Share

Bab 2

Aku cepat-cepat berkata, "Reza, kamu di mana? Aku merasa sangat nggak nyaman, apa kamu bisa cepat datang?"

Telepon tampak hening selama beberapa detik sebelum seorang wanita menjawab: "Reza sedang sibuk, aku akan suruh dia menghubungimu nanti."

Aku terdiam dan mengenali suara itu. Dia adalah Tamara, mantan pacar Reza, yang selalu dia ingin nikahi.

Sebelum telepon ditutup, aku sekilas mendengar suara pengumuman di koridor. "Antiran nomor 15 atas nama Tamara, silakan masuk ke ruang poli kandungan 1."

Sebelum sempat aku berbicara, Tamara sudah menutup teleponnya.

Sambil memegang ponsel. tangan terasa kaku, dan suara yang baru saja aku dengar masih terngiang di telingaku

Tamara? Poli kandungan?

Kenapa Reza menemani Tamara ke poli kandungan?

Dia seharusnya tahu bahwa kondisiku tidak bisa menunggu. Mengapa dia justru menemani mantan pacarnya di saat dia sedang membawa obatku?

Tubuhku mulai bergetar, dan aku terjatuh lemas di lantai dengan air mata mengalir mengalir deras dan jatuh ke punggung tangan.

Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku atau karena terlalu banyak menghirup serbuk bunga, tetapi gejala serangan kali ini terasa lebih parah dibanding sebelumnya. Aku bahkan merasa semua anggota tubuhku seperti mati rasa.

Tiba-tiba, aku ingat bahwa ada nyawa lain di dalam perutku. Aku berusaha mengambil ponsel dan menelepon nomor darurat 112, kemudian meringkuk di lantai sambil menggenggam ujung bajuku.

"Tolong, tolong selamatkan aku dan anakku .... "

"Tolong selamatkan aku dan anak suamiku .... "

Aku terus mengulang kata-kata itu, tanpa tahu sudah berapa lama waktu berlalu, dan mataku semakin berat.

Saat dunia di sekelilingku menjadi gelap, aku akhirnya menyadari ada suara ketukan di pintu dan juga suara kakakku.

"Rania! Bangun! Kakak akan membawamu ke rumah sakit sekarang!"

Aku merasa tubuhku diangkat dan terburu-buru memasuki mobil. Di tengah guncangan, aku akhirnya menutup mataku sepenuhnya.

Ketika aku membuka mataku lagi, yang terlihat adalah warna putih yang bersih, dan aroma disinfektan menyengat hidungku.

Aku terdiam sejenak, dan baru kemudian menyadari bahwa aku sudah berada di rumah sakit.

Untung saja tidak terjadi apa-apa, kalau tidak, anakku bisa ....

Aku bangkit dari tempat tidur, dan melihat ruangan itu sepi. Dari arah lorong, samar-samar aku mendengar suara kakakku. "Dokter bilang apa? Dia hamil?"

Aku segera keluar dan melihat kakakku sedang berbicara dengan seorang dokter di ujung lorong. Dia mengepalkan tangannya erat-erat dan wajahnya tampak marah.

"Kakak! Kenapa kamu tiba-tiba ke rumahku? Untung saja kamu datang tepat waktu, kalau nggak, aku pasti sudah celaka."

Aku bertanya sambil menatap wajahnya, tetapi kakakku tampak seolah tidak mendengarku dan sama sekali tidak melihat ke arahku.

Dokter menghela napas pelan. "Saya turut berduka. Serangan asma Nona Rania kali ini lebih cepat dan lebih parah dari biasanya. Ditambah lagi, dia dibawa kemari sedikit terlambat. Kami sudah melakukan yang terbaik, tetapi sebaiknya kamu segera mengurus kepulangannya."

Kata-katanya terdengar seperti petir yang menggelegar di telingaku.

Apa?

Aku sudah meninggal?

Aku langsung meraba dadaku, dan ternyata detak jantungku sudah berhenti berdetak.

Aku terdiam sejenak, lalu segera berlari menuju kamar tempat aku baru saja keluar. Di sana, kulihat tubuhku masih berbaring diam di atas tempat tidur, seolah-olah sedang tertidur.

Saat itu, kakakku masuk ke dalam kamar, berjalan menembus tubuhku, lalu bersimpuh di depan tempat tidur sambil menangis keras, memanggil namaku dengan penuh kesedihan.

Barulah saat itu aku menyadari kenyataan ini. Aku sudah meninggal.

Tangisan kakakku terdengar jelas di telingaku dan membuatku tak kuasa menahan air mata. Aku melangkah maju dan memeluknya dari belakang, sambil berkata, "Maafkan aku, Kak .... "

Setelah beberapa saat, kakakku akhirnya berhasil menenangkan dirinya. Dia mengeluarkan ponselku, dan di layar terpampang jelas pesan dari Reza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status