Jakarta, 10 Oktober 2022.
"Tess!" "Tess!" "Di mana aku.." Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan perlahan di sebuah tempat yang asing. Langkahnya penuh keraguan, karena ketakutan menyelimutinya. Gadis itu adalah Selena. Selena menelusuri area yang lembab dan diselimuti kabut tebal. Suasana di sekitarnya terasa suram, dan jarak pandangnya terbatas hanya beberapa meter dari tempat ia berdiri. "Papa?" panggil Selena, berharap ayah angkatnya mendengar. Namun, keanehan tempat itu membuatnya semakin resah. "Rangga?" Selena melangkah dengan hati-hati, seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan. Lalu, dari balik kabut di depannya, tampak sosok perempuan berdiri mengenakan busana kerajaan zaman dahulu, dengan bunga melati menghiasi sisi kanan kepalanya. Wanita itu berdiri membelakangi Selena. Rasa penasaran menyelimuti Selena, namun ia tetap diam, hanya memperhatikan tanpa berani bertanya. "Jangan ikut campur, Nak," ujar perempuan itu tiba-tiba. "Anda berbicara padaku?" tanya Selena kebingungan. "Ya, menurutmu siapa lagi? Aku peringatkan sekali lagi, jangan ikut campur atau akan ada konsekuensinya," kata wanita itu. "Maaf, saya kurang memahami maksud Anda, Nyai," jawab Selena, menyapa sosok itu dengan sebutan Nyai. "Aku tidak akan mengganggumu karena ada yang melindungimu. Tapi jika kamu terus mencampuri urusanku, sebesar apa pun pelindungmu, akan kuhadapi," ujar wanita itu dengan tegas. Sosok tersebut lalu berbalik dan perlahan menghilang di tengah kabut. "Nyai, tunggu!" panggil Selena, tetapi wanita berbusana kerajaan kuno itu telah pergi. Selena melangkah lebih jauh ke depan, mencoba mencari sosok perempuan itu, memusatkan pandangannya, namun tetap tidak menemukannya. Hingga tiba-tiba, sesosok wajah mengerikan dengan mata hitam pekat dan mulut menganga muncul tepat di hadapannya. "AAAH!!" Selena tersentak ketakutan. Ternyata, Selena hanya bermimpi. Ia terbangun dengan napas terengah-engah, syok dengan mimpi yang baru dialaminya. "Astaghfirullah.. Sudah berkali-kali aku bermimpi hal seperti ini, ada apa ini, ya Allah..." gumam Selena, masih terguncang. Ia bangkit dan meminum air putih dari nakasnya, lalu menyadari sosok teteh putih menatapnya dengan tatapan tajam. "Teteh, ada apa?" tanya Selena, keheranan. "Hati-hati, ya, Selena..." ujar Teteh Putih sambil mengusap rambut panjangnya. "Hati-hati? Aku kan hanya tidur, bukan mau pergi," balas Selena bingung. "Pokoknya hati-hati, Selena..." ulang Teteh Putih, lalu dia mulai menangis dan perlahan menghilang. Selena tertegun melihatnya, merasa aneh dengan sikap Teteh Putih yang tiba-tiba murung. Namun, ia tak terlalu memikirkannya lagi. Ketika melihat jam, ternyata sudah menjelang pagi, dan Selena pun bangun untuk berwudhu di kamar mandi. Sudah beberapa bulan berlalu sejak Nicholas pergi ke luar negeri, dan selama itu, Selena masih terus membantu sosok-sosok atau orang-orang yang terkena gangguan tanpa bantuan Nicholas. Kini, ia ditemani oleh Rangga, yang tinggal di rumah ayah Nicholas sebagai pelindung sekaligus teman bagi Selena. Musim hujan pun tiba, dan setiap hari hujan terus turun, seperti pagi ini, saat Selena sudah siap mengenakan seragam sekolahnya, hujan deras mengguyur di luar. "Nak, nanti Papa ada jadwal operasi, jadi mungkin pulangnya agak malam," ujar ayah Nicholas sambil sarapan bersama Selena. Rangga duduk di meja yang sama, ikut sarapan bersama mereka. "Baik, Pa," sahut Selena sambil tersenyum. "Kenapa abangmu tidak menelepon hari ini? Biasanya pagi-pagi sudah ribut seperti orang demo," tanya ayah Nicholas, membuat Selena tertawa kecil. "Tadi malam bilangnya pagi ini tidak telepon, katanya sedang sibuk," jawab Selena. "Hmm, sok sibuk," ujar ayah Nicholas sambil terkekeh, membuat Selena ikut tertawa. "Mungkin nggak ya, Pa, kalau Bang Nicholas sudah punya pacar?" tanya Selena sambil tersenyum lebar. "Bisa jadi," sahut Rangga menimpali. "Hmm... menurut Papa, itu kecil kemungkinan. Abangmu bukan tipe yang mudah tertarik untuk pacaran dengan orang asing. Lagipula, budaya di sana sangat berbeda dengan budaya kita, pergaulannya sangat.. bebas," jawab ayah Nicholas. "Iya juga sih.. Bang Nicholas itu kayak tembok," celetuk Selena, membuat ayahnya tertawa kecil. "Tanya saja langsung ke abangmu, siapa tahu dia bisa jawab rasa penasaranmu," ujar ayah Nicholas. "Papa pergi dulu ya, hati-hati ke sekolah," ujar ayahnya. Selena pun mencium tangan ayah Nicholas, diikuti oleh Rangga yang melakukan hal sama. Meskipun Rangga bekerja di rumah itu, ayah Nicholas memperlakukannya dengan penuh kebaikan, seolah-olah ia bagian dari keluarga. Setelah itu, Selena dan Rangga berangkat ke sekolah. Saat di dalam mobil, tiba-tiba Nicholas menelepon lewat video, membuat Selena tersenyum senang. "Abang!" panggil Selena dengan antusias. Terdengar suara tawa dari Nicholas di seberang. "Mau berangkat sekolah, ya?" tanya Nicholas, dan Selena mengangguk. "Iya, tapi suara Abang bindeng, sakit ya?" tanya Selena khawatir. "Hmm, beberapa bulan nggak ketemu, anak cerewet jadi sakit, nih," sahut Nicholas, membuat Selena cemberut sambil terkekeh. "Bilang aja kangen, kan.." ledek Selena, membuat Nicholas tertawa kecil. Rangga tersenyum melihat keakraban Selena dengan abang kandungnya. Selena yang baik hati memang selalu bisa membuat orang di sekitarnya menyayanginya. Rangga teringat masa kecil mereka, saat dirinya menjadi satu-satunya teman Selena karena Selena sering dianggap aneh. Tapi sekarang, semua orang menyayanginya. Rangga merasa senang melihat perubahan itu. Selena dan Nicholas hanya berbicara sebentar, sekitar sepuluh menit saja, karena Nicholas sedang sangat sibuk. Namun, ia tetap menyempatkan diri untuk menghubungi Selena. Sesampainya di sekolah, mereka melanjutkan pelajaran seperti biasa, hingga akhirnya tiba waktu istirahat. Saat itu, Linggar, pemuda berwajah dingin yang selalu terlihat tak tersenyum, mendekati Selena. "Linggar, ada apa?" tanya Selena. "Bisa ikut gue sebentar?" tanya Linggar. "Eh, kemana?" tanya Selena, namun Linggar hanya diam dan menatapnya. Selena merasa ngeri karena tatapan Linggar sulit untuk dipahami. "Selena, kenapa?" tanya Rangga, sambil menatap Linggar. Linggar juga melirik Rangga. Suasana di kelas mendadak tegang, dengan Selena dikelilingi dua cowok tampan yang kepribadiannya begitu berbeda, Linggar yang dingin seperti es dan Rangga yang hangat seperti api. "Nanti aja," kata Linggar singkat, lalu pergi meninggalkan Selena. Selena pun menghela napas panjang setelah Linggar pergi. "Kenapa, Selena? Dia ganggu kamu?" tanya Rangga, terlihat khawatir. "Ayo, kita keluar dulu. Nanti aku ceritakan di kantin," ajak Selena, dan Rangga mengangguk setuju. Mereka pun keluar dari kelas, dan Selena mulai menceritakan mengapa Linggar mendatanginya. Rangga hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita Selena. "Hm.. tapi kayaknya dia anak nakal, ya? Wajahnya bengis banget, nggak ada senyum-senyumnya," komentar Rangga. Selena terkekeh mendengarnya. "Jangan gitu, nanti kalau dia dengar gimana?" ujar Selena sambil tertawa, lalu mereka mLinggarkah ke kantin. “Cuma nggak nyangka aja.. aku harus bertemu dengan calon tumbal pesugihan di zaman yang sudah sangat maju ini. Entah orang tua Linggar yang terlibat, atau mungkin Linggar punya nasib yang sama seperti aku dulu,” pikir Selena dalam hati. Selena sudah paham arti dari asap hitam yang sering mengikuti seseorang, artinya orang itu akan segera meninggal karena akan dijadikan tumbal dalam pesugihan. Beruntung, Selena telah dilatih oleh Ustadz Sholeh dan ayah Nicholas, jadi dia bisa mengenali dan mengusirnya, dengan bantuan sosok aki. Setelah itu, Selena merasa perutnya sangat sakit. Dia memutuskan untuk pergi ke toilet, meninggalkan Rangga yang sedang makan di kantin. Meskipun Rangga ingin ikut, Selena melarangnya dan menyuruhnya untuk melanjutkan makan. "Aduh.. sakit banget," gumam Selena sambil memegang perutnya yang terasa melilit. Saat keluar dari toilet, Selena tak sengaja bertemu dengan Linggar yang baru keluar dari kamar mandi. Saat itu, dia melihat asap hitam kembali mengelilingi Linggar. “Asapnya ada lagi..” pikir Selena, khawatir. "Ikut gue," kata Linggar, sambil menarik tangan Selena menjauh dari toilet. Mereka berdua kini berada di samping lapangan tenis. "Linggar, maaf," kata Selena, sambil menggenggam tangan Linggar dengan erat dan memejamkan matanya. Linggar terdiam, terkejut, sambil memandang tangan yang digenggam oleh Selena. Ia juga memperhatikan Selena yang tampak sangat fokus dengan mata terpejam. Di dalam hati Selena, ia sedang melihat sosok wanita cantik seperti ratu, mengenakan pakaian kuno, namun matanya tampak seperti mata reptil. Selena hanya bisa melihat setengah tubuh sosok itu, yang kemudian berkata sesuatu padanya. "Jangan ikut campur, nak.." kata sosok itu dengan senyuman, tapi senyumnya penuh makna. "Aku akan menyelamatkannya," jawab Selena tegas, lalu membuka matanya dan bertemu tatap dengan Linggar. "Lu, mau menyelamatkan siapa?" tanya Linggar, bingung. "Elu.." jawab Selena, lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Linggar. Waktu istirahat kelas Selena pun berakhir, dan Selena buru-buru berlari meninggalkan Linggar yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Nyelametin gue?" gumam Linggar pelan. Sebelumnya, dia berniat bertanya sesuatu pada Selena, namun kini semua rencananya terlupakan setelah Selena mengatakan hal yang sangat aneh.Selena pulang ke rumah bersama Rangga setelah seharian di sekolah, namun pikirannya terasa sangat kacau. Sosok wanita yang ia lihat saat menggenggam tangan Elang terus menghantui pikirannya, wanita itu seperti seorang ratu, berwibawa dan misterius. Ia berusaha fokus, namun otaknya tak bisa berhenti memikirkan hal itu. Di tengah kebingungannya, ia malah tanpa sadar mengacak-acak isi tasnya sendiri."Eh, lupa... ini bukunya Rangga," gumam Selena pelan saat matanya tertumbuk pada buku Rangga yang tergeletak di dalam tas.Selena berdiri dan meninggalkan kamar. Ia turun ke bawah menuju kamar Rangga. Setelah mengetuk pintu kamar Rangga beberapa kali, pintu pun akhirnya terbuka."Selena, ada apa?" tanya Rangga dengan senyum santainya."Balikin bukumu, nih," ujar Selena, menyodorkan buku itu padanya. Rangga menerima dengan senyum."Makasih ya, Ra," ujar Selena, dan Rangga terkekeh."Siap, ada acara apa nggak?" tanya Rangga, membuat Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu."Acara ap
Pagi itu, Selena tiba di sekolah bersama Rangga. Sejak turun dari mobil, Rangga terus menempatkan dirinya selangkah di belakang Selena, seolah menjadi bodyguard pribadi. Tingkahnya yang terlalu waspada tak membuat Selena merasa sedikit canggung."Aku juga nggak ngerti sih. Nanti aku coba tanya ke Ustad Sholeh," ujar Selena, merujuk pada kejadian semalam saat sosok Ratu mendatanginya.Rangga mengangguk, namun raut wajahnya tetap serius. "Selena, kamu nggak harus melibatkan dirimu seperti ini, kan? Aku cuma khawatir, nanti kamu yang kena dampaknya," katanya, penuh kekhawatiran.Selena berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahnya. "Aku akan coba dulu, Ni. Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi," ucapnya, nada suaranya menyiratkan tekad yang bulat.Namun, Rangga yang tak tahu banyak hanya bisa menatapnya bingung. "Terulang? Maksudmu apa, Selena?" tanyanya hati-hati.Selena menghela napas, menghindari tatapan Rangga. "Nggak penting. Pokoknya aku harus melakukan ini," ujarnya singkat.Mer
"Kalo emang mau ngomong, ngomong di sini aja. Gue nggak akan ikut lo ke mana-mana," tegas Selena.Linggar menatapnya lama, lalu menghela napas berat. "Oke, di sini aja," jawabnya akhirnya, dengan suara yang sedikit lebih tenang.Selena menoleh sekilas pada Rangga. "Dan lo, Rangga, santai aja. Gue tahu lo jagain gue, tapi gue bisa atur urusan gue sendiri," ujarnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan.Rangga menghela nafas, lalu mundur setengah langkah, meski matanya tetap mengawasi Linggar dengan curiga."Apa sih?! Lihat, gara-gara kalian, kita sekarang jadi tontonan!" Selena mendesis pelan, matanya melirik ke arah teman-teman sekelas yang mulai berbisik-bisik sambil melirik mereka bertiga."Masalahnya bukan gue, tapi temen lo yang ribet!" balas Linggar dengan nada datar, wajahnya berpaling seolah tak peduli.Kesabaran Selena mulai diuji. Dia menghela nafas panjang sambil beristighfar dalam hati. ‘Sabar, Selena, sabar’. Dia memalingkan pandangannya ke arah Rangga, yang
Dan setelah pulang sekolah, Selena sungguhan menunggu Linggar. Rangga tak percaya Selena sungguhan mau menolong anak nakal dengan wajah dingin itu, walau Rangga sendiri tidak tahu apakah Linggar nakal atau tidak. Mereka sedang berdiri di lobby menunggu Linggar muncul, dan tak lama Linggar pun tiba.Linggar menatap Selena tapi lalu kemudian ia menatap Rangga yang kini menatap datar juga ke arah nya, Selena yang melihat itu pun terkekeh canggung."Li, Rangga boleh ikut, kan?" Tanya Selena."Li??" Linggar mengulangi ucapan Selena."Ya, Li.. Linggar, namamu kan?" Ujar Selena. Linggar sedikit tersenyum tipis mendengar Selena memanggilnya lain dengan yang lain, tak ada yang melihat senyum Linggar sama sekali karena hanya seperti kedutan bibir."Nggak bisa, gue nggak mau orang lain tahu." Sahut Linggar."Rangga bukan orang lain, dia kayak abangku." Ujar Selena, Rangga melirik Selena saat Selena berkata menganggap nya sebagai kakak. Linggar memperhatikan Rangga, tapi lalu akhir nya dia mengan
Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan. Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya. “Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar. Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu. Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh. Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke
Selena mengantar Linggar pulang sebelum kembali ke rumahnya sendiri. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan cara untuk membantu Linggar. Sesekali, ia melirik Rangga yang masih tertidur lelap di sebelahnya."Non, tadi bapak nelpon. Katanya, Non Selena diminta datang ke rumah sakit bawain jas ganti bapak sama amplop coklat di meja kerja," ujar sopirnya."Oh, iya. Terima kasih, Pak," jawab Selena singkat.Setibanya di rumah, Selena membangunkan Rangga yang terlihat terkejut karena tertidur terlalu lelap."Ra, kamu istirahat aja di rumah. Aku mau ke rumah sakit," ujar Selena."Hah? Siapa yang sakit, Sel?" tanya Rangga terkejut."Nggak ada, aku cuma mau anter jas Papa," jawab Selena sambil tersenyum."Aku ikut," kata Rangga tegas, tak ingin lengah lagi."Baiklah. Aku ganti baju dulu," sahut Selena. Rangga mengangguk. Selena pun segera naik ke kamarnya.Setelah berganti pakaian kasual, Selena turun ke ruang kerja ayahnya untuk mengambil jas dan amplop yang diminta. Ketika keluar, Ran
Beberapa hari setelahnya, Selena dan Rangga tiba di sekolah. Sejak Rangga mulai bersekolah di sana, banyak yang memperhatikan bahwa ia selalu turun bersama Selena, dan gosip pun mulai berkembang bahwa mereka berpacaran.Terlebih lagi, Rangga tampak selalu melindungi Selena dalam segala hal dan tidak pernah jauh darinya kemanapun Selena pergi.Namun, Selena sama sekali tidak terganggu dengan gosip tersebut. Baginya, Rangga hanyalah sahabat. Bahkan, menurutnya, gosip itu bisa menguntungkan karena sekarang tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya."Selena, kamu sudah dengar gosip tentang kita?" tanya Rangga dengan khawatir."Mereka semua hanya tukang gosip, tiap hari pasti ada yang baru," jawab Selena sambil berjalan menuju kelas."Selena, tapi aku bukan pacarmu, aku...""Kenapa kalau aku bukan pacarmu?" potong Selena, menatap Rangga. Rangga pun sedikit gugup dan langsung menundukkan pandangannya.Selena merasa ada yang berbeda dengan Rangga. Ia tidak lagi menatapnya seperti dulu,
Di rumah Linggar, ayahnya tiba-tiba mengamuk, membanting gelas dan menendang meja hingga kaca meja pecah. Tak jelas apa yang memicu amarahnya, tapi yang pasti, ia benar-benar kehilangan kendali. Linggar berusaha menahan dan menarik ayahnya keluar dari ruang tamu.Selena, Ustadz Sholeh, dan Rangga saling memandang, melihat kejadian itu. Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ayah Linggar yang tengah marah, namun sebenarnya, ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Itu bukanlah ayah Linggar sepenuhnya. Sosok Ratu yang mungkin terbangun dan terusik sedang menguasai tubuhnya."TIDAK!!!" Ayah Linggar tiba-tiba berlari dengan cepat, mencoba menyerang Ustadz Sholeh, namun langkahnya terhenti seolah ada penghalang yang tak terlihat di antara mereka.Wajah ayah Linggar berubah, matanya kini tampak seperti mata reptil, tubuhnya bergerak seakan melayang."Jangan campuri urusan kami!" teriak ayah Linggar, dengan tatapan tajam ke arah Ustadz Sholeh.Suara yang keluar dari mulutnya terdengar aneh, buka
Selena dan Linggar serta ibunya Intan sudah sampai di sebuah rumah yang tampak sangat asri, rumahnya juga tipikal rumah lama era 80 an dengan taman yang hijau dan pohon-pohon yang rindang."Ini bener rumahnya, Sel?" Tanya Linggar."Menurut maps sih iya, Jalan xx no 44." Sahut Selena."Bentar gue telpon dulu." Ujar Selena, dan ia menghubungi seseorang."Assalamu’alaikum, Om. Selena di depan rumah nomor 44 sesuai yang Om kasih." Ujar Selena."Oh, iya-iya Om." Sahut Selena.Tak lama ada seorang pria yang membuka kan pintu gerbang, dan mobil Linggar dipersilahkan masuk. Selena, Linggar dan ibunya Intan pun turun dari mobil."Non Selena, ya?" Tanyanya, dengan logat sunda."Iya pak, Om Hasannya ada?" Sahut Selena."Panggil mamang aja, Pak Hasan aya di dalam, silahkan masuk atuh." Ujar si bapak tadi."Oh, iya mang." Sahut Selena dengan senyumnya.Selena terkesima dengan rumah Hasan yang sangat adem, nyaman dan asri. Beda dengan rumah-rumah jaman sekarang yang modern tapi terlihat panas, ruma
Selena sudah bersama ibunya Intan, saat ini ibunya Intan sedang menangis tersedu-sedu karena kondisi Intan makin tidak normal. Ibunya Intan juga menceritakan pada Selena tentang kejadian kemarin saat ada belatung yang keluar dari kemaluan Intan, Selena dan Linggar sampai ngeri mendengarnya."Tiap malem dia selalu merintih kesakitan, minta ampun, minta tolong, tapi dia sama sekali nggak kebangun dan sadar. Tante ngaji, dia makin kesakitan. Tante nggak ngerti lagi harus gimana.." Ujar ibunya Intan."Kita ke rumah Faaz dulu ya, tan. Aku semalem udah ngomong sama orang tuanya. Abis itu aku kenalin tante sama temen papaku yang bantu nolongin Faaz waktu itu." Ujar Selena, dan ibunya Intan mengangguk."Iya nak, tante berharap ada yang bisa nolong Intan." Ujar ibunya Intan.Akhirnya Selena dan Linggar membawa ibunya Intan itu ke rumah orang tua Faaz, dimana di sana juga ada Faaz yang senang dengan kedatangan Selena. Selena salim dengan kedua orang tua Faaz dan kini mereka duduk di ruang tamu.
Selena keluar dari ruangan Intan karena sejujurnya dia juga tidak tahan dengan bau dari tubuh Intan, padahal ruangan Intan itu sudah dipasangi pengharum ruangan dengan uap, tapi masih tidak mengalahkan bau dari tubuh Intan.Selena kini sedang berada di luar ruangan Intan bersama ibunya Intan yang masih menangis setelah mendengar cerita dari Selena tentang kelakuan Intan tanpa sepengetahuan dirinya."Besok, tolong anterin tante ke rumah korbannya Intan, mau kan nak? Tante mau minta maaf, barangkali maaf mereka juga bisa mengurangi penderitaan Intan." Ujar ibunya Intan."Iya tante, kebetulan besok libur." Ujar Selena."Tante.. kalau semisal Intan pergi.." Selena menggantung, tidak ingin menyakiti perasaan ibunya Intan."Tante ikhlas kalo emang Intan harus pergi, tante sudah memaafkan semua kesalahan Intan. Tante nggak tega liat Intan menderita, nak.. hiks! Tante nggak menyangka Intan malah jadi salah jalan begini." Ibunya Intan benar-benar terpukul."Insyaallah akan kami bantu, tante. B
Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Faaz dinyatakan sembuh. Tapi meski demikian Faaz harus lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa, sebab hanya itu benteng tertinggi agar dia selamat.Faaz sama sekali tidak mengingat apapun yang pernah dia lakukan dengan Intan selama sebulan menjalin hubungan dengan Intan, bahkan Faaz sama sekali tidak mengenal siapa itu Intan. Begitu efek peletnya hilang, Faaz lupa dengan Intan.Dan juga.. Intan sendiri menghilang begitu saja, sudah seminggu lamanya dia tidak masuk kelas. Selena masih memikirkan apa kiranya yang terjadi dengan Intan sampai satu minggu itu tidak masuk kelas."Sel, gue dapet kabar dari anak kampus, katanya Intan masuk rumah sakit." Ujar Linggar."Intan masuk rumah sakit!?" Selena terkejut."Iya, katanya orang tuanya ngasih surat ke dosen, Intan nggak bisa masuk karena dia sakit keras dan dirawat." Sahut Linggar, Selena terdiam mendengarkan itu."Oiya! denger-denger sakitnya aneh, katanya dia sekarat dan.. seluruh badannya busuk
Intan berlari keluar, ia memesan taksi online dan tak lama taksi itu datang. Tak jauh berbeda dengan supir yang pertama, supir taksi yang kali ini juga merasa terganggu dengan bau dari tubuh Intan yang sangat menyengat."Cepet pak, jalan!" Ujarnya.Mobil taksi pun jalan, supirnya yang kali ini tidak menggunakan masker dan dia menutup langsung hidungnya dengan tangannya. Intan yang melihat itu pun marah dan menegur supirnya."Kenapa bapak tutup hidung!? Emangnya saya bau!?" Tanyanya dengan nada keras."Enggak, kok." Sahut supir itu, tapi masih menutup hidungnya."Kalo enggak kenapa hidungnya ditutupin!? Nggak sopan! Saya ini penumpang loh!" Ujar Intan, dia makin marah."Kalo udah sadar bau ngapain masih nanya, mbak. Mbak nggak sadar, badan mbak itu bau banget? Bau anyir, nanah, menjijikan tau nggak!" Ujar si supir. Kali ini Intan kurang beruntung karena tidak mendapat supir taksi yang baik seperti yang pertama."Bapak berani bentak saya!? Saya bisa kurangin rating bapak loh! Dipecat ba
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny
Selena masuk kedalam kamar-kamar yang ada di ruangan itu, tapi Selena tak menemukan keberadaan Faaz, Selena terus memanggil Faaz, berharap akan ada sahutan. Dan saat itu Selena melihat nenek tua itu sedang muntah-muntah darah."Kak Faaz!" Panggil Selena dengan keras.Selena melihat Intan juga berubah menjadi mengerikan, Intan merangkak kesakitan, seluruh wajah nya berdarah-darah. Nenek tua itu tampak ngesot di lantai dan menuju ke sebuah pintu yang belum Selena masuki, Selena mengikutinya dan dia melihat Faaz."Kak Faaz!" Selena bergegas masuk dan langsung menghampiri Faaz yang sedang tak sadarkan diri."Kak Faaz! Bangun kak!" Selena menepuk Faaz tapi Faaz tetap tidak sadarkan diri."Kak Faaz, bangun ini Selena." Ujar Selena, dan saat itu Faaz membuka matanya."Kak, ayo kita pergi dari sini." Ujar Selena, dia menggandeng tangan Faaz tapi Faaz kebingungan."Kita dimana?" Tanya nya."Aku jelasin ntar, ayo sekarang kita pergi." Ujar Selena, dan menarik tangan Faaz.Faaz menutup mulut nya
Faaz duduk dan keheranan karena semua orang sedang mengaji, dan dia diletakkan di tengah seperti mayit. Tapi dari tatapan nya, Faaz terlihat seperti bukan Faaz.Ibunya hendak bangun dan menghampiri Faaz tapi dilarang oleh Selena."Jangan tante, tante harus tetap duduk." Ujar Selena."Kalian ngapain ngaji kayak gini!?" Faaz marah."Karena kami ingin mengeluarkan kamu, dari tubuh kak Faaz." Ujar Selena."Hei! Kamu pikir siapa kamu!? Suruh mereka berhenti!" Ujar Faaz, tapi tentu Selena tidak mendengarkan nya."Kamu nggak kenal dia, Fa? Dia Selena, bukan nya lo sering bahas dia?" Ujar Doni, dan Faaz tampak mengalami sakit kepala.'Selena?' Faaz seolah berpikir keras, siapa gerangan Selena yang dimaksud. "Kak Faaz nggak bakal inget, dia bukan dia karena di otak nya cuma dipenuhi oleh Intan." Ujar Selena, seketika Faaz menatap Selena."Mana pacar gue! Kalian apain pacar gue!" Faaz hendak menghampiri Selena tapi langkah nya terhenti karena dia seolah menabrak pembatas."Om, tante.. semuanya
Akhirnya pada sore harinya ketika kuliah berakhir, Doni langsung mencegah Faaz yang hendak keluar kelas. Faaz juga sudah mendapat panggilan dari ayah nya tapi Faaz menolak pulang dengan alasan dia ada tugas yang harus dikerjakan. "Fa, bokap lu nelpon gue, dia bilang minta lu pulang." Ujar Doni, Faaz menatap Doni dengan tatapan yang sangat dingin. "Lu yang minta, kan? Mau ngapain si lu!?" Ujar Faaz dan Doni sedikit tertegun. "Fa, lu tuh dalam bahaya dan kita semua sedang berusaha nyelamatin elu. Kita semua care sama nyawa lu jadi please pulang ya, Fa." Ujar Doni, Faaz hanya tersenyum dingin. "Nggak! Jangan ikut campur urusan gue, jangan deket-deket gue, jangan ganggu gue, lu paham!?" Ujar Faaz dengan penuh penekanan. Faaz hendak melangkah pergi tapi Doni akhirnya melakukan hal nekat. "BUGH!!" "UKH!" Doni memukul kepala Faaz sampai pingsan. "Sorry, Fa. Kalo nggak gini, lu nggak slamet." Ujar Doni, lalu menyeret tubuh Faaz. Selena sedang berjalan menuju ke kelas Faaz dan