Berita kehamilan ini adalah keajaiban bagi Aida. Sebelumnya, dia divonis menderita kelainan hormonal PCOS yang mengakibatkan dirinya sulit hamil. Namun, hari ini Tuhan sedang menunjukkan mukjizat yang tidak pernah Aida sangka sebelumnya. Wanita itu sampai gemetar, nyaris tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. Setelah mendengar beberapa penjelasan, Aida baru mengerti. Janin di dalam kandungannya telah berusia delapan minggu, dan dia tidak pernah menyadarinya selama dua bulan itu.“Alhamdulillah,” ucap Rumi seraya memeluk Aida, setelah beberapa saat membeku.Bukan hanya Aida, Rumi pun ikut terkejut mendengar berita itu. Kantong kresek berisi dua cup es krim di tangannya bahkan hampir saja terjatuh. Beruntung dia segera bisa mengendalikan diri, mengesampingkan rasa tidak nyaman di dalam hati, lalu melempar senyum dan memberi ucapan selamat kepada Aida.“Aku nggak lagi mimpi kan, Rum? Ini beneran, kan? Aku hamil, Rum.” Wanita itu menatap Rumi dengan mata berkaca-kaca.Sebuah senyuma
Keluarga besar berkumpul di ruang makan untuk merayakan kehamilan Aida. Semua terlihat bahagia, semua saling bercanda dan tertawa. Pun begitu dengan Rumi yang turut tersenyum dan tertawa ketika ada yang melempar candaan. Namun sungguh sayang, apa yang dirasakan Rumi tidak sejalan dengan yang terlihat di wajahnya. Gadis dua puluh tahun itu mati-matian bertahan di tengah keluarga demi menghormati Aida dan Hanan.“Iya, lho, Ma. Tadi Rumi sampai bela-belain beli es krim buat aku. Rasanya tuh udah mau ngiler aja pas lihat anak kecil itu makan es krim.” Aida menoleh pada Rumi yang duduk terpisah oleh kursi Hanan darinya. “Makasih, ya, Rum,” tuturnya tulus.“Sama-sama, Mbak. Aku senang kok, bisa ngelakuin sesuatu yang berguna buat Mbak Aida,” balas Rumi.Termasuk duduk seperti orang bodoh di tengah euforia ini. Gadis itu melanjutkan ucapannya di dalam hati.“Kamu harus ekstra hati-hati, ya, Da. Ingat perjuangan kalian untuk bisa menghadirkan calon buah hati ini. Jaga baik-baik kandungan kamu
Semua mata tertuju pada lelaki yang baru datang itu.“Lho, Ken, kamu datang? Tadi katanya lagi banyak kerjaan,” seloroh Rifkah pada sang putra.Tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya, Kenan mengayunkan kaki mendekat pada keluarga yang sedang berkumpul di sofa.“Bolos,” kata lelaki itu dengan entengnya. Dia berhenti di samping sofa yang diduduki oleh Aida dan Hanan, lalu menoleh pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Ciyeee! Sumringah banget mukanya,” ledek Kenan.“Iya, dong! Udah baca kan chat di grup keluarga?” sahut Hanan.Kenan memberi jawaban dengan mengedikkan bahu. Lalu dia melihat pada Aida untuk sejenak, sebelum mengambil langkah dan duduk di samping kakak iparnya tersebut.“Eh, apaan, sih?” Spontan Aida memprotes aksi Kenan yang duduk di sampingnya tanpa permisi.“Nggak boleh duduk di samping kakak ipar?” ujar Kenan sambil menaikkan sebelah alisnya.Aida berpaling muka dengan wajah cemberut.“Biarin aja, nanti juga jinak sendiri.” Hanan terkekeh sambil meremas tangan san
Rumi menutup pintu kamar lalu bersandar pada papan kayu tersebut. Gadis itu menghela napas panjang dengan mata yang terpejam. Tangan kanannya terangkat, menyentuh dada yang terasa sesak.“Apa aku cemburu?” gumamnya seraya membuka mata.Begitu cepatkah hatinya jatuh pada sosok Hanan, padahal mereka terbilang belum lama saling mengenal? Memang, Hanan adalah suaminya, tetapi Rumi merasa belum sepenuhnya menjadi istri dari lelaki tersebut. Haruskah dia melakukan sesuatu untuk mendapatkan haknya dari Hanan?“Astaghfirullahalazim.” Rumi beristighfar sambil menggelengkan kepalanya. “Nggak, Rum! Buang jauh-jauh pikiran itu! Mas Hanan dan Mbak Aida sudah baik banget sama kamu. Jangan merusak kepercayaan yang sudah mereka berikan sama kamu!” Rumi menceramahi dirinya sendiri.Gadis itu menarik napas lalu mengembuskannya dengan keras. Kakinya melangkah gontai menuju tempat tidur. Dia raba permukaan ranjang yang dingin, di mana Hanan pernah tidur di sana—ingat, hanya tidur tanpa melakukan sesuatu
Untuk sesaat, Rumi terbuai oleh kehangatan yang Hanan berikan. Lalu tiba-tiba bayangan Aida yang sedang mengelus perut melintas di kepala. Rumi mendorong dada Hanan hingga pelukan itu terlepas. Dia lantas melangkah mundur, membuat jarak dengan sang suami.Hanan mengerutkan alisnya, menatap penuh tanya pada Rumi lalu bertanya, “Kenapa?”Rumi menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam, menghindari bersitatap dengan sang suami.“Maaf, Mas,” ucap Rumi.Hanan menghela napas. “Kenapa minta maaf? Bukankah kita suami-istri?” tanyanya, menduga Rumi merasa tidak nyaman karena pelukannya.“I-iya, tapi ….” Rumi menggantung ucapannya, tak tahu harus memberi alasan apa.“Tapi apa?” desak Hanan.Rumi menggigit bibir dan jemarinya saling meremas. Apa yang dia lakukan itu spontanitas semata karena merasa bersalah pada Aida.“Sebaiknya Mas Hanan kembali ke kamar. K
Hanan panik karena tidak menemukan Rumi di kamarnya. Lelaki itu bergegas membalik badan dan pergi ke lemari pakaian Rumi. Dia buka pintu lemari itu dan memeriksa apakah pakaian sang istri masih ada di sana. Hanan khawatir jika Rumi nekat kabur dari rumah karena debat pagi tadi.“Masih ada,” gumam Hanan.Semua pakaian masih tertata rapi. Lalu, Hanan membuka pintu lemari yang satunya. Kepanikan itu kembali mendera karena dia tak menemukan tas besar berwarna hitam yang Rumi bawa saat datang ke sana. Untuk memastikan dugaannya, Hanan membuka lagi pintu lemari yang sebelumnya. Dia perhatikan baik-baik tumpukan baju itu, mencari pakaian lama Rumi yang dibawa dari panti asuhan. Pikir Hanan, Rumi hanya pergi dengan membawa apa yang dia bawa saat datang ke rumah tersebut.“Nggak ada semua,” ujar Hanan.Lelaki itu mundur satu langkah lalu menyugar rambutnya dengan frustasi. Pikiran macam-macam memenuhi kepala Hanan. Bagaimana dia harus menje
Pada trimester awal kehamilan, bisa dikatakan Aida tidak mengalami kendala yang berarti. Dia hanya merasa lebih cepat lelah dan mengalami mual yang tidak begitu parah. Namun demikian, Hanan tetap meminta Aida untuk berhenti bekerja. Aida sempat protes karena pekerjaannya tidak membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja, menurut Hanan, membuat design pehiasan memerlukan pemikiran dan konsentrasi tinggi. Lelaki itu tidak ingin Aida stres, yang mana akan mengganggu pertumbuhan janin di rahimnya. Hingga akhirnya, Aida pun menuruti perintah sang suami.Namun, ada hal lain yang menyita pikiran Aida selama beberapa hari terakhir. Sejak sarapan waktu itu, Aida merasa sikap Rumi semakin aneh. Wanita itu merasa Rumi seperti sedang menghindari dirinya. Bahkan, sudah tiga hari ini, Rumi tidak ikut sarapan bersama. Aida ingin menganggap bahwa itu hanya perasaannya saja, tetapi hatinya selalu menyanggah.“Kok kamu nggak makan? Calon anak kita butuh nutrisi yang banyak lho buat perk
“Gimana, Han?” Aida yang menunggu sang suami di dasar tangga segera menyambut dengan rasa penasaran.Lelaki itu tersenyum tipis menghampiri istrinya. Dia usap kepala Aida lalu menjawab, “Aku khawatir dia anemia. Mukanya pucat. Tadi aku sudah bilang sama dia untuk periksa ke dokter.”“Terus, dia mau?” tanya Aida. Hanan menganggukkan kepala. “Oke, nanti aku antar dia ke klinik,” lanjutnya.“Jangan!” cegah Hanan cepat. “Biar sama sopir saja. Kamu jangan terlalu capek,” imbuhnya.Aida mengerucutkan bibir. “Kasihan Rumi, Han. Lagian aku kan nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk nemenin Rumi doang,” kata Aida.“Tetep aja. Nanti kamu kudu ikut antre, terus nunggu giliran diperiksa. Kan lama juga jadinya,” sanggah Hanan.“Waktu aku pergi ke klinik dan ke rumah sakit, dia juga yang nemenin aku, lho, Han. Sekarang Rumi sakit. Aku mau nemenin dia,” uja
Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany
“Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet
Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal
Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu