“Bawak sini, biar aku adzankan keponakan aku.” Aku menoleh ke belakang ketika Sahrul muncul. “Dah, tak usah pikir perkare kite dulu. Bawak sini anak Nora, harus diadzankan, Andi.” Wajah Sahrul tak terlihat menghinaku. Dia betul-betul meminta anakku dengan baik. Demi kebersamaan dan keselamatan aku berikan anak kami pada pamannya. Dengan fasih Sahrul adzan. Tak terasa air mataku menetes begitu juga dengan dia. Sahrul sudah lebih dahulu menikah dari Nora tapi belum diberikan anak. Mungkin karena itu dia terharu. “Keponakan Pak Cik, jadi anak baik, ye.” Sahrul memberikan lagi bayi itu padaku. “Andi, titip salam dengan Nora. Ini dari aku untuk Nora dan anak die. Nora punya hak untuk menerimanya, kau tak boleh melarang.” Sahrul meninggalkan rumahku yang dulu dikatakan kandang kambing. Sesekali dia melihat ke belakang mungkin ingin bertemu adik kesayangannya. Mak dukun sudah selesai mengemas Nora. Dia ke belakang dan mencuci tangan serta bagian tubuh yagn terkena air ketuban katanya. Ada
Pagi harinya aku tidak pergi ke mana pun. Kata Mak Dukun, Nora harus benar-benar diperhatikan selama 40 hari dan kalau terjadi sesuatu aku harus segera mendatangi puskesmas terdekat. Ya semoga saja tidak ada apa-apa. Karena anak sangat sulit membawa ibu dan anak sekaligus ke kota seberang.Aku yang sudah biasa mengurus diri sendiri dari dulu tidak mengalami kesulitan ketika harus memenuhi kebutuhan Nora. Baru aku tahu ternyata ibu yang selepas melahirkan itu banyak sekali makannya. Ditambah Angga sangat kuat menyusu pada emaknya. Kalau begini berarti aku harus bekerja lebih giat lagi untuk mendapatkan uang. Kasihan juga Nora dan Angga kalau sampai menderita aku buat. Kesibukan menjadi ayah telah menyita sebagian waktu dan duniaku. Wajah polos Angga menimbulkan secercah harapan padaku. Bahwa anak ini harus lebih baik hidupnya daripada aku. Jika mungkin, biarkan saja dia merantau jauh dan tak usah tinggal di desa yang amat sunyi. Suara hantu memanggil-manggil dari dalam hutan selalu
“Kenape? Muke ditekuk je dari tadi?” tanyaku pada Nora yang pulang dengan raut wajah cemberut. Sudah tujuh hari Hajah Jamilah meninggal dunia. Masih belum hilang juga sedihnya, cengeng sekali. “Ayah, dah nikah lagi, Bang,” jawabnya, dan aku yang sedang membuang duri di daun pandan jadi terdiam. Baru tujuh hari, luar biasa, bagaimana kalau setahun, bisa mati jamuran Haji Yunus. “Dengan siape?” Aku tentu penasaran siapa mertuaku yang baru ini. “Dengan anak gadis dari desa seberang. Dah nikah tadi pagi, dah tinggal pulak di rumah tu.” Nora semakin cemberut. “Anak gadis, umur?” “Tak jauh sangat dari Nora, Bang. Nora malas datang tahlil malam ke 40, Bang, penat!” Jelas sekali Nora kecewa bukan main. Lagi pula kenapa harus gadis ingusan yang diambil jadi istri. Tak tahu diri, apa tidak ada janda yang seumuran dengan Haji Yunus? Ya, memang tidak elok rasanya kuburan istri belum kering suami menikah lagi. Tapi, bukankah aku jauh lebih buruk daripada Haji Yunus. Aku merusak anak gadisn
Waktu berlalu setahun begitu cepat. Sahrul dengan kedua istrinya yang kata Nora abangnya lebih berat dengan istri pertama, tapi anehnya istri keduanya tak kunjung hamil. Tidak akan pernah ada benih yang tumbuh dalam rahim istri Sahrul walau dia menikah banyak kali. Aku jamin itu.“Bang.” Nora duduk di depanku. Angga yang sudah berumur lima tahun main di luar rumah sendirian. “Hhhhm.” Aku sedang menjahit bajuku yang koyak, tak sempat memperhatian raut wajah istriku. “Nora dah tak datang bulan dua kali. Dulu waktu hamil Angga juge same, Bang,” ucapnya dan aku terdiam. “Kau hamil lagi?” Nora mengangguk menjawab pertanyaanku. Padahal kehidupan kami begini-begini saja terus tanpa ada perubahan sama sekali. Orang pape kedane (miskin semiskin miskinnya).“Angga pun dah besar, Bang, dah boleh dikasih kawan.” Nora meyakiniku.“Iye, tak ape, Nora, nanti abang kerja lebih giat lagi untuk cari duit. Semoga anak yang kedua ni perempuan. Jadi dapat dibagi nama Siti Indah Lestari.” Itu dulu harap
“Bang, besok kalau kite ada duit, buat rumah besar, ye, Bang. Tingkat due tu ade empat kamar. Mane tahu kite punye banyak anak. Terus anak kite menikah bawa balik mantu kite ke sini,” ucap Nora. Entah sudah yang keberapa kalinya dia berbicara seperti ini terus padaku. Satu bulan ini tepatnya, sampai bosan aku mendengarnya. Nora terbatuk dan menepuk dadanya sangat kuat berkali-kali.Anak pertama kami Andi yang sudah berusia sembilan tahun sigap mengambilkannya air hangat. Nora berhasil mendidiknya menjadi anak baik. Nora sakit, aku tahu itu. Semua uangku sudah habis tak bersisa lagi untuk membawanya berobat. Meminjam dengan Haji Yunus, sudah aku rendahkan harga diriku serendah-rendahnya. Tapi orang tua itu semakin bertambah keras hatinya. Dia memintaku menyelesaikan masalahnya sendiri. Seharusnya sebagai laki-laki aku tidak manja dan cengeng. “Angga, anak soleh emak, besar besok jangan jadi macam Emak dan Ayah, ye. Harus sekolah tinggi-tinggi. Harus baik, harus rajin sholat, harus r
Aku membelikan keripik ubi dan menawarkan padanya. Tak disangka Sahrul mau mengambil bahkan memakannya. Hanya saja, hati kecilku bertanya. Apakah aku tega? Dia sudah cukup menderita selama ini. “Duit, Andi, duit, bini kau sakit.” Terngiang-ngiang lagi kata emakku. “Sahrul, saye minta maaf, ye, dengan kesalahan saye selama ini.” Aku menjabat tangan Sahrul. Mungkin kalau benar kata emak, aku akan bertemu untuk terakhir kali dengan iparku. Tak sampai di situ saja, bahkan aku mengajaknya minum kopi di kedai jiran kami. Sebenarnya aku juga sayang duit, tapi semua butuh modal. Tidak apalah dua gelas kopi sebagai pelepas dendam di antara kami. Sahrul cukup senang mendapat teman bicara. Dia bercerita bahwa sesalnya begitu mendalam saat mengkhianati Zulaikha bahkan melepaskan istri pertamanya. Tak pernah lagi aku dengar kabar mantan istrinya itu. Mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. “Aku juga, Andi, jage adik aku baik-baik, ye. Aku tak dah tak sanggup, badan pun tak sehat juge.
Tidak mungkin rasanya emas-emas ini aku tukarkan dengan kebun. Bisa curiga orang di kampung dengan penghasilan yang aku dapat. Solusinya hanya satu, yaitu aku pergi ke Malaysia sebagai TKI Ilegal. Terserah yang penting keluar dari kampung dan tidak menampakkan diri pada keluarga Haji Yunus. Bisa-bisa aku terlibat kekerasan yang sama dengan atukku dulu. Angga dan Anton aku titipkan oleh salah satu pihak keluarga Nora yang tidak ikut campur urusan keluarga kami. Kak Neti, begitu aku memanggilnya, belum lama ini melahirkan bayi kembar Rizal dan Ramli. Kak Neti bersedia merawat dua anakku. Lekas saja aku berikan baju-baju Angga dan Anton. Tak lupa aku berikan beberapa lembar uang dan tentu saja kalung emas. Dia terlihat ragu. Kak Neti termasuk orang biasa-biasa saja. “Tak payahlah, Andi, bawa balik kalung emas ini. Akak masih ada duit untuk bagi makan due anak kau.” Dia menolak pemberianku. Tapi aku paksa menerimanya dan akhirnya Kak Neti terbujuk juga. Semua sudah aku persiapkan tig
Ima menggunakan baju pendek berwarna hitam di atas lutut. Sejak tinggal di Malaysia aku semakin mahir mengenal perempuan. Ima hanya menjual diri padaku. Dia tak menerima panggilan lain. Apakah aku peduli? Tidak. Dia hanya wanita malam yang aku sewa. “Sebab Abang banyak duit?” tanyaku padanya. Ima tersenyum lebar dan tertawa dengan penuh godaan. “Pertame, iye, tapi lama-lama tak. Nikah kita, Bang? Abang orang pertama bagi Ima.” Dia benar-benar takluk dalam rayuanku rupanya. Padahal di awal aku yang butuh tubuhnya. Aku tidak suka pembicaraan seperti ini. Bagiku Nora adalah istri yang tidak akan tergantikan sama sekali. Nora itu suci, Ima murahan. “Bang.” Ima memanggilku ketika aku ingin keluar dari rumahnya. “Sesuai janji Ima, tak ade pernikahan. Satu kali kau layani Abang, kau dapat duit. That’s all.” “Tunggu, Bang, dengar dulu. Tapi Ima hamil, Bang. Ini anak Abang.” “Sesuai perjanjian, tak boleh main perasaan, tak boleh ada anak. Kalau pun ade, itu anak kau. Secara hukum Islam
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel