Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Hanan berdiri tegak di tengah kamar, kertas berkop rumah sakit tergenggam erat di tangannya. Mata lelaki itu menatap Rumi dengan tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Di hadapannya, Rumi tampak tergagap, membuka dan menutup mulut tanpa suara. Wajahnya memucat, seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar.“Rumi, jelaskan padaku. Apa ini?” Nada suara Hanan rendah, tetapi tegas.Gadis itu mengalihkan pandangan, matanya yang basah bergerak liar mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, tak ada tempat untuk bersembunyi. “Itu … itu bukan apa-apa, Mas. Tolong kembalikan!” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Dia berusaha meraih kertas dari tangan Hanan, namun lelaki itu langsung menghindar.“Bukan apa-apa? Kamu pikir aku bodoh?” Hanan mendekat, kertas di tangannya bergemerisik. “Kalau bukan apa-apa, kenapa kamu takut untuk mengatakannya? Aku ini suami kamu. Masih nggak mau jujur?” Lelaki itu memindai dua manik Rumi bergantian, curiga ada masalah besar yang sedang
Pagi itu terasa lebih sunyi dibanding biasanya. Di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa seperti dulu. Hanan duduk di ujung meja, wajahnya tegang, tampak banyak pikiran. Rumi, yang duduk di sebelah kanan, sesekali melirik ke arah Hanan, tetapi langsung menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Sementara itu, Aida, dengan tatapan kosong, memandangi sarapannya yang hampir tak tersentuh.Aida meneguk air putihnya perlahan. Dia memaksakan diri untuk tetap terlihat tenang, meski hatinya bergolak. Matanya mencuri pandang ke arah Hanan yang menyendok makanan, lalu ke Rumi yang tampak gelisah. Perasaan tidak nyaman menyusup di dadanya.“Aida, kamu tahu ini akan terjadi,” batinnya mencoba menghibur diri. “Dia adalah bagian dari pernikahan ini. Kamu tidak berhak cemburu.”Namun, keyakinan itu tidak cukup untuk meredam rasa sakit di hatinya. Tatapan Hanan kepada Rumi—entah mengapa—terasa berbeda pagi ini. Lebih dalam,
Taman kecil di samping rumah yang Rumi rawat kini menjadi pemandangan yang apik untuk dinikmati, tetapi suasana hati Aida tidak sejalan dengan keindahannya sama sekali. Kehamilan yang semakin besar, membuat setiap langkahnya terasa berat. Namun, bukan hanya tubuhnya yang terasa lelah. Jiwanya pun ikut terkikis oleh pergolakan yang sulit dia ceritakan kepada siapa pun.Aida duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar-putar memikirkan perubahan sikap Hanan akhir-akhir ini. Perhatian lelaki itu terhadap Rumi begitu kentara. Aida mencoba menguatkan hati. Dia tidak boleh cemburu, tidak boleh merasa tersisih. Bukankah dia sendiri yang meminta Hanan untuk menikahi Rumi?Namun, bayangan-bayangan kecil tak henti menyerangnya. Tatapan lembut Hanan kepada Rumi, perhatian yang tak pernah putus—semua itu terasa seperti belati yang perlahan mengiris hati.“Hanan ... aku kangen sama kamu yang dulu,” gumamnya pelan sambil mengelus perut yang mulai membesar
Aida berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil menuju taman yang tak jauh dari rumah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kehamilannya, melainkan beban pikiran yang terus menghantui. Beberapa waktu yang lalu, Hanan bilang padanya akan membawa Rumi ke rumah sakit karena madunya itu sedang sakit. Aida tak memiliki pilihan selain membiarkan mereka pergi. Dan begitu mobil Hanan meninggalkan halaman, Aida memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar untuk melupakan segala pikiran buruk yang coba menguasainya.Sesampainya di taman, Aida duduk di bangku kayu yang menghadap lapangan. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain layang-layang terdengar riang. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipinya, membawa aroma rumput yang basah. Dia menarik napas dalam, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikiran.“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” pikirnya, menggenggam erat kedua tangannya. “Bukankah ini semua adalah pilihanku?”Namun, logik
"Aida!" Suara itu mengalihkan atensi Aida dan Kenan.Aida menengok ke arah sumber suara, terkejut melihat Hanan berdiri beberapa meter darinya. Wajah Hanan memerah, tatapannya tajam, tetapi sulit dibaca—marah, cemas, atau mungkin keduanya."Kamu ngapain di sini, Da? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Tahu nggak, aku nyariin kamu ke mana-mana," lanjut Hanan, langkahnya semakin mendekat.Sebelum Aida bisa menjawab, Kenan sudah berdiri, pasang badan untuk sang mantan. Dia tersenyum santai, lalu berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Hei, santai, Han. Nggak usah marah-marah. Kan nggak lucu kalau lo lebih cepet tua daripada gue” Kenan terkekeh sebentar. “Gue yang ngajak Aida ke sini.”Hanan mengalihkan atensi pada Kenan. Dia terlalu khawatir pada Aida, sehingga tidak memperhatikan jika Kenan ada di sana. Lelaki itu mengusap wajah lalu menghela napas lelah.“Lo?” Suara Hanan sedikit rendah.“Tadi gue ke rumah. Gue lihat bini lo bete gitu. Makanya gue inisiatif ajak dia keluar.” Ken
Aida berdiri di balik dinding ruang tamu, tubuhnya setengah tersembunyi. Dia memegang perutnya yang mulai membesar dengan tangan gemetar. Di depan sana, Hanan dan Rumi duduk di sofa. Wajah Hanan penuh perhatian, menatap Rumi seolah gadis itu sangat rapuh dan mudah hancur.“Mas, nanti aku pergi sendiri saja, ya, ke pantinya,” suara Rumi terdengar lemah, tetapi ada nada manja di dalamnya.Awal pekan depan, Rumi akan mulai menjalani kemoterapi, setelah dibujuk berkali-kali. Hanan berjanji akan mengupayakan pengobatan yang maksimal untuk Rumi.“Nggak boleh.” Hanan melarang dengan tegas. “Aku akan antar kamu.”“Tapi, Mas—”“Kenapa? Aida?” potong Hanan, mendelik pada Rumi. “Kamu nggak perlu mencemaskan Aida. Dia akan baik-baik saja di rumah. Lagipula, aku pergi juga enggak lama.”Rumi tampak hendak berbicara lagi, tetapi Hanan langsung menempelkan telunjuknya di bibir Rumi.“Aku suami kamu. Aku harus memastikan semua berjalan dengan baik.” Hanan meraih jemari Rumi dan meremasnya dengan lemb
Aida duduk di sebuah kursi di sudut kamar, matanya yang sembab menatap kosong ke arah jendela. Pagi itu seharusnya menjadi akhir pekan yang cerah, tetapi bagi Aida, semuanya terasa kelabu. Pertengkaran dengan Hanan masih membekas di hatinya, meninggalkan luka yang sulit disembuhkan. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Hanan, tetapi kenyataan memaksanya untuk menahan keinginan itu lagi dan lagi. Pedih, sebab alasannya adalah madu pilihannya sendiri.Aida memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran. Namun, bayangan Hanan yang begitu perhatian kepada Rumi kembali menghantamnya seperti gelombang pasang. Aida mengusap perut dengan lembut, berusaha mengingat bahwa ada kehidupan kecil yang membutuhkan ketenangannya. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya yang harus dia jaga.Terdengar suara pintu dibuka pelan. Suara Hanan menyusul dari luar. “Aida?”Aida tidak menjawab. Dia hanya menatap pintu dengan mata yang masih basah. Mulutnya seakan-akan terkunci, tak berminat untuk bicara.Hanan
Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany
“Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet
Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal
Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan
Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“
Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja
Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi
Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa
Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu