“Bang, besok kalau kite ada duit, buat rumah besar, ye, Bang. Tingkat due tu ade empat kamar. Mane tahu kite punye banyak anak. Terus anak kite menikah bawa balik mantu kite ke sini,” ucap Nora. Entah sudah yang keberapa kalinya dia berbicara seperti ini terus padaku. Satu bulan ini tepatnya, sampai bosan aku mendengarnya. Nora terbatuk dan menepuk dadanya sangat kuat berkali-kali.Anak pertama kami Andi yang sudah berusia sembilan tahun sigap mengambilkannya air hangat. Nora berhasil mendidiknya menjadi anak baik. Nora sakit, aku tahu itu. Semua uangku sudah habis tak bersisa lagi untuk membawanya berobat. Meminjam dengan Haji Yunus, sudah aku rendahkan harga diriku serendah-rendahnya. Tapi orang tua itu semakin bertambah keras hatinya. Dia memintaku menyelesaikan masalahnya sendiri. Seharusnya sebagai laki-laki aku tidak manja dan cengeng. “Angga, anak soleh emak, besar besok jangan jadi macam Emak dan Ayah, ye. Harus sekolah tinggi-tinggi. Harus baik, harus rajin sholat, harus r
Aku membelikan keripik ubi dan menawarkan padanya. Tak disangka Sahrul mau mengambil bahkan memakannya. Hanya saja, hati kecilku bertanya. Apakah aku tega? Dia sudah cukup menderita selama ini. “Duit, Andi, duit, bini kau sakit.” Terngiang-ngiang lagi kata emakku. “Sahrul, saye minta maaf, ye, dengan kesalahan saye selama ini.” Aku menjabat tangan Sahrul. Mungkin kalau benar kata emak, aku akan bertemu untuk terakhir kali dengan iparku. Tak sampai di situ saja, bahkan aku mengajaknya minum kopi di kedai jiran kami. Sebenarnya aku juga sayang duit, tapi semua butuh modal. Tidak apalah dua gelas kopi sebagai pelepas dendam di antara kami. Sahrul cukup senang mendapat teman bicara. Dia bercerita bahwa sesalnya begitu mendalam saat mengkhianati Zulaikha bahkan melepaskan istri pertamanya. Tak pernah lagi aku dengar kabar mantan istrinya itu. Mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. “Aku juga, Andi, jage adik aku baik-baik, ye. Aku tak dah tak sanggup, badan pun tak sehat juge.
Tidak mungkin rasanya emas-emas ini aku tukarkan dengan kebun. Bisa curiga orang di kampung dengan penghasilan yang aku dapat. Solusinya hanya satu, yaitu aku pergi ke Malaysia sebagai TKI Ilegal. Terserah yang penting keluar dari kampung dan tidak menampakkan diri pada keluarga Haji Yunus. Bisa-bisa aku terlibat kekerasan yang sama dengan atukku dulu. Angga dan Anton aku titipkan oleh salah satu pihak keluarga Nora yang tidak ikut campur urusan keluarga kami. Kak Neti, begitu aku memanggilnya, belum lama ini melahirkan bayi kembar Rizal dan Ramli. Kak Neti bersedia merawat dua anakku. Lekas saja aku berikan baju-baju Angga dan Anton. Tak lupa aku berikan beberapa lembar uang dan tentu saja kalung emas. Dia terlihat ragu. Kak Neti termasuk orang biasa-biasa saja. “Tak payahlah, Andi, bawa balik kalung emas ini. Akak masih ada duit untuk bagi makan due anak kau.” Dia menolak pemberianku. Tapi aku paksa menerimanya dan akhirnya Kak Neti terbujuk juga. Semua sudah aku persiapkan tig
Ima menggunakan baju pendek berwarna hitam di atas lutut. Sejak tinggal di Malaysia aku semakin mahir mengenal perempuan. Ima hanya menjual diri padaku. Dia tak menerima panggilan lain. Apakah aku peduli? Tidak. Dia hanya wanita malam yang aku sewa. “Sebab Abang banyak duit?” tanyaku padanya. Ima tersenyum lebar dan tertawa dengan penuh godaan. “Pertame, iye, tapi lama-lama tak. Nikah kita, Bang? Abang orang pertama bagi Ima.” Dia benar-benar takluk dalam rayuanku rupanya. Padahal di awal aku yang butuh tubuhnya. Aku tidak suka pembicaraan seperti ini. Bagiku Nora adalah istri yang tidak akan tergantikan sama sekali. Nora itu suci, Ima murahan. “Bang.” Ima memanggilku ketika aku ingin keluar dari rumahnya. “Sesuai janji Ima, tak ade pernikahan. Satu kali kau layani Abang, kau dapat duit. That’s all.” “Tunggu, Bang, dengar dulu. Tapi Ima hamil, Bang. Ini anak Abang.” “Sesuai perjanjian, tak boleh main perasaan, tak boleh ada anak. Kalau pun ade, itu anak kau. Secara hukum Islam
Aku merupakan anak pertama dari Andi Harun dan Nora Syafitri. Ibuku adalah wanita paling baik di dunia ini. Beliau cantik, bak bidadari dengan suara lembut, tak pernah sekalipun marah padaku. Sedangkan ayahku adalah sosok pekerja keras dan irit bicara padaku apalagi dengan Anton. Sekalipun aku tak pernah melihatnya ibadah lima waktu, apalagi puasa. Tapi ibu berhasil membuatku tutup mulut. Perisitwa meninggalnya ibu membuat hari-hariku terpuruk. Aku yang masih kecil dan amat membutuhkan bimbingan darinya. Kalau tak ingat ada Anton aku sudah ikut Ibu. Belum lagi Atuk Haji Yunus yang garang membuatku hampir kencing di celana. “Pergi!” bentaknya waktu itu ketika aku ingin bersalaman. “Kau bukan cucu aku!” hardiknya lagi. Aku tak paham waktu itu dan sampai besar pun tak mau mencari tahu. Waktu terus berjalan setelah meninggalnya ibu. Ayah pergi ke Malaysia demi mencari uang. Sudah tidak ada lagi penyemangat hidup beliau ketika ibu meninggal. Kami berdua dititipkan pada Mak Cik Neti. D
“Nanti, Yah, setelah menikah saya akan ajarkan Indah untuk pakai jilbab. Sekarang belum bisa, sebab saya belum jadi suaminya.” Aku berbohong. Sudah ratusan kali aku mengingatkan Indah. Katanya percuma saja, karena kami dua kali atau tiga kali dalam seminggu tidur bersama. Merusak esensi jilbab kata Indah. “Kau pasti dah tidur dengan Indah, kan? Makanya tak mau melepaskan dia?” Benar, tebakan ayahku tidak meleset. Aku tidak membantah karena aku berbohong juga akan ketahuan. “Betul ternyata, kau tak ada bedanya dengan Ayah dulu.” “Maksud, Ayah?” Aku tidak tahu apa yang dikatakan olehnya. “Intinya, nasab kau itu tak bertemu denganku, Angga. Tapi jangan takut, warisan tetap Ayah bagikan, sebab anak ayah cume due, tak ade lagi. Dah, jangan terlalu dipikirkan. Manusia tempatnya khilaf dan dosa. Selagi masih ada nyawa masih bisa tobat.” Ayah masuk ke kamarnya. Di usia memasuki kepala tiga ini aku baru sadar kalau aku anak di luar nikah. Tidak ada yang pernah cerita padaku. Aku ingin ter
Aku terkejut ketika sampai di rumah dan melihat anakku—Angga yang berbaring di lantai dengan mata terbuka. Lekas aku membangunkan anakku, tapi dia tak mau bergerak lagi. Perasaanku tak enak.Ada apa ini? Kenapa bisa begini? Angga, anakku, bangunlah. Aku menepuk pipinya berkali-kali, tapi tetap saja tidak ada respon sama sekali. “Tak payahlah, Andi. Anak kau tu dah mati.” Emakku turun dari tangga beserta dengan Nora. “Kenape, Mak? Angga buat salah ape?” Aku memeluk anakku, berharap dia bangun. Bagaimanapun juga dia yang paling kusayang. “Tak ade, die jatuh dari sini, dah tu tak bergerak lagi. Kami pikir tidur tadi. Mak tak berani sentuh sebab Angga tu die rajin sholat jadi kami kepanasan.” Aku percaya saja apa kata Emak. Tak mungkin beliau berbohong.Aku membawa Angga ke kamar dan menyelimutinya. Fasilitas kesehatan di sini masih sama dengan dulu. Tidak ada orang di malam hari. Untuk kali ini aku merendahkan diri. Aku menelepon Rizal dan memberitahu anakku sudah meninggal. Tak samp
Nora sempat marah karena pedasnya lisanku. Aku tak peduli, yang jelas aku harus mendapatkanya karena kulit kami sudah saling bersentuhan, rasanya seperti terbakar api. Bagiku kalau aku sudah terpikat. Aku harus dapat walau harus membunuh banyak orang, walau harus menghabiskan semua uangku. Hingga saat Nora ingin pulang aku minta atuk untuk menakut-nakutinya. Nora lari ketakutan dikejar kepala terbang dan dia demam beberapa hari lamanya. Nora tak jadi pulang dan kesempatan itu aku gunakan untuk merawatnya. Tumbuh hutang budi di hati calon istri Angga. Dia mulai luluh akan perhatianku, tapi sepertinya Nora asli di lantai dua tak suka dengan kehadirannya. Istriku meminta calon istri Angga untuk pulang. Nora bilang rumah ini ada hantu. Aku kesal dan ingin membuang cermin di mana Nora istriku yang dulu tinggal. Aku antarkan ke rumah temanku yang sudah tua dan sangat lama hidup di dunia. Tepat sasaran pagi harinya dia mati. Tapi, wajah Nora Indah menjadi sasaran, karena ada yang meliha
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel