Nora sempat marah karena pedasnya lisanku. Aku tak peduli, yang jelas aku harus mendapatkanya karena kulit kami sudah saling bersentuhan, rasanya seperti terbakar api. Bagiku kalau aku sudah terpikat. Aku harus dapat walau harus membunuh banyak orang, walau harus menghabiskan semua uangku. Hingga saat Nora ingin pulang aku minta atuk untuk menakut-nakutinya. Nora lari ketakutan dikejar kepala terbang dan dia demam beberapa hari lamanya. Nora tak jadi pulang dan kesempatan itu aku gunakan untuk merawatnya. Tumbuh hutang budi di hati calon istri Angga. Dia mulai luluh akan perhatianku, tapi sepertinya Nora asli di lantai dua tak suka dengan kehadirannya. Istriku meminta calon istri Angga untuk pulang. Nora bilang rumah ini ada hantu. Aku kesal dan ingin membuang cermin di mana Nora istriku yang dulu tinggal. Aku antarkan ke rumah temanku yang sudah tua dan sangat lama hidup di dunia. Tepat sasaran pagi harinya dia mati. Tapi, wajah Nora Indah menjadi sasaran, karena ada yang meliha
Nora Indah mengurusku dengan baik. Seperti aku katakan tadi dia perempuan yang mudah dikendalikan dengan uang. Lebih mudah ditalukkan sebenarnya. Mungkin karena itu kami dipertemukan oleh takdir. Katanya dia lelah ingin beristirahat. Aku persilakan dia tidur di kamar Angga. Tapi baru sebentar saja dia sudah menjerit ketakutan. Apakah Emak mengganggunya? Ada apa antara Emak dan Nora Indah. Sampai gadis dari kota ini datang meringkuk ketakutan ke kamarku. Atau benar dia ketakutan atau pura-pura saja? Sebab dia seperti sengaja menggunakan baju tidur panjang tapi tipis. “Beneran, Om, Indah nggak bohong. Ada hantu di kamar Bang Angga.” Nora Indah bilang begitu sambil gemetar. Aku yang masih kesakitan mencoba duduk. “Ya sudah, tidur di sini saja. Nanti Om coba lihat.” Aku mencoba berdiri. Sudah mendingan daripada saat dapat serangan dari Emak empat hari yang lalu. “Tidur saja, tidak usah malu-malu. Om yakin kamu tidak lupa apa yang sudah kita lalui bersama. Bukan hanya sekali tetapi ber
POV Indah Kupikir setelah sampai di sini, keputusan yang kuambil benar. Nyatanya? Jauh panggang dari api. Iya, aku memang ingin Om Andi agar menikahiku, tapi aku seperti berhadapan dengan diriku versi lama. Beliau tak berkenan, katanya tidak ada bedanya antara menikah dan tak menikah. Apakah perkataan temanku itu terbukti? Aku menyesal? Tidak. Masih ada harapan bagiku agar Om Andi mau menikahiku. Dia sudah tidur denganku, tidak bisa dibiarkan begini terus. Bisa-bisa Om mencari perempuan lain setelah bosan denganku. “Nora,” panggilnya. Oh, mungkin dia sudah berubah pikiran. “Iya, Om. Lekas aku mendatanginya. “Temankan Om ke kota seberang, periksa luka supaya cepat sehat.” Dia membelai rambutku.Lekas saja aku berkemas dan memakai baju rapi. Aku lupa dia tak suka melihatku pakai baju ketat kalau ketemu orang. Kebetulan aku membeli gamis tiga pasang sebelum ke sini. Aku pakai saja baju baru yang masih bau toko ini lengkap dengan pashmina yang bisa aku buat gaya lilit di leher.“Bagu
Kemudian dosa kami terus berlanjut mulai dari satu jengkal kulit ke jengkal kulit lainnya. Rayuan, jeritan yang tertahan, dan semua yang kami lewati menjadi melodi dalam dosa yang aku hempaskan semuanya. Kami melepas kebersamaan seperti saat di kota walau tanpa menikah. Bahkan dari Om Andi aku mendapatkan apa yang selama ini kurang dari Bang Angga. Dua jam katanya dia menyewa kamar ini. Namun, setelah kami selesai berpetualang, Om Andi tak juga beranjak walau waktu telah habis. Aku malas bertanya, aku memutuskan tidur menggunakan kain panjang entah milik siapa. Rasa ngantuk dan lelah mendominasi dari ujung rambut sampai kaki. Perlahan-lahan suara gedoran pintu terdengar. Om Andi memakai kain sarung dan baju kaus lalu aku lirik membuka pintu sedikit. Ia keluar dan menutupnya lagi, mungkin pemilik kamar ini meminta kami pergi. Aku beranjak, tapi dia masuk lagi. Aku lihat Om Andi merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikan pada seseorang di depan pintu. Sete
Rupanya itu hanya mimpi buruk bagiku, karena saat aku sadar hanya Om Andi saja yang tidur di sebelahku. Tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Pagi harinya selesai mandi dan sarapan kami berdua belanja baju untuk ganti. Kami sudah siap, aku sendiri memakai gamis panjang dan jilbab rapi. Aku terlihat seperti perempuan soleha. Padahal jauh panggang dari api. Setelah ini aku tak akan memakai jilbab lagi.“Ini, Nora, tiket kapal untuk ke Malaysia. Nanti Nora ikut petunjuk yang Om tulis di balik tiket, cari kawan yang Om sebut di sana. Dia bisa tolong supaya masuk Malaysia dengan mudah. Kasih dia amplop ini, dia sudah paham. Sudah lama dia kerja dengan Om.” Om menyerahkan tiket, amplop, serta kunci rumah. Kemudian dengan menggunakan becak motor kami pergi ke pelabuhan. Tiga jam lagi kapal akan berangkat. Aku dan Om Andi duduk-duduk di kafetaria kira-kira cocoknya daripada kantin. Di sana aku memesan kopi juga Om yang kopi hitam kental pahit.“Om mau ke mana habis ini?” tanyaku iseng.
“Eh, Puan, dah sedar, ye?” Ada seorang perempuan berbahasa Malaysia padaku. Aku mengangguk saja dan dia menggunakan baju perawat serba putih. Dia keluar dan beberapa saat kemudian ada yang datang lagi. Orang itu adalah Dani.“Akak, maafkan saya, tapi Akak pingsan tadi dekat masjid. Kebetulan pula saya yang lihat dan kita satu kapal tadi, jadi saya bawa akak ke sini.” Duh, kenapa harus dia yang menolongku? Apa nggak ada orang lain. “Iya, makasih, ya, Bang. Udah tolongin Indah. Om Andi mana, ya?” Aduh kenapa aku bisa kelepasan nanyain Om Andi. Mudah-mudahan Dani nggak kenal sama dia. “Kak, maaf saya nak tanya. Tadi di pelabuhan saya lihat akak dengan Pak Cik Andi. Akak ni siapanya Om kami, Kak? Sebab Om kami tu dah lame betul menduda sejak Mak Cik Nora meninggal. Maafkan kelancangan saya, Kak, tapi kami tak mau ada fitnah di kampung lagi.”“Saya istrinya Om Andi,” jawabku bohong walau sebenarnya hubungan kami sudah seperti suami istri. “Oh, bile Pak Cik kawin? Tak ade pesta atau a
“Ima siapa?” tanyaku, “dan ada perlu apa kamu ke sini?”“Indah Nora Diana,” ucapnya. Dia tahu nama lengkapku. “Kite pernah jumpe sekali, di lantai due rumah Bang Andi. Kau tak nampak aku tapi aku nampak kau. Ini peringatan terakhir untuk kau Indah. Pergilah jauh-jauh dari Bang Andi, die lebih jahat daripade setan. Aku dulu ditumbalkan saat tengah hamil 3 bulan, anak dari darah daging Bang Andi sendiri. Bukan tak mungkin kau pun dibuat same dengan aku.” “Gimana aku bisa percaya sama apa yang kamu bilang?” “Indah, aku mati lebih dulu dari pade kau lahir. Pun jiwa kami banyak tertawan di lantai due rumah Bang Andi. Kalau kau berkenan bebaskanlah kami.” “Bebaskan?” “Iye, pokok rambutan di tengah kebun karet, itu kunci memusnahkan semua ilmu hitam Bang Andi. Indah, aku tak bisa lame sangat di sini. Berubahlah selagi kau masih hidup, sebab kalau dah mati, payah. Tak ade kesempatan untuk bertaubat, macam aku dan calon suami kau dulu.” Dia menghilang. Aku terbangun. Sosok yang tadi memas
Sudah satu minggu aku mendekam dalam penjara, dan aku masih nggak mau buka mulut siapa orang tuaku. Aku takut mereka tahu kelakuan anak gadisnya yang sudah nggak gadis lagi sejak lama. Apalagi aku melepas gemilangnya jenjang karir karena cinta buta sama calon mertuaku. Aku takut Papa jantungan, karena dari dulu Papa paling membanggakan aku di depan saudaranya.Sudah satu minggu juga Om Andi nggak menampakkan diri. Ke mana dia? Apa bener-bener lupa sama aku? Setega itukah Om denganku? Atau jangan-jangan aku saja yang selama ini sudah dibutakan dengan cinta? Ah, sakit kepalaku memikirkannya.Bolehkah aku bilang aku menyesal? Aku jadi merindukan hidupku yang dulu bersama Bang Angga. Memang semua berubah saat aku mulai menginginkan Om Andi secara berlebihan, padahal temanku sudah memberi nasehat agar aku menyudahi kegilaan ini. “Ncik, assalammualaikum,” ucap salah satu officer. “Wa’alaikumsalam,” jawabku dengan rasa malas. “Ncik, kalau tiga hari lagi tak ade juge jawaban, Ncik akan k
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel