Pagi harinya aku tidak pergi ke mana pun. Kata Mak Dukun, Nora harus benar-benar diperhatikan selama 40 hari dan kalau terjadi sesuatu aku harus segera mendatangi puskesmas terdekat. Ya semoga saja tidak ada apa-apa. Karena anak sangat sulit membawa ibu dan anak sekaligus ke kota seberang.Aku yang sudah biasa mengurus diri sendiri dari dulu tidak mengalami kesulitan ketika harus memenuhi kebutuhan Nora. Baru aku tahu ternyata ibu yang selepas melahirkan itu banyak sekali makannya. Ditambah Angga sangat kuat menyusu pada emaknya. Kalau begini berarti aku harus bekerja lebih giat lagi untuk mendapatkan uang. Kasihan juga Nora dan Angga kalau sampai menderita aku buat. Kesibukan menjadi ayah telah menyita sebagian waktu dan duniaku. Wajah polos Angga menimbulkan secercah harapan padaku. Bahwa anak ini harus lebih baik hidupnya daripada aku. Jika mungkin, biarkan saja dia merantau jauh dan tak usah tinggal di desa yang amat sunyi. Suara hantu memanggil-manggil dari dalam hutan selalu
“Kenape? Muke ditekuk je dari tadi?” tanyaku pada Nora yang pulang dengan raut wajah cemberut. Sudah tujuh hari Hajah Jamilah meninggal dunia. Masih belum hilang juga sedihnya, cengeng sekali. “Ayah, dah nikah lagi, Bang,” jawabnya, dan aku yang sedang membuang duri di daun pandan jadi terdiam. Baru tujuh hari, luar biasa, bagaimana kalau setahun, bisa mati jamuran Haji Yunus. “Dengan siape?” Aku tentu penasaran siapa mertuaku yang baru ini. “Dengan anak gadis dari desa seberang. Dah nikah tadi pagi, dah tinggal pulak di rumah tu.” Nora semakin cemberut. “Anak gadis, umur?” “Tak jauh sangat dari Nora, Bang. Nora malas datang tahlil malam ke 40, Bang, penat!” Jelas sekali Nora kecewa bukan main. Lagi pula kenapa harus gadis ingusan yang diambil jadi istri. Tak tahu diri, apa tidak ada janda yang seumuran dengan Haji Yunus? Ya, memang tidak elok rasanya kuburan istri belum kering suami menikah lagi. Tapi, bukankah aku jauh lebih buruk daripada Haji Yunus. Aku merusak anak gadisn
Waktu berlalu setahun begitu cepat. Sahrul dengan kedua istrinya yang kata Nora abangnya lebih berat dengan istri pertama, tapi anehnya istri keduanya tak kunjung hamil. Tidak akan pernah ada benih yang tumbuh dalam rahim istri Sahrul walau dia menikah banyak kali. Aku jamin itu.“Bang.” Nora duduk di depanku. Angga yang sudah berumur lima tahun main di luar rumah sendirian. “Hhhhm.” Aku sedang menjahit bajuku yang koyak, tak sempat memperhatian raut wajah istriku. “Nora dah tak datang bulan dua kali. Dulu waktu hamil Angga juge same, Bang,” ucapnya dan aku terdiam. “Kau hamil lagi?” Nora mengangguk menjawab pertanyaanku. Padahal kehidupan kami begini-begini saja terus tanpa ada perubahan sama sekali. Orang pape kedane (miskin semiskin miskinnya).“Angga pun dah besar, Bang, dah boleh dikasih kawan.” Nora meyakiniku.“Iye, tak ape, Nora, nanti abang kerja lebih giat lagi untuk cari duit. Semoga anak yang kedua ni perempuan. Jadi dapat dibagi nama Siti Indah Lestari.” Itu dulu harap
“Bang, besok kalau kite ada duit, buat rumah besar, ye, Bang. Tingkat due tu ade empat kamar. Mane tahu kite punye banyak anak. Terus anak kite menikah bawa balik mantu kite ke sini,” ucap Nora. Entah sudah yang keberapa kalinya dia berbicara seperti ini terus padaku. Satu bulan ini tepatnya, sampai bosan aku mendengarnya. Nora terbatuk dan menepuk dadanya sangat kuat berkali-kali.Anak pertama kami Andi yang sudah berusia sembilan tahun sigap mengambilkannya air hangat. Nora berhasil mendidiknya menjadi anak baik. Nora sakit, aku tahu itu. Semua uangku sudah habis tak bersisa lagi untuk membawanya berobat. Meminjam dengan Haji Yunus, sudah aku rendahkan harga diriku serendah-rendahnya. Tapi orang tua itu semakin bertambah keras hatinya. Dia memintaku menyelesaikan masalahnya sendiri. Seharusnya sebagai laki-laki aku tidak manja dan cengeng. “Angga, anak soleh emak, besar besok jangan jadi macam Emak dan Ayah, ye. Harus sekolah tinggi-tinggi. Harus baik, harus rajin sholat, harus r
Aku membelikan keripik ubi dan menawarkan padanya. Tak disangka Sahrul mau mengambil bahkan memakannya. Hanya saja, hati kecilku bertanya. Apakah aku tega? Dia sudah cukup menderita selama ini. “Duit, Andi, duit, bini kau sakit.” Terngiang-ngiang lagi kata emakku. “Sahrul, saye minta maaf, ye, dengan kesalahan saye selama ini.” Aku menjabat tangan Sahrul. Mungkin kalau benar kata emak, aku akan bertemu untuk terakhir kali dengan iparku. Tak sampai di situ saja, bahkan aku mengajaknya minum kopi di kedai jiran kami. Sebenarnya aku juga sayang duit, tapi semua butuh modal. Tidak apalah dua gelas kopi sebagai pelepas dendam di antara kami. Sahrul cukup senang mendapat teman bicara. Dia bercerita bahwa sesalnya begitu mendalam saat mengkhianati Zulaikha bahkan melepaskan istri pertamanya. Tak pernah lagi aku dengar kabar mantan istrinya itu. Mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. “Aku juga, Andi, jage adik aku baik-baik, ye. Aku tak dah tak sanggup, badan pun tak sehat juge.
Tidak mungkin rasanya emas-emas ini aku tukarkan dengan kebun. Bisa curiga orang di kampung dengan penghasilan yang aku dapat. Solusinya hanya satu, yaitu aku pergi ke Malaysia sebagai TKI Ilegal. Terserah yang penting keluar dari kampung dan tidak menampakkan diri pada keluarga Haji Yunus. Bisa-bisa aku terlibat kekerasan yang sama dengan atukku dulu. Angga dan Anton aku titipkan oleh salah satu pihak keluarga Nora yang tidak ikut campur urusan keluarga kami. Kak Neti, begitu aku memanggilnya, belum lama ini melahirkan bayi kembar Rizal dan Ramli. Kak Neti bersedia merawat dua anakku. Lekas saja aku berikan baju-baju Angga dan Anton. Tak lupa aku berikan beberapa lembar uang dan tentu saja kalung emas. Dia terlihat ragu. Kak Neti termasuk orang biasa-biasa saja. “Tak payahlah, Andi, bawa balik kalung emas ini. Akak masih ada duit untuk bagi makan due anak kau.” Dia menolak pemberianku. Tapi aku paksa menerimanya dan akhirnya Kak Neti terbujuk juga. Semua sudah aku persiapkan tig
Ima menggunakan baju pendek berwarna hitam di atas lutut. Sejak tinggal di Malaysia aku semakin mahir mengenal perempuan. Ima hanya menjual diri padaku. Dia tak menerima panggilan lain. Apakah aku peduli? Tidak. Dia hanya wanita malam yang aku sewa. “Sebab Abang banyak duit?” tanyaku padanya. Ima tersenyum lebar dan tertawa dengan penuh godaan. “Pertame, iye, tapi lama-lama tak. Nikah kita, Bang? Abang orang pertama bagi Ima.” Dia benar-benar takluk dalam rayuanku rupanya. Padahal di awal aku yang butuh tubuhnya. Aku tidak suka pembicaraan seperti ini. Bagiku Nora adalah istri yang tidak akan tergantikan sama sekali. Nora itu suci, Ima murahan. “Bang.” Ima memanggilku ketika aku ingin keluar dari rumahnya. “Sesuai janji Ima, tak ade pernikahan. Satu kali kau layani Abang, kau dapat duit. That’s all.” “Tunggu, Bang, dengar dulu. Tapi Ima hamil, Bang. Ini anak Abang.” “Sesuai perjanjian, tak boleh main perasaan, tak boleh ada anak. Kalau pun ade, itu anak kau. Secara hukum Islam
Aku merupakan anak pertama dari Andi Harun dan Nora Syafitri. Ibuku adalah wanita paling baik di dunia ini. Beliau cantik, bak bidadari dengan suara lembut, tak pernah sekalipun marah padaku. Sedangkan ayahku adalah sosok pekerja keras dan irit bicara padaku apalagi dengan Anton. Sekalipun aku tak pernah melihatnya ibadah lima waktu, apalagi puasa. Tapi ibu berhasil membuatku tutup mulut. Perisitwa meninggalnya ibu membuat hari-hariku terpuruk. Aku yang masih kecil dan amat membutuhkan bimbingan darinya. Kalau tak ingat ada Anton aku sudah ikut Ibu. Belum lagi Atuk Haji Yunus yang garang membuatku hampir kencing di celana. “Pergi!” bentaknya waktu itu ketika aku ingin bersalaman. “Kau bukan cucu aku!” hardiknya lagi. Aku tak paham waktu itu dan sampai besar pun tak mau mencari tahu. Waktu terus berjalan setelah meninggalnya ibu. Ayah pergi ke Malaysia demi mencari uang. Sudah tidak ada lagi penyemangat hidup beliau ketika ibu meninggal. Kami berdua dititipkan pada Mak Cik Neti. D