dan dengan lembut Nicholas menutup panggilan video itu, membiarkan Selena terlelap dalam tidurnya. Sementara itu di sisi lain, Nicholas sedang berada di kamar ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintunya. Ia bangun dan membuka pintu, dan di sana berdiri teman Nicholas, Justin, dengan wajah yang tampak lelah seperti baru bangun tidur. "Kenapa lu?" tanya Nicholas, sedikit bingung. Justin, teman sesama orang tanah air yang kebetulan satu universitas dengan Nicholas, terlihat buru-buru. "Nic, pinjemin gue baju dong, gue lupa belum laundry," jawab Justin, dengan nada kesal. "Ah, kebiasaan, lu cari aja di lemari," jawab Nicholas sambil melangkah menuju kamar mandi, tak terlalu peduli. Nicholas tinggal di sebuah apartemen yang dibeli oleh ayahnya. Apartemen itu terletak di kawasan strategis, namun harganya sangat tinggi. Teman dekat Nicholas, Justin, hanya menumpang di sana karena Nicholas merasa kasihan. Biaya sewa di tempat lain terlalu mahal, dan tinggal di asrama terasa membosankan, tidak sebanding dengan kebebasan yang didapat di apartemen. Saat Nicholas sedang di kamar mandi, Justin yang duduk di ruang tamu tak bisa menahan rasa penasaran. Layar ponsel Nicholas yang menyala mengundang perhatiannya karena ada notifikasi pesan masuk. Namun, yang benar-benar menarik perhatian Justin adalah wallpaper di layar ponsel Nicholas. Foto seorang gadis yang sangat cantik dan menawan, meski penampilannya tidak terlalu feminim, namun terlihat sangat menggemaskan dan lucu, gadis itu adalah Selena. Nicholas keluar dari kamar mandi, dan Justin pun tak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. "Nic, serius gue tanya… yang di HP lu itu beneran adik lu?" tanya Justin dengan nada penuh rasa ingin tahu. Nicholas melirik sekilas ponselnya, menyadari apa yang sedang Justin perhatikan. "Iya, kenapa?" jawab Nicholas santai, namun tampak sedikit bingung dengan pertanyaan Justin. "Dari sejuta wallpaper keindahan dunia atau foto artis, emang harus foto adik lu yang lu pasang?" Justin menggoda dengan senyum nakal. Nicholas hanya menghela napas, "Lu tau sendiri kan kalo gue nggak mau berkomitmen sama siapa-siapa di sini? Gue nggak mau ada cewek deket-deket gue, makanya satu-satunya foto yang gue pasang ya foto adik gue sendiri." Justin hanya melongo mendengar penjelasan Nicholas. "Agak aneh emang lu… padahal cewek-cewek bule cakep-cakep banyak, tuh," ujar Justin sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Udah sana, gue mau siap-siap," kata Nicholas, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut. Justin pun akhirnya pergi, masih dengan kepala yang terangguk-angguk, tak habis pikir dengan sikap Nicholas. Nicholas menatap layar ponselnya sejenak, tersenyum melihat foto Selena yang sedang memegang cup boba favoritnya. Tanpa sadar, senyum itu semakin lebar saat ia kembali membuka lemari pakaian dan mulai menyiapkan dirinya untuk keluar.Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya