Beranda / Pernikahan / Bukan Surga Terindah / Bab 20. Hidup tanpa Hati

Share

Bab 20. Hidup tanpa Hati

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Begitu melihat Kenan muncul di sana, Aida langsung memalingkan muka. Wanita itu menghela napas dengan keras, tidak senang dengan kunjungan sang adik ipar.

“Tamunya nggak disuruh duduk, nih?” seloroh Kenan seraya mengayunkan kaki.

“Mau apa kamu datang kemari?” Aida menoleh pada lelaki itu dan bertanya dengan ketus.

Meskipun begitu, Kenan tampak tidak terpengaruh. Dia berjalan dengan santai menuju meja bar tempat Rumi dan Aida sedang menyiapkan bahan masakan. Lelaki itu berhenti di dekat meja, memperhatikan bahan-bahan di atas meja. Lalu dia menarik sudut bibir ke bawah sembari mengedikkan alis.

“Aku datang tepat waktu, ya.” Kenan mengalihkan pandang pada Rumi dan Aida secara bergantian sembari tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu untuk ikut makan siang,” lanjutnya dengan ekspresi tanpa dosa.

“Nggak ada yang ngundang kamu!” sahut Aida dengan tajam.

Satu sudut bibi

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Surga Terindah   Bab 21. Instalasi Gawat Darurat

    Ketika itu, Rumi merasakan hatinya tidak enak. Meninggalkan Kenan dan Aida berdua saja sepertinya bukanlah ide yang bagus. Maka dari itu, setelah meletakkan bunga di atas nakas, dia bergegas kembali ke dapur. Gadis itu tergesa-gesa menuruni anak tangga. Namun, begitu dia tiba di dapur, dia melihat pemandangan yang membuat langkahnya seketika berhenti.“Mbak Aida?” gumamnya sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Dalam pandangan Rumi, tampak punggung Kenan membelakanginya, menutupi sosok Aida yang seolah-olah sedang menggamit lengan si lelaki. Rumi sangat terkejut, dan sempat berpikir bahwa Aida dan Kenan sedang berpelukan atau semacamnya. Sampai akhirnya, dia melihat Kenan membopong Aida.“Mbak Aida?” sontak saja Rumi menghampiri Kenan yang tengah berjalan dengan tergesa. “Mbak Aida kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.“Hubungi Hanan! Aku akan membawa Aida ke rumah sakit,” titah Kenan tanpa menghentikan langkahnya yang tergesa.Rumi tampak kebingungan. Dia sangat khawatir sekaligus pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 22. Rasa yang Tak Pernah Selesai di Masa Silam

    “Dokter?” Hanan memanggil sang dokter kala lelaki berkacamata itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sang dokter mengerjapkan mata lalu tersenyum singkat.“Oh, maaf, maaf. Saya kira saya salah melihat. Sekilas kalian tampak mirip,” ucapnya. “Um … mengenai kondisi pasien, untuk saat ini bisa dikatakan stabil. Dia mendapatkan pertolongan tepat waktu. Kram seperti ini memang biasa terjadi, tetapi dalam kasus istri Anda memang perlu penanganan yang intensif,” lanjutnya.“Maksudnya, istri saya harus rawat inap, Dok?” tanya Hanan.“Sebaiknya begitu, jadi kami bisa memantau kondisinya selama dua puluh empat jam. Jikapun tidak, istri Bapak perlu bedrest setidaknya selama satu minggu sebelum melakukan aktivitas seperti biasa. Plus, hindari stres dan pekerjaan berat,” jawab si dokter.“Nggak apa-apa, Dok. Kalau memang harus rawat inap, lakukan saja. Saya ingin yang terbaik untuk istri dan calon bayi kami,” balas Hanan.“Itu keputusan yang bijak.” Dokter itu lantas berpaling pada perawat yang ad

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 23. Ruang Tunggu Menjadi Saksi

    Dua hari Aida dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, maka Aida pun diperbolehkan pulang.“Alhamdulillah, akhirnya Mbak bisa pulang,” ujar Rumi.“Iya, Rum. Aku bosan di sini,” balas Aida sambil mengerucutkan bibir.Rumi terkekeh pelan.“Yang penting Mbak dan dedeknya baik-baik saja,” ujarnya.“Iya, bener. Aku sudah takut banget bakal kehilangan dia sebelum sempat menggendongnya,” ucap Aida dengan wajah yang berubah sendu.“Apa yang terjadi pada Mbak, itu sudah menjadi ketetapan Allah. Mungkin Allah pengin Mbak fokus sama kehamilan ini. Seperti yang dibilang dokter tadi, Mbak harus bahagia biar dedek bayinya ikut bahagia. Kalau kemarin aku sempat bikin Mbak sedih, aku minta maaf, ya, Mbak,” kata Rumi.Niat Rumi untuk menghibur Aida nyatanya malah membuat wanita itu menjadi murung. Percakapannya terakhir kali dengan Kenan terasa sangat mengganggu pikiran setiap kali dia mengingatnya.Ketika itu, Kenan tersenyum kecut. Lalu dia kembali berkata, “Aku but

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 24. Panik

    Rumi berjalan perlahan kembali ke ruang perawatan Aida. Dia sudah mencuci muka untuk menghilangkan jejak kesedihannya. Sesampainya di depan pintu, Rumi berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan jari, mengukir sebuah senyuman. Setelah mengembuskan napas dengan keras, dia angkat tangannya untuk mendorong pintu ruangan tersebut. “Rumi!” seru Aida tatkala Rumi baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruangan. Gadis itu berjengit, terkejut sekaligus bingung mengapa Aida terlihat cemas. “Ya Allah, Rum. Kamu dari mana aja? Hanan nyariin kamu ke mana-mana, lho,” cakap Aida. Rumi masih terlihat bingung. Dia kembali mengayunkan kaki kemudian menjawab, “Aku dari kantin, Mbak.” Kantong kresek di tangan Rumi menjadi pusat perhatian Aida dan Rifkah. Aida lantas melememaskan bahu sambil menghela napas lega. “Kenapa kamu nggak bilang? Kami khawatir kamu tiba-tiba ngilang begitu,” ujar Aida. “Maaf, Mbak.” Rumi merasa bersalah. “S

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 25. Beharap Terlalu Tinggi

    “Darah?” Rumi melihat pada ujung jari Hanan.“Kamu sakit?” tanya Hanan seraya memegang bahu gadis itu, menatapnya dengan penuh tuntutan dan kekhawatiran.Rumi menjilat bibir. Sejurus kemudian, gadis itu mengambil sehelai tisu dari atas nakas untuk menyeka sisa darah yang keluar dari hidungnya.“Rumi, jawab aku!” Hanan mendekati Rumi lalu menarik bahu si gadis untuk berbalik ke arahnya. “Apa kamu sakit?” tanyanya sambil menatap dua manik hitam gadis itu dengan serius.“Enggak, Mas,” jawab Rumi lalu membuang tisu bernoda darah ke tempat sampah.“Jangan bohong!” kata Hanan.Rumi kembali pada Hanan dan berkata, “Ini sudah biasa terjadi. Biasanya kalau aku lagi capek emang suka mimisan.”Tak ada kebohongan yang terpancar dari sorot mata gadis itu hingga membuat Hanan percaya padanya. Memang sudah cukup lama Rumi mengalami hal seperti ini. Setiap kali kelelahan, maka dia akan mimisan. Dan selama ini Rumi merasa tidak ada masalah dengan itu. Memang akan terasa tidak nyaman saat darah itu aka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 26. Janji

    Duduk di balik meja kerjanya, Hanan memegang sebuah ponsel dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajahnya. Lelaki itu sesekali tertawa oleh candaan mesranya terhadap sang istri.“Nanti pulangnya bawain salad buah, ya. Itu tuh, yang di dekat SMA 2. Enak banget, lho,” pinta Aida.“Hei, ingat pesan dokter. Harus jaga pola makan dengan benar,” kata Hanan.“Tapi aku pengin banget, Han. Di mulutku rasanya udah penuh liur gegara pengin salad itu,” rengek Aida.“Itu namanya ngidam, Sayang,” kata Hanan sambil terkekeh.“Nah itu tahu. Beliin, dong,” kata Aida sambil mengerucutkan bibir, dalam mode manja.Hanan tahu istrinya sedang mengidam, namun dia juga harus mengingatkan sang istri akan kondisinya. Aida tidak seperti ibu hamil pada umumnya yang dapat mengonsumsi segala macam makanan dengan bebas tanpa harus merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya. Salah satu yang harus Aida patuhi adalah menjaga asupan gula. Sedangkan dalam salad buah yang wanita itu minta, sudah pasti memiliki kan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 27. Nyaris Celaka

    “Woy!” Doni memukul lengan Hanan. “Malah ngelamun lagi,” ujarnya.Hanan berkedip cepat beberapa kali, tersentak oleh pukulan setengah tenaga itu.“Sori, ngomong apa tadi?” tanya Hanan.Doni berdecak lalu mengulangi kembali perkataannya.“Aku tadi bilang, gimana kalau kita ke kantor pengacaranya sekarang saja. Mumpung masih ada waktu,” kata Doni.Hanan menekuk siku, menilik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Udah jam dua ini. Jauh nggak kantornya?” tanya Hanan.“Enggak begitu jauh. Kalau jalanan lancar, palingan juga setengah jam sampai,” jawab Doni.Hanan berpikir sejenak. “Ya sudah, kita jalan sekarang saja biar nggak kesorean,” putusnya.Mereka pun sepakat untuk pergi menemui pengacara. Setelah memberi pengarahan kepada mandor, mereka bergegas mengaspal menuju kantor pengacara kenalan Doni. Selama perjalanan itu, Hanan tidak bisa fokus. Beberapa kali dia hampir menabrak kendaraan di depannya, bahkan sempat dimaki oleh pengguna jalan yang lain. Semua itu karena dia memi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 28. Ikhlas Berbagi Hati

    Jiwa Hanan dan Rumi seolah tertarik ke dalam sebuah dimensi yang menyedot semua suara, di mana hanya ada mereka berdua. Satu-satunya suara yang terdengar tak lain adalah napas dan degup jantung di dalam dada.Batin Hanan berbisik, gadis di bawahnya ini halal untuk dia sentuh. Namun, keraguan menahannya untuk mengambil hak yang dimiliki. Lelaki itu meneguk saliva yang terasa begitu pekat. Sejenak tenggelam dalam dilema, Hanan berhasil menguasai akal sehatnyya. Lalu pada detik berikutnya, Hanan menyingkir dari tubuh Rumi dan berbaring di samping gadis tersebut sembari meredam detak jantungnya yang ugal-ugalan.“Maaf,” ucap Hanan dengan kaku.Rumi memalingkan muka ke arah yang berlawanan dari sang suami. Dia merasakan keanehan di dalam dada. Ada secuil kekecewaan tatkala Hanan memilih untuk menyingkir darinya. Dewi batin gadis itu berteriak, menyangkal keinginan untuk mendapat sentuhan dari sang suami. Rumi menggeleng samar, berusaha mengenyahkan jeritan batin yang menguras pikiran.“Ma-

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 37. Kertas Keramat

    Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s

  • Bukan Surga Terindah   Bab 36. Awas Bintitan!

    Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 35. Berlian

    Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 34. Pura-pura Tegar

    “Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me

  • Bukan Surga Terindah   Bab 33. Vonis

    “Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali

  • Bukan Surga Terindah   Bab 32. Ciuman di Pipi

    Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul

  • Bukan Surga Terindah   Bab 31. Rencana Dadakan Rumi

    Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 30. Sebelum Perdebatan Berujung Pertengkaran

    Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid

  • Bukan Surga Terindah   Bab 29. Suami Dambaan Kaum Hawa

    Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat

DMCA.com Protection Status