Aku tahu di desa ini akan dibangun pesantren, dan aku benci itu. Artinya syiar Islam akan kembali hidup seperti saat Haji Yunus, Sahrul, dan Nora istri pertamaku masih ada. Tidak bisa dibiarkan, desa ini bisa kembali ramai dan aku serta hantu peliharaanku bisa terusik. Bisa-bisa kekuasaanku berkurang. Dan aku bisa jatuh miskin seperti dulu. Tak akan kubiarkan. Siapa yang harus aku bunuh duluan?Sudah pasti Rizal akan terlibat. Anak kecil yang sekarang sudah dewasa sekali itu alot sekali nyawanya. Beberapa kali peliharaanku mencoba untuk membunuhnya tapi selalu gagal. Ujungnya mereka kembali dengan tubuh mengepulkan asap, tetapi apa pun yang terjadi pembangunan pesantren itu harus gagal. “Om, mau ke mana?” tanya Nora. Kuperhatikan sudah beberapa hari ini wajahnya pucat. “Bukan urusan kamu, tunggu saja di rumah.” “Awas nanti mati digigit ular, Om.” Dia tak pernah lagi ramah dan manja padaku seperti dulu. Sebenarnya aku rindu dengan gayanya yang dulu centil dan apa ya mentel begitul
Pisau yang aku ingin gunakan untuk bunuh diri terlempar begitu saja. Aku tahu pasti siapa yang melakukannya. Tentu saja hantu-hantu peliharaan Om Andi. Bingung, situasi itulah yang aku hadapi. Bagaimana cara bicara dengan kedua orang tuaku nanti. Bagaimana cara menyelamatkan anak ini dari terkaman ayahnya. Terutama caraku menyelamatkan diri. “Nora, kamu tenang dulu. Bunuh diri tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sudah dua kali kamu seperti ini.” Dengan entengnya Om Andi bicara seperti itu. Padahal karena dia aku jadi hampir gila dan depresi.“Semoga nyawa, Om, dicabut duluan sebelum anak ini lahir.” Aku tak peduli walau nanti anakku lahir tak berayah. Toh, secara hukum agama bayi dalam kandunganku hanya milikku saja. Mereka tidak akan butuh bapak iblis.“Tidak akan, Om punya perjanjian panjang umur dengan hantu peliharaan Om.” “Kita lihat saja nanti, Om, siapa yang menang. Ilmu hitam punya Om atau takdir.” Aku berjalan meninggalkan dia. Aku tak mau lagi satu kamar dengannya. L
“Bro, itu hapemu bunyi.” Seorang teman menepuk pundakku. Aku sedang membaca pesan dari Widuri—calon istriku, kurang lebih satu setengah bulan lagi kami akan menikah. Lekas aku lihat ponsel, tidak ada panggilan masuk. Lalu aku ingat-ingat lagi. Bunyinya masih terdengar bahkan sampai dering ketiga. Oh, iya, handphone Bang Angga aku bawa tadi pagi karena baterainya aku cas sampai penuh. Takut ada yang mencarinya. Segera saja aku jawab dan katakan aku siapa dan jika ada hutang dengan Bang Angga bisa menagih padaku.“Halo, Anton, ini Indah, calon istri Bang Angga dulu.” Oh iya, Kak Indah, aku ingat. Kami pernah bertemu di rumah ayahku hari itu. Heran saja aku dengan dia, kenapa mau tinggal di sana. Diajak pulang juga tidak mau padahal aku bisa bantu mencarikan speed boat dari arah yang berbeda. Ditambah rumah ayahku sangat seram seperti sarang hantu.Aku bertanya ada keperluan apa Kak Indah menelpon Bang Angga. Lalu dia bercerita secara singkat padat dan jelas, hal ini membuat profesiku
Aku mencatat semua keterangan yang diberikan oleh mama Kak Indah. Termasuk pula nama yang katanya menculik Kak Indah, nama desa, kabupaten, yang sebenarnya aku tahu semuanya. Aku tidak pernah mengatakan siapa diriku.“Adek ini siapanya Indah?” tanya beliau. Kalau aku bilang adiknya Bang Angga bisa jadi beliau shock. “Saya temannya, Bu, dulu masih sering jumpa sebelum Indah menghilang.” “Tolong ya, Nak, Ibu jadi nggak bisa tidur. Gimana ceritanya Indah bisa diculik padahal ngakunya ke Malaysia.” Mama Kak Indah menangis. Kurasa dia belum tahu berita kalau anaknya hamil. Kalau aku beritahukan takutnya tiba-tiba kena serangan jantung. “Baik, Bu, kalau begitu saya permisi dulu. Insya Allah saya akan usahakan membawa Indah kembali dalam keadaan sehat wal’afiat.” Aku berdiri dan salaman dengan beliau. “Nak Anton sendirian saja? Nggak bawa petugas yang lain,” tanya beliau yang cukup jeli juga. “Ada nanti petugas tambahan. Kalau begitu saya pamit, assalammualaikum.” Lekas aku keluar dari
Bagian 42 Perlawanan Aku naik ke lantai dua. Tak lama setelah itu gangguan sudah saja dimulai. Ada yang memainkan rambutku, ada yang menggeser tasku. Aslinya aku takut, tapi demi tugas menyelamatkan orang yang sudah telanjur bucin, jadi aku beranikan diri sajaDari lantai dua aku melihat ayah keluar dan menggunakan motor lama kami yang masih ia simpan. Aku mengganti baju dan berbaring sebentar. Baru sebentar merebahkan diri suara Kak Indah sudah terdengar.“Ya, Kak, sebentar, jangan masuk kamar. Nggak baik.” Aku mengingatkannya, takut kelewatan. Aku tahu dia ketakutan, tapi dia harus tahu batasan juga. Cukup Bang Angga dan ayahku saja, jangan aku lagi.“Anton, tolong bawa Kakak keluar dari rumah ini.” Kak Indah bicara sambil mengintip ke lantai satu. Aku tahu dia takut ayah kembali. Aku ingin menjawab, tapi tiba-tiba saja vas bunga yang entah berasal dari mana terlempar ke arah kami. Untung aku dan Kak Indah sempat merunduk. “Anton, di sini banyak hantunya.”“Saya tahu, karena itu
Seketika imanku serasa runtuh melihat kepala yang tadinya menggelinding kemudian terbang memutar ke arahku. Aku diam, kaku, dan mendadak serasa dingin dari ujung rambut sampai kaki, lalu … “Anton, pergi! Jangan diem aja!” Suara jeritan Kak Indah membuatku tersadar. Aku bisa melihat satu demi satu penghuni lantai dua menatapku dengan aneh. Kepala terbang itu kembali menyatu di tubuhnya, kemudian si nenek yang berjalan perlahan-lahan ke dekatku. Aku berlari seperti kata Kak Indah. Lari saja terus asalkan keluar dari lingkungan rumah ayah, tentu sambil meneriakkan Allahu Akbar berkali-kali.Sampai juga akhirnya aku di depan jalan yang dilalui banyak orang saat siang, ya malamnya tentu saja sepi. Bagaimana tidak sepi, memang seram sekali seperti sarang hantu di rumah Ayah. Aku melangkahkan kaki menuju rumah Bang Rizal. Hanya dia orang yang bisa dimintakan tolong mengenai kejadian yang menimpa Kak Indah. “Nggak pakai listrik, Bang?” tanyaku saat Bang Rizal mempersilakan masuk. “Tak a
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel