Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya.
"Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya. "Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat. Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap. "Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena. "Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut. "Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum. "Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi. "Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya. Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Rangga sudah siap menunggu di depan pintu. "Yuk, kita berangkat," ajak Selena. Rangga mengangguk dan mereka pun berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, Rangga terpesona melihat sisi lain Jakarta yang padat dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip menjelang malam. Itu kali pertama ia melihat kota dengan begitu ramai dan megah. Mereka akhirnya tiba di rumah sakit besar. Selena segera turun dari mobil, diikuti Rangga yang terkesima melihat bangunan megah tersebut. "Om Basuki tugas di sini, Sel?" tanyanya takjub. "Yap," jawab Selena santai, tanpa sadar menggandeng tangan Rangga. Rangga terdiam, terpesona oleh sentuhan sederhana itu, meskipun Selena melakukannya tanpa maksud apa pun. Om Basuki adalah ayang angkat Selena, ayah kandung Nicholas. Selena terus menggandeng tangan Rangga hingga mereka masuk ke dalam lift. Bagi Selena, rumah sakit adalah tempat yang menyimpan banyak kesedihan. Ia sering melihat orang-orang yang tampak tegar namun sebenarnya menahan tangis. Mereka yang ditinggalkan, penuh penyesalan dan rasa kehilangan yang mendalam. Seperti saat ini, di depan Selena terlihat sosok pria yang berjalan sambil terisak, mengiringi seorang perempuan. Ia terus memanggil nama perempuan itu, namun panggilannya tak terjawab. Wajar saja, perempuan itu sudah tiada. Sosok pria itu tampak begitu menyedihkan, tubuhnya berlumuran darah. Yang paling mengerikan adalah luka menganga di kepalanya, jelas bekas kecelakaan. "Sayang... maafkan aku..." rintih pria itu dengan suara parau, penuh penyesalan. Selena hanya melewatinya dengan wajah datar, seolah tidak melihat apa pun. Ia mempererat genggamannya pada tangan Rangga, mencoba menguatkan diri. Ia tahu, ada banyak yang bisa ia bantu, tapi menghadapi begitu banyak jiwa tersesat di rumah sakit ini, rasanya mustahil. Mereka akhirnya sampai di lantai lima, tempat kamar ayah Nicholas berada. Tok, tok, tok. "Assalamualaikum, Papa," ucap Selena, mengetuk pintu perlahan. "Waalaikumsalam, masuk saja, Nak," sahut ayah Nicholas dari dalam. Selena masuk dan mendapati ayah Nicholas duduk di meja kerja, sibuk dengan tumpukan laporan. "Maaf ya, Nak, Papa jadi merepotkanmu. Papa nggak sempat pulang, pasien masih banyak," katanya dengan nada lelah. "Enggak apa-apa, Pa. Ini yang Papa minta," ujar Selena, meletakkan jas dan amplop coklat di meja. "Terima kasih, anak Papa," balas ayah Nicholas sambil tersenyum dan meraih barang-barang itu. Selena mengangguk, membalas senyuman sebelum duduk di salah satu kursi. "Ini laporan pasien yang Papa operasi kemarin. Kondisinya sangat kritis, sekarang dia koma. Kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil, tapi entah kenapa dia masih bertahan... seolah ada yang membuatnya enggan pergi," ungkap ayah Nicholas sambil membaca laporan. "Menurut Selena, mungkin dia punya janji yang belum terpenuhi?" Selena menatap ayahnya serius. Ayah Nicholas terdiam sejenak, tampak merenung. "Memang, Papa juga merasakan hal yang sama. Bahkan jiwa pasien itu sudah mulai meninggalkan tubuhnya, tapi tetap saja dia bertahan." "Apa kita bantu saja, Pa?" usul Selena. Ayah Nicholas menghela napas dalam. "Masalahnya, waktu Papa sangat terbatas. Membantu jiwa yang tersangkut butuh proses panjang." "Kalau begitu, biar Selena yang bantu, Pa. Kasihan kalau dia terus terjebak di antara hidup dan mati. Kalau janji itu terpenuhi, dia pasti bisa pergi dengan tenang," ujar Selena dengan mantap. "Anak Papa memang selalu peduli... Tapi jangan, Nak. Itu bisa menarik perhatian makhluk yang lebih kuat," ujar ayah Nicholas dengan nada khawatir. Jika Selena membuka komunikasi dengan mereka yang ada di rumah sakit, makhluk-makhluk lain akan menyadarinya. Mereka mungkin saja mengikuti Selena, dan ayah Nicholas tidak ingin hal itu terjadi. Mendengar kekhawatiran ayahnya, Selena akhirnya menurut. Bersama Rangga, ia pun meninggalkan ruangan itu. Saat tiba di lobi rumah sakit, pandangan Selena kembali tertuju pada pria yang ia lihat sebelumnya. Pria itu kini memeluk perempuan yang menangis tersedu-sedu, wajahnya tertutup tangan. Pria tersebut terus meminta maaf sambil menangis, seolah menanggung beban yang amat berat. ‘Kasihan…’ batin Selena. Ia mengalihkan pandangannya dengan perasaan berat. Ketika mobil mereka tiba, Selena masuk ke dalam bersama Rangga. "Kamu kenapa, Sel? Kelihatan sedih," tanya Rangga, memperhatikan Selena yang terus menatap jendela. "Kamu lihat perempuan yang tadi nangis di lobi?" Selena bertanya pelan. "Iya, kenapa?" Rangga menoleh penasaran. "Ada pria yang meluk dia sambil nangis, minta maaf terus-terusan," ujar Selena lirih. Rangga refleks menoleh ke belakang, berusaha mencari sosok yang Selena maksud, tapi tentu saja ia tidak melihat apa-apa. "Aku kadang takut, Ra... Takut Allah mengambil nyawaku saat aku belum siap. Saat aku masih penuh dosa, kesalahan, dan janji-janji yang belum terpenuhi. Aku pasti akan menangis seperti dia, tanpa ada yang tahu..." Selena berkata lirih, membuat Rangga terdiam. Ya, tidak ada yang tahu kapan ajal akan datang. Tak ada yang tahu kapan nyawa kita akan diambil atau dalam keadaan seperti apa kita dipanggil oleh Allah. Bahkan dengan segala persiapan terbaik sekalipun, hanya Dia yang tahu kapan waktunya tiba. "Haihh... Udah terlanjur di luar, gimana kalau kita jajan aja?" usul Selena mencoba mencairkan suasana. Rangga tersenyum dan mengangguk setuju. Mereka menuju tempat makan di pinggiran jalan yang penuh dengan keramaian. Suasana layaknya festival makanan kaki lima, ramai dan meriah. Rangga terlihat bingung melihat banyaknya orang serta jajanan yang beragam. Selena tersenyum kecil, mengingat tempat itu ia ketahui dari Nicholas. Nicholas memang suka menjelajahi kota, menemukan tempat makan enak dan menarik, lalu mengajak Selena ke sana. "Sel, ramai banget di sini! Kok kamu bisa tahu ada pasar malam kayak gini?" tanya Rangga heran. Selena hanya terkekeh kecil, senang melihat reaksi Rangga. "Kayak pasar malam, ya? Tapi ini bukan, soalnya nggak ada yang jual baju atau wahana. Di sini cuma ada makanan," ujar Selena sambil tersenyum. "Bang Nicholas yang sering ngajak aku ke sini. Katanya, lidahku masih lidah kampung, hehe..." Selena terkekeh, membuat Rangga ikut tertawa kecil. ‘Banyak yang sudah berubah dari Selena,’ batin Rangga. ‘Dia jadi lebih ceria dan tampak menikmati hidupnya. Sepertinya Nicholas benar-benar memperlakukan Selena dengan baik.’ "Ayo, aku ajak kamu makan sempol ayam, enak banget!" ajak Selena penuh semangat sambil menarik tangan Rangga. Rangga hanya tersenyum, membiarkan Selena menggandengnya. ‘Selena... tetaplah bahagia seperti ini,’ pikirnya. Ia senang melihat senyum Selena yang kini selalu menghiasi wajahnya, sesuatu yang jarang ia lihat saat Selena masih kecil.Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Selena dan Rangga membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit untuk perawatan luka terbuka di pelipisnya, sementara Linggar dan ayahnya diminta untuk menginap di hotel demi keselamatan mereka. Rumah itu dibiarkan kosong sementara waktu. Selena dan Ustadz Sholeh berencana melanjutkan pembersihan rumah Linggar begitu Ustadz Sholeh pulih."Kenapa bisa kepala kamu sampai bocor dihantam palu, Ustadz?" tanya ayah Nicholas dengan tawa kecil, karena Selena membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit tempat ayah Nicholas bekerja, dan kebetulan ayahnya yang menangani Ustadz Sholeh."Usia makin tua, tenaga juga makin berkurang, nggak secepat dulu," jawab Ustadz Sholeh sambil menyeringai, merasakan sakit di kepalanya.Di luar, Selena dan Rangga sedang berdiskusi tentang langkah selanjutnya untuk menangani siluman ular tersebut, ketika Selena kembali melihat sosok pria yang menangis di hari itu. Ternyata dia masih ada di sana, dan kelihatannya proses penyembuhannya belum menunjukkan perkembangan."Rangga, sosok
Selena menghubungi Rangga untuk pulang lebih dulu bersama Ustadz Sholeh, karena ia perlu pergi dengan perempuan yang baru ditemuinya di rumah sakit. Kini, Selena sudah tiba di rumah perempuan itu, yang terasa sangat nyaman.Di dalam rumah, terlihat foto pernikahan mereka yang menunjukkan kebahagiaan. Banyak foto kebersamaan yang tersebar di setiap sudut rumah, memperlihatkan cinta yang mendalam antara pasangan itu. Wanita tersebut keluar membawa dua cangkir teh dan menyajikannya kepada Selena."Minum, nak," ucap wanita itu."Terima kasih, tante," jawab Selena, disertai senyum dari wanita itu.Selena menikmati teh yang disajikan, sementara wanita tersebut tampak memperhatikan sekeliling rumahnya."Apakah suami saya ikut pulang?" tanya wanita itu."Ya, suami tante ada di belakang tante sekarang," jawab Selena."Tante, papaku bilang... kemungkinan suami tante untuk sadar sangat tipis, bahkan untuk bertahan hidup. Namun sepertinya dia masih belum bisa pergi karena ada urusan yang belum se
Keesokan harinya, Selena kembali ke rumah Linggar bersama Linggar dan ayahnya. Hanya dalam satu hari, rumah itu yang semula terlihat biasa saja kini terasa sangat berbeda, seperti rumah yang telah lama ditinggalkan. Aura yang mengelilinginya semakin suram, lebih berat dari sebelumnya. Ketika Selena bertanya pada ratu siluman ular, makhluk itu mengaku bahwa ia bukan pelakunya, melainkan ada sosok lain yang bertanggung jawab.Sementara itu, Ustadz Sholeh sedang melakukan pencarian benda gaib yang mungkin telah dikubur atau dikirim oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, seseorang yang syirik terhadap keluarga Linggar."Li, papa kamu beli rumah ini?" tanya Selena ketika Linggar tidak bersama ayahnya."Enggak, kita cuma numpang tinggal sementara di sini. Mungkin tahun depan kami pindah," jawab Linggar."Kalau begitu, mendingan kalian pindah aja dari rumah ini. Rumah ini nggak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada pembersihan total," saran Selena."Selena benar, apalagi ada banyak kir
Setelah sesi pembersihan pada ayah Linggar selesai, kehidupan mereka mulai berubah. Linggar kini telah pindah ke rumah baru yang lokasinya tidak jauh dari rumah Selena. Bahkan, rumah barunya terletak tepat di seberang rumah ayah Nicholas. Berkat rutin melakukan ruqyah, hubungan ayah dan ibu Linggar yang sempat renggang kini telah pulih, dan Linggar pun resmi menjadi bagian dari geng trio Selena dan Rangga di sekolah.Suatu malam, Selena sedang berbaring tengkurap di ranjangnya, asyik video call dengan Nicholas yang saat itu berada di luar negeri."Yah... aku kangen sama abang," keluh Selena."Nanti kalau kamu sudah bangun, aku telpon lagi. Sekarang tidur dulu, anak nakal," jawab Nicholas dengan suara lembut.Karena perbedaan waktu, komunikasi mereka kadang agak terhambat, ketika siang di tempat Nicholas, malam di tanah air. Namun, mereka berusaha tetap menjaga komunikasi itu."Hehe... iya deh, tidur dulu," jawab Selena.Tiba-tiba, wajah seorang pria muncul dari belakang Nicholas, samb
Setelah sesi pembersihan pada ayah Linggar selesai, kehidupan mereka mulai berubah. Linggar kini telah pindah ke rumah baru yang lokasinya tidak jauh dari rumah Selena. Bahkan, rumah barunya terletak tepat di seberang rumah ayah Nicholas. Berkat rutin melakukan ruqyah, hubungan ayah dan ibu Linggar yang sempat renggang kini telah pulih, dan Linggar pun resmi menjadi bagian dari geng trio Selena dan Rangga di sekolah.Suatu malam, Selena sedang berbaring tengkurap di ranjangnya, asyik video call dengan Nicholas yang saat itu berada di luar negeri."Yah... aku kangen sama abang," keluh Selena."Nanti kalau kamu sudah bangun, aku telpon lagi. Sekarang tidur dulu, anak nakal," jawab Nicholas dengan suara lembut.Karena perbedaan waktu, komunikasi mereka kadang agak terhambat, ketika siang di tempat Nicholas, malam di tanah air. Namun, mereka berusaha tetap menjaga komunikasi itu."Hehe... iya deh, tidur dulu," jawab Selena.Tiba-tiba, wajah seorang pria muncul dari belakang Nicholas, samb
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya