Beranda / Pernikahan / Bukan Surga Terindah / Bab 32. Ciuman di Pipi

Share

Bab 32. Ciuman di Pipi

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.

“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.

“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.

Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”

“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.

Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.

“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.

Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.

“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.

Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Surga Terindah   Bab 33. Vonis

    “Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 34. Pura-pura Tegar

    “Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Bukan Surga Terindah   Bab 35. Berlian

    Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Bukan Surga Terindah   Bab 36. Awas Bintitan!

    Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 37. Kertas Keramat

    Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Bukan Surga Terindah   Bab 1. Pernikahan Suamiku

    Sah. Satu kata yang diserukan oleh para saksi itu akhirnya terdengar. Aida mengucap syukur kepada Sang Pencipta, karena prosesi ijab qabul antara Hanan Pramudya dan Rumi Adinda berjalan dengan lancar. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum tipis ketika dia memutar badan ke arah seorang gadis dengan kebaya putih yang terlihat begitu cantik."Ayo, Rum. Temui suamimu," ajak Aida seraya menggamit lengan sang mempelai wanita.Rumi menyentuh tangan Aida yang berada di lengannya. Gadis cantik itu menahan Aida untuk tak beranjak lebih dulu."Suami kita, Mbak," ralat Rumi.Sejenak ekspresi Aida tampak membeku. Lalu, wanita berusia 30 tahun itu mengulas senyum tipis di bibirnya."Iya, suami kita. Tapi untuk hari ini, Hanan adalah Raja dan kamu adalah Ratu-nya," balas Aida."Mbak–""Sudah, jangan berdebat sekarang. Hanan sudah menunggu kamu di sana," potong Aida.Wanita anggun itu segera menarik Rumi untuk berdiri. Keduanya berjalan beriringan, dengan tangan Aida yang menggamit erat lengan Rumi.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 2. Menikah demi Keturunan

    Acara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat itu selesai setelah jamuan makan. Satu persatu, tamu meninggalkan kediaman Hanan Pramudya, pengusaha kuliner yang baru saja resmi beristri dua itu. "Han, nanti aku pulang ke rumah Mama dulu, ya. Besok aku kembali lagi ke sini.” Aida meminta izin pada suaminya. Mendengar ucapan itu, Hanan berpaling dengan tatapan protes. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Setelah memintanya untuk menikahi wanita lain, Aida malah akan pergi ke rumah orang tuanya. "Nggak! Kamu tetap di sini!" larang Hanan. Lelaki itu paham, apa tujuan sang istri mengungsi ke rumah orang tuanya. "Tapi, Han. Ini adalah hari pertama kamu dan Rumi menikah. Aku nggak mau ganggu malam pertama kalian. Kamu ingat tujuan pernikahan ini, kan?" tutur Aida sambil memiringkan kepala dengan sudut bibir yang terangkat. Lisan Aida memang bisa mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Namun, percayalah bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan beraktin

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 3. Aku Ikhlas

    Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget."I-iya, sebentar," sahut Rumi.Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga."Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mere

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 37. Kertas Keramat

    Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s

  • Bukan Surga Terindah   Bab 36. Awas Bintitan!

    Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 35. Berlian

    Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 34. Pura-pura Tegar

    “Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me

  • Bukan Surga Terindah   Bab 33. Vonis

    “Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali

  • Bukan Surga Terindah   Bab 32. Ciuman di Pipi

    Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul

  • Bukan Surga Terindah   Bab 31. Rencana Dadakan Rumi

    Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 30. Sebelum Perdebatan Berujung Pertengkaran

    Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid

  • Bukan Surga Terindah   Bab 29. Suami Dambaan Kaum Hawa

    Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat

DMCA.com Protection Status