Aku merupakan anak pertama dari Andi Harun dan Nora Syafitri. Ibuku adalah wanita paling baik di dunia ini. Beliau cantik, bak bidadari dengan suara lembut, tak pernah sekalipun marah padaku. Sedangkan ayahku adalah sosok pekerja keras dan irit bicara padaku apalagi dengan Anton. Sekalipun aku tak pernah melihatnya ibadah lima waktu, apalagi puasa. Tapi ibu berhasil membuatku tutup mulut. Perisitwa meninggalnya ibu membuat hari-hariku terpuruk. Aku yang masih kecil dan amat membutuhkan bimbingan darinya. Kalau tak ingat ada Anton aku sudah ikut Ibu. Belum lagi Atuk Haji Yunus yang garang membuatku hampir kencing di celana. “Pergi!” bentaknya waktu itu ketika aku ingin bersalaman. “Kau bukan cucu aku!” hardiknya lagi. Aku tak paham waktu itu dan sampai besar pun tak mau mencari tahu. Waktu terus berjalan setelah meninggalnya ibu. Ayah pergi ke Malaysia demi mencari uang. Sudah tidak ada lagi penyemangat hidup beliau ketika ibu meninggal. Kami berdua dititipkan pada Mak Cik Neti. D
“Nanti, Yah, setelah menikah saya akan ajarkan Indah untuk pakai jilbab. Sekarang belum bisa, sebab saya belum jadi suaminya.” Aku berbohong. Sudah ratusan kali aku mengingatkan Indah. Katanya percuma saja, karena kami dua kali atau tiga kali dalam seminggu tidur bersama. Merusak esensi jilbab kata Indah. “Kau pasti dah tidur dengan Indah, kan? Makanya tak mau melepaskan dia?” Benar, tebakan ayahku tidak meleset. Aku tidak membantah karena aku berbohong juga akan ketahuan. “Betul ternyata, kau tak ada bedanya dengan Ayah dulu.” “Maksud, Ayah?” Aku tidak tahu apa yang dikatakan olehnya. “Intinya, nasab kau itu tak bertemu denganku, Angga. Tapi jangan takut, warisan tetap Ayah bagikan, sebab anak ayah cume due, tak ade lagi. Dah, jangan terlalu dipikirkan. Manusia tempatnya khilaf dan dosa. Selagi masih ada nyawa masih bisa tobat.” Ayah masuk ke kamarnya. Di usia memasuki kepala tiga ini aku baru sadar kalau aku anak di luar nikah. Tidak ada yang pernah cerita padaku. Aku ingin ter
Aku terkejut ketika sampai di rumah dan melihat anakku—Angga yang berbaring di lantai dengan mata terbuka. Lekas aku membangunkan anakku, tapi dia tak mau bergerak lagi. Perasaanku tak enak.Ada apa ini? Kenapa bisa begini? Angga, anakku, bangunlah. Aku menepuk pipinya berkali-kali, tapi tetap saja tidak ada respon sama sekali. “Tak payahlah, Andi. Anak kau tu dah mati.” Emakku turun dari tangga beserta dengan Nora. “Kenape, Mak? Angga buat salah ape?” Aku memeluk anakku, berharap dia bangun. Bagaimanapun juga dia yang paling kusayang. “Tak ade, die jatuh dari sini, dah tu tak bergerak lagi. Kami pikir tidur tadi. Mak tak berani sentuh sebab Angga tu die rajin sholat jadi kami kepanasan.” Aku percaya saja apa kata Emak. Tak mungkin beliau berbohong.Aku membawa Angga ke kamar dan menyelimutinya. Fasilitas kesehatan di sini masih sama dengan dulu. Tidak ada orang di malam hari. Untuk kali ini aku merendahkan diri. Aku menelepon Rizal dan memberitahu anakku sudah meninggal. Tak samp
Nora sempat marah karena pedasnya lisanku. Aku tak peduli, yang jelas aku harus mendapatkanya karena kulit kami sudah saling bersentuhan, rasanya seperti terbakar api. Bagiku kalau aku sudah terpikat. Aku harus dapat walau harus membunuh banyak orang, walau harus menghabiskan semua uangku. Hingga saat Nora ingin pulang aku minta atuk untuk menakut-nakutinya. Nora lari ketakutan dikejar kepala terbang dan dia demam beberapa hari lamanya. Nora tak jadi pulang dan kesempatan itu aku gunakan untuk merawatnya. Tumbuh hutang budi di hati calon istri Angga. Dia mulai luluh akan perhatianku, tapi sepertinya Nora asli di lantai dua tak suka dengan kehadirannya. Istriku meminta calon istri Angga untuk pulang. Nora bilang rumah ini ada hantu. Aku kesal dan ingin membuang cermin di mana Nora istriku yang dulu tinggal. Aku antarkan ke rumah temanku yang sudah tua dan sangat lama hidup di dunia. Tepat sasaran pagi harinya dia mati. Tapi, wajah Nora Indah menjadi sasaran, karena ada yang meliha
Nora Indah mengurusku dengan baik. Seperti aku katakan tadi dia perempuan yang mudah dikendalikan dengan uang. Lebih mudah ditalukkan sebenarnya. Mungkin karena itu kami dipertemukan oleh takdir. Katanya dia lelah ingin beristirahat. Aku persilakan dia tidur di kamar Angga. Tapi baru sebentar saja dia sudah menjerit ketakutan. Apakah Emak mengganggunya? Ada apa antara Emak dan Nora Indah. Sampai gadis dari kota ini datang meringkuk ketakutan ke kamarku. Atau benar dia ketakutan atau pura-pura saja? Sebab dia seperti sengaja menggunakan baju tidur panjang tapi tipis. “Beneran, Om, Indah nggak bohong. Ada hantu di kamar Bang Angga.” Nora Indah bilang begitu sambil gemetar. Aku yang masih kesakitan mencoba duduk. “Ya sudah, tidur di sini saja. Nanti Om coba lihat.” Aku mencoba berdiri. Sudah mendingan daripada saat dapat serangan dari Emak empat hari yang lalu. “Tidur saja, tidak usah malu-malu. Om yakin kamu tidak lupa apa yang sudah kita lalui bersama. Bukan hanya sekali tetapi ber
POV Indah Kupikir setelah sampai di sini, keputusan yang kuambil benar. Nyatanya? Jauh panggang dari api. Iya, aku memang ingin Om Andi agar menikahiku, tapi aku seperti berhadapan dengan diriku versi lama. Beliau tak berkenan, katanya tidak ada bedanya antara menikah dan tak menikah. Apakah perkataan temanku itu terbukti? Aku menyesal? Tidak. Masih ada harapan bagiku agar Om Andi mau menikahiku. Dia sudah tidur denganku, tidak bisa dibiarkan begini terus. Bisa-bisa Om mencari perempuan lain setelah bosan denganku. “Nora,” panggilnya. Oh, mungkin dia sudah berubah pikiran. “Iya, Om. Lekas aku mendatanginya. “Temankan Om ke kota seberang, periksa luka supaya cepat sehat.” Dia membelai rambutku.Lekas saja aku berkemas dan memakai baju rapi. Aku lupa dia tak suka melihatku pakai baju ketat kalau ketemu orang. Kebetulan aku membeli gamis tiga pasang sebelum ke sini. Aku pakai saja baju baru yang masih bau toko ini lengkap dengan pashmina yang bisa aku buat gaya lilit di leher.“Bagu
Kemudian dosa kami terus berlanjut mulai dari satu jengkal kulit ke jengkal kulit lainnya. Rayuan, jeritan yang tertahan, dan semua yang kami lewati menjadi melodi dalam dosa yang aku hempaskan semuanya. Kami melepas kebersamaan seperti saat di kota walau tanpa menikah. Bahkan dari Om Andi aku mendapatkan apa yang selama ini kurang dari Bang Angga. Dua jam katanya dia menyewa kamar ini. Namun, setelah kami selesai berpetualang, Om Andi tak juga beranjak walau waktu telah habis. Aku malas bertanya, aku memutuskan tidur menggunakan kain panjang entah milik siapa. Rasa ngantuk dan lelah mendominasi dari ujung rambut sampai kaki. Perlahan-lahan suara gedoran pintu terdengar. Om Andi memakai kain sarung dan baju kaus lalu aku lirik membuka pintu sedikit. Ia keluar dan menutupnya lagi, mungkin pemilik kamar ini meminta kami pergi. Aku beranjak, tapi dia masuk lagi. Aku lihat Om Andi merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikan pada seseorang di depan pintu. Sete
Rupanya itu hanya mimpi buruk bagiku, karena saat aku sadar hanya Om Andi saja yang tidur di sebelahku. Tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Pagi harinya selesai mandi dan sarapan kami berdua belanja baju untuk ganti. Kami sudah siap, aku sendiri memakai gamis panjang dan jilbab rapi. Aku terlihat seperti perempuan soleha. Padahal jauh panggang dari api. Setelah ini aku tak akan memakai jilbab lagi.“Ini, Nora, tiket kapal untuk ke Malaysia. Nanti Nora ikut petunjuk yang Om tulis di balik tiket, cari kawan yang Om sebut di sana. Dia bisa tolong supaya masuk Malaysia dengan mudah. Kasih dia amplop ini, dia sudah paham. Sudah lama dia kerja dengan Om.” Om menyerahkan tiket, amplop, serta kunci rumah. Kemudian dengan menggunakan becak motor kami pergi ke pelabuhan. Tiga jam lagi kapal akan berangkat. Aku dan Om Andi duduk-duduk di kafetaria kira-kira cocoknya daripada kantin. Di sana aku memesan kopi juga Om yang kopi hitam kental pahit.“Om mau ke mana habis ini?” tanyaku iseng.