“Darah?” Rumi melihat pada ujung jari Hanan.“Kamu sakit?” tanya Hanan seraya memegang bahu gadis itu, menatapnya dengan penuh tuntutan dan kekhawatiran.Rumi menjilat bibir. Sejurus kemudian, gadis itu mengambil sehelai tisu dari atas nakas untuk menyeka sisa darah yang keluar dari hidungnya.“Rumi, jawab aku!” Hanan mendekati Rumi lalu menarik bahu si gadis untuk berbalik ke arahnya. “Apa kamu sakit?” tanyanya sambil menatap dua manik hitam gadis itu dengan serius.“Enggak, Mas,” jawab Rumi lalu membuang tisu bernoda darah ke tempat sampah.“Jangan bohong!” kata Hanan.Rumi kembali pada Hanan dan berkata, “Ini sudah biasa terjadi. Biasanya kalau aku lagi capek emang suka mimisan.”Tak ada kebohongan yang terpancar dari sorot mata gadis itu hingga membuat Hanan percaya padanya. Memang sudah cukup lama Rumi mengalami hal seperti ini. Setiap kali kelelahan, maka dia akan mimisan. Dan selama ini Rumi merasa tidak ada masalah dengan itu. Memang akan terasa tidak nyaman saat darah itu aka
Duduk di balik meja kerjanya, Hanan memegang sebuah ponsel dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajahnya. Lelaki itu sesekali tertawa oleh candaan mesranya terhadap sang istri.“Nanti pulangnya bawain salad buah, ya. Itu tuh, yang di dekat SMA 2. Enak banget, lho,” pinta Aida.“Hei, ingat pesan dokter. Harus jaga pola makan dengan benar,” kata Hanan.“Tapi aku pengin banget, Han. Di mulutku rasanya udah penuh liur gegara pengin salad itu,” rengek Aida.“Itu namanya ngidam, Sayang,” kata Hanan sambil terkekeh.“Nah itu tahu. Beliin, dong,” kata Aida sambil mengerucutkan bibir, dalam mode manja.Hanan tahu istrinya sedang mengidam, namun dia juga harus mengingatkan sang istri akan kondisinya. Aida tidak seperti ibu hamil pada umumnya yang dapat mengonsumsi segala macam makanan dengan bebas tanpa harus merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya. Salah satu yang harus Aida patuhi adalah menjaga asupan gula. Sedangkan dalam salad buah yang wanita itu minta, sudah pasti memiliki kan
“Woy!” Doni memukul lengan Hanan. “Malah ngelamun lagi,” ujarnya.Hanan berkedip cepat beberapa kali, tersentak oleh pukulan setengah tenaga itu.“Sori, ngomong apa tadi?” tanya Hanan.Doni berdecak lalu mengulangi kembali perkataannya.“Aku tadi bilang, gimana kalau kita ke kantor pengacaranya sekarang saja. Mumpung masih ada waktu,” kata Doni.Hanan menekuk siku, menilik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Udah jam dua ini. Jauh nggak kantornya?” tanya Hanan.“Enggak begitu jauh. Kalau jalanan lancar, palingan juga setengah jam sampai,” jawab Doni.Hanan berpikir sejenak. “Ya sudah, kita jalan sekarang saja biar nggak kesorean,” putusnya.Mereka pun sepakat untuk pergi menemui pengacara. Setelah memberi pengarahan kepada mandor, mereka bergegas mengaspal menuju kantor pengacara kenalan Doni. Selama perjalanan itu, Hanan tidak bisa fokus. Beberapa kali dia hampir menabrak kendaraan di depannya, bahkan sempat dimaki oleh pengguna jalan yang lain. Semua itu karena dia memi
Jiwa Hanan dan Rumi seolah tertarik ke dalam sebuah dimensi yang menyedot semua suara, di mana hanya ada mereka berdua. Satu-satunya suara yang terdengar tak lain adalah napas dan degup jantung di dalam dada.Batin Hanan berbisik, gadis di bawahnya ini halal untuk dia sentuh. Namun, keraguan menahannya untuk mengambil hak yang dimiliki. Lelaki itu meneguk saliva yang terasa begitu pekat. Sejenak tenggelam dalam dilema, Hanan berhasil menguasai akal sehatnyya. Lalu pada detik berikutnya, Hanan menyingkir dari tubuh Rumi dan berbaring di samping gadis tersebut sembari meredam detak jantungnya yang ugal-ugalan.“Maaf,” ucap Hanan dengan kaku.Rumi memalingkan muka ke arah yang berlawanan dari sang suami. Dia merasakan keanehan di dalam dada. Ada secuil kekecewaan tatkala Hanan memilih untuk menyingkir darinya. Dewi batin gadis itu berteriak, menyangkal keinginan untuk mendapat sentuhan dari sang suami. Rumi menggeleng samar, berusaha mengenyahkan jeritan batin yang menguras pikiran.“Ma-
Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat
Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid
Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.
Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan
“Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me
“Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali
Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.
Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid
Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat