Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung.
"Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya. Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran. Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat. Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati. Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat. Mereka kembali berjalan, tapi Selena yang merasa ada sesuatu yang aneh akhirnya berhenti lagi. Kali ini dia benar-benar menatap Rangga dengan dahi berkerut. "Ra, kenapa dari tadi kamu ngikutin aku dari belakang terus? Serem tau," katanya, setengah bercanda. "Kan aku jagain kamu," jawab Rangga singkat. Selena mendengus keras, lalu menepuk keningnya. "Astaga, Rangga! Kita tuh sahabatan dari kecil. Nggak usah kaku gitu. Aku jadi ngerasa jauh sama kamu," ujarnya sambil melipat tangan di depan dada. "Ng-nggak maksudku kayak gitu, aku cuma… cuma…" Rangga tergagap, jelas merasa salah tingkah. Selena langsung merangkul pundak sahabatnya itu, membuat Rangga semakin kaku. "Dengar ya, Rangga. Kita ini udah kayak keluarga. Kamu nggak perlu terlalu formal. Kalau kamu terus-terusan gitu, aku malah mikir kamu nggak anggap aku sahabat," ucapnya sambil menatap lurus ke depan. Rangga tersenyum tipis, meski wajahnya sedikit memerah. "Aku cuma pengen jagain kamu, Selena. Itu aja," ujarnya pelan. "Tapi kamu bisa jagain aku tanpa perlu jadi robot, kan? Udah, mulai sekarang jalan sejajar sama aku. Jangan di belakang. Aku cuma anak angkat Papa, Ra, bukan putri kerajaan," katanya sambil terkekeh, berusaha mencairkan suasana. Rangga akhirnya mengangguk. "Oke, oke… Sejajar, ya," katanya sambil tersenyum kecil, mengikuti langkah Selena yang kini merangkul pundaknya. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Tubuh Rangga yang jauh lebih tinggi membuat tangan Selena harus sedikit terangkat untuk bisa merangkul pundaknya, tapi dia tetap melakukannya dengan santai. Setibanya di kelas, Selena langsung mengedarkan pandangannya. Ia mencari sosok Linggar, namun tidak menemukannya di mana pun. "Dia nggak masuk, ya?" batin Selena, sedikit kecewa. Meski begitu, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dan kembali duduk di kursi favoritnya, sementara Rangga duduk tak jauh darinya. Namun, tepat saat Selena hendak mengalihkan pandangan dari tempat duduk Linggar yang kosong, sosok yang ia cari justru muncul, melangkah masuk ke dalam kelas dengan tenang. Selena terpaku, matanya otomatis tertuju pada Linggar yang berjalan mendekatinya. Linggar berhenti di hadapan Selena, membuatnya sedikit terkejut hingga secara refleks berseru, "Eh!" Kehadiran Linggar yang tiba-tiba itu tak luput dari perhatian Rangga maupun teman-teman sekelas mereka. Rangga, yang sejak awal tak menyukai kehadiran Linggar, kini memasang ekspresi datar, meski hatinya bergejolak. Bagi Rangga, Linggar terlalu misterius, wajahnya selalu terlihat dingin tanpa sedikit pun menampakkan keramahan. "Thanks," ucap Linggar singkat, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar Selena. Selena hanya bisa mengernyit heran. "Thanks? Maksudnya apa?" pikirnya. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Linggar langsung berjalan menuju tempat duduknya. Selena, yang masih bingung dengan ucapannya, akhirnya kembali ke kursinya sendiri. Namun, rasa penasaran itu tetap menggantung di benaknya. Sambil duduk, ia kembali melirik ke arah Linggar, yang kini sibuk menatap buku di mejanya. Tapi Selena tak bisa mengabaikan sesuatu yang aneh, asap hitam kembali mengepul samar di belakang Linggar. Asap itu terlihat seperti merayap, mengelilingi tubuhnya, membuat suasana di sekitarnya terasa berat dan gelap. Selena menelan ludah. Ia tidak tahu mengapa asap itu terus melekat pada Linggar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Sadar dirinya sedang diperhatikan, Linggar tiba-tiba mengangkat pandangannya dan menatap lurus ke arah Selena. Jantung Selena berdebar keras, dan tanpa sadar, ia segera memalingkan wajahnya ke depan, pura-pura sibuk dengan buku di mejanya. "Ya Allah, tolong aku... Bantu aku menyingkirkan iblis itu," batin Selena dengan penuh harap. Sementara itu, di tempat lain... Ustad Sholeh duduk di bawah pohon rindang di depan rumah Selena di kampung. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, namun pikirannya tak tenang. Sejak tadi malam, ia merasa terus dihantui mimpi yang sama, seorang ratu dengan tatapan bengis selalu datang dalam tidurnya. "Kenapa wajah itu terasa begitu nyata?" gumamnya, menatap lurus ke arah daun-daun yang melambai pelan di atasnya. Mimpi itu bukan hanya sekedar bunga tidur, ia yakin akan hal itu. Sebagai seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman dalam menghadapi hal-hal gaib, Ustad Sholeh merasa firasatnya tidak salah. Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan hal itu jelas bukan pertanda baik. "Semoga semua baik-baik saja," doanya lirih, meski jauh di dalam hatinya ia tahu, sesuatu tengah mendekat. Sesuatu yang mungkin akan mengguncang keseimbangan di sekitar Selena dan keluarganya. ** Saat bel istirahat berbunyi, Selena dan Rangga berjalan beriringan menuju kantin sambil tertawa kecil membahas sesuatu yang mereka anggap lucu. Langkah keduanya santai, namun suasana berubah ketika mereka mendapati Linggar berdiri di koridor, menyenderkan tubuhnya di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya tajam, seperti menunggu seseorang. Linggar kemudian melangkah mendekati mereka, membuat Selena tiba-tiba tegang. Wajah Linggar yang seperti menyimpan kemarahan membuat Selena gugup. "Lo bisa ikut gue sebentar?" tanya Linggar, nadanya datar namun tegas, matanya langsung menatap Selena. "Eh, aku?" Selena menunjuk dirinya sendiri, bingung. "Iya. Gue mau ngomong," jawab Linggar singkat, lalu tanpa basa-basi, meraih tangan Selena. Namun, Rangga dengan sigap menahan tangan Selena yang lain, membuat suasana di koridor memanas. "Ngomong di sini aja! Emangnya nggak bisa?" bentak Rangga, maju setengah langkah menghadapi Linggar. Keributan kecil itu langsung menarik perhatian siswa lain di sekitar. Mereka mulai berbisik-bisik, sebagian bahkan menutup mulut, terkejut melihat adegan yang berlangsung. Dari luar, situasi ini tampak seperti perebutan cinta. Setelah sebelumnya melihat interaksi Selena dan Linggar yang intens, sekarang ditambah sikap protektif Rangga, gosip tentang cinta segitiga Selena, Linggar, dan Rangga pun berhembus cepat di antara mereka. "Ini bukan urusan lo. Minggir," ujar Linggar dengan tatapan dinginnya, suaranya nyaris seperti desisan. Tanpa memperdulikan Rangga, dia menarik tangan Selena lebih keras. "Aduh!" seru Selena, hampir terhuyung ke depan karena tarikan itu. "Selena!" Rangga langsung menahan tubuh Selena agar tidak jatuh. Matanya membara, tak bisa menahan emosi. "Lu itu sopan dikit sama anak cewek! Lepas!" hardik Rangga, nadanya semakin tajam. "Lo yang lepas. Gue cuma mau ngomong sama dia," balas Linggar, tetap menggenggam tangan Selena erat-erat. Ketegangan memuncak, dua pemuda itu saling bertatapan tajam, seperti dua api yang siap membakar. Selena, yang terjepit di antara mereka, merasa kesal. Dengan gerakan cepat, ia mengibaskan kedua tangannya, melepaskan genggaman baik dari Linggar maupun Rangga. "Oi! Kalian berdua lepasin tangan gue! Gue nggak boneka yang bisa ditarik-tarik sembarangan!" Selena berseru, suaranya penuh amarah dan membuat beberapa siswa yang melihat menahan tawa. Linggar dan Rangga sama-sama terdiam. Selena mendengus kesal, melipat tangan di depan badannya, lalu menatap Linggar."Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Ustadz Sholeh memperhatikan sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari hias. Pintu itu dicat hitam, terkunci rapat, dan besinya tampak berkarat, menandakan bahwa pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya."Tolong cari alat untuk membuka gembok ini," kata Ustadz Sholeh."Iya, Ustadz." Linggar segera keluar dari kamar dan kembali tak lama kemudian dengan palu besar di tangannya.Namun, langkah Linggar terlihat aneh. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, namun tangannya menggenggam erat gagang palu dan berjalan menuju Ustadz Sholeh. Selena, yang sebelumnya berada di bawah, terkejut saat kembali masuk ke kamar ayah Linggar dan melihat Linggar bersiap melayangkan palunya ke arah Ustadz Sholeh."Ustadz, hati-hati!" teriak Selena, dan dengan cepat Ustadz Sholeh menghindar, meskipun tetap terkena pukulan di pelipisnya.Pelipis Ustadz Sholeh berdarah, dan rasa pusing langsung menyusul akibat hantaman palu itu. Linggar terus menyerang tanpa kontrol, sementara Ustadz Sholeh berusaha menghindar
Selena dan Rangga membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit untuk perawatan luka terbuka di pelipisnya, sementara Linggar dan ayahnya diminta untuk menginap di hotel demi keselamatan mereka. Rumah itu dibiarkan kosong sementara waktu. Selena dan Ustadz Sholeh berencana melanjutkan pembersihan rumah Linggar begitu Ustadz Sholeh pulih."Kenapa bisa kepala kamu sampai bocor dihantam palu, Ustadz?" tanya ayah Nicholas dengan tawa kecil, karena Selena membawa Ustadz Sholeh ke rumah sakit tempat ayah Nicholas bekerja, dan kebetulan ayahnya yang menangani Ustadz Sholeh."Usia makin tua, tenaga juga makin berkurang, nggak secepat dulu," jawab Ustadz Sholeh sambil menyeringai, merasakan sakit di kepalanya.Di luar, Selena dan Rangga sedang berdiskusi tentang langkah selanjutnya untuk menangani siluman ular tersebut, ketika Selena kembali melihat sosok pria yang menangis di hari itu. Ternyata dia masih ada di sana, dan kelihatannya proses penyembuhannya belum menunjukkan perkembangan."Rangga, sosok
Setelah Selena memastikan ayahnya sudah masuk kedalam kamarnya untuk istirahat, Selena pun kini kembali ke kamarnya sendiri dengan rasa bersalahnya. Selena tau rumah itu dipagari dan pagarnya juga sangat kuat, tapi Selena tidak terpikirkan bahwa semakin kuat pagar gaibnya maka semakin besar juga usaha yang dikerahkan ayah Nicholas.'Jangan khawatir Selena, aki bisa menjaga kamu dan rumah ini.’ Tiba-tiba suara aki muncul."Makasih aki, tapi aku tetep merasa bersalah sama papa." Ujar Selena."Aku akan belajar untuk memagari rumah ini sendirian, supaya nggak bikin papa capek." Ujar Selena.Selena akhirnya masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dan ketika dia sedang mandi dia kembali teringat dengan sosok-sosok yang berada di rumah Pak Hasan yang menyambutnya dengan ramah.Sosoknya ada yang berupa binatang macan putih yang sangat besar bahkan lebih besar dari gajah, lalu ada yang seperti aki namun dalam versi lebih pendek sedikit, dan juga ada yang seperti manusia biasa na
Selena berdiri di luar ruangan Intan setelah berhasil melepaskan susuk terakhir dari Intan, dan Intan akhirnya sudah berpulang.."Pada akhirnya, dia meninggal dengan menderita." Gumam Selena."Kita sampein maafnya ke keluarganya Roy besok, Roy juga masih belum bisa pergi kan?" Tanya Linggar, dan Selena mengangguk."Siapa tau setelah ini dia bisa pergi dengan damai." Ujar Linggar."Iya.." Ujar Selena.Ya, Roy.. Sebelum Intan meninggal, dia menyebut nama Roy. Dia mengakui dirinya juga membuat Roy kehilangan akal. Ibunya tidak tahu siapa Roy, tapi Selena memberi tahu bahwa Roy adalah kakak seniornya di kampus."Yuk, makan dulu. Kita ampe lupa makan dari siang." Ujar elang dan Selena kembali mengangguk.Pak Hasan sudah lebih dulu pergi untuk melebur semua susuk yang keluar dari tubuh Intan, ada sekitar 17 susuk yang ditempatkan di setiap titik mata memandang sehingga banyak pria yang tertarik melihat Intan karena banyaknya susuk yang terpasang.Intan dan Linggar kini sedang berada di rest
Selena dan Linggar sedang duduk di dalam mobil, Selena masih memikirkan apa yang dilihatnya di alam astral dan yang terjadi di dunia nyata berbeda tapi berujung sama. Kini harapan mereka yang bisa menolong Intan sudah tidak ada, lalu apa Intan bisa ditolong?Sebelumnya, ibu-ibu yang mereka temui itu memberitahu kematian nenek Darsih yang tidak normal juga.(Kisah Balik Bermula)"Kami di kampung ini semua tahu nenek Darsih tuh siapa, dia ilmunya tinggi sampe banyak pelanggan yang dateng. Tapi seminggu lalu, nggak tau kenapa dia nggak pernah keluar dari rumah." Ujar ibu-ibu itu."Terus baru tiga hari lalu semua warga di sini curiga dengan rumah nenek Darsih yang baunya banget-bangetan, bau bangke! Semua orang pun akhirnya mendobrak masuk dan mereka menemukan jasadnya nenek Darsih yang udah busuk dibelatungin." Ujar ibu-ibu itu lagi."Inalillahi.." Selena bergumam."Nggak tau itu nenek meninggalnya dari kapan, ditemuinnya udah busuk dan belatungan. Baunya beeuuhh.. Naudzubillah!""Nggak
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny