Hanan panik karena tidak menemukan Rumi di kamarnya. Lelaki itu bergegas membalik badan dan pergi ke lemari pakaian Rumi. Dia buka pintu lemari itu dan memeriksa apakah pakaian sang istri masih ada di sana. Hanan khawatir jika Rumi nekat kabur dari rumah karena debat pagi tadi.
“Masih ada,” gumam Hanan.
Semua pakaian masih tertata rapi. Lalu, Hanan membuka pintu lemari yang satunya. Kepanikan itu kembali mendera karena dia tak menemukan tas besar berwarna hitam yang Rumi bawa saat datang ke sana. Untuk memastikan dugaannya, Hanan membuka lagi pintu lemari yang sebelumnya. Dia perhatikan baik-baik tumpukan baju itu, mencari pakaian lama Rumi yang dibawa dari panti asuhan. Pikir Hanan, Rumi hanya pergi dengan membawa apa yang dia bawa saat datang ke rumah tersebut.
“Nggak ada semua,” ujar Hanan.
Lelaki itu mundur satu langkah lalu menyugar rambutnya dengan frustasi. Pikiran macam-macam memenuhi kepala Hanan. Bagaimana dia harus menje
Pada trimester awal kehamilan, bisa dikatakan Aida tidak mengalami kendala yang berarti. Dia hanya merasa lebih cepat lelah dan mengalami mual yang tidak begitu parah. Namun demikian, Hanan tetap meminta Aida untuk berhenti bekerja. Aida sempat protes karena pekerjaannya tidak membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja, menurut Hanan, membuat design pehiasan memerlukan pemikiran dan konsentrasi tinggi. Lelaki itu tidak ingin Aida stres, yang mana akan mengganggu pertumbuhan janin di rahimnya. Hingga akhirnya, Aida pun menuruti perintah sang suami.Namun, ada hal lain yang menyita pikiran Aida selama beberapa hari terakhir. Sejak sarapan waktu itu, Aida merasa sikap Rumi semakin aneh. Wanita itu merasa Rumi seperti sedang menghindari dirinya. Bahkan, sudah tiga hari ini, Rumi tidak ikut sarapan bersama. Aida ingin menganggap bahwa itu hanya perasaannya saja, tetapi hatinya selalu menyanggah.“Kok kamu nggak makan? Calon anak kita butuh nutrisi yang banyak lho buat perk
“Gimana, Han?” Aida yang menunggu sang suami di dasar tangga segera menyambut dengan rasa penasaran.Lelaki itu tersenyum tipis menghampiri istrinya. Dia usap kepala Aida lalu menjawab, “Aku khawatir dia anemia. Mukanya pucat. Tadi aku sudah bilang sama dia untuk periksa ke dokter.”“Terus, dia mau?” tanya Aida. Hanan menganggukkan kepala. “Oke, nanti aku antar dia ke klinik,” lanjutnya.“Jangan!” cegah Hanan cepat. “Biar sama sopir saja. Kamu jangan terlalu capek,” imbuhnya.Aida mengerucutkan bibir. “Kasihan Rumi, Han. Lagian aku kan nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk nemenin Rumi doang,” kata Aida.“Tetep aja. Nanti kamu kudu ikut antre, terus nunggu giliran diperiksa. Kan lama juga jadinya,” sanggah Hanan.“Waktu aku pergi ke klinik dan ke rumah sakit, dia juga yang nemenin aku, lho, Han. Sekarang Rumi sakit. Aku mau nemenin dia,” uja
Begitu melihat Kenan muncul di sana, Aida langsung memalingkan muka. Wanita itu menghela napas dengan keras, tidak senang dengan kunjungan sang adik ipar.“Tamunya nggak disuruh duduk, nih?” seloroh Kenan seraya mengayunkan kaki.“Mau apa kamu datang kemari?” Aida menoleh pada lelaki itu dan bertanya dengan ketus.Meskipun begitu, Kenan tampak tidak terpengaruh. Dia berjalan dengan santai menuju meja bar tempat Rumi dan Aida sedang menyiapkan bahan masakan. Lelaki itu berhenti di dekat meja, memperhatikan bahan-bahan di atas meja. Lalu dia menarik sudut bibir ke bawah sembari mengedikkan alis.“Aku datang tepat waktu, ya.” Kenan mengalihkan pandang pada Rumi dan Aida secara bergantian sembari tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu untuk ikut makan siang,” lanjutnya dengan ekspresi tanpa dosa.“Nggak ada yang ngundang kamu!” sahut Aida dengan tajam.Satu sudut bibi
Ketika itu, Rumi merasakan hatinya tidak enak. Meninggalkan Kenan dan Aida berdua saja sepertinya bukanlah ide yang bagus. Maka dari itu, setelah meletakkan bunga di atas nakas, dia bergegas kembali ke dapur. Gadis itu tergesa-gesa menuruni anak tangga. Namun, begitu dia tiba di dapur, dia melihat pemandangan yang membuat langkahnya seketika berhenti.“Mbak Aida?” gumamnya sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Dalam pandangan Rumi, tampak punggung Kenan membelakanginya, menutupi sosok Aida yang seolah-olah sedang menggamit lengan si lelaki. Rumi sangat terkejut, dan sempat berpikir bahwa Aida dan Kenan sedang berpelukan atau semacamnya. Sampai akhirnya, dia melihat Kenan membopong Aida.“Mbak Aida?” sontak saja Rumi menghampiri Kenan yang tengah berjalan dengan tergesa. “Mbak Aida kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.“Hubungi Hanan! Aku akan membawa Aida ke rumah sakit,” titah Kenan tanpa menghentikan langkahnya yang tergesa.Rumi tampak kebingungan. Dia sangat khawatir sekaligus pe
“Dokter?” Hanan memanggil sang dokter kala lelaki berkacamata itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.Sang dokter mengerjapkan mata lalu tersenyum singkat.“Oh, maaf, maaf. Saya kira saya salah melihat. Sekilas kalian tampak mirip,” ucapnya. “Um … mengenai kondisi pasien, untuk saat ini bisa dikatakan stabil. Dia mendapatkan pertolongan tepat waktu. Kram seperti ini memang biasa terjadi, tetapi dalam kasus istri Anda memang perlu penanganan yang intensif,” lanjutnya.“Maksudnya, istri saya harus rawat inap, Dok?” tanya Hanan.“Sebaiknya begitu, jadi kami bisa memantau kondisinya selama dua puluh empat jam. Jikapun tidak, istri Bapak perlu bedrest setidaknya selama satu minggu sebelum melakukan aktivitas seperti biasa. Plus, hindari stres dan pekerjaan berat,” jawab si dokter.“Nggak apa-apa, Dok. Kalau memang harus rawat inap, lakukan saja. Saya ingin yang terbaik untuk istri dan calon bayi kami,” balas Hanan.“Itu keputusan yang bijak.” Dokter itu lantas berpaling pada perawat yang ad
Dua hari Aida dirawat di rumah sakit. Setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, maka Aida pun diperbolehkan pulang.“Alhamdulillah, akhirnya Mbak bisa pulang,” ujar Rumi.“Iya, Rum. Aku bosan di sini,” balas Aida sambil mengerucutkan bibir.Rumi terkekeh pelan.“Yang penting Mbak dan dedeknya baik-baik saja,” ujarnya.“Iya, bener. Aku sudah takut banget bakal kehilangan dia sebelum sempat menggendongnya,” ucap Aida dengan wajah yang berubah sendu.“Apa yang terjadi pada Mbak, itu sudah menjadi ketetapan Allah. Mungkin Allah pengin Mbak fokus sama kehamilan ini. Seperti yang dibilang dokter tadi, Mbak harus bahagia biar dedek bayinya ikut bahagia. Kalau kemarin aku sempat bikin Mbak sedih, aku minta maaf, ya, Mbak,” kata Rumi.Niat Rumi untuk menghibur Aida nyatanya malah membuat wanita itu menjadi murung. Percakapannya terakhir kali dengan Kenan terasa sangat mengganggu pikiran setiap kali dia mengingatnya.Ketika itu, Kenan tersenyum kecut. Lalu dia kembali berkata, “Aku but
Rumi berjalan perlahan kembali ke ruang perawatan Aida. Dia sudah mencuci muka untuk menghilangkan jejak kesedihannya. Sesampainya di depan pintu, Rumi berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan jari, mengukir sebuah senyuman. Setelah mengembuskan napas dengan keras, dia angkat tangannya untuk mendorong pintu ruangan tersebut. “Rumi!” seru Aida tatkala Rumi baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruangan. Gadis itu berjengit, terkejut sekaligus bingung mengapa Aida terlihat cemas. “Ya Allah, Rum. Kamu dari mana aja? Hanan nyariin kamu ke mana-mana, lho,” cakap Aida. Rumi masih terlihat bingung. Dia kembali mengayunkan kaki kemudian menjawab, “Aku dari kantin, Mbak.” Kantong kresek di tangan Rumi menjadi pusat perhatian Aida dan Rifkah. Aida lantas melememaskan bahu sambil menghela napas lega. “Kenapa kamu nggak bilang? Kami khawatir kamu tiba-tiba ngilang begitu,” ujar Aida. “Maaf, Mbak.” Rumi merasa bersalah. “S
“Darah?” Rumi melihat pada ujung jari Hanan.“Kamu sakit?” tanya Hanan seraya memegang bahu gadis itu, menatapnya dengan penuh tuntutan dan kekhawatiran.Rumi menjilat bibir. Sejurus kemudian, gadis itu mengambil sehelai tisu dari atas nakas untuk menyeka sisa darah yang keluar dari hidungnya.“Rumi, jawab aku!” Hanan mendekati Rumi lalu menarik bahu si gadis untuk berbalik ke arahnya. “Apa kamu sakit?” tanyanya sambil menatap dua manik hitam gadis itu dengan serius.“Enggak, Mas,” jawab Rumi lalu membuang tisu bernoda darah ke tempat sampah.“Jangan bohong!” kata Hanan.Rumi kembali pada Hanan dan berkata, “Ini sudah biasa terjadi. Biasanya kalau aku lagi capek emang suka mimisan.”Tak ada kebohongan yang terpancar dari sorot mata gadis itu hingga membuat Hanan percaya padanya. Memang sudah cukup lama Rumi mengalami hal seperti ini. Setiap kali kelelahan, maka dia akan mimisan. Dan selama ini Rumi merasa tidak ada masalah dengan itu. Memang akan terasa tidak nyaman saat darah itu aka
Aida berdiri di balik dinding ruang tamu, tubuhnya setengah tersembunyi. Dia memegang perutnya yang mulai membesar dengan tangan gemetar. Di depan sana, Hanan dan Rumi duduk di sofa. Wajah Hanan penuh perhatian, menatap Rumi seolah gadis itu sangat rapuh dan mudah hancur.“Mas, nanti aku pergi sendiri saja, ya, ke pantinya,” suara Rumi terdengar lemah, tetapi ada nada manja di dalamnya.Awal pekan depan, Rumi akan mulai menjalani kemoterapi, setelah dibujuk berkali-kali. Hanan berjanji akan mengupayakan pengobatan yang maksimal untuk Rumi.“Nggak boleh.” Hanan melarang dengan tegas. “Aku akan antar kamu.”“Tapi, Mas—”“Kenapa? Aida?” potong Hanan, mendelik pada Rumi. “Kamu nggak perlu mencemaskan Aida. Dia akan baik-baik saja di rumah. Lagipula, aku pergi juga enggak lama.”Rumi tampak hendak berbicara lagi, tetapi Hanan langsung menempelkan telunjuknya di bibir Rumi.“Aku suami kamu. Aku harus memastikan semua berjalan dengan baik.” Hanan meraih jemari Rumi dan meremasnya dengan lemb
"Aida!" Suara itu mengalihkan atensi Aida dan Kenan.Aida menengok ke arah sumber suara, terkejut melihat Hanan berdiri beberapa meter darinya. Wajah Hanan memerah, tatapannya tajam, tetapi sulit dibaca—marah, cemas, atau mungkin keduanya."Kamu ngapain di sini, Da? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Tahu nggak, aku nyariin kamu ke mana-mana," lanjut Hanan, langkahnya semakin mendekat.Sebelum Aida bisa menjawab, Kenan sudah berdiri, pasang badan untuk sang mantan. Dia tersenyum santai, lalu berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Hei, santai, Han. Nggak usah marah-marah. Kan nggak lucu kalau lo lebih cepet tua daripada gue” Kenan terkekeh sebentar. “Gue yang ngajak Aida ke sini.”Hanan mengalihkan atensi pada Kenan. Dia terlalu khawatir pada Aida, sehingga tidak memperhatikan jika Kenan ada di sana. Lelaki itu mengusap wajah lalu menghela napas lelah.“Lo?” Suara Hanan sedikit rendah.“Tadi gue ke rumah. Gue lihat bini lo bete gitu. Makanya gue inisiatif ajak dia keluar.” Ken
Aida berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil menuju taman yang tak jauh dari rumah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kehamilannya, melainkan beban pikiran yang terus menghantui. Beberapa waktu yang lalu, Hanan bilang padanya akan membawa Rumi ke rumah sakit karena madunya itu sedang sakit. Aida tak memiliki pilihan selain membiarkan mereka pergi. Dan begitu mobil Hanan meninggalkan halaman, Aida memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar untuk melupakan segala pikiran buruk yang coba menguasainya.Sesampainya di taman, Aida duduk di bangku kayu yang menghadap lapangan. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain layang-layang terdengar riang. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipinya, membawa aroma rumput yang basah. Dia menarik napas dalam, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikiran.“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” pikirnya, menggenggam erat kedua tangannya. “Bukankah ini semua adalah pilihanku?”Namun, logik
Taman kecil di samping rumah yang Rumi rawat kini menjadi pemandangan yang apik untuk dinikmati, tetapi suasana hati Aida tidak sejalan dengan keindahannya sama sekali. Kehamilan yang semakin besar, membuat setiap langkahnya terasa berat. Namun, bukan hanya tubuhnya yang terasa lelah. Jiwanya pun ikut terkikis oleh pergolakan yang sulit dia ceritakan kepada siapa pun.Aida duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar-putar memikirkan perubahan sikap Hanan akhir-akhir ini. Perhatian lelaki itu terhadap Rumi begitu kentara. Aida mencoba menguatkan hati. Dia tidak boleh cemburu, tidak boleh merasa tersisih. Bukankah dia sendiri yang meminta Hanan untuk menikahi Rumi?Namun, bayangan-bayangan kecil tak henti menyerangnya. Tatapan lembut Hanan kepada Rumi, perhatian yang tak pernah putus—semua itu terasa seperti belati yang perlahan mengiris hati.“Hanan ... aku kangen sama kamu yang dulu,” gumamnya pelan sambil mengelus perut yang mulai membesar
Pagi itu terasa lebih sunyi dibanding biasanya. Di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa seperti dulu. Hanan duduk di ujung meja, wajahnya tegang, tampak banyak pikiran. Rumi, yang duduk di sebelah kanan, sesekali melirik ke arah Hanan, tetapi langsung menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Sementara itu, Aida, dengan tatapan kosong, memandangi sarapannya yang hampir tak tersentuh.Aida meneguk air putihnya perlahan. Dia memaksakan diri untuk tetap terlihat tenang, meski hatinya bergolak. Matanya mencuri pandang ke arah Hanan yang menyendok makanan, lalu ke Rumi yang tampak gelisah. Perasaan tidak nyaman menyusup di dadanya.“Aida, kamu tahu ini akan terjadi,” batinnya mencoba menghibur diri. “Dia adalah bagian dari pernikahan ini. Kamu tidak berhak cemburu.”Namun, keyakinan itu tidak cukup untuk meredam rasa sakit di hatinya. Tatapan Hanan kepada Rumi—entah mengapa—terasa berbeda pagi ini. Lebih dalam,
Hanan berdiri tegak di tengah kamar, kertas berkop rumah sakit tergenggam erat di tangannya. Mata lelaki itu menatap Rumi dengan tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Di hadapannya, Rumi tampak tergagap, membuka dan menutup mulut tanpa suara. Wajahnya memucat, seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar.“Rumi, jelaskan padaku. Apa ini?” Nada suara Hanan rendah, tetapi tegas.Gadis itu mengalihkan pandangan, matanya yang basah bergerak liar mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, tak ada tempat untuk bersembunyi. “Itu … itu bukan apa-apa, Mas. Tolong kembalikan!” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Dia berusaha meraih kertas dari tangan Hanan, namun lelaki itu langsung menghindar.“Bukan apa-apa? Kamu pikir aku bodoh?” Hanan mendekat, kertas di tangannya bergemerisik. “Kalau bukan apa-apa, kenapa kamu takut untuk mengatakannya? Aku ini suami kamu. Masih nggak mau jujur?” Lelaki itu memindai dua manik Rumi bergantian, curiga ada masalah besar yang sedang
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan