Sah. Satu kata yang diserukan oleh para saksi itu akhirnya terdengar. Aida mengucap syukur kepada Sang Pencipta, karena prosesi ijab qabul antara Hanan Pramudya dan Rumi Adinda berjalan dengan lancar. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum tipis ketika dia memutar badan ke arah seorang gadis dengan kebaya putih yang terlihat begitu cantik.
"Ayo, Rum. Temui suamimu," ajak Aida seraya menggamit lengan sang mempelai wanita.
Rumi menyentuh tangan Aida yang berada di lengannya. Gadis cantik itu menahan Aida untuk tak beranjak lebih dulu.
"Suami kita, Mbak," ralat Rumi.
Sejenak ekspresi Aida tampak membeku. Lalu, wanita berusia 30 tahun itu mengulas senyum tipis di bibirnya.
"Iya, suami kita. Tapi untuk hari ini, Hanan adalah Raja dan kamu adalah Ratu-nya," balas Aida.
"Mbak–"
"Sudah, jangan berdebat sekarang. Hanan sudah menunggu kamu di sana," potong Aida.
Wanita anggun itu segera menarik Rumi untuk berdiri. Keduanya berjalan beriringan, dengan tangan Aida yang menggamit erat lengan Rumi. Semua mata memandang, semua orang yang hadir dalam acara itu menatap kedua wanita tersebut dengan ekspresi bermacam-macam. Beberapa tampak menitikkan air mata. Beberapa ada yang terlihat iba.
Tujuh tahun biduk rumah tangga Aida dan Hanan berlayar, mereka sepakat untuk menghadirkan Rumi sebagai madu dalam pernikahan. Permasalahan klasik rumah tangga, menjadi penyebabnya. Buah hati yang tidak kunjung hadir di tengah keluarga, membuat Aida menyarankan poligami pada suaminya. Saran yang awalnya ditentang keras oleh keluarga besar, terutama Hanan.
Aida sendiri yang memilih Rumi sebagai madunya. Bukan sahabat, bukan pula kerabat. Aida mengenal Rumi sebagai salah satu pengurus di Panti Asuhan Nurul Aini yang dikelola oleh keluarga sahabatnya. Tidak hanya sehari dua hari, Aida memikirkan masalah ini. Melalui doa panjang dan pergolakan batin yang pelik, akhirnya Aida berani mengambil keputusan tersebut. Keputusan yang membuatnya rela berbagi suami dengan wanita lain.
"Selamat, ya," ucap Aida saat mengantar Rumi pada Hanan yang duduk di hadapan Penghulu.
Hanya raut sendu yang tampak di wajah Hanan. Lelaki itu menatap Aida lekat-lekat, seolah khawatir jika istri pertamanya akan terluka oleh apa yang dia lakukan. Hanan sangat tahu, di balik senyum yang terukir di bibir Aida, tersimpan luka menganga yang dalam.
"Duduk sini, Rum," bisik Aida seraya menunjuk sisi Hanan.
Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam. Sama sekali tidak berani mengangkat pandangan, sekalipun pada lelaki yang kini telah resmi memperistri dirinya.
Setelah itu, Aida duduk di belakang kedua mempelai bersama ibu dan ibu mertuanya. Pelukan serta elusan yang mendarat di punggung Aida, adalah wujud kepedulian dari dua wanita tersebut. Seolah mereka tahu bahwa Aida hanya berpura-pura tegar menghadapi pernikahan suaminya dengan wanita lain.
“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya ibunya.
Aida melempar senyuman sambil meremas tangan sang ibu.
“Insyaallah, aku bahagia, Ma,” balas Aida pelan dengan netra menatap lurus pada sang ibu, seolah ingin menunjukkan bahwa apa yang dia katakan benar-benar berasal dari dalam hati.
“Surga untukmu, Nak,” timpal sang ibu mertua.
“Aamiin,” sahut Aida sambil tersenyum hangat.
Sampai prosesi itu selesai, senyum di wajah Aida seakan tidak pernah pudar. Yang mana hal itu mengundang decak kagum dari orang-orang yang menghadiri acara tersebut. Kekaguman terhadap seorang istri yang begitu tegar menyaksikan pernikahan kedua suaminya.
Namun, Aida tetaplah manusia biasa. Seorang wanita yang memiliki hati dan rasa. Ketika tamu undangan sedang menikmati jamuan makan, wanita itu pamit ke belakang.
“Ma, aku ke belakang dulu, ya. Mau telepon klien,” pamit Aida pada sang ibu.
“Lho, kamu terima job?” tanya Laila, ibunya.
“Enggak, Ma. Mau batalin job,” jawab Aida sambil nyengir.
“Oh, ya sudah. Cepat balik, ya. Khawatir nanti Hanan nyariin kamu,” pesan sang ibu.
“Iya, Ma. Bentar doang, kok,” balasnya.
Senyum di bibir Aida lenyap ketika wanita itu memutar badan. Aida berjalan cepat menuju kamar dengan tarikan napas yang terasa berat. Dadanya begitu sesak, hingga napasnya tercekat. Kedua netra wanita itu pun telah digenangi oleh cairan bening yang membuat pandangannya buram. Aida semakin mempercepat langkah, berharap masih memiliki tenaga untuk berjalan hingga ke kamar. Namun, sekuat apa pun dia mencoba, sendi-sendi di kakinya terasa begitu lemas. Kaki Aida tak sanggup lagi melangkah, hingga akhirnya wanita itu berbelok ke ruangan terdekat yang dia lihat.
Dalam ruangan itu, Aida tak kuasa lagi menahan tangis. Wanita itu duduk lemas di sofa lalu terisak dalam, sambil menekan dada yang terasa sesak. Aida tidak menyangka bahwa melihat suaminya menikah lagi akan terasa sesakit ini. Padahal. dia sudah berlatih sejak lama untuk menghadapi momen ini. Namun ternyata, dia tidak sekuat itu. Aida terlalu lemah untuk menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi satu-satunya wanita yang ada dalam hidup Hanan.
"Kenapa kamu harus menangis? Bukankah ini adalah pilihanmu?" tanya sebuah suara dari arah belakang Aida.
Wanita itu berpaling cepat ke arah sumber suara dan seketika kelopak matanya melebar.
"Kenan?" cicitnya.
Buru-buru wanita itu berpaling muka lalu menghapus air mata, kala mengetahui saudara kembar suaminya berdiri sambil memegang gelas di dekat jendela. Sungguh, Aida tidak melihat lelaki itu sebelumnya. Dia pikir, dia hanya seorang diri di sana. Namun, ternyata Aida keliru.
“Gimana rasanya ditinggal nikah, Aida? Sakit?” tanya Kenan dengan senyum miring dan satu alis yang terangkat.
Kenan menyesap cairan berwarna merah dalam gelas berkaki di tangannya. Lelaki itu mendengkus pelan, lalu berjalan ke arah Aida dengan sebelah tangan yang terselip di saku celana. Kemeja batik lengan panjang yang membalut tubuh gagah lelaki itu, sangat kontras dengan jenis minuman dalam gelasnya.
"Kamu itu bodoh!" seloroh Kenan seraya berjalan mendekat lalu berhenti di dekat sofa. Memandang Aida beberapa saat, lelaki itu lantas menyesap red wine di gelasnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Aida? Bukankah seharusnya kamu menikmati pesta di luar sana bersama suami dan madumu?" tanya Kenan.
Aida membuang pandangan. Wanita itu tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Kenan. Apa yang dia lakukan di sana? Menangisi takdir pilihannya sendiri? Sungguh menyedihkan!
Sebuah hela napas panjang dan dalam terdengar, sesaat sebelum Kenan mendaratkan tubunya di samping Aida.
Wanita itu beringsut menjauh, menjaga jarak dari Kenan. Yang mana aksi itu mengundang tawa ringan sang adik ipar.
"Kenapa menjauh? Takut aku ngapa-ngapain kamu?" ejek Kenan yang lantas menyesap minuman dalam gelas, tanpa melepas pandangan dari Aida.
Ada beberapa alasan mengapa Aida tidak bisa terlalu dekat dengan lelaki itu. Selain karena Kenan adalah adik iparnya, juga karena masa lalu yang pernah ada di antara mereka. Jauh sebelum Aida dan Hanan saling mengenal, Kenan lebih dulu mengisi hati Aida. Kembar fraternal, membuat Aida menganggap sekilas kemiripan di antara mereka hanya kebetulan semata. Wanita itu sama sekali tidak tahu bahwa Hanan dan Kenan adalah saudara satu rahim yang pernah berbagi plasenta. Sampai akhirnya mereka dipertemukan dalam acara lamaran.
"Kamu tahu, kan, aku nggak suka bau minuman keras," kata Aida, mencari alasan sekenanya.
Kenan mengangkat gelas di tangan lalu menggoyang-goyangkan cairan merah di dalamnya. Sejenak kemudian, lelaki itu tersenyum miring.
"Tenang saja, aku nggak akan mabuk hanya dengan segelas minuman," ujar lelaki itu.
Aida merasa tidak nyaman. Wanita itu menoleh pada Kenan lantas berkata, "Aku lagi pengin sendiri. Bisa minta tolong tinggalkan aku sendiri?”
"Supaya kamu bisa meratapi suamimu yang sedang bahagia dengan wanita lain?" sambar Kenan dengan nada mengejek.
"Kenan!" tegur Aida.
Bukannya berhenti mengejek, lelaki itu justru memutar badan ke arah Aida. Dia letakkan gelas di atas meja, lalu bertumpu siku pada punggung sofa sambil menatap wanita yang berstatus kakak iparnya itu lekat-lekat.
"Kenapa, hm? Bukankah kamu sendiri yang memaksa Hanan buat kawin lagi? Lalu kenapa sekarang kamu nangis-nangis di sini? Bego atau munafik, hah?" cecar Kenan sambil terus mengunci tatapannya.
"Terserah, kamu mau nyebut aku apa. Aku juga nggak peduli anggapan orang-orang padaku. Karena yang aku pedulikan hanyalah kebahagiaan suamiku!" tandas Aida.
“Suami?” dengkus Kenan, "Dengan mengorbankan kebahagiaanmu sendiri?!" tukasnya, yang membuat Aida langsung berpaling muka sambil memejamkan mata.
Lelaki itu menggeleng lemah, menatap tak percaya pada kakak iparnya.
"Kamu yakin Hanan bahagia dengan pernikahan ini? Oh, tentu saja. Hanan pasti bahagia karena dia bisa memiliki dua wanita sekaligus untuk menghangatkan ranjangnya. Tapi kamu juga harus tahu kalau di mata laki-laki itu, daun muda akan selalu terlihat menggoda," imbuh Kenan yang semakin terdengar provokatif.
Aida berpaling cepat pada lelaki itu dengan gigi yang bergemelutuk. Di tengah perasaan yang berkecamuk, Kenan tampak begitu semangat memprovokasinya. Seakan lelaki itu sangat bahagia melihatnya menderita.
"Jaga ucapan kamu! Hanan bukan kamu! Aku sangat mengenal Hanan dan aku yakin dia bisa berlaku adil. Sebab itu, aku berani mengambil keputusan untuk dimadu," sanggah Aida.
"Berani bertaruh?" Kenan tersenyum miring dengan satu alis terangkat.
"Rumah tanggaku bukan barang taruhan!" tegas Aida.
Senyum menyebalkan di bibir Kenan membuat Aida merasa semakin geram. Apalagi saat Kenan mencondongkan tubuh ke arahnya lalu berujar lambat, "Yang muda rasanya lebih nikmat.”
Tak pelak, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kenan, hingga wajah lelaki itu berpaling ke kanan. Kenan menyentuh sisi wajahnya yang terasa panas sembari menggerak-gerakkan rahang dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak.
"Sekali lagi kamu bicara kurang ajar, aku akan–"
"Akan apa?!" potong Kenan seraya memutar kepala, menantang Aida dengan tatapan mata. "Mengadukanku pada suamimu?"
Aida mengepalkan kedua tangan. Rahang wanita itu tampak mengeras dengan wajah merah padam.
"Yakin, suamimu bakal percaya dengan yang kamu katakan? Kurasa tidak. Dia percaya padaku. Lagipula, dia pasti akan mendahulukan istri mudanya di luar sana yang butuh banyak bimbingan. Terutama untuk urusan ... ranjang," ucap Kenan dengan senyum licik penuh maksud.
Tidak memungkiri, apa yang dikatakan Kenan sangat mengganggu pikiran. Membahas perkara ranjang suaminya, hati Aida terasa seperti diremas-remas. Bukan karena dia tidak pernah mempertimbangkan masalah ini sebelum mengambil keputusan, melainkan karena siapa yang tengah membahasnya.
Suasana hati Aida sedang tidak baik. Kondisi jiwanya sedang berada dalam posisi paling rapuh, sehingga mudah saja bagi setan-setan di sisi kanan dan kiri telinganya membisikkan pikiran jahat. Aida bahkan tidak sadar bahwa air matanya telah meleleh membasahi pipi.
"Jangan munafik, Aida! Kamu pikir mudah, menjalani hubungan dengan berbagi hati seperti itu?" Kenan mendengkus sinis, mengejek Aida. "Aku mau lihat, sejauh mana kamu mampu bertahan, atau siapa yang akan lebih diprioritaskan oleh Hanan di antara kalian," bisik Kenan.
Cengkeraman Aida pada pinggiran sofa terlihat semakin kuat. Emosi yang berkecamuk di dalam dada membuat wanita itu tak dapat merasakan sakit, ketika salah satu kukunya patah. Setiap kata yang terlontar dari mulut Kenan, membuat hati Aida seperti tersayat sembilu. Dia ingin menampar lelaki itu sekali lagi. Namun, sendi-sendi di tubuhnya seolah tidak memiliki daya lagi.
"Katakan apa pun yang ingin kamu katakan. Aku tidak peduli!" desis Aida setelah berhasil menguasai emosi.
Tak ingin semakin terluka mendengar ucapan Kenan, Aida memutuskan untuk segera pergi meninggalkan lelaki itu tanpa menoleh lagi.
Kenan memandang punggung ramping kakak iparnya dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. Lalu, sebuah kalimat terlontar pelan dari lisannya, "Harusnya kamu menikah denganku, Aida."
Acara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat itu selesai setelah jamuan makan. Satu persatu, tamu meninggalkan kediaman Hanan Pramudya, pengusaha kuliner yang baru saja resmi beristri dua itu. "Han, nanti aku pulang ke rumah Mama dulu, ya. Besok aku kembali lagi ke sini.” Aida meminta izin pada suaminya. Mendengar ucapan itu, Hanan berpaling dengan tatapan protes. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Setelah memintanya untuk menikahi wanita lain, Aida malah akan pergi ke rumah orang tuanya. "Nggak! Kamu tetap di sini!" larang Hanan. Lelaki itu paham, apa tujuan sang istri mengungsi ke rumah orang tuanya. "Tapi, Han. Ini adalah hari pertama kamu dan Rumi menikah. Aku nggak mau ganggu malam pertama kalian. Kamu ingat tujuan pernikahan ini, kan?" tutur Aida sambil memiringkan kepala dengan sudut bibir yang terangkat. Lisan Aida memang bisa mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Namun, percayalah bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan beraktin
Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget."I-iya, sebentar," sahut Rumi.Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga."Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mere
Pintu ditutup. Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang. "Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan. Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya. Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya. Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "ga
Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.Ah, Aida lupa.Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat."Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan sal
Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid
Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri
Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis
Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena
Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany
“Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet
Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal
Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu