Jakarta, 10 Oktober 2022.
"Tess!" "Tess!" "Di mana aku.." Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena. Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri. "Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah. "Rangga?" Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya. Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya. "Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba. "Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingungan. "Ya, menurutmu siapa lagi? Aku peringatkan sekali lagi, jangan ikut campur atau akan ada konsekuensinya," kata wanita itu. "Maaf, saya kurang memahami maksud Anda, Nyai," jawab Selena, menyapa sosok itu dengan sebutan Nyai. "Aku tidak akan mengganggumu karena ada yang melindungimu. Tapi jika kamu terus mencampuri urusanku, sebesar apa pun pelindungmu, akan kuhadapi," ujar wanita itu dengan tegas. Sosok tersebut lalu berbalik dan perlahan menghilang di tengah kabut. "Nyai, tunggu!" panggil Selena, tetapi wanita berbusana kerajaan kuno itu telah pergi. Selena melangkah lebih jauh ke depan, mencoba mencari sosok perempuan itu, memusatkan pandangannya, namun tetap tidak menemukannya. Hingga tiba-tiba, sesosok wajah mengerikan dengan mata hitam pekat dan mulut menganga muncul tepat di hadapannya. "AAAH!!" Selena tersentak ketakutan. Ternyata, Selena hanya bermimpi. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, syok dengan mimpi yang baru dialaminya. "Astaghfirullah.. Sudah berkali-kali aku bermimpi hal seperti ini, ada apa ini, ya Allah..." gumam Selena, masih terguncang. Ia bangkit dan meminum air putih dari nakasnya, lalu menyadari sosok teteh putih menatapnya dengan tatapan tajam. "Teteh, ada apa?" tanya Selena, keheranan. "Hati-hati, ya, Selena..." ujar Teteh Putih sambil mengusap rambut panjangnya. "Hati-hati? Aku kan hanya tidur, bukan mau pergi," balas Selena bingung. "Pokoknya hati-hati, Selena..." ulang Teteh Putih, lalu dia mulai menangis dan perlahan menghilang. Selena tertegun melihatnya, merasa aneh dengan sikap Teteh Putih yang tiba-tiba murung. Namun, ia tak terlalu memikirkannya lagi. Ketika melihat jam, ternyata sudah menjelang pagi, dan Selena pun bangun untuk berwudhu di kamar mandi. Sudah beberapa bulan berlalu sejak Nicholas pergi ke luar negeri, dan selama itu, Selena masih terus membantu sosok-sosok atau orang-orang yang terkena gangguan tanpa bantuan Nicholas. Kini, ia ditemani oleh Rangga, yang tinggal di rumah ayah Nicholas sebagai pelindung sekaligus teman bagi Selena. Musim hujan pun tiba, dan setiap hari hujan terus turun, seperti pagi ini, saat Selena sudah siap mengenakan seragam sekolahnya, hujan deras mengguyur di luar. "Nak, nanti Papa ada jadwal operasi, jadi mungkin pulangnya agak malam," ujar ayah Nicholas sambil sarapan bersama Selena. Rangga duduk di meja yang sama, ikut sarapan bersama mereka. "Baik, Pa," sahut Selena sambil tersenyum. "Kenapa abangmu tidak menelepon hari ini? Biasanya pagi-pagi sudah ribut seperti orang demo," tanya ayah Nicholas, membuat Selena tertawa kecil. "Tadi malam bilangnya pagi ini tidak telepon, katanya sedang sibuk," jawab Selena. "Hmm, sok sibuk," ujar ayah Nicholas sambil terkekeh, membuat Selena ikut tertawa. "Mungkin nggak ya, Pa, kalau Bang Nicholas sudah punya pacar?" tanya Selena sambil tersenyum lebar. "Bisa jadi," sahut Rangga menimpali. "Hmm... menurut Papa, itu kecil kemungkinan. Abangmu bukan tipe yang mudah tertarik untuk pacaran dengan orang asing. Lagipula, budaya di sana sangat berbeda dengan budaya kita, pergaulannya sangat.. bebas," jawab ayah Nicholas. "Iya juga sih.. Bang Nicholas itu kayak tembok," celetuk Selena, membuat ayahnya tertawa kecil. "Tanya saja langsung ke abangmu, siapa tahu dia bisa jawab rasa penasaranmu," ujar ayah Nicholas. "Papa pergi dulu ya, hati-hati ke sekolah," ujar ayahnya. Selena pun mencium tangan ayah Nicholas, diikuti oleh Rangga yang melakukan hal sama. Meskipun Rangga bekerja di rumah itu, ayah Nicholas memperlakukannya dengan penuh kebaikan, seolah-olah ia bagian dari keluarga. Setelah itu, Selena dan Rangga berangkat ke sekolah. Saat di dalam mobil, tiba-tiba Nicholas menelepon lewat video, membuat Selena tersenyum senang. "Abang!" panggil Selena dengan antusias. Terdengar suara tawa dari Nicholas di seberang. "Mau berangkat sekolah, ya?" tanya Nicholas, dan Selena mengangguk. "Iya, tapi suara Abang bindeng, sakit ya?" tanya Selena khawatir. "Hmm, beberapa bulan nggak ketemu, anak cerewet jadi sakit, nih," sahut Nicholas, membuat Selena cemberut sambil terkekeh. "Bilang aja kangen, kan.." ledek Selena, membuat Nicholas tertawa kecil. Rangga tersenyum melihat keakraban Selena dengan abang kandungnya. Selena yang baik hati memang selalu bisa membuat orang di sekitarnya menyayanginya. Rangga teringat masa kecil mereka, saat dirinya menjadi satu-satunya teman Selena karena Selena sering dianggap aneh. Tapi sekarang, semua orang menyayanginya. Rangga merasa senang melihat perubahan itu. Selena dan Nicholas hanya berbicara sebentar, sekitar sepuluh menit saja, karena Nicholas sedang sangat sibuk. Namun, ia tetap menyempatkan diri untuk menghubungi Selena. Sesampainya di sekolah, mereka melanjutkan pelajaran seperti biasa, hingga akhirnya tiba waktu istirahat. Saat itu, Linggar, pemuda berwajah dingin yang selalu terlihat tak tersenyum, mendekati Selena. "Linggar, ada apa?" tanya Selena. "Bisa ikut gue sebentar?" tanya Linggar. "Eh, kemana?" tanya Selena, namun Linggar hanya diam dan menatapnya. Selena merasa ngeri karena tatapan Linggar sulit untuk dipahami. "Selena, kenapa?" tanya Rangga, sambil menatap Linggar. Linggar juga melirik Rangga. Suasana di kelas mendadak tegang, dengan Selena dikelilingi dua cowok tampan yang kepribadiannya begitu berbeda, Linggar yang dingin seperti es dan Rangga yang hangat seperti api. "Nanti aja," kata Linggar singkat, lalu pergi meninggalkan Selena. Selena pun menghela napas panjang setelah Linggar pergi. "Kenapa, Selena? Dia ganggu kamu?" tanya Rangga, terlihat khawatir. "Ayo, kita keluar dulu. Nanti aku ceritakan di kantin," ajak Selena, dan Rangga mengangguk setuju. Mereka pun keluar dari kelas, dan Selena mulai menceritakan mengapa Linggar mendatanginya. Rangga hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita Selena. "Hm.. tapi kayaknya dia anak nakal, ya? Wajahnya bengis banget, nggak ada senyum-senyumnya," komentar Rangga. Selena terkekeh mendengarnya. "Jangan gitu, nanti kalau dia dengar gimana?" ujar Selena sambil tertawa, lalu mereka mLinggarkah ke kantin. “Cuma nggak nyangka aja.. aku harus bertemu dengan calon tumbal pesugihan di zaman yang sudah sangat maju ini. Entah orang tua Linggar yang terlibat, atau mungkin Linggar punya nasib yang sama seperti aku dulu,” pikir Selena dalam hati. Selena sudah paham arti dari asap hitam yang sering mengikuti seseorang, artinya orang itu akan segera meninggal karena akan dijadikan tumbal dalam pesugihan. Beruntung, Selena telah dilatih oleh Ustadz Sholeh dan ayah Nicholas, jadi dia bisa mengenali dan mengusirnya, dengan bantuan sosok aki. Setelah itu, Selena merasa perutnya sangat sakit. Dia memutuskan untuk pergi ke toilet, meninggalkan Rangga yang sedang makan di kantin. Meskipun Rangga ingin ikut, Selena melarangnya dan menyuruhnya untuk melanjutkan makan. "Aduh.. sakit banget," gumam Selena sambil memegang perutnya yang terasa melilit. Saat keluar dari toilet, Selena tak sengaja bertemu dengan Linggar yang baru keluar dari kamar mandi. Saat itu, dia melihat asap hitam kembali mengelilingi Linggar. “Asapnya ada lagi..” pikir Selena, khawatir. "Ikut gue," kata Linggar, sambil menarik tangan Selena menjauh dari toilet. Mereka berdua kini berada di samping lapangan tenis. "Linggar, maaf," kata Selena, sambil menggenggam tangan Linggar dengan erat dan memejamkan matanya. Linggar terdiam, terkejut, sambil memandang tangan yang digenggam oleh Selena. Ia juga memperhatikan Selena yang tampak sangat fokus dengan mata terpejam. Di dalam hati Selena, ia sedang melihat sosok wanita cantik seperti ratu, mengenakan pakaian kuno, namun matanya tampak seperti mata reptil. Selena hanya bisa melihat setengah tubuh sosok itu, yang kemudian berkata sesuatu padanya. "Jangan ikut campur, nak.." kata sosok itu dengan senyuman, tapi senyumnya penuh makna. "Aku akan menyelamatkannya," jawab Selena tegas, lalu membuka matanya dan bertemu tatap dengan Linggar. "Lu, mau menyelamatkan siapa?" tanya Linggar, bingung. "Elu.." jawab Selena, lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Linggar. Waktu istirahat kelas Selena pun berakhir, dan Selena buru-buru berlari meninggalkan Linggar yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Nyelametin gue?" gumam Linggar pelan. Sebelumnya, dia berniat bertanya sesuatu pada Selena, namun kini semua rencananya terlupakan setelah Selena mengatakan hal yang sangat aneh.Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Jakarta, 10 Oktober 2022."Tess!""Tess!""Di mana aku.."Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena.Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri."Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah."Rangga?"Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya.Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya."Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba."Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingu