Share

Bab 4

Ketika aku masuk, Reza masih terduduk di lantai, dengan buket bunga yang aku siapkan untuknya tergeletak di samping kakinya. Bunga yang seharusnya menjadi kejutan itu kini sudah sangat layu.

Di atas meja, tergeletak beberapa botol alkohol yang sudah kosong.

Reza mengangkat ponselnya dan mencoba meneleponku beberapa kali, tetapi ponselku tetap mati

"Rania, kamu pergi ke mana? Kenapa nggak mengangkat teleponku? Bukankah kamu paling benci kalau orang nggak mengangkat telepon? Obatmu masih ada di sini .…”

Aku duduk di sampingnya dan tersenyum getir. “Reza, aku ada di sampingmu, tapi kamu nggak bisa melihatku lagi, dan selamanya nggak akan bisa melihatku.”

Saat tengah malam, telepon Reza tiba-tiba berdering, dan nama yang muncul adalah Tamara

Aku mengalihkan pandanganku, dengan air mata menggenang di mataku.

Reza menjawab, "Ada apa?"

Di sisi sana terdengar suara. "Apa Rania marah? Apa aku perlu membantumu menjelaskan padanya?"

"Nggak perlu, aku bisa menyelesaikannya sendiri."

"Baiklah, semoga kamu bisa istirahat dengan baik."

Setelah menutup telepon, Reza tertidur dengan keadaan setengah sadar.

Aku tetap duduk di sampingnya, mengamatinya dengan tenang. Aku sadar bahwa waktuku di sini tidak akan lama, jadi aku ingin memanfaatkan waktu terakhir ini untuk melihat pria yang sangat kucintai.

Meskipun dia lebih memilih untuk bersama orang lain saat aku sangat membutuhkannya.

Tiba-tiba, telepon Reza berdering lagi. Dia menjawab dengan suara samar, "Rania, akhirnya kamu mau mengangkat teleponku. Kamu di mana? Aku akan menjemputmu."

“Pak Reza, ini saya.”

Aku mengenali suara asisten Reza, dan kutahu ini pasti tentang urusan pekerjaan.

Malam itu, aku menjelajahi seluruh sudut rumah dengan cermat, melihat kembali semua kenangan yang pernah kutinggalkan bersama Reza.

Sayang sekali, semuanya akan segera lenyap.

Keesokan harinya, Reza pergi pagi-pagi. Aku mengira dia akan ke kantor, tetapi ternyata dia pergi ke selatan kota.

Aku terkejut. Tempat itu adalah tempat pertama kali kami bertemu.

Untuk apa Reza pergi ke sana?

Aku mengikutinya selama tiga hari penuh, dan baru kemudian menyadari bahwa dia mengunjungi semua tempat yang pernah kami singgahi, hanya untuk mencari keberadaanku.

Namun, dia sama sekali tidak tahu bahwa aku sudah tiada, meninggal saat dia menemani Tamara untuk pemeriksaan kehamilan.

Namun, setidaknya aku bisa memastikan satu hal. Reza tidak sepenuhnya tak memiliki perasaan terhadapku.

Saat aku berencana untuk pergi, aku melihat dia menuju ke jalan yang tidak asing, yaitu menuju rumahku.

Setelah aku hitung-hitung, sepertinya hari ini kakakku sudah membawa jasadku pulang. Jadi, Reza pasti akan mengetahui kebenarannya.

Apakah dia akan merasa sedih?

Setelah berpikir sejenak, aku sadar bahwa Reza berhak mengetahui kebenarannya, mengingat dia masih suamiku secara resmi.

Selain itu, aku juga ingin melihat reaksinya seperti apa.

Saat Reza baru saja sampai di depan pintu, dia melihat pintu itu dipenuhi dengan warna putih. Dia terdiam di tempat dan tampak sedikit bingung.

Entah mengapa, aku merasa seolah-olah tangannya sedikit bergetar.

Setelah kakakku membuka pintu, dia terkejut melihat Reza dan terdiam selama beberapa saat.

Reza kemudian masuk dengan tergesa-gesa dan langsung melihatku terbaring di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh bunga-bunga, dan mengenakan gaun ungu kesukaanku.

Namun, mataku tertutup dan aku tak dapat melihatnya lagi.

Melihat pemandangan itu, aku tak bisa menahan tangis. Aku mendekat dan meraba wajahku, yang sepertinya masih menyimpan bekas air mata.

Tiba-tiba, aku melihat Reza berlari ke arahku. Dia bertindak seperti orang yang kehilangan akal, mengangkat semua bunga yang ada di sekelilingku sambil terus mengoceh, "Rania punya asma. Di rumah nggak boleh ada bunga! Dia bisa merasa nggak nyaman karena serbuk sari. Kenapa kalian menaruhnya di tengah bunga seperti ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status