Setelah membantu para murid yang mengalami kerasukan massal, Selena pulang dengan tubuh yang kelelahan parah. Langkahnya berat, dan tanpa sadar, ia tertidur di tepi jalan. Rangga hanya bisa memandangnya dengan cemas, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia sadar bahwa sosok yang kini dihadapi Selena semakin berbahaya, lebih dari yang bisa dibayangkannya.Dalam tidurnya, Selena memasuki mimpi yang terasa begitu nyata. Ia mendapati dirinya di rumah lama almarhum Raka, tempat yang penuh kenangan. Kakinya melangkah menaiki tangga, menuju lantai dua, ke kamar yang dulu ia tempati bersama Raka.“Kenapa aku disini? Bukankah Papa melarangku masuk ke rumah ini?” gumamnya ragu. Namun, dorongan tak terlihat membuatnya terus berjalan hingga akhirnya berdiri di depan pintu kamar lamanya.Kenangan masa lalu berkelebat satu per satu, membawa Selena larut dalam nostalgia. Di antara semua memori, bayangan Raka paling kuat terpatri, mengingat ia sering menghabiskan waktu bersama almarhum kakaknya itu.“Go
Selena duduk di sofa kamarnya, matanya tetap memandangi layar ponsel dengan pandangan kosong. Panggilan video dengan Nicholas masih berlangsung, namun hatinya terasa berat. Ia menghapus air mata yang belum lama ini jatuh, perasaan sedihnya masih menguasai setelah kehilangan teteh putih."Udah, dek... Jangan sedih terus, kan teteh sudah ketemu tempat yang baik," ujar Nicholas dengan lembut, berusaha menghibur Selena yang masih tampak terpuruk."Iya..." Gumam Selena, menyeka air mata yang masih tersisa. Nicholas tersenyum, merasakan betapa lembutnya hati Selena, bahkan untuk makhluk yang sudah tak bernyawa sekalipun."Makan gih, ntar sakit loh kamu nggak makan-makan, udah malam ini," kata Nicholas dengan perhatian, namun Selena menggeleng pelan."Nggak lapar, bang," jawabnya dengan suara rendah, matanya masih tampak jauh."Rangga bilang kamu baru aja bantu ngurus kesurupan massal di sekolah, ya? Kok bisa sih ada kesurupan massal, padahal dulu nggak pernah ada gituan?" tanya Nicholas, me
Nicholas berjalan meninggalkan Kate, lalu mendatangi Justin yang menunggu di bagian lain taman. Mereka pun segera pergi meninggalkan tempat itu."Lu tolak, bro?" tanya Justin dengan penasaran."Gue nggak nolak, tapi gue ngelarang dia buat ungkapin perasaannya ke gue," jawab Nicholas tegas."Dih, sadis banget lu jadi cowok," kata Justin sambil geleng-geleng kepala."Dari pada dia terus berharap dan akhirnya tambah sakit, mending gue jujur di awal. Gue disini buat fokus belajar, Just. Nggak ada waktu buat pacaran-pacaran. Kalau ada jodoh, ntar juga ketemu," lanjut Nicholas, lalu melangkah pergi meninggalkan Justin."Gila nih bocah, Allee yang spek bidadari aja ditolak," gumam Justin, tercengang.Berpindah ke tanah air...Esok harinya, Selena, Rangga, dan Linggar tiba di sekolah. Hujan deras mengguyur bumi, dan koridor sekolah terasa suram karena mendung yang tebal. Selena mendengar suara Jovi berteriak, tapi ia tak melihat sosoknya."Selena!!" teriak suara itu, membuat Selena langsung c
Selena kembali ke kamar dan duduk di ranjang, masih terbenam dalam pikiran tentang perkataan ayah Nicholas yang mengatakan ada seseorang yang mengirimkan santet padanya. Padahal, Selena merasa dirinya tidak pernah menyinggung siapapun. Bahkan, dia adalah pribadi yang pendiam, yang baru dikenal di sekolah karena kemampuannya menyadarkan orang-orang yang kesurupan massal.Selena menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, tetapi tetap duduk menyandar di ranjang. Ia membuka laci nakas dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan putih. Saat kotak itu terbuka, tampak sebuah kalung dengan bandul bambu kuning yang dulu ia ambil dari lemari utinya. Kalung itu sangat berkesan baginya, karena Nicholas yang memberikannya sebagai kado ulang tahun ke-15.Dengan lembut, Selena melepaskan kalung bandul bambu kuning itu. Ia mengenakan kalung pemberian Nicholas sebagai tanda rasa terima kasih dan penghargaan. Selena mengusap bandul kalung itu, mengingatkan dirinya pada utinya yang kini sudah tiada. Perlahan,
Selena melangkah turun dari mobil, didampingi oleh Rangga. Matanya terpaku pada seorang sopir mobil travel yang berdiri di pinggir jalan, sibuk mengetik pesan di ponselnya. Sesekali, sopir itu terlihat berbicara lewat telepon, tampak tidak peduli pada sekelilingnya.Tiba-tiba, Selena terdiam. Penglihatannya mengabur, dan di benaknya muncul bayangan sebuah kecelakaan tragis. Mobil itu, mobil yang sama tempat para penumpang bercengkrama, terseret truk besar, hancur berantakan.Dengan cepat, Selena berlari kembali ke pintu mobil dan berteriak. “Pak, Bu, semuanya! Segera turun dari mobil ini sekarang!” Suaranya penuh kepanikan.Para penumpang memandangnya bingung.“Selena, ada apa?” tanya Rangga dengan alis terangkat.“Ra, tolong bantu aku! Suruh mereka turun! Ini soal hidup dan mati!” Selena berkata dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.Rangga tertegun. Tanpa banyak bertanya, dia segera membantu Selena. “Pak, Bu, ayo turun dari mobil ini, cepat!” ujarnya tegas.Namun, para p
Selena, Rangga, dan ayah Nicholas akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta setelah selesai berurusan dengan polisi. Padahal, perjalanan mereka sudah setengah jalan. Namun, hati ayah Nicholas tak tega meninggalkan Selena yang tengah larut dalam kesedihan. Meski bukan anak kandungnya, kasih sayang ayah Nicholas kepada Selena begitu tulus, seolah-olah dia adalah putrinya sendiri. Dalam hati, dia bersyukur Selena selamat dan tidak mengalami hal yang lebih buruk.“Jadi, aku nggak jadi pulang kampung, Pa?” tanya Selena, suaranya lirih.“Tunggu sampai kamu benar-benar pulih. Kalau cuma mau tanya sesuatu ke Ustadz Sholeh, biar Papa undang dia ke Jakarta,” jawab ayah Nicholas tegas, berusaha menenangkan hati Selena.“Jangan lupa, Nak, kita harus terus waspada. Ibadah itu benteng kita. Setan akan selalu mencari celah untuk menggoda, memancing sisi negatif kita. Kalau kita lengah, mereka bisa masuk dan menguasai pikiran kita,” lanjutnya, memberi nasehat bijak.Selena mengangguk kecil, meski
Pagi harinya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Tidak seperti biasanya, kali ini mereka tidak pergi bersama Linggar. Selena tampak gelisah, pikirannya terus berputar mencari jejak energi Jovi, yang hingga saat ini masih belum ditemukan. Sosok Jovi seolah lenyap tanpa jejak, meninggalkan tanda tanya besar di hati Selena.“Kemana ya, Ra? Kok aku masih nggak bisa nemuin Jovi…” gumam Selena lirih, berdiri di dekat bangunan kelas lamanya saat SMP, tempat di mana Jovi biasanya berada.“Mungkin dia sudah pergi ke tempat yang lebih baik?” ujar Rangga, mencoba menenangkan.Selena terdiam, matanya menerawang jauh. Ia ingin mempercayai itu, tetapi ingatan terakhir tentang Jovi saat suara teriakannya memanggil nama Selena masih terlalu jelas. Rasanya mustahil Jovi pergi begitu saja tanpa pamit. Jovi pasti akan meninggalkan pesan, seperti halnya Teteh Putih dulu.“Ayo pergi. Kita coba cari ke tempat lain,” ajak Selena akhirnya. Rangga mengangguk dan mengikuti langkahnya.Di tengah kebimbangan itu
Selena baru saja tiba di rumah, dan saat ini dia tengah video call dengan Nicholas. Seperti biasa, Selena belajar malam ditemani oleh abang angkatnya yang selalu setia membantunya memahami pelajaran."Ooo... iya, iya, aku tahu, kenapa aku nggak kepikiran ya? Ih, aku benar-benar lupa." Selena tertawa geli, sementara Nicholas tertawa kecil di layar laptop."Makanya, kalau di sekolah jangan cuma sibuk main sama hantu terus, dek..." kata Nicholas, membuat Selena meringis mendengar gurauannya."Gimana lagi, bang? Aku terlahir dengan kelebihan ini, jadi nggak tega kalau lihat sosok yang tersesat..." jawab Selena dengan nada serius."Tapi, dek, abang rasa kayaknya kamu udah ada peningkatan baru, deh. Nggak sih?" Nicholas bertanya, Selena pun menatap layar laptop, penasaran."Peningkatan apa, bang?" tanya Selena, kebingungan."Kamu sekarang bisa lihat kejadian yang belum terjadi, kan? Abang yakin kalau kamu terus latih kemampuanmu, kamu pasti bisa lebih dari ini," kata Nicholas dengan keyakin
Setelah Selena memastikan ayahnya sudah masuk kedalam kamarnya untuk istirahat, Selena pun kini kembali ke kamarnya sendiri dengan rasa bersalahnya. Selena tau rumah itu dipagari dan pagarnya juga sangat kuat, tapi Selena tidak terpikirkan bahwa semakin kuat pagar gaibnya maka semakin besar juga usaha yang dikerahkan ayah Nicholas.'Jangan khawatir Selena, aki bisa menjaga kamu dan rumah ini.’ Tiba-tiba suara aki muncul."Makasih aki, tapi aku tetep merasa bersalah sama papa." Ujar Selena."Aku akan belajar untuk memagari rumah ini sendirian, supaya nggak bikin papa capek." Ujar Selena.Selena akhirnya masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dan ketika dia sedang mandi dia kembali teringat dengan sosok-sosok yang berada di rumah Pak Hasan yang menyambutnya dengan ramah.Sosoknya ada yang berupa binatang macan putih yang sangat besar bahkan lebih besar dari gajah, lalu ada yang seperti aki namun dalam versi lebih pendek sedikit, dan juga ada yang seperti manusia biasa na
Selena berdiri di luar ruangan Intan setelah berhasil melepaskan susuk terakhir dari Intan, dan Intan akhirnya sudah berpulang.."Pada akhirnya, dia meninggal dengan menderita." Gumam Selena."Kita sampein maafnya ke keluarganya Roy besok, Roy juga masih belum bisa pergi kan?" Tanya Linggar, dan Selena mengangguk."Siapa tau setelah ini dia bisa pergi dengan damai." Ujar Linggar."Iya.." Ujar Selena.Ya, Roy.. Sebelum Intan meninggal, dia menyebut nama Roy. Dia mengakui dirinya juga membuat Roy kehilangan akal. Ibunya tidak tahu siapa Roy, tapi Selena memberi tahu bahwa Roy adalah kakak seniornya di kampus."Yuk, makan dulu. Kita ampe lupa makan dari siang." Ujar elang dan Selena kembali mengangguk.Pak Hasan sudah lebih dulu pergi untuk melebur semua susuk yang keluar dari tubuh Intan, ada sekitar 17 susuk yang ditempatkan di setiap titik mata memandang sehingga banyak pria yang tertarik melihat Intan karena banyaknya susuk yang terpasang.Intan dan Linggar kini sedang berada di rest
Selena dan Linggar sedang duduk di dalam mobil, Selena masih memikirkan apa yang dilihatnya di alam astral dan yang terjadi di dunia nyata berbeda tapi berujung sama. Kini harapan mereka yang bisa menolong Intan sudah tidak ada, lalu apa Intan bisa ditolong?Sebelumnya, ibu-ibu yang mereka temui itu memberitahu kematian nenek Darsih yang tidak normal juga.(Kisah Balik Bermula)"Kami di kampung ini semua tahu nenek Darsih tuh siapa, dia ilmunya tinggi sampe banyak pelanggan yang dateng. Tapi seminggu lalu, nggak tau kenapa dia nggak pernah keluar dari rumah." Ujar ibu-ibu itu."Terus baru tiga hari lalu semua warga di sini curiga dengan rumah nenek Darsih yang baunya banget-bangetan, bau bangke! Semua orang pun akhirnya mendobrak masuk dan mereka menemukan jasadnya nenek Darsih yang udah busuk dibelatungin." Ujar ibu-ibu itu lagi."Inalillahi.." Selena bergumam."Nggak tau itu nenek meninggalnya dari kapan, ditemuinnya udah busuk dan belatungan. Baunya beeuuhh.. Naudzubillah!""Nggak
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny