Pintu ditutup.
Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang.
"Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan.
Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya.
Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya.
Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "gadis belia" karena usia yang masih sangat muda–yang kini menjadi tanggung jawabnya. Entahlah, Hanan merasa Rumi ini lebih cocok menjadi adiknya. Selisih usia mereka terlalu jauh, dan seketika Hanan merasa seperti lelaki bejat yang hendak mengeksploitasi anak di bawah umur.
Lelaki itu mengetuk pintu. Tidak lama dia menunggu dan papan kayu itu sudah dibuka dari dalam. Tampak Rumi dengan wajah polosnya, mengintip dari celah pintu.
"Pak Hanan," sapa Rumi.
Hanan mendesah kasar saat lagi-lagi mendengar Rumi memanggilnya "Pak".
"Boleh aku masuk?" tanya Hanan datar sambil berusaha menekan kesabaran.
"Bo-boleh," jawab Rumi tergagap.
Gadis itu lantas membuka pintu lebih lebar, supaya suaminya bisa masuk ke kamar. Sejenak, ada keraguan dalam benak. Rumi tidak biasa berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan laki-laki. Berkali-kali, Rumi harus meyakinkan diri bahwa Hanan adalah suaminya. Lelaki itu memiliki hak atas dirinya. Jadi, siap tidak siap dia harus membiasakan diri akan hal ini.
Dengan raut wajah datar, Hanan melenggang masuk. Saat melewati Rumi, lelaki itu hanya menoleh dan mempertemukan pandangan mereka sekilas. Tidak bermaksud mengintimidasi, tetapi terasa seperti itu bagi Rumi.
Gadis itu menutup pintu lalu menyusul Hanan sambil menahan degup jantung yang ribut di dalam dada.
"Pak–"
"Berhenti memanggilku 'Pak'!" sergah Hanan.
Lelaki itu memutar badan, menatap lelah pada gadis yang baru saja dia nikahi.
"Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya? Jangan memanggilku seperti itu lagi," tandas Hanan dengan suara yang sedikit tinggi.
Rumi terlihat tegang dan ketakutan. Gadis itu menunduk dalam dengan jemari yang saling meremas.
"Maaf," ucapnya dengan suara bergetar.
"Astaga!" keluh Hanan seraya memijit pangkal alis ketika melihat Rumi hampir menangis.
"Kamu takut sama aku?" tanya Hanan sambil memiringkan kepala, berusaha mendapatkan perhatian Rumi.
Ingin menjawab jujur, tetapi Rumi takut. Gadis itu pun akhirnya menggelengkan kepala, meski sebenarnya dia sudah hampir mengompol karena ketakutan.
Hanan melipat tangan di pinggang lalu menengadah sambil membuang napas keras dengan mata yang memejam. Setelah itu, dia kembali menurunkan pandangan pada Rumi yang masih menunduk dalam di hadapannya.
"Duduk sini kamu!" titah Hanan sambil menunjuk permukaan ranjang.
Rumi mengangkat pandangan sejenak. Saat bersitatap dengan Hanan, dia langsung menunduk lagi. Setelah itu, dia melangkahkan kaki dengan takut-takut, lalu duduk di tepi ranjang seperti perintah sang suami.
"Lihat aku!" perintah Hanan yang sekarang tengah berdiri di dekat Rumi.
Gadis itu menggigit bibir dalamnya kuat-kuat dengan mata mengerjap gelisah. Lalu, dia angkat wajah dengan perlahan tanpa berani membantah.
Percayalah, butuh nyali yang besar bagi Rumi untuk bersitatap dengan sang suami. Jantung di dalam dadanya pun turut membuat ulah. Berdentum cepat, seolah-oleh hendak melompat keluar dari rongga dada.
Sambil berusaha mengendalikan napas, Rumi meneguk ludah. Baru kali ini, dia melihat wajah Hanan dengan jelas. Garis rahang tegas yang dicukur bersih, membuat wajah lelaki itu terlihat cukup tampan di mata Rumi. Alis tebal dan hidung mancung yang menghiasi wajah itu pun tak luput dari perhatian si gadis. Ditambah postur tubuh Hanan yang proporsional, lelaki itu terlihat gagah dengan kaus lengan panjang yang ditarik hingga bawah siku. Rumi pun sadar bahwa secara fisik, Hanan cukup memikat hati. Namun, dia tidak berani berharap lebih.
"Sudah puas memandangiku?" Hanan menjentikkan jari di depan wajah Rumi.
Hanan menyuruh gadis itu melihat padanya, bukan untuk meminta penilaian, melainkan supaya gadis itu memperhatikan apa yang hendak dia katakan.
"Maaf, Pak," ucap Rumi spontan seraya menurunkan pandangan. Betapa malunya dia saat tertangkap basah memperhatikan Hanan dengan begitu intens.
"Ck! 'Pak' lagi!" keluh Hanan sambil membuang muka. "Susah, ya, ngomong sama kamu,” imbuhnya dengan nada bicara yang terdengar kesal.
"Maaf," cicit Rumi yang merasa serba salah.
Tidak hanya panggilan itu yang membuat Hanan kesal. Kata maaf Rumi yang berulang kali diucapkan pun membuatnya muak. Lelaki itu berusaha menekan kuat-kuat tingkat kesabarannya. Sebab dia tahu, Rumi bersikap seperti itu hanya karena belum terbiasa dengan dirinya. Hanan mengerti bahwa situasi ini pasti tidak mudah juga untuk Rumi. Intinya, mereka semua masih dalam tahap penyesuaian diri.
"Ini terakhir kali aku ingatkan kamu. Jangan panggil aku seperti itu lagi. Mengerti?" tekan Hanan dengan nada bicara yang diusahakan biasa saja.
Rumi mengangguk, tetapi sebentar kemudian dia mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk bertanya, "Lalu, saya harus panggil apa?"
"Terserah! Cari panggilan lain selain yang tadi," jawab Hanan yang masih terdengar sedikit ketus. Sebentar kemudian, lelaki itu berkata, "Panggil nama saja lebih baik."
Hanan sudah biasa dipanggil nama oleh Aida, dan dia justru merasa nyaman seperti itu. Terdengar seperti panggilan sayang, honey. Senada dengan panggilannya untuk Aida, darling. Senyum samar terukir di sudut bibir Hanan tanpa sadar, ketika teringat dengan panggilan sayang itu.
Namun, rupanya Rumi memiliki pikirkan lain. Gadis itu merasa sungkan jika harus memanggil sang suami dengan namanya saja. Terpaut usia yang cukup jauh, membuat Rumi tidak setuju dengan panggilan tersebut.
"Sepertinya tidak sopan kalau hanya panggil nama. Bagaimana kalau saya panggil 'Mas' saja?" tawar Rumi.
Sejujurnya, Hanan merasa geli dipanggil "Mas". Namun, panggilan itu terdengar jauh lebih baik dibandingkan dengan "Pak". Bukan ide yang buruk. Hanan hanya perlu membiasakan diri dengan panggilan tersebut.
"Terserah kamu," sahut Hanan. "Oya, malam ini aku tidur di sini," imbuh si lelaki.
Seketika, Rumi merasa gusar. Gadis itu terlihat gugup dengan bola mata yang bergulir liar. Melihat sang suami berjalan memutari ranjang lalu duduk di sisi lain tempat tidur, membuat debar di dalam dadanya kembali mengentak.
'Apa dia akan meminta haknya malam ini?' batin Rumi pias.
Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.Ah, Aida lupa.Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat."Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan sal
Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid
Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri
Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis
Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena
Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas
Netra sehitam jelaga milik Rumi bergoyang pelan. Dia memandang Aida beberapa saat dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Setan kecil di dalam hatinya terus berbisik, bahwa dia bukan sekadar menyewakan rahim untuk Aida dan Hanan. Dia adalah istri Hanan yang memiliki hak sama seperti Aida. Namun, hati nurani Aida berteriak kencang. Aida dan Hanan menggantungkan harapan tinggi dengan menghadirkannya di tengah-tengah rumah tangga mereka. Aida hanya ingin Hanan mendapatkan keturunan dengan cara yang halal, dan dia sudah setuju untuk menjalani poligami ini.“Jika dia bertanya tentang hal itu, cukup beri dia senyum.” Kalimat itu begitu jelas terngiang, seolah Hanan sedang berbisik di telinga Rumi.Gadis berusia dua puluh tahun itu menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Rumi tersenyum, meski sesungguhnya senyum itu tidak berasal dari dalam hati. Semua dia lakukan persis seperti arahan sang suami.Sambil menahan degup jantung yang mengentak dada, Aida berusaha mem
Berita kehamilan ini adalah keajaiban bagi Aida. Sebelumnya, dia divonis menderita kelainan hormonal PCOS yang mengakibatkan dirinya sulit hamil. Namun, hari ini Tuhan sedang menunjukkan mukjizat yang tidak pernah Aida sangka sebelumnya. Wanita itu sampai gemetar, nyaris tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. Setelah mendengar beberapa penjelasan, Aida baru mengerti. Janin di dalam kandungannya telah berusia delapan minggu, dan dia tidak pernah menyadarinya selama dua bulan itu.“Alhamdulillah,” ucap Rumi seraya memeluk Aida, setelah beberapa saat membeku.Bukan hanya Aida, Rumi pun ikut terkejut mendengar berita itu. Kantong kresek berisi dua cup es krim di tangannya bahkan hampir saja terjatuh. Beruntung dia segera bisa mengendalikan diri, mengesampingkan rasa tidak nyaman di dalam hati, lalu melempar senyum dan memberi ucapan selamat kepada Aida.“Aku nggak lagi mimpi kan, Rum? Ini beneran, kan? Aku hamil, Rum.” Wanita itu menatap Rumi dengan mata berkaca-kaca.Sebuah senyuma
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan
“Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me
“Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali
Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.
Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid
Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat