Share

Bab 3

“Rania, aku ada urusan mendadak. Aku akan pulang nanti.”

“Obatnya sudah aku beli, tunggu aku di rumah.”

Pesan terakhir berbunyi. “Tamara menunjukkan tanda-tanda keguguran, dan dia nggak punya siapa-siapa di sini. Ini menyangkut nyawa, jadi aku nggak bisa mengabaikannya. Setelah selesai dengan urusan di sini, aku akan pulang. Jangan berpikir yang aneh-aneh.”

Kakakku melihat pesan itu dengan sangat marah, sementara aku hanya bisa tertegun menatapnya.

Tamara mengalami tanda-tanda keguguran? Tidak ada siapa-siapa?

Namun, saat aku mengalami serangan, di sekitarku juga tidak ada siapa-siapa, dan anak kami bahkan sudah tiada ....

Aku menundukkan kepala, dan saat itu, Reza menelepon.

Kakakku berniat untuk menjawab telepon, tetapi setelah tangannya menggantung di udara, dia justru menarik kembali tangannya dan mematikan ponselnya.

Aku tidak tahu mengapa dia melakukan itu, tetapi saat ini, aku diliputi perasaan putus asa dan hanya bisa mengikuti langkahnya pulang dengan diam.

Sejak aku mengetahui bahwa Reza bersama Tamara, aku merasa seperti orang bodoh. Semua penantian dan harapanku selama setahun tiba-tiba hancur menjadi sebuah ilusi.

Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan mencintai Reza lagi.

Ketika ibuku mengetahui kenyataan yang kejam ini, dia menangis terisak-isak hingga hampir pingsan. Beruntung kakakku ada di sampingnya untuk mendampingi.

Aku juga tak bisa menahan air mata, tetapi semuanya sudah terlambat.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu dan suara Reza yang panik dari luar. “Bu, Rania ada di sini nggak? Apa dia pulang ke sini?”

Kakakku terdiam sejenak, lalu berjalan untuk membuka pintu, dan menarik Reza masuk. Sesaat setelah itu, dia segera menjatuhkannya ke lantai dan mulai memukulnya.

Reza tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi dia tetap tidak melawan dan hanya tergeletak di lantai membiarkan kakakku memukul dan menendangnya.

Aku yang berada di sampingnya merasa sangat cemas, tetapi sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihat Reza dipukul hingga wajahnya babak belur.

"Gor! Beritahu aku, di mana Rania?”

Mendengar namaku, kakakku berhenti sejenak dan dengan marah mendorong Reza ke samping, lalu menatapnya dari atas.

Mereka saling berhadapan selama beberapa detik, kemudian kakakku mengalihkan pandangannya dan dengan nada kesal berkata, “Aku nggak tahu, cari sendiri saja.”

Reza terlihat agak panik dan langsung bangkit dari lantai. “Rania nggak pulang ke sini? Aku baru saja pulang ke rumah, tapi dia nggak ada di rumah. Aku kira dia .…”

"Kamu kira apa? Pergi sana!"

Melihat sikap kakakku yang tegas, Reza menoleh kepada ibuku dengan panik, “Bu, mungkin aku sudah membuat Rania marah hari ini. Di mana dia? Tolong beri tahu aku."

Ibu terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.

Merasa putus asa, Reza berlari ke kamarku, namun ruangan itu rapi dan bersih, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa seseorang baru saja pulang.

Dia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, lalu mencari ke setiap sudut rumah, tetapi tetap tidak menemukan keberadaanku.

“Bagaimana bisa? Rania, di mana kamu sebenarnya?”

Melihat wajahnya yang panik, aku tiba-tiba merasa seolah dia sangat mencintaiku.

Namun, aku tahu itu tidak mungkin.

Reza melihat sekeliling dan menyadari bahwa kakakku selalu memihakku, jadi dia pun dengan putus asa menutup pintu dan pergi.

Ibuku menghela napas, suaranya serak, “Kenapa kamu nggak memberi tahu dia bahwa Rania sudah .…?”

Kakakku menggenggam tinjunya dengan erat, “Aku nggak akan membiarkan Rania terhubung lagi dengan dia. Jika bukan karena dia, Rania nggak akan sendirian saat sakit. Seandainya aku tahu akan seperti ini, seharusnya aku nggak membiarkan Rania menikah dengan dia.”

Aku duduk termenung di samping, menundukkan kepala dan tidak tahu harus berkata apa.

Meskipun sudah sampai pada titik ini, aku masih sulit melepaskan Reza.

Setelah berpikir beberapa saat, aku memutuskan untuk kembali ke rumah, rumah yang seharusnya menjadi milikku dan Reza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status