Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.
Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi. Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya. "Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir. "Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas. "Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku..." "Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya. Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu, sekarang Rangga lebih sering menundukkan kepala dan tidak pernah menatap langsung. "Rangga, kamu sakit?" tanya Selena cemas. "Ah! E- enggak, aku nggak apa-apa," jawab Rangga, terlihat semakin gugup. "Akhir-akhir ini kamu aneh. Apa ada yang menindas kamu di sekolah?" tanya Selena khawatir. "Tidak ada," jawab Rangga singkat. Selena mengangkat dagu Rangga agar bisa menatapnya, dan Rangga terkejut, wajahnya langsung memerah. "Demam ya? Muka kamu merah banget, ayo ke UKS," kata Selena, langsung menarik Rangga pergi. "Eh! Selena, aku nggak sakit," kata Rangga, tapi Selena tetap menariknya ke UKS. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Linggar. Linggar melihat Selena yang menggandeng tangan Rangga, dan langsung menatap Rangga dengan tatapan dingin. "Linggar, tolongin Rangga, dia sakit," kata Selena dengan panik. Sejak hari di mana Selena berjanji untuk membantu Linggar, kedekatan mereka semakin terasa. Namun, kedekatan itu hanya terjalin antara Selena dan Linggar, bukan dengan Rangga. Selena sudah menceritakan permasalahan yang dialami Linggar kepada Ustadz Sholeh, dan kini Linggar mulai merasa sedikit lebih baik. "Yah, dokternya mana?” Selena melirik ke sekeliling, “Linggar, tungguin Rangga sebentar, aku cari dokter," kata Selena sambil berlari. "Selena, aku nggak sakit!" teriak Rangga berusaha mengejar, tapi bahunya ditahan oleh Linggar. Linggar menatap Rangga dengan tajam, sementara Rangga menatap Linggar dengan kebingungan. Rangga terkejut ketika Linggar meremas bahunya, dan ia pun menatap Linggar dengan serius, lalu bertanya. "Kenapa, lu?" tanya Rangga, merasa heran dengan sikap Linggar. "Lu suka sama Selena?" tanya Linggar tanpa basa-basi. Rangga langsung menelan ludah mendengar pertanyaan itu. "Gue sama dia sahabatan sejak kecil, nggak ada alasan buat gue nggak suka dia," jawab Rangga, tapi Linggar hanya tersenyum sinis mendengar penjelasan itu. "Gue yakin lu nggak bodoh, lu paham maksud gue kan? Apa lu yakin perasaan lu ke Selena cuma sebatas sahabat?" ujar Linggar dengan tatapan yang semakin tajam. Rangga terdiam, tak bisa menjawab. Melihat itu, Linggar tersenyum miring lalu berbisik di dekat telinga Rangga. "Lu senang kan jadi bahan gosip di sekolah? Lu nggak sadar posisi lu apa? Minimal sadar diri, Selena sangat menghargai lu sebagai sahabat, jangan rusak kepercayaan dia," kata Linggar, lalu pergi meninggalkan Rangga yang termenung sendirian di ruang UKS. Rangga merenung mendengar kata-kata Linggar. Sebenarnya, dia juga tidak suka menjadi bahan gosip di sekolah. Dia sadar posisinya hanya sebagai penjaga dan sahabat Selena. Rangga tahu benar di mana dia harus menempatkan dirinya. Dia menyadari perasaan lain yang dia miliki untuk Selena, namun ia tetap berusaha menyembunyikannya dan terus berusaha menjadi sahabat yang baik. Tak disangka, Linggar menyadari perasaannya itu. Di luar UKS, Linggar berpapasan dengan Selena yang membawa dokter dengan tergesa-gesa. Linggar menahan tangan Selena sementara dokter itu masuk ke UKS. "Rangga masih di dalam, kan?" tanya Selena, dan Linggar mengangguk dengan senyum tipis. "Dia cuma demam, udah gue kasih paracetamol, nanti juga sembuh," kata Linggar, berbohong. "Oh, Alhamdulillah..." Selena merasa lega. "Ayo," Linggar tiba-tiba menarik Selena pergi dari depan UKS. "E-eh! Rangga masih di dalam, belum selesai," ujar Selena. "Dia udah gede, nggak perlu dijagain terus," jawab Linggar sambil menggandeng tangan Selena dan membawanya pergi. Rangga yang melihat dari ambang pintu hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak sakit dan menolak diperiksa oleh dokter. Rangga hanya bisa menghela napas sambil melihat Selena pergi bersama Linggar. Sementara itu, Linggar membawa Selena masuk ke kelas, dan teman-teman sekelas mulai berbisik-bisik tentang Selena dan Linggar yang terlibat dalam kisah cinta segitiga. "Selena, semalam di rumahku banyak ular masuk. Gue nggak tahu dari mana asalnya, tapi tiba-tiba banyak banget di kamar gue," kata Linggar setelah mereka duduk di meja Selena. "Sepertinya Ratu-nya sangat marah. Ustadz Sholeh bilang dia udah senggang dan bakal sampai nanti malam. Aku bakal bawa dia datang ke rumah kamu nanti," jawab Selena, dan Linggar mengangguk. "Kamu jangan lupa terus tebarin garam kasar yang aku bilang, terus jangan lupa sholat dan ngaji juga," tambah Selena. "Iya..." jawab Linggar dengan lembut, sambil tersenyum. Rangga masuk ke dalam kelas dan melihat keakraban antara Selena dan Linggar. Linggar pun sadar akan pandangan sendu dari Rangga. Dengan sengaja, Linggar mengusap kepala Selena seolah gemas, dan Rangga segera mengalihkan pandangannya. Tak lama setelah itu, guru masuk. Baru saat itu Selena menyadari keberadaan Rangga setelah mereka duduk di tempat masing-masing. "Rangga, kamu udah oke?" Selena bertanya tanpa suara, namun Rangga mengerti dan mengangguk sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja," jawab Rangga, dan Selena memberikan dua jempolnya sambil tersenyum manis. ‘Jangan bodoh, Rangga. Selena udah bukan Selena kecil yang dulu. Selena selalu menganggapmu sahabat baiknya, jangan buat dia kecewa dengan perasaan konyolmu’, batin Rangga dalam hati. Di tempat lain... Ustadz Sholeh sedang bersiap untuk berangkat ke Jakarta, diantar oleh salah satu muridnya. Istrinya memberikan salam perpisahan dengan menyalami tangan Ustadz Sholeh. "Ati-ati ya, bah," ujar istrinya dengan lembut. "Iya, ma. Assalamualaikum," jawab Ustadz Sholeh, yang kemudian dijawab oleh istrinya. "Waalaikumsalam." Ustadz Sholeh pun berangkat dengan motor, diantar ke stasiun. Meskipun beliau seorang pemuka agama, hidupnya sangat sederhana. Ustadz Sholeh tidak suka membeli barang-barang berlebihan; bahkan motor yang dipakainya adalah milik muridnya, karena beliau hanya memiliki sepeda. Di perjalanan menuju stasiun, murid yang mengendarai motor mendadak mengerem dan terkejut melihat seekor ular besar melintas di jalan. "Astagfirullah, Ular, Pak Ustadz!" seru muridnya. Ustadz Sholeh melihat ular piton hitam besar yang melintas dan berhenti di tengah jalan, sementara jalan di sekitar mereka sangat sepi. Ular itu seolah-olah menghadang perjalanan mereka. Ustadz Sholeh segera membaca doa dalam hati dan mencari sebuah kayu. Dengan kayu tersebut, ia mulai mengusik ular itu dan mengarahkannya ke sisi jalan. "Ati-ati, Ustadz," ujar muridnya, cemas. Namun, ular piton itu tiba-tiba hendak menyerang Ustadz Sholeh, tetapi tidak mengenai beliau. Ustadz Sholeh pun segera membaca doa dan meniupkan napas ke arah ular tersebut. Ular itu kemudian pergi begitu saja, seolah kabur. ‘Sepertinya kau sudah ketakutan sampai mengirim patihmu untuk menghalangi, biar aku tunjukkan kuasa Allah padamu, siluman ular’, batin Ustadz Sholeh. "Ayo, lanjut jalan," kata Ustadz Sholeh, kembali menaiki motor dan melanjutkan perjalanan. *** Setelah sekolah selesai, Selena, Linggar, dan Rangga berjalan bersama menuju lobby. Mereka baru selesai dari ekstrakurikuler yang sama sekitar jam 5 sore, jadi baru sekarang mereka bisa pergi. "Tungguin kabar dariku, Li. Kalau ada apa-apa, baca doa aja. Kalau merasa nggak kuat, kamu keluar aja dari rumah," kata Selena dengan serius. "Oke," jawab Linggar, lalu ia berbalik menatap Selena dan Rangga, yang sejak tadi terlihat murung. "Gue duluan ya, Sel," pamit Linggar tanpa mengajak Rangga bicara. "Sip, hati-hati di jalan," jawab Selena, dan Linggar hanya mengangguk. Ia memberi kepalan tinjunya pada Selena sebagai tanda perpisahan, lalu pergi. Selena menatap Rangga yang sejak tadi terus berjalan sambil menunduk, terlihat murung. Tanpa berkata-kata, Selena mendekati Rangga dan menyentuh keningnya, membuat Rangga terkejut. "Ra, kamu yakin nggak kenapa-kenapa? Dari tadi kamu kelihatan banget murung," tanya Selena, dan Rangga tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa, kayaknya cuma efek pusing mau ujian," jawab Rangga sambil terkekeh. "Ya Allah, jangan bikin aku tambah pusing lah.. Aku jadi ikut kepikiran," Selena menampar pelan bahu Rangga, membuatnya tertawa lagi. Namun, di tengah tawa mereka, tiba-tiba Selena merasakan energi jahat yang kuat di sekitar mereka. Secara instingtif, Selena menoleh dan melihat sesosok perempuan tua dengan aura merah kehitaman yang berdiri di ujung lorong lobby. Itu jelas bukan manusia. ‘Kenapa bisa ada energi sekuat ini?’ batin Selena, merasakan kegelisahan yang semakin membesar.Jakarta, 10 Oktober 2022."Tess!""Tess!""Di mana aku.."Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena.Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri."Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah."Rangga?"Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya.Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya."Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba."Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingu
Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Jakarta, 10 Oktober 2022."Tess!""Tess!""Di mana aku.."Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena.Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri."Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah."Rangga?"Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya.Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya."Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba."Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingu