"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.
Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang. Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga. "Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga. "Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli. Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang masih berdiri tegang di sebelahnya. "Nggak apa-apa, Ra. Aku cuma mau ngobrol sebentar sama Linggar. Kamu ke kantin duluan aja, ya," ujar Selena dengan lembut, mencoba meyakinkan sahabatnya. "Tapi, Sel..." Rangga tampak ragu. Tatapan matanya masih tertuju pada Linggar, penuh kecurigaan. Dari sikap dingin Linggar yang menyeramkan hingga kesan bad boy yang terpancar, semua membuat Rangga khawatir. "Nggak apa-apa, sungguh," jawab Selena sambil menepuk pelan lengan Rangga. Melihat itu, Linggar hanya menyeringai kecil, memamerkan senyum miring yang terkesan meremehkan. "Ayo, kalau mau ngomong, sekarang aja," kata Selena tegas, langsung meraih tangan Linggar dan menariknya pergi. Di belakang mereka, suara bisikan teman-teman semakin ramai. Salah seorang dari mereka bahkan bergumam cukup keras, "Selena lebih milih si Linggar yang dingin kayak kulkas itu? Padahal Rangga jauh lebih ganteng, lembut lagi sama cewek. Bodoh banget!" Rangga hanya bisa berdiri mematung, menatap kepergian Selena dengan tatapan penuh kekhawatiran. Meski baginya Selena lebih dari sekadar sahabat, ia tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun, melindungi Selena adalah tanggung jawab yang sudah dia jalani sejak dulu. Sementara itu, Selena dan Linggar akhirnya berhenti di pinggir lapangan sepak bola. Tempat itu cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang duduk berjauhan di pinggir tribun. Selena menyilangkan tangan di depan dada, menatap Linggar dengan alis terangkat. "Jadi, ada apa? Ngomong sekarang," tanya Selena dengan nada serius, tapi tidak kasar. Linggar menghela napas panjang, matanya menatap ke tanah sejenak sebelum kembali memandang Selena. "Lo... bisa lihat sesuatu di badan gue, kan?" tanyanya tiba-tiba, suaranya lebih pelan. Selena tersentak. "Maksud kamu?" Dia mencoba bersikap biasa saja, tapi sorot matanya sedikit bergetar. Linggar maju selangkah, suaranya terdengar lebih tegas, "Jangan pura-pura. Lo bisa lihat bayangan hitam itu, kan? Yang ada di badan gue. Jangan bohong." Selena terdiam, tubuhnya menegang seketika. Pertanyaan itu tidak hanya mengejutkannya, tetapi juga membuat rasa dingin menjalari punggungnya. ‘Bagaimana Linggar tahu aku bisa melihat hal itu?’ pikirnya, masih berusaha menyusun kata-kata. "Linggar... sebenarnya kamu tahu apa soal itu?" tanya Selena akhirnya, suaranya nyaris berbisik, penuh rasa penasaran bercampur takut. Selena menatap Linggar dengan perasaan campur aduk. Matanya beralih ke asap hitam pekat di belakang pemuda itu, yang kini semakin jelas membentuk siluet kepala dan setengah badan manusia. Wujud itu seolah menatap balik dengan tatapan tajam, memperingatkan Selena untuk tidak ikut campur. "Tolong gue," suara Linggar terdengar rendah, hampir berbisik, tapi penuh beban. Selena terkesiap. Dia tidak pernah menyangka Linggar yang selalu dingin dan acuh bisa meminta tolong seperti ini. "Gue tahu lu bisa lihat," lanjut Linggar sambil menatap Selena lurus-lurus. "Lu bahkan sempat ngusir bayangan itu dari gue. Gue mohon... tolong gue." Selena tertegun lebih dalam. Jadi, Linggar tahu selama ini? Bahwa dia pernah membantu mengusir sesuatu dari tubuhnya? Pikiran Selena berputar cepat, mencoba mengingat kejadian itu. "Tapi aku nggak yakin bisa bantu lagi," jawab Selena akhirnya. Suaranya terdengar ragu, pandangannya kembali melirik asap hitam yang masih bertahan di belakang Linggar, semakin terasa mengancam. "Asap itu selalu balik lagi." Linggar terdiam, rahangnya mengeras. Matanya yang tajam menyapu wajah Selena, seperti sedang menimbang sesuatu. "Kalo boleh tahu," Selena memberanikan diri bertanya, "kenapa asap itu ngikutin kamu?" Linggar menatapnya dengan dalam, lalu mengalihkan pandangannya. "Ceritanya panjang," sahutnya singkat. "Mungkin kalau aku tahu asal-usulnya, aku bisa lebih gampang cari cara untuk bantu," ujar Selena pelan tapi tegas. Linggar kembali terdiam, tatapannya mengarah ke kejauhan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sedang bergolak, seakan memutuskan apakah ia harus membuka semua rahasia itu atau tidak. "Pulang sekolah..." Linggar akhirnya bicara, suaranya sedikit lebih lembut. "Bisa ikut gue?" Selena mengerutkan alis. "Kemana?" tanyanya dengan nada curiga. "Gue akan ceritain semuanya," jawab Linggar. "Tapi nggak di sini. Bukan di lingkungan sekolah." Selena menggigit bibirnya, berpikir sejenak. Ia tahu ini berisiko, tapi rasa penasarannya semakin besar. Jika benar dia bisa membantu, bukankah itu kewajibannya? Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Okay," sahutnya singkat. Untuk pertama kalinya, Selena melihat Linggar tersenyum meski hanya sedikit, tapi ada ketulusan di baliknya. "Thanks," kata Linggar pelan, lalu menggantungkan kalimatnya. "Kamu..." “Selena, namaku Selena,” ucap gadis itu sembari mengulurkan tangan dengan senyuman yang lembut. Linggar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan itu. Rasanya aneh, mereka berada di kelas yang sama setiap hari, tapi Linggar baru benar-benar menyadari keberadaan Selena. Mungkin ia tahu, tapi tak pernah peduli. Sikap acuhnya terhadap sekitar membuat banyak hal berlalu begitu saja, apalagi Selena juga termasuk pendiam dan jarang berinteraksi dengan teman sekelas kecuali urusan sekolah. “Thanks, Selena,” ucap Linggar akhirnya. Selena mengangguk sambil tersenyum, senyum yang seolah menyalurkan sedikit ketenangan ke suasana yang biasanya dingin di antara mereka. Sepulang sekolah, Selena berjalan berdampingan dengan Rangga. Mereka menuju perpustakaan karena Rangga ingin meminjam buku untuk belajar. Saat itu, suara kecil yang sudah tak asing bagi Selena memanggilnya. “Selena…” Selena menoleh, mendapati Jovi muncul di dekat tangga perpustakaan. Wajahnya yang kecil tampak murung, seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya. “Eh, Jovi? Kamu kenapa?” tanya Selena dengan nada lembut. “Nggak punya temen main... Kamu sibuk terus,” jawab Jovi pelan, ekspresinya semakin suram. Sejak Jovi menemukan teman baru, Stela, Selena pikir ia akan lebih ceria. Tapi kenyataannya berbeda; teman itu ternyata hanya sementara dan sudah ‘pergi’ lebih dulu. “Kenapa kamu nggak ikut pergi, Jovi? Bukannya itu lebih baik?” tanya Selena hati-hati, berusaha membaca perasaan bocah itu. “Aku…” Jovi menggantung kalimatnya. Wajah sedihnya semakin terlihat jelas, membuat Selena merasa ada sesuatu yang berat sedang ditahan oleh bocah itu. “Jovi,” panggil Selena dengan lembut, berjongkok agar pandangan mereka sejajar. “Kamu semestinya sudah nggak di sini lagi. Kalau kamu nungguin sesuatu atau ada yang masih bikin kamu terikat di sini, kasih tahu aku. Aku akan bantu cari jalan keluar buat kamu.” Jovi menatap Selena sebentar, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba tubuhnya menghilang begitu saja, meninggalkan Selena yang terkejut dan celingukan. “Jovi? Kamu marah?” panggil Selena, tapi tidak ada jawaban. Bocah itu benar-benar hilang tanpa pamit, membuat Selena bingung sekaligus khawatir. Sejak pertama kali mengenal Jovi, Selena tahu ada sesuatu yang mengikatnya di dunia ini. Namun, hingga saat ini Jovi belum pernah memberitahu apa penyebabnya. Selena hanya bisa menebak bahwa ada sesuatu yang membuat bocah itu berat untuk pergi. Tapi apa? Dan mengapa ia memilih tetap tinggal? Selena tak pernah memaksa Jovi untuk bercerita. Baginya, semua harus datang dari kemauan Jovi sendiri. Jika bocah itu merasa siap, Selena yakin Jovi akan membuka diri. Untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu dengan sabar meskipun rasa penasaran terus menggelitik pikirannya. Dengan langkah perlahan, Selena meninggalkan tempat itu. Perhatiannya beralih pada Rangga yang masih sibuk mencari buku di rak lain. Ia berjalan mendekat, mengamati sahabatnya yang serius memindai judul-judul buku. “Dapet, Ra?” tanya Selena ketika sudah cukup dekat. Rangga menoleh, menampilkan senyum kecil sambil mengangkat sebuah buku yang kini ada di tangannya. “Dapet, nih,” sahutnya sambil menunjukkannya ke Selena.Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Selena dan Rangga membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit untuk perawatan luka terbuka di pelipisnya, sementara Linggar dan ayahnya diminta untuk menginap di hotel demi keselamatan mereka. Rumah itu dibiarkan kosong sementara waktu. Selena dan Ustadz Sholeh berencana melanjutkan pembersihan rumah Linggar begitu Ustadz Sholeh pulih."Kenapa bisa kepala kamu sampai bocor dihantam palu, Ustadz?" tanya ayah Nicholas dengan tawa kecil, karena Selena membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit tempat ayah Nicholas bekerja, dan kebetulan ayahnya yang menangani Ustadz Sholeh."Usia makin tua, tenaga juga makin berkurang, nggak secepat dulu," jawab Ustadz Sholeh sambil menyeringai, merasakan sakit di kepalanya.Di luar, Selena dan Rangga sedang berdiskusi tentang langkah selanjutnya untuk menangani siluman ular tersebut, ketika Selena kembali melihat sosok pria yang menangis di hari itu. Ternyata dia masih ada di sana, dan kelihatannya proses penyembuhannya belum menunjukkan perkembangan."Rangga, sosok
Selena menghubungi Rangga untuk pulang lebih dulu bersama Ustadz Sholeh, karena ia perlu pergi dengan perempuan yang baru ditemuinya di rumah sakit. Kini, Selena sudah tiba di rumah perempuan itu, yang terasa sangat nyaman.Di dalam rumah, terlihat foto pernikahan mereka yang menunjukkan kebahagiaan. Banyak foto kebersamaan yang tersebar di setiap sudut rumah, memperlihatkan cinta yang mendalam antara pasangan itu. Wanita tersebut keluar membawa dua cangkir teh dan menyajikannya kepada Selena."Minum, nak," ucap wanita itu."Terima kasih, tante," jawab Selena, disertai senyum dari wanita itu.Selena menikmati teh yang disajikan, sementara wanita tersebut tampak memperhatikan sekeliling rumahnya."Apakah suami saya ikut pulang?" tanya wanita itu."Ya, suami tante ada di belakang tante sekarang," jawab Selena."Tante, papaku bilang... kemungkinan suami tante untuk sadar sangat tipis, bahkan untuk bertahan hidup. Namun sepertinya dia masih belum bisa pergi karena ada urusan yang belum se
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny
Selena masuk kedalam kamar-kamar yang ada di ruangan itu, tapi Selena tak menemukan keberadaan Faaz, Selena terus memanggil Faaz, berharap akan ada sahutan. Dan saat itu Selena melihat nenek tua itu sedang muntah-muntah darah."Kak Faaz!" Panggil Selena dengan keras.Selena melihat Intan juga berubah menjadi mengerikan, Intan merangkak kesakitan, seluruh wajah nya berdarah-darah. Nenek tua itu tampak ngesot di lantai dan menuju ke sebuah pintu yang belum Selena masuki, Selena mengikutinya dan dia melihat Faaz."Kak Faaz!" Selena bergegas masuk dan langsung menghampiri Faaz yang sedang tak sadarkan diri."Kak Faaz! Bangun kak!" Selena menepuk Faaz tapi Faaz tetap tidak sadarkan diri."Kak Faaz, bangun ini Selena." Ujar Selena, dan saat itu Faaz membuka matanya."Kak, ayo kita pergi dari sini." Ujar Selena, dia menggandeng tangan Faaz tapi Faaz kebingungan."Kita dimana?" Tanya nya."Aku jelasin ntar, ayo sekarang kita pergi." Ujar Selena, dan menarik tangan Faaz.Faaz menutup mulut nya
Faaz duduk dan keheranan karena semua orang sedang mengaji, dan dia diletakkan di tengah seperti mayit. Tapi dari tatapan nya, Faaz terlihat seperti bukan Faaz.Ibunya hendak bangun dan menghampiri Faaz tapi dilarang oleh Selena."Jangan tante, tante harus tetap duduk." Ujar Selena."Kalian ngapain ngaji kayak gini!?" Faaz marah."Karena kami ingin mengeluarkan kamu, dari tubuh kak Faaz." Ujar Selena."Hei! Kamu pikir siapa kamu!? Suruh mereka berhenti!" Ujar Faaz, tapi tentu Selena tidak mendengarkan nya."Kamu nggak kenal dia, Fa? Dia Selena, bukan nya lo sering bahas dia?" Ujar Doni, dan Faaz tampak mengalami sakit kepala.'Selena?' Faaz seolah berpikir keras, siapa gerangan Selena yang dimaksud. "Kak Faaz nggak bakal inget, dia bukan dia karena di otak nya cuma dipenuhi oleh Intan." Ujar Selena, seketika Faaz menatap Selena."Mana pacar gue! Kalian apain pacar gue!" Faaz hendak menghampiri Selena tapi langkah nya terhenti karena dia seolah menabrak pembatas."Om, tante.. semuanya
Akhirnya pada sore harinya ketika kuliah berakhir, Doni langsung mencegah Faaz yang hendak keluar kelas. Faaz juga sudah mendapat panggilan dari ayah nya tapi Faaz menolak pulang dengan alasan dia ada tugas yang harus dikerjakan. "Fa, bokap lu nelpon gue, dia bilang minta lu pulang." Ujar Doni, Faaz menatap Doni dengan tatapan yang sangat dingin. "Lu yang minta, kan? Mau ngapain si lu!?" Ujar Faaz dan Doni sedikit tertegun. "Fa, lu tuh dalam bahaya dan kita semua sedang berusaha nyelamatin elu. Kita semua care sama nyawa lu jadi please pulang ya, Fa." Ujar Doni, Faaz hanya tersenyum dingin. "Nggak! Jangan ikut campur urusan gue, jangan deket-deket gue, jangan ganggu gue, lu paham!?" Ujar Faaz dengan penuh penekanan. Faaz hendak melangkah pergi tapi Doni akhirnya melakukan hal nekat. "BUGH!!" "UKH!" Doni memukul kepala Faaz sampai pingsan. "Sorry, Fa. Kalo nggak gini, lu nggak slamet." Ujar Doni, lalu menyeret tubuh Faaz. Selena sedang berjalan menuju ke kelas Faaz dan