Untuk sesaat, Rumi terbuai oleh kehangatan yang Hanan berikan. Lalu tiba-tiba bayangan Aida yang sedang mengelus perut melintas di kepala. Rumi mendorong dada Hanan hingga pelukan itu terlepas. Dia lantas melangkah mundur, membuat jarak dengan sang suami.Hanan mengerutkan alisnya, menatap penuh tanya pada Rumi lalu bertanya, “Kenapa?”Rumi menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam, menghindari bersitatap dengan sang suami.“Maaf, Mas,” ucap Rumi.Hanan menghela napas. “Kenapa minta maaf? Bukankah kita suami-istri?” tanyanya, menduga Rumi merasa tidak nyaman karena pelukannya.“I-iya, tapi ….” Rumi menggantung ucapannya, tak tahu harus memberi alasan apa.“Tapi apa?” desak Hanan.Rumi menggigit bibir dan jemarinya saling meremas. Apa yang dia lakukan itu spontanitas semata karena merasa bersalah pada Aida.“Sebaiknya Mas Hanan kembali ke kamar. K
Hanan panik karena tidak menemukan Rumi di kamarnya. Lelaki itu bergegas membalik badan dan pergi ke lemari pakaian Rumi. Dia buka pintu lemari itu dan memeriksa apakah pakaian sang istri masih ada di sana. Hanan khawatir jika Rumi nekat kabur dari rumah karena debat pagi tadi.“Masih ada,” gumam Hanan.Semua pakaian masih tertata rapi. Lalu, Hanan membuka pintu lemari yang satunya. Kepanikan itu kembali mendera karena dia tak menemukan tas besar berwarna hitam yang Rumi bawa saat datang ke sana. Untuk memastikan dugaannya, Hanan membuka lagi pintu lemari yang sebelumnya. Dia perhatikan baik-baik tumpukan baju itu, mencari pakaian lama Rumi yang dibawa dari panti asuhan. Pikir Hanan, Rumi hanya pergi dengan membawa apa yang dia bawa saat datang ke rumah tersebut.“Nggak ada semua,” ujar Hanan.Lelaki itu mundur satu langkah lalu menyugar rambutnya dengan frustasi. Pikiran macam-macam memenuhi kepala Hanan. Bagaimana dia harus menje
Pada trimester awal kehamilan, bisa dikatakan Aida tidak mengalami kendala yang berarti. Dia hanya merasa lebih cepat lelah dan mengalami mual yang tidak begitu parah. Namun demikian, Hanan tetap meminta Aida untuk berhenti bekerja. Aida sempat protes karena pekerjaannya tidak membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja, menurut Hanan, membuat design pehiasan memerlukan pemikiran dan konsentrasi tinggi. Lelaki itu tidak ingin Aida stres, yang mana akan mengganggu pertumbuhan janin di rahimnya. Hingga akhirnya, Aida pun menuruti perintah sang suami.Namun, ada hal lain yang menyita pikiran Aida selama beberapa hari terakhir. Sejak sarapan waktu itu, Aida merasa sikap Rumi semakin aneh. Wanita itu merasa Rumi seperti sedang menghindari dirinya. Bahkan, sudah tiga hari ini, Rumi tidak ikut sarapan bersama. Aida ingin menganggap bahwa itu hanya perasaannya saja, tetapi hatinya selalu menyanggah.“Kok kamu nggak makan? Calon anak kita butuh nutrisi yang banyak lho buat perk
“Gimana, Han?” Aida yang menunggu sang suami di dasar tangga segera menyambut dengan rasa penasaran.Lelaki itu tersenyum tipis menghampiri istrinya. Dia usap kepala Aida lalu menjawab, “Aku khawatir dia anemia. Mukanya pucat. Tadi aku sudah bilang sama dia untuk periksa ke dokter.”“Terus, dia mau?” tanya Aida. Hanan menganggukkan kepala. “Oke, nanti aku antar dia ke klinik,” lanjutnya.“Jangan!” cegah Hanan cepat. “Biar sama sopir saja. Kamu jangan terlalu capek,” imbuhnya.Aida mengerucutkan bibir. “Kasihan Rumi, Han. Lagian aku kan nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk nemenin Rumi doang,” kata Aida.“Tetep aja. Nanti kamu kudu ikut antre, terus nunggu giliran diperiksa. Kan lama juga jadinya,” sanggah Hanan.“Waktu aku pergi ke klinik dan ke rumah sakit, dia juga yang nemenin aku, lho, Han. Sekarang Rumi sakit. Aku mau nemenin dia,” uja
Begitu melihat Kenan muncul di sana, Aida langsung memalingkan muka. Wanita itu menghela napas dengan keras, tidak senang dengan kunjungan sang adik ipar.“Tamunya nggak disuruh duduk, nih?” seloroh Kenan seraya mengayunkan kaki.“Mau apa kamu datang kemari?” Aida menoleh pada lelaki itu dan bertanya dengan ketus.Meskipun begitu, Kenan tampak tidak terpengaruh. Dia berjalan dengan santai menuju meja bar tempat Rumi dan Aida sedang menyiapkan bahan masakan. Lelaki itu berhenti di dekat meja, memperhatikan bahan-bahan di atas meja. Lalu dia menarik sudut bibir ke bawah sembari mengedikkan alis.“Aku datang tepat waktu, ya.” Kenan mengalihkan pandang pada Rumi dan Aida secara bergantian sembari tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu untuk ikut makan siang,” lanjutnya dengan ekspresi tanpa dosa.“Nggak ada yang ngundang kamu!” sahut Aida dengan tajam.Satu sudut bibi
Ketika itu, Rumi merasakan hatinya tidak enak. Meninggalkan Kenan dan Aida berdua saja sepertinya bukanlah ide yang bagus. Maka dari itu, setelah meletakkan bunga di atas nakas, dia bergegas kembali ke dapur. Gadis itu tergesa-gesa menuruni anak tangga. Namun, begitu dia tiba di dapur, dia melihat pemandangan yang membuat langkahnya seketika berhenti.“Mbak Aida?” gumamnya sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Dalam pandangan Rumi, tampak punggung Kenan membelakanginya, menutupi sosok Aida yang seolah-olah sedang menggamit lengan si lelaki. Rumi sangat terkejut, dan sempat berpikir bahwa Aida dan Kenan sedang berpelukan atau semacamnya. Sampai akhirnya, dia melihat Kenan membopong Aida.“Mbak Aida?” sontak saja Rumi menghampiri Kenan yang tengah berjalan dengan tergesa. “Mbak Aida kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.“Hubungi Hanan! Aku akan membawa Aida ke rumah sakit,” titah Kenan tanpa menghentikan langkahnya yang tergesa.Rumi tampak kebingungan. Dia sangat khawatir sekaligus pe
“Dokter?” Hanan memanggil sang dokter kala lelaki berkacamata itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sang dokter mengerjapkan mata lalu tersenyum singkat.“Oh, maaf, maaf. Saya kira saya salah melihat. Sekilas kalian tampak mirip,” ucapnya. “Um … mengenai kondisi pasien, untuk saat ini bisa dikatakan stabil. Dia mendapatkan pertolongan tepat waktu. Kram seperti ini memang biasa terjadi, tetapi dalam kasus istri Anda memang perlu penanganan yang intensif,” lanjutnya.“Maksudnya, istri saya harus rawat inap, Dok?” tanya Hanan.“Sebaiknya begitu, jadi kami bisa memantau kondisinya selama dua puluh empat jam. Jikapun tidak, istri Bapak perlu bedrest setidaknya selama satu minggu sebelum melakukan aktivitas seperti biasa. Plus, hindari stres dan pekerjaan berat,” jawab si dokter.“Nggak apa-apa, Dok. Kalau memang harus rawat inap, lakukan saja. Saya ingin yang terbaik untuk istri dan calon bayi kami,” balas Hanan.“Itu keputusan yang bijak.” Dokter itu lantas berpaling pada perawat yang ad
Dua hari Aida dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, maka Aida pun diperbolehkan pulang.“Alhamdulillah, akhirnya Mbak bisa pulang,” ujar Rumi.“Iya, Rum. Aku bosan di sini,” balas Aida sambil mengerucutkan bibir.Rumi terkekeh pelan.“Yang penting Mbak dan dedeknya baik-baik saja,” ujarnya.“Iya, bener. Aku sudah takut banget bakal kehilangan dia sebelum sempat menggendongnya,” ucap Aida dengan wajah yang berubah sendu.“Apa yang terjadi pada Mbak, itu sudah menjadi ketetapan Allah. Mungkin Allah pengin Mbak fokus sama kehamilan ini. Seperti yang dibilang dokter tadi, Mbak harus bahagia biar dedek bayinya ikut bahagia. Kalau kemarin aku sempat bikin Mbak sedih, aku minta maaf, ya, Mbak,” kata Rumi.Niat Rumi untuk menghibur Aida nyatanya malah membuat wanita itu menjadi murung. Percakapannya terakhir kali dengan Kenan terasa sangat mengganggu pikiran setiap kali dia mengingatnya.Ketika itu, Kenan tersenyum kecut. Lalu dia kembali berkata, “Aku but
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan
“Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me
“Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali
Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.
Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid
Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat