Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung.
"Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya. Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran. Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat. Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati. Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat. Mereka kembali berjalan, tapi Selena yang merasa ada sesuatu yang aneh akhirnya berhenti lagi. Kali ini dia benar-benar menatap Rangga dengan dahi berkerut. "Ra, kenapa dari tadi kamu ngikutin aku dari belakang terus? Serem tau," katanya, setengah bercanda. "Kan aku jagain kamu," jawab Rangga singkat. Selena mendengus keras, lalu menepuk keningnya. "Astaga, Rangga! Kita tuh sahabatan dari kecil. Nggak usah kaku gitu. Aku jadi ngerasa jauh sama kamu," ujarnya sambil melipat tangan di depan dada. "Ng-nggak maksudku kayak gitu, aku cuma… cuma…" Rangga tergagap, jelas merasa salah tingkah. Selena langsung merangkul pundak sahabatnya itu, membuat Rangga semakin kaku. "Dengar ya, Rangga. Kita ini udah kayak keluarga. Kamu nggak perlu terlalu formal. Kalau kamu terus-terusan gitu, aku malah mikir kamu nggak anggap aku sahabat," ucapnya sambil menatap lurus ke depan. Rangga tersenyum tipis, meski wajahnya sedikit memerah. "Aku cuma pengen jagain kamu, Selena. Itu aja," ujarnya pelan. "Tapi kamu bisa jagain aku tanpa perlu jadi robot, kan? Udah, mulai sekarang jalan sejajar sama aku. Jangan di belakang. Aku cuma anak angkat Papa, Ra, bukan putri kerajaan," katanya sambil terkekeh, berusaha mencairkan suasana. Rangga akhirnya mengangguk. "Oke, oke… Sejajar, ya," katanya sambil tersenyum kecil, mengikuti langkah Selena yang kini merangkul pundaknya. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Tubuh Rangga yang jauh lebih tinggi membuat tangan Selena harus sedikit terangkat untuk bisa merangkul pundaknya, tapi dia tetap melakukannya dengan santai. Setibanya di kelas, Selena langsung mengedarkan pandangannya. Ia mencari sosok Linggar, namun tidak menemukannya di mana pun. "Dia nggak masuk, ya?" batin Selena, sedikit kecewa. Meski begitu, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dan kembali duduk di kursi favoritnya, sementara Rangga duduk tak jauh darinya. Namun, tepat saat Selena hendak mengalihkan pandangan dari tempat duduk Linggar yang kosong, sosok yang ia cari justru muncul, melangkah masuk ke dalam kelas dengan tenang. Selena terpaku, matanya otomatis tertuju pada Linggar yang berjalan mendekatinya. Linggar berhenti di hadapan Selena, membuatnya sedikit terkejut hingga secara refleks berseru, "Eh!" Kehadiran Linggar yang tiba-tiba itu tak luput dari perhatian Rangga maupun teman-teman sekelas mereka. Rangga, yang sejak awal tak menyukai kehadiran Linggar, kini memasang ekspresi datar, meski hatinya bergejolak. Bagi Rangga, Linggar terlalu misterius, wajahnya selalu terlihat dingin tanpa sedikit pun menampakkan keramahan. "Thanks," ucap Linggar singkat, suaranya rendah tapi cukup jelas untuk didengar Selena. Selena hanya bisa mengernyit heran. "Thanks? Maksudnya apa?" pikirnya. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Linggar langsung berjalan menuju tempat duduknya. Selena, yang masih bingung dengan ucapannya, akhirnya kembali ke kursinya sendiri. Namun, rasa penasaran itu tetap menggantung di benaknya. Sambil duduk, ia kembali melirik ke arah Linggar, yang kini sibuk menatap buku di mejanya. Tapi Selena tak bisa mengabaikan sesuatu yang aneh, asap hitam kembali mengepul samar di belakang Linggar. Asap itu terlihat seperti merayap, mengelilingi tubuhnya, membuat suasana di sekitarnya terasa berat dan gelap. Selena menelan ludah. Ia tidak tahu mengapa asap itu terus melekat pada Linggar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Sadar dirinya sedang diperhatikan, Linggar tiba-tiba mengangkat pandangannya dan menatap lurus ke arah Selena. Jantung Selena berdebar keras, dan tanpa sadar, ia segera memalingkan wajahnya ke depan, pura-pura sibuk dengan buku di mejanya. "Ya Allah, tolong aku... Bantu aku menyingkirkan iblis itu," batin Selena dengan penuh harap. Sementara itu, di tempat lain... Ustad Sholeh duduk di bawah pohon rindang di depan rumah Selena di kampung. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, namun pikirannya tak tenang. Sejak tadi malam, ia merasa terus dihantui mimpi yang sama, seorang ratu dengan tatapan bengis selalu datang dalam tidurnya. "Kenapa wajah itu terasa begitu nyata?" gumamnya, menatap lurus ke arah daun-daun yang melambai pelan di atasnya. Mimpi itu bukan hanya sekedar bunga tidur, ia yakin akan hal itu. Sebagai seseorang yang memiliki ilmu dan pengalaman dalam menghadapi hal-hal gaib, Ustad Sholeh merasa firasatnya tidak salah. Ada sesuatu yang sedang terjadi, dan hal itu jelas bukan pertanda baik. "Semoga semua baik-baik saja," doanya lirih, meski jauh di dalam hatinya ia tahu, sesuatu tengah mendekat. Sesuatu yang mungkin akan mengguncang keseimbangan di sekitar Selena dan keluarganya. ** Saat bel istirahat berbunyi, Selena dan Rangga berjalan beriringan menuju kantin sambil tertawa kecil membahas sesuatu yang mereka anggap lucu. Langkah keduanya santai, namun suasana berubah ketika mereka mendapati Linggar berdiri di koridor, menyenderkan tubuhnya di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya tajam, seperti menunggu seseorang. Linggar kemudian melangkah mendekati mereka, membuat Selena tiba-tiba tegang. Wajah Linggar yang seperti menyimpan kemarahan membuat Selena gugup. "Lo bisa ikut gue sebentar?" tanya Linggar, nadanya datar namun tegas, matanya langsung menatap Selena. "Eh, aku?" Selena menunjuk dirinya sendiri, bingung. "Iya. Gue mau ngomong," jawab Linggar singkat, lalu tanpa basa-basi, meraih tangan Selena. Namun, Rangga dengan sigap menahan tangan Selena yang lain, membuat suasana di koridor memanas. "Ngomong di sini aja! Emangnya nggak bisa?" bentak Rangga, maju setengah langkah menghadapi Linggar. Keributan kecil itu langsung menarik perhatian siswa lain di sekitar. Mereka mulai berbisik-bisik, sebagian bahkan menutup mulut, terkejut melihat adegan yang berlangsung. Dari luar, situasi ini tampak seperti perebutan cinta. Setelah sebelumnya melihat interaksi Selena dan Linggar yang intens, sekarang ditambah sikap protektif Rangga, gosip tentang cinta segitiga Selena, Linggar, dan Rangga pun berhembus cepat di antara mereka. "Ini bukan urusan lo. Minggir," ujar Linggar dengan tatapan dinginnya, suaranya nyaris seperti desisan. Tanpa memperdulikan Rangga, dia menarik tangan Selena lebih keras. "Aduh!" seru Selena, hampir terhuyung ke depan karena tarikan itu. "Selena!" Rangga langsung menahan tubuh Selena agar tidak jatuh. Matanya membara, tak bisa menahan emosi. "Lu itu sopan dikit sama anak cewek! Lepas!" hardik Rangga, nadanya semakin tajam. "Lo yang lepas. Gue cuma mau ngomong sama dia," balas Linggar, tetap menggenggam tangan Selena erat-erat. Ketegangan memuncak, dua pemuda itu saling bertatapan tajam, seperti dua api yang siap membakar. Selena, yang terjepit di antara mereka, merasa kesal. Dengan gerakan cepat, ia mengibaskan kedua tangannya, melepaskan genggaman baik dari Linggar maupun Rangga. "Oi! Kalian berdua lepasin tangan gue! Gue nggak boneka yang bisa ditarik-tarik sembarangan!" Selena berseru, suaranya penuh amarah dan membuat beberapa siswa yang melihat menahan tawa. Linggar dan Rangga sama-sama terdiam. Selena mendengus kesal, melipat tangan di depan badannya, lalu menatap Linggar."Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Jakarta, 10 Oktober 2022."Tess!""Tess!""Di mana aku.."Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena.Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri."Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah."Rangga?"Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya.Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya."Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba."Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingu
Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Jakarta, 10 Oktober 2022."Tess!""Tess!""Di mana aku.."Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena.Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri."Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah."Rangga?"Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya.Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya."Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba."Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingu