Rupanya itu hanya mimpi buruk bagiku, karena saat aku sadar hanya Om Andi saja yang tidur di sebelahku. Tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Pagi harinya selesai mandi dan sarapan kami berdua belanja baju untuk ganti. Kami sudah siap, aku sendiri memakai gamis panjang dan jilbab rapi. Aku terlihat seperti perempuan soleha. Padahal jauh panggang dari api. Setelah ini aku tak akan memakai jilbab lagi.“Ini, Nora, tiket kapal untuk ke Malaysia. Nanti Nora ikut petunjuk yang Om tulis di balik tiket, cari kawan yang Om sebut di sana. Dia bisa tolong supaya masuk Malaysia dengan mudah. Kasih dia amplop ini, dia sudah paham. Sudah lama dia kerja dengan Om.” Om menyerahkan tiket, amplop, serta kunci rumah. Kemudian dengan menggunakan becak motor kami pergi ke pelabuhan. Tiga jam lagi kapal akan berangkat. Aku dan Om Andi duduk-duduk di kafetaria kira-kira cocoknya daripada kantin. Di sana aku memesan kopi juga Om yang kopi hitam kental pahit.“Om mau ke mana habis ini?” tanyaku iseng.
“Eh, Puan, dah sedar, ye?” Ada seorang perempuan berbahasa Malaysia padaku. Aku mengangguk saja dan dia menggunakan baju perawat serba putih. Dia keluar dan beberapa saat kemudian ada yang datang lagi. Orang itu adalah Dani.“Akak, maafkan saya, tapi Akak pingsan tadi dekat masjid. Kebetulan pula saya yang lihat dan kita satu kapal tadi, jadi saya bawa akak ke sini.” Duh, kenapa harus dia yang menolongku? Apa nggak ada orang lain. “Iya, makasih, ya, Bang. Udah tolongin Indah. Om Andi mana, ya?” Aduh kenapa aku bisa kelepasan nanyain Om Andi. Mudah-mudahan Dani nggak kenal sama dia. “Kak, maaf saya nak tanya. Tadi di pelabuhan saya lihat akak dengan Pak Cik Andi. Akak ni siapanya Om kami, Kak? Sebab Om kami tu dah lame betul menduda sejak Mak Cik Nora meninggal. Maafkan kelancangan saya, Kak, tapi kami tak mau ada fitnah di kampung lagi.”“Saya istrinya Om Andi,” jawabku bohong walau sebenarnya hubungan kami sudah seperti suami istri. “Oh, bile Pak Cik kawin? Tak ade pesta atau a
“Ima siapa?” tanyaku, “dan ada perlu apa kamu ke sini?”“Indah Nora Diana,” ucapnya. Dia tahu nama lengkapku. “Kite pernah jumpe sekali, di lantai due rumah Bang Andi. Kau tak nampak aku tapi aku nampak kau. Ini peringatan terakhir untuk kau Indah. Pergilah jauh-jauh dari Bang Andi, die lebih jahat daripade setan. Aku dulu ditumbalkan saat tengah hamil 3 bulan, anak dari darah daging Bang Andi sendiri. Bukan tak mungkin kau pun dibuat same dengan aku.” “Gimana aku bisa percaya sama apa yang kamu bilang?” “Indah, aku mati lebih dulu dari pade kau lahir. Pun jiwa kami banyak tertawan di lantai due rumah Bang Andi. Kalau kau berkenan bebaskanlah kami.” “Bebaskan?” “Iye, pokok rambutan di tengah kebun karet, itu kunci memusnahkan semua ilmu hitam Bang Andi. Indah, aku tak bisa lame sangat di sini. Berubahlah selagi kau masih hidup, sebab kalau dah mati, payah. Tak ade kesempatan untuk bertaubat, macam aku dan calon suami kau dulu.” Dia menghilang. Aku terbangun. Sosok yang tadi memas
Sudah satu minggu aku mendekam dalam penjara, dan aku masih nggak mau buka mulut siapa orang tuaku. Aku takut mereka tahu kelakuan anak gadisnya yang sudah nggak gadis lagi sejak lama. Apalagi aku melepas gemilangnya jenjang karir karena cinta buta sama calon mertuaku. Aku takut Papa jantungan, karena dari dulu Papa paling membanggakan aku di depan saudaranya.Sudah satu minggu juga Om Andi nggak menampakkan diri. Ke mana dia? Apa bener-bener lupa sama aku? Setega itukah Om denganku? Atau jangan-jangan aku saja yang selama ini sudah dibutakan dengan cinta? Ah, sakit kepalaku memikirkannya.Bolehkah aku bilang aku menyesal? Aku jadi merindukan hidupku yang dulu bersama Bang Angga. Memang semua berubah saat aku mulai menginginkan Om Andi secara berlebihan, padahal temanku sudah memberi nasehat agar aku menyudahi kegilaan ini. “Ncik, assalammualaikum,” ucap salah satu officer. “Wa’alaikumsalam,” jawabku dengan rasa malas. “Ncik, kalau tiga hari lagi tak ade juge jawaban, Ncik akan k
“Indah Nora Diana,” panggil salah seorang officer perempuan ketika aku menundukkan kepala di dalam sel tahanan. “Yes, Madam,” sahutku. “Ade yang menjamin Ncik, kerabat dari Indonesia. Die datang membawa surat nikah dan segala macam bukti kalau Ncik orang baik bukan pekerja haram.” “Hah, kenapa bisa?” Tebakanku orang itu pasti Om Andi. Tapi kok, dia bisa bebaskan aku.“Dia bawa peguam (pengacara) terkemuka di sini, Ncik. Jadi kami pun tak ade hal untuk menahan Ncik lagi. Temuilah kuase hukum Ncik di luar.” Aku ikut saja menemui yang katanya peguam itu. Aku duduk berhadap-hadapan dan wajahnya asing. Om Andi pun tidak ada di sini. “Dengan saudari Indah Nora Diana?” Dia menjabat tanganku. “Iya, saya sendiri.” Kemudian dia menjelaskan dalam bahasa Inggris jikalau salah satu kliennya membayar mahal agar aku bisa bebas. Semua tanda kependudukanku dibawanya, termasuk buku nikah dengan lambang burung garuda juga KK di mana Andi Harun adalah kepala keluarga dan aku istrinya. Wow, kebohon
Aku masih di kamar hotel, selesai mandi dan bersih-bersih. Entah sudah yang keberapa kali kami seperti ini, tapi untuk lari juga tidak bisa. Kamar dia kunci, handphoneku tidak ada dan ada sosok lain sudut kamar. Lama-lama aku terbiasa melihat makhluk menyeramkan ini. Harusnya aku dengarkan kata Kimmi. Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Aku ingin pergi darinya, aku tak mau selama-lamanya jadi budak cinta pemuas nafsu. Saatnya mengedepankan logika dibandingkan cinta. Baru saja dibicarakan, Om Andi pulang. Dia berjalan agak terhuyung, mungkin habis minum. Aku tak mau mendekat ke arahnya.“Nora!” panggilnya dengan nada tinggi. “Hmm.” Aku hanya jawab itu saja. “Nora, sini!” Tangannya melambai ke arahku. Mulanya aku enggan.“Iya, Om, kenapa?” tanyaku dan dia menarikku sangat kuat. “Lihat ini.” Dia memamerkan bekas lisptick di kerah baju dan lehernya, jangan lupakan di bagian dada. Mengerikan sekali nafsunya, kupikir denganku sudah cukup tadi. “Ya, terus?” “Kamu sama saja dengan mere
Aku tahu di desa ini akan dibangun pesantren, dan aku benci itu. Artinya syiar Islam akan kembali hidup seperti saat Haji Yunus, Sahrul, dan Nora istri pertamaku masih ada. Tidak bisa dibiarkan, desa ini bisa kembali ramai dan aku serta hantu peliharaanku bisa terusik. Bisa-bisa kekuasaanku berkurang. Dan aku bisa jatuh miskin seperti dulu. Tak akan kubiarkan. Siapa yang harus aku bunuh duluan?Sudah pasti Rizal akan terlibat. Anak kecil yang sekarang sudah dewasa sekali itu alot sekali nyawanya. Beberapa kali peliharaanku mencoba untuk membunuhnya tapi selalu gagal. Ujungnya mereka kembali dengan tubuh mengepulkan asap, tetapi apa pun yang terjadi pembangunan pesantren itu harus gagal. “Om, mau ke mana?” tanya Nora. Kuperhatikan sudah beberapa hari ini wajahnya pucat. “Bukan urusan kamu, tunggu saja di rumah.” “Awas nanti mati digigit ular, Om.” Dia tak pernah lagi ramah dan manja padaku seperti dulu. Sebenarnya aku rindu dengan gayanya yang dulu centil dan apa ya mentel begitul
Pisau yang aku ingin gunakan untuk bunuh diri terlempar begitu saja. Aku tahu pasti siapa yang melakukannya. Tentu saja hantu-hantu peliharaan Om Andi. Bingung, situasi itulah yang aku hadapi. Bagaimana cara bicara dengan kedua orang tuaku nanti. Bagaimana cara menyelamatkan anak ini dari terkaman ayahnya. Terutama caraku menyelamatkan diri. “Nora, kamu tenang dulu. Bunuh diri tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sudah dua kali kamu seperti ini.” Dengan entengnya Om Andi bicara seperti itu. Padahal karena dia aku jadi hampir gila dan depresi.“Semoga nyawa, Om, dicabut duluan sebelum anak ini lahir.” Aku tak peduli walau nanti anakku lahir tak berayah. Toh, secara hukum agama bayi dalam kandunganku hanya milikku saja. Mereka tidak akan butuh bapak iblis.“Tidak akan, Om punya perjanjian panjang umur dengan hantu peliharaan Om.” “Kita lihat saja nanti, Om, siapa yang menang. Ilmu hitam punya Om atau takdir.” Aku berjalan meninggalkan dia. Aku tak mau lagi satu kamar dengannya. L
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel