Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.
Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi. Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya. "Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir. "Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas. "Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku..." "Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya. Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu, sekarang Rangga lebih sering menundukkan kepala dan tidak pernah menatap langsung. "Rangga, kamu sakit?" tanya Selena cemas. "Ah! E- enggak, aku nggak apa-apa," jawab Rangga, terlihat semakin gugup. "Akhir-akhir ini kamu aneh. Apa ada yang menindas kamu di sekolah?" tanya Selena khawatir. "Tidak ada," jawab Rangga singkat. Selena mengangkat dagu Rangga agar bisa menatapnya, dan Rangga terkejut, wajahnya langsung memerah. "Demam ya? Muka kamu merah banget, ayo ke UKS," kata Selena, langsung menarik Rangga pergi. "Eh! Selena, aku nggak sakit," kata Rangga, tapi Selena tetap menariknya ke UKS. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Linggar. Linggar melihat Selena yang menggandeng tangan Rangga, dan langsung menatap Rangga dengan tatapan dingin. "Linggar, tolongin Rangga, dia sakit," kata Selena dengan panik. Sejak hari di mana Selena berjanji untuk membantu Linggar, kedekatan mereka semakin terasa. Namun, kedekatan itu hanya terjalin antara Selena dan Linggar, bukan dengan Rangga. Selena sudah menceritakan permasalahan yang dialami Linggar kepada Ustadz Sholeh, dan kini Linggar mulai merasa sedikit lebih baik. "Yah, dokternya mana?” Selena melirik ke sekeliling, “Linggar, tungguin Rangga sebentar, aku cari dokter," kata Selena sambil berlari. "Selena, aku nggak sakit!" teriak Rangga berusaha mengejar, tapi bahunya ditahan oleh Linggar. Linggar menatap Rangga dengan tajam, sementara Rangga menatap Linggar dengan kebingungan. Rangga terkejut ketika Linggar meremas bahunya, dan ia pun menatap Linggar dengan serius, lalu bertanya. "Kenapa, lu?" tanya Rangga, merasa heran dengan sikap Linggar. "Lu suka sama Selena?" tanya Linggar tanpa basa-basi. Rangga langsung menelan ludah mendengar pertanyaan itu. "Gue sama dia sahabatan sejak kecil, nggak ada alasan buat gue nggak suka dia," jawab Rangga, tapi Linggar hanya tersenyum sinis mendengar penjelasan itu. "Gue yakin lu nggak bodoh, lu paham maksud gue kan? Apa lu yakin perasaan lu ke Selena cuma sebatas sahabat?" ujar Linggar dengan tatapan yang semakin tajam. Rangga terdiam, tak bisa menjawab. Melihat itu, Linggar tersenyum miring lalu berbisik di dekat telinga Rangga. "Lu senang kan jadi bahan gosip di sekolah? Lu nggak sadar posisi lu apa? Minimal sadar diri, Selena sangat menghargai lu sebagai sahabat, jangan rusak kepercayaan dia," kata Linggar, lalu pergi meninggalkan Rangga yang termenung sendirian di ruang UKS. Rangga merenung mendengar kata-kata Linggar. Sebenarnya, dia juga tidak suka menjadi bahan gosip di sekolah. Dia sadar posisinya hanya sebagai penjaga dan sahabat Selena. Rangga tahu benar di mana dia harus menempatkan dirinya. Dia menyadari perasaan lain yang dia miliki untuk Selena, namun ia tetap berusaha menyembunyikannya dan terus berusaha menjadi sahabat yang baik. Tak disangka, Linggar menyadari perasaannya itu. Di luar UKS, Linggar berpapasan dengan Selena yang membawa dokter dengan tergesa-gesa. Linggar menahan tangan Selena sementara dokter itu masuk ke UKS. "Rangga masih di dalam, kan?" tanya Selena, dan Linggar mengangguk dengan senyum tipis. "Dia cuma demam, udah gue kasih paracetamol, nanti juga sembuh," kata Linggar, berbohong. "Oh, Alhamdulillah..." Selena merasa lega. "Ayo," Linggar tiba-tiba menarik Selena pergi dari depan UKS. "E-eh! Rangga masih di dalam, belum selesai," ujar Selena. "Dia udah gede, nggak perlu dijagain terus," jawab Linggar sambil menggandeng tangan Selena dan membawanya pergi. Rangga yang melihat dari ambang pintu hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak sakit dan menolak diperiksa oleh dokter. Rangga hanya bisa menghela napas sambil melihat Selena pergi bersama Linggar. Sementara itu, Linggar membawa Selena masuk ke kelas, dan teman-teman sekelas mulai berbisik-bisik tentang Selena dan Linggar yang terlibat dalam kisah cinta segitiga. "Selena, semalam di rumahku banyak ular masuk. Gue nggak tahu dari mana asalnya, tapi tiba-tiba banyak banget di kamar gue," kata Linggar setelah mereka duduk di meja Selena. "Sepertinya Ratu-nya sangat marah. Ustadz Sholeh bilang dia udah senggang dan bakal sampai nanti malam. Aku bakal bawa dia datang ke rumah kamu nanti," jawab Selena, dan Linggar mengangguk. "Kamu jangan lupa terus tebarin garam kasar yang aku bilang, terus jangan lupa sholat dan ngaji juga," tambah Selena. "Iya..." jawab Linggar dengan lembut, sambil tersenyum. Rangga masuk ke dalam kelas dan melihat keakraban antara Selena dan Linggar. Linggar pun sadar akan pandangan sendu dari Rangga. Dengan sengaja, Linggar mengusap kepala Selena seolah gemas, dan Rangga segera mengalihkan pandangannya. Tak lama setelah itu, guru masuk. Baru saat itu Selena menyadari keberadaan Rangga setelah mereka duduk di tempat masing-masing. "Rangga, kamu udah oke?" Selena bertanya tanpa suara, namun Rangga mengerti dan mengangguk sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja," jawab Rangga, dan Selena memberikan dua jempolnya sambil tersenyum manis. ‘Jangan bodoh, Rangga. Selena udah bukan Selena kecil yang dulu. Selena selalu menganggapmu sahabat baiknya, jangan buat dia kecewa dengan perasaan konyolmu’, batin Rangga dalam hati. Di tempat lain... Ustadz Sholeh sedang bersiap untuk berangkat ke Jakarta, diantar oleh salah satu muridnya. Istrinya memberikan salam perpisahan dengan menyalami tangan Ustadz Sholeh. "Ati-ati ya, bah," ujar istrinya dengan lembut. "Iya, ma. Assalamualaikum," jawab Ustadz Sholeh, yang kemudian dijawab oleh istrinya. "Waalaikumsalam." Ustadz Sholeh pun berangkat dengan motor, diantar ke stasiun. Meskipun beliau seorang pemuka agama, hidupnya sangat sederhana. Ustadz Sholeh tidak suka membeli barang-barang berlebihan; bahkan motor yang dipakainya adalah milik muridnya, karena beliau hanya memiliki sepeda. Di perjalanan menuju stasiun, murid yang mengendarai motor mendadak mengerem dan terkejut melihat seekor ular besar melintas di jalan. "Astagfirullah, Ular, Pak Ustadz!" seru muridnya. Ustadz Sholeh melihat ular piton hitam besar yang melintas dan berhenti di tengah jalan, sementara jalan di sekitar mereka sangat sepi. Ular itu seolah-olah menghadang perjalanan mereka. Ustadz Sholeh segera membaca doa dalam hati dan mencari sebuah kayu. Dengan kayu tersebut, ia mulai mengusik ular itu dan mengarahkannya ke sisi jalan. "Ati-ati, Ustadz," ujar muridnya, cemas. Namun, ular piton itu tiba-tiba hendak menyerang Ustadz Sholeh, tetapi tidak mengenai beliau. Ustadz Sholeh pun segera membaca doa dan meniupkan napas ke arah ular tersebut. Ular itu kemudian pergi begitu saja, seolah kabur. ‘Sepertinya kau sudah ketakutan sampai mengirim patihmu untuk menghalangi, biar aku tunjukkan kuasa Allah padamu, siluman ular’, batin Ustadz Sholeh. "Ayo, lanjut jalan," kata Ustadz Sholeh, kembali menaiki motor dan melanjutkan perjalanan. *** Setelah sekolah selesai, Selena, Linggar, dan Rangga berjalan bersama menuju lobby. Mereka baru selesai dari ekstrakurikuler yang sama sekitar jam 5 sore, jadi baru sekarang mereka bisa pergi. "Tungguin kabar dariku, Li. Kalau ada apa-apa, baca doa aja. Kalau merasa nggak kuat, kamu keluar aja dari rumah," kata Selena dengan serius. "Oke," jawab Linggar, lalu ia berbalik menatap Selena dan Rangga, yang sejak tadi terlihat murung. "Gue duluan ya, Sel," pamit Linggar tanpa mengajak Rangga bicara. "Sip, hati-hati di jalan," jawab Selena, dan Linggar hanya mengangguk. Ia memberi kepalan tinjunya pada Selena sebagai tanda perpisahan, lalu pergi. Selena menatap Rangga yang sejak tadi terus berjalan sambil menunduk, terlihat murung. Tanpa berkata-kata, Selena mendekati Rangga dan menyentuh keningnya, membuat Rangga terkejut. "Ra, kamu yakin nggak kenapa-kenapa? Dari tadi kamu kelihatan banget murung," tanya Selena, dan Rangga tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa, kayaknya cuma efek pusing mau ujian," jawab Rangga sambil terkekeh. "Ya Allah, jangan bikin aku tambah pusing lah.. Aku jadi ikut kepikiran," Selena menampar pelan bahu Rangga, membuatnya tertawa lagi. Namun, di tengah tawa mereka, tiba-tiba Selena merasakan energi jahat yang kuat di sekitar mereka. Secara instingtif, Selena menoleh dan melihat sesosok perempuan tua dengan aura merah kehitaman yang berdiri di ujung lorong lobby. Itu jelas bukan manusia. ‘Kenapa bisa ada energi sekuat ini?’ batin Selena, merasakan kegelisahan yang semakin membesar.Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Selena dan Rangga membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit untuk perawatan luka terbuka di pelipisnya, sementara Linggar dan ayahnya diminta untuk menginap di hotel demi keselamatan mereka. Rumah itu dibiarkan kosong sementara waktu. Selena dan Ustadz Sholeh berencana melanjutkan pembersihan rumah Linggar begitu Ustadz Sholeh pulih."Kenapa bisa kepala kamu sampai bocor dihantam palu, Ustadz?" tanya ayah Nicholas dengan tawa kecil, karena Selena membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit tempat ayah Nicholas bekerja, dan kebetulan ayahnya yang menangani Ustadz Sholeh."Usia makin tua, tenaga juga makin berkurang, nggak secepat dulu," jawab Ustadz Sholeh sambil menyeringai, merasakan sakit di kepalanya.Di luar, Selena dan Rangga sedang berdiskusi tentang langkah selanjutnya untuk menangani siluman ular tersebut, ketika Selena kembali melihat sosok pria yang menangis di hari itu. Ternyata dia masih ada di sana, dan kelihatannya proses penyembuhannya belum menunjukkan perkembangan."Rangga, sosok
Selena menghubungi Rangga untuk pulang lebih dulu bersama Ustadz Sholeh, karena ia perlu pergi dengan perempuan yang baru ditemuinya di rumah sakit. Kini, Selena sudah tiba di rumah perempuan itu, yang terasa sangat nyaman.Di dalam rumah, terlihat foto pernikahan mereka yang menunjukkan kebahagiaan. Banyak foto kebersamaan yang tersebar di setiap sudut rumah, memperlihatkan cinta yang mendalam antara pasangan itu. Wanita tersebut keluar membawa dua cangkir teh dan menyajikannya kepada Selena."Minum, nak," ucap wanita itu."Terima kasih, tante," jawab Selena, disertai senyum dari wanita itu.Selena menikmati teh yang disajikan, sementara wanita tersebut tampak memperhatikan sekeliling rumahnya."Apakah suami saya ikut pulang?" tanya wanita itu."Ya, suami tante ada di belakang tante sekarang," jawab Selena."Tante, papaku bilang... kemungkinan suami tante untuk sadar sangat tipis, bahkan untuk bertahan hidup. Namun sepertinya dia masih belum bisa pergi karena ada urusan yang belum se
Keesokan harinya, Selena kembali ke rumah Linggar bersama Linggar dan ayahnya. Hanya dalam satu hari, rumah itu yang semula terlihat biasa saja kini terasa sangat berbeda, seperti rumah yang telah lama ditinggalkan. Aura yang mengelilinginya semakin suram, lebih berat dari sebelumnya. Ketika Selena bertanya pada ratu siluman ular, makhluk itu mengaku bahwa ia bukan pelakunya, melainkan ada sosok lain yang bertanggung jawab.Sementara itu, Ustadz Sholeh sedang melakukan pencarian benda gaib yang mungkin telah dikubur atau dikirim oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, seseorang yang syirik terhadap keluarga Linggar."Li, papa kamu beli rumah ini?" tanya Selena ketika Linggar tidak bersama ayahnya."Enggak, kita cuma numpang tinggal sementara di sini. Mungkin tahun depan kami pindah," jawab Linggar."Kalau begitu, mendingan kalian pindah aja dari rumah ini. Rumah ini nggak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada pembersihan total," saran Selena."Selena benar, apalagi ada banyak kir
Setelah sesi pembersihan pada ayah Linggar selesai, kehidupan mereka mulai berubah. Linggar kini telah pindah ke rumah baru yang lokasinya tidak jauh dari rumah Selena. Bahkan, rumah barunya terletak tepat di seberang rumah ayah Nicholas. Berkat rutin melakukan ruqyah, hubungan ayah dan ibu Linggar yang sempat renggang kini telah pulih, dan Linggar pun resmi menjadi bagian dari geng trio Selena dan Rangga di sekolah.Suatu malam, Selena sedang berbaring tengkurap di ranjangnya, asyik video call dengan Nicholas yang saat itu berada di luar negeri."Yah... aku kangen sama abang," keluh Selena."Nanti kalau kamu sudah bangun, aku telpon lagi. Sekarang tidur dulu, anak nakal," jawab Nicholas dengan suara lembut.Karena perbedaan waktu, komunikasi mereka kadang agak terhambat, ketika siang di tempat Nicholas, malam di tanah air. Namun, mereka berusaha tetap menjaga komunikasi itu."Hehe... iya deh, tidur dulu," jawab Selena.Tiba-tiba, wajah seorang pria muncul dari belakang Nicholas, samb
Setelah sesi pembersihan pada ayah Linggar selesai, kehidupan mereka mulai berubah. Linggar kini telah pindah ke rumah baru yang lokasinya tidak jauh dari rumah Selena. Bahkan, rumah barunya terletak tepat di seberang rumah ayah Nicholas. Berkat rutin melakukan ruqyah, hubungan ayah dan ibu Linggar yang sempat renggang kini telah pulih, dan Linggar pun resmi menjadi bagian dari geng trio Selena dan Rangga di sekolah.Suatu malam, Selena sedang berbaring tengkurap di ranjangnya, asyik video call dengan Nicholas yang saat itu berada di luar negeri."Yah... aku kangen sama abang," keluh Selena."Nanti kalau kamu sudah bangun, aku telpon lagi. Sekarang tidur dulu, anak nakal," jawab Nicholas dengan suara lembut.Karena perbedaan waktu, komunikasi mereka kadang agak terhambat, ketika siang di tempat Nicholas, malam di tanah air. Namun, mereka berusaha tetap menjaga komunikasi itu."Hehe... iya deh, tidur dulu," jawab Selena.Tiba-tiba, wajah seorang pria muncul dari belakang Nicholas, samb
Selena berjalan menuju kantin setelah jam istirahat tiba, seperti biasa ditemani oleh dua teman tampannya, Rangga dan Linggar. Namun, ketika mereka sampai di kantin, suasana tiba-tiba berubah mencekam. Terlihat riuh di antara kerumunan siswa, semua berlarian dengan ketakutan seolah menghindari sesuatu."AAaa!" teriak seorang siswi dengan suara melengking, semakin menambah kepanikan di sekitar mereka."Lari! Dia kerasukan setan!" teriak seorang siswa lain, hingga beberapa anak terjatuh dan terinjak oleh yang lainnya yang berlari ketakutan."Astaghfirullah... Ada apa ini? kenapa?" tanya Selena, saat salah seorang anak menabraknya karena berlari panik."Itu, ada yang kerasukan," jawab anak itu, membuat Selena terkejut. Namun, alih-alih menghindar, ia justru merasa terdorong untuk mendekati siswi yang sedang kerasukan itu.Siswi yang kerasukan itu berbicara dengan suara aneh, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas sambil mengusap-usap rambutnya yang seolah terlihat sangat panjang."Tak le
Setelah Selena memastikan ayahnya sudah masuk kedalam kamarnya untuk istirahat, Selena pun kini kembali ke kamarnya sendiri dengan rasa bersalahnya. Selena tau rumah itu dipagari dan pagarnya juga sangat kuat, tapi Selena tidak terpikirkan bahwa semakin kuat pagar gaibnya maka semakin besar juga usaha yang dikerahkan ayah Nicholas.'Jangan khawatir Selena, aki bisa menjaga kamu dan rumah ini.’ Tiba-tiba suara aki muncul."Makasih aki, tapi aku tetep merasa bersalah sama papa." Ujar Selena."Aku akan belajar untuk memagari rumah ini sendirian, supaya nggak bikin papa capek." Ujar Selena.Selena akhirnya masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dan ketika dia sedang mandi dia kembali teringat dengan sosok-sosok yang berada di rumah Pak Hasan yang menyambutnya dengan ramah.Sosoknya ada yang berupa binatang macan putih yang sangat besar bahkan lebih besar dari gajah, lalu ada yang seperti aki namun dalam versi lebih pendek sedikit, dan juga ada yang seperti manusia biasa na
Selena berdiri di luar ruangan Intan setelah berhasil melepaskan susuk terakhir dari Intan, dan Intan akhirnya sudah berpulang.."Pada akhirnya, dia meninggal dengan menderita." Gumam Selena."Kita sampein maafnya ke keluarganya Roy besok, Roy juga masih belum bisa pergi kan?" Tanya Linggar, dan Selena mengangguk."Siapa tau setelah ini dia bisa pergi dengan damai." Ujar Linggar."Iya.." Ujar Selena.Ya, Roy.. Sebelum Intan meninggal, dia menyebut nama Roy. Dia mengakui dirinya juga membuat Roy kehilangan akal. Ibunya tidak tahu siapa Roy, tapi Selena memberi tahu bahwa Roy adalah kakak seniornya di kampus."Yuk, makan dulu. Kita ampe lupa makan dari siang." Ujar elang dan Selena kembali mengangguk.Pak Hasan sudah lebih dulu pergi untuk melebur semua susuk yang keluar dari tubuh Intan, ada sekitar 17 susuk yang ditempatkan di setiap titik mata memandang sehingga banyak pria yang tertarik melihat Intan karena banyaknya susuk yang terpasang.Intan dan Linggar kini sedang berada di rest
Selena dan Linggar sedang duduk di dalam mobil, Selena masih memikirkan apa yang dilihatnya di alam astral dan yang terjadi di dunia nyata berbeda tapi berujung sama. Kini harapan mereka yang bisa menolong Intan sudah tidak ada, lalu apa Intan bisa ditolong?Sebelumnya, ibu-ibu yang mereka temui itu memberitahu kematian nenek Darsih yang tidak normal juga.(Kisah Balik Bermula)"Kami di kampung ini semua tahu nenek Darsih tuh siapa, dia ilmunya tinggi sampe banyak pelanggan yang dateng. Tapi seminggu lalu, nggak tau kenapa dia nggak pernah keluar dari rumah." Ujar ibu-ibu itu."Terus baru tiga hari lalu semua warga di sini curiga dengan rumah nenek Darsih yang baunya banget-bangetan, bau bangke! Semua orang pun akhirnya mendobrak masuk dan mereka menemukan jasadnya nenek Darsih yang udah busuk dibelatungin." Ujar ibu-ibu itu lagi."Inalillahi.." Selena bergumam."Nggak tau itu nenek meninggalnya dari kapan, ditemuinnya udah busuk dan belatungan. Baunya beeuuhh.. Naudzubillah!""Nggak
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny