Begitu melihat Kenan muncul di sana, Aida langsung memalingkan muka. Wanita itu menghela napas dengan keras, tidak senang dengan kunjungan sang adik ipar.
“Tamunya nggak disuruh duduk, nih?” seloroh Kenan seraya mengayunkan kaki.
“Mau apa kamu datang kemari?” Aida menoleh pada lelaki itu dan bertanya dengan ketus.
Meskipun begitu, Kenan tampak tidak terpengaruh. Dia berjalan dengan santai menuju meja bar tempat Rumi dan Aida sedang menyiapkan bahan masakan. Lelaki itu berhenti di dekat meja, memperhatikan bahan-bahan di atas meja. Lalu dia menarik sudut bibir ke bawah sembari mengedikkan alis.
“Aku datang tepat waktu, ya.” Kenan mengalihkan pandang pada Rumi dan Aida secara bergantian sembari tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu untuk ikut makan siang,” lanjutnya dengan ekspresi tanpa dosa.
“Nggak ada yang ngundang kamu!” sahut Aida dengan tajam.
Satu sudut bibi
Ketika itu, Rumi merasakan hatinya tidak enak. Meninggalkan Kenan dan Aida berdua saja sepertinya bukanlah ide yang bagus. Maka dari itu, setelah meletakkan bunga di atas nakas, dia bergegas kembali ke dapur. Gadis itu tergesa-gesa menuruni anak tangga. Namun, begitu dia tiba di dapur, dia melihat pemandangan yang membuat langkahnya seketika berhenti.“Mbak Aida?” gumamnya sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Dalam pandangan Rumi, tampak punggung Kenan membelakanginya, menutupi sosok Aida yang seolah-olah sedang menggamit lengan si lelaki. Rumi sangat terkejut, dan sempat berpikir bahwa Aida dan Kenan sedang berpelukan atau semacamnya. Sampai akhirnya, dia melihat Kenan membopong Aida.“Mbak Aida?” sontak saja Rumi menghampiri Kenan yang tengah berjalan dengan tergesa. “Mbak Aida kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.“Hubungi Hanan! Aku akan membawa Aida ke rumah sakit,” titah Kenan tanpa menghentikan langkahnya yang tergesa.Rumi tampak kebingungan. Dia sangat khawatir sekaligus pe
“Dokter?” Hanan memanggil sang dokter kala lelaki berkacamata itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sang dokter mengerjapkan mata lalu tersenyum singkat.“Oh, maaf, maaf. Saya kira saya salah melihat. Kalian memiliki wajah yang sangat mirip,” ucapnya. “Um … mengenai kondisi pasien, untuk saat ini bisa dikatakan stabil. Dia mendapatkan pertolongan tepat waktu. Kram seperti ini memang biasa terjadi, tetapi dalam kasus istri Anda memang perlu penanganan yang intensif,” lanjutnya.“Maksudnya, istri saya harus rawat inap, Dok?” tanya Hanan.“Sebaiknya begitu, jadi kami bisa memantau kondisinya selama dua puluh empat jam. Jikapun tidak, istri Bapak perlu bedrest setidaknya selama satu minggu sebelum melakukan aktivitas seperti biasa. Plus, hindari stres dan pekerjaan berat,” jawab si dokter.“Nggak apa-apa, Dok. Kalau memang harus rawat inap, saya tidak keberatan,” balas Hanan.“Itu keputusan yang bijak.” Dokter itu lantas berpaling pada perawat yang ada di belakangnya. “Suster, tolong si
Dua hari Aida dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, maka Aida pun diperbolehkan pulang.“Alhamdulillah, akhirnya Mbak bisa pulang,” ujar Rumi.“Iya, Rum. Aku bosan di sini,” balas Aida sambil mengerucutkan bibir.Rumi terkekeh pelan.“Yang penting Mbak dan dedeknya baik-baik saja,” ujarnya.“Iya, bener. Aku sudah takut banget bakal kehilangan dia sebelum sempat menggendongnya,” ucap Aida dengan wajah yang berubah sendu.“Apa yang terjadi pada Mbak, itu sudah menjadi ketetapan Allah. Mungkin Allah pengin Mbak fokus sama kehamilan ini. Seperti yang dibilang dokter tadi, Mbak harus bahagia biar dedek bayinya ikut bahagia. Kalau kemarin aku sempat bikin Mbak sedih, aku minta maaf, ya, Mbak,” kata Rumi.Niat Rumi untuk menghibur Aida nyatanya malah membuat wanita itu menjadi murung. Percakapannya terakhir kali dengan Kenan terasa sangat mengganggu pikiran setiap kali dia mengingatnya.Ketika itu, Kenan tersenyum kecut. Lalu dia kembali berkata, “Aku but
Rumi berjalan perlahan kembali ke ruang perawatan Aida. Dia sudah mencuci muka untuk menghilangkan jejak kesedihannya. Sesampainya di depan pintu, Rumi berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan jari, mengukir sebuah senyuman. Setelah mengembuskan napas dengan keras, dia angkat tangannya untuk mendorong pintu ruangan tersebut. “Rumi!” seru Aida tatkala Rumi baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruangan. Gadis itu berjengit, terkejut sekaligus bingung mengapa Aida terlihat cemas. “Ya Allah, Rum. Kamu dari mana aja? Hanan nyariin kamu ke mana-mana, lho,” cakap Aida. Rumi masih terlihat bingung. Dia kembali mengayunkan kaki kemudian menjawab, “Aku dari kantin, Mbak.” Kantong kresek di tangan Rumi menjadi pusat perhatian Aida dan Rifkah. Aida lantas melememaskan bahu sambil menghela napas lega. “Kenapa kamu nggak bilang? Kami khawatir kamu tiba-tiba ngilang begitu,” ujar Aida. “Maaf, Mbak.” Rumi merasa bersalah. “S
“Darah?” Rumi melihat pada ujung jari Hanan.“Kamu sakit?” tanya Hanan seraya memegang bahu gadis itu, menatapnya dengan penuh tuntutan dan kekhawatiran.Rumi menjilat bibir. Sejurus kemudian, gadis itu mengambil sehelai tisu dari atas nakas untuk menyeka sisa darah yang keluar dari hidungnya.“Rumi, jawab aku!” Hanan mendekati Rumi lalu menarik bahu si gadis untuk berbalik ke arahnya. “Apa kamu sakit?” tanyanya sambil menatap dua manik hitam gadis itu dengan serius.“Enggak, Mas,” jawab Rumi lalu membuang tisu bernoda darah ke tempat sampah.“Jangan bohong!” kata Hanan.Rumi kembali pada Hanan dan berkata, “Ini sudah biasa terjadi. Biasanya kalau aku lagi capek emang suka mimisan.”Tak ada kebohongan yang terpancar dari sorot mata gadis itu hingga membuat Hanan percaya padanya. Memang sudah cukup lama Rumi mengalami hal seperti ini. Setiap kali kelelahan, maka dia akan mimisan. Dan selama ini Rumi merasa tidak ada masalah dengan itu. Memang akan terasa tidak nyaman saat darah itu aka
Duduk di balik meja kerjanya, Hanan memegang sebuah ponsel dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajahnya. Lelaki itu sesekali tertawa oleh candaan mesranya terhadap sang istri.“Nanti pulangnya bawain salad buah, ya. Itu tuh, yang di dekat SMA 2. Enak banget, lho,” pinta Aida.“Hei, ingat pesan dokter. Harus jaga pola makan dengan benar,” kata Hanan.“Tapi aku pengin banget, Han. Di mulutku rasanya udah penuh liur gegara pengin salad itu,” rengek Aida.“Itu namanya ngidam, Sayang,” kata Hanan sambil terkekeh.“Nah itu tahu. Beliin, dong,” kata Aida sambil mengerucutkan bibir, dalam mode manja.Hanan tahu istrinya sedang mengidam, namun dia juga harus mengingatkan sang istri akan kondisinya. Aida tidak seperti ibu hamil pada umumnya yang dapat mengonsumsi segala macam makanan dengan bebas tanpa harus merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya. Salah satu yang harus Aida patuhi adalah menjaga asupan gula. Sedangkan dalam salad buah yang wanita itu minta, sudah pasti memiliki kan
“Woy!” Doni memukul lengan Hanan. “Malah ngelamun lagi,” ujarnya.Hanan berkedip cepat beberapa kali, tersentak oleh pukulan setengah tenaga itu.“Sori, ngomong apa tadi?” tanya Hanan.Doni berdecak lalu mengulangi kembali perkataannya.“Aku tadi bilang, gimana kalau kita ke kantor pengacaranya sekarang saja. Mumpung masih ada waktu,” kata Doni.Hanan menekuk siku, menilik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Udah jam dua ini. Jauh nggak kantornya?” tanya Hanan.“Enggak begitu jauh. Kalau jalanan lancar, palingan juga setengah jam sampai,” jawab Doni.Hanan berpikir sejenak. “Ya sudah, kita jalan sekarang saja biar nggak kesorean,” putusnya.Mereka pun sepakat untuk pergi menemui pengacara. Setelah memberi pengarahan kepada mandor, mereka bergegas mengaspal menuju kantor pengacara kenalan Doni. Selama perjalanan itu, Hanan tidak bisa fokus. Beberapa kali dia hampir menabrak kendaraan di depannya, bahkan sempat dimaki oleh pengguna jalan yang lain. Semua itu karena dia memi
Jiwa Hanan dan Rumi seolah tertarik ke dalam sebuah dimensi yang menyedot semua suara, di mana hanya ada mereka berdua. Satu-satunya suara yang terdengar tak lain adalah napas dan degup jantung di dalam dada.Batin Hanan berbisik, gadis di bawahnya ini halal untuk dia sentuh. Namun, keraguan menahannya untuk mengambil hak yang dimiliki. Lelaki itu meneguk saliva yang terasa begitu pekat. Sejenak tenggelam dalam dilema, Hanan berhasil menguasai akal sehatnyya. Lalu pada detik berikutnya, Hanan menyingkir dari tubuh Rumi dan berbaring di samping gadis tersebut sembari meredam detak jantungnya yang ugal-ugalan.“Maaf,” ucap Hanan dengan kaku.Rumi memalingkan muka ke arah yang berlawanan dari sang suami. Dia merasakan keanehan di dalam dada. Ada secuil kekecewaan tatkala Hanan memilih untuk menyingkir darinya. Dewi batin gadis itu berteriak, menyangkal keinginan untuk mendapat sentuhan dari sang suami. Rumi menggeleng samar, berusaha mengenyahkan jeritan batin yang menguras pikiran.“Ma-