Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas
Netra sehitam jelaga milik Rumi bergoyang pelan. Dia memandang Aida beberapa saat dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Setan kecil di dalam hatinya terus berbisik, bahwa dia bukan sekadar menyewakan rahim untuk Aida dan Hanan. Dia adalah istri Hanan yang memiliki hak sama seperti Aida. Namun, hati nurani Aida berteriak kencang. Aida dan Hanan menggantungkan harapan tinggi dengan menghadirkannya di tengah-tengah rumah tangga mereka. Aida hanya ingin Hanan mendapatkan keturunan dengan cara yang halal, dan dia sudah setuju untuk menjalani poligami ini.“Jika dia bertanya tentang hal itu, cukup beri dia senyum.” Kalimat itu begitu jelas terngiang, seolah Hanan sedang berbisik di telinga Rumi.Gadis berusia dua puluh tahun itu menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Rumi tersenyum, meski sesungguhnya senyum itu tidak berasal dari dalam hati. Semua dia lakukan persis seperti arahan sang suami.Sambil menahan degup jantung yang mengentak dada, Aida berusaha mem
Berita kehamilan ini adalah keajaiban bagi Aida. Sebelumnya, dia divonis menderita kelainan hormonal PCOS yang mengakibatkan dirinya sulit hamil. Namun, hari ini Tuhan sedang menunjukkan mukjizat yang tidak pernah Aida sangka sebelumnya. Wanita itu sampai gemetar, nyaris tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. Setelah mendengar beberapa penjelasan, Aida baru mengerti. Janin di dalam kandungannya telah berusia delapan minggu, dan dia tidak pernah menyadarinya selama dua bulan itu.“Alhamdulillah,” ucap Rumi seraya memeluk Aida, setelah beberapa saat membeku.Bukan hanya Aida, Rumi pun ikut terkejut mendengar berita itu. Kantong kresek berisi dua cup es krim di tangannya bahkan hampir saja terjatuh. Beruntung dia segera bisa mengendalikan diri, mengesampingkan rasa tidak nyaman di dalam hati, lalu melempar senyum dan memberi ucapan selamat kepada Aida.“Aku nggak lagi mimpi kan, Rum? Ini beneran, kan? Aku hamil, Rum.” Wanita itu menatap Rumi dengan mata berkaca-kaca.Sebuah senyuma
Keluarga besar berkumpul di ruang makan untuk merayakan kehamilan Aida. Semua terlihat bahagia, semua saling bercanda dan tertawa. Pun begitu dengan Rumi yang turut tersenyum dan tertawa ketika ada yang melempar candaan. Namun sungguh sayang, apa yang dirasakan Rumi tidak sejalan dengan yang terlihat di wajahnya. Gadis dua puluh tahun itu mati-matian bertahan di tengah keluarga demi menghormati Aida dan Hanan.“Iya, lho, Ma. Tadi Rumi sampai bela-belain beli es krim buat aku. Rasanya tuh udah mau ngiler aja pas lihat anak kecil itu makan es krim.” Aida menoleh pada Rumi yang duduk terpisah oleh kursi Hanan darinya. “Makasih, ya, Rum,” tuturnya tulus.“Sama-sama, Mbak. Aku senang kok, bisa ngelakuin sesuatu yang berguna buat Mbak Aida,” balas Rumi.Termasuk duduk seperti orang bodoh di tengah euforia ini. Gadis itu melanjutkan ucapannya di dalam hati.“Kamu harus ekstra hati-hati, ya, Da. Ingat perjuangan kalian untuk bisa menghadirkan calon buah hati ini. Jaga baik-baik kandungan kamu
Semua mata tertuju pada lelaki yang baru datang itu.“Lho, Ken, kamu datang? Tadi katanya lagi banyak kerjaan,” seloroh Rifkah pada sang putra.Tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya, Kenan mengayunkan kaki mendekat pada keluarga yang sedang berkumpul di sofa.“Bolos,” kata lelaki itu dengan entengnya. Dia berhenti di samping sofa yang diduduki oleh Aida dan Hanan, lalu menoleh pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Ciyeee! Sumringah banget mukanya,” ledek Kenan.“Iya, dong! Udah baca kan chat di grup keluarga?” sahut Hanan.Kenan memberi jawaban dengan mengedikkan bahu. Lalu dia melihat pada Aida untuk sejenak, sebelum mengambil langkah dan duduk di samping kakak iparnya tersebut.“Eh, apaan, sih?” Spontan Aida memprotes aksi Kenan yang duduk di sampingnya tanpa permisi.“Nggak boleh duduk di samping kakak ipar?” ujar Kenan sambil menaikkan sebelah alisnya.Aida berpaling muka dengan wajah cemberut.“Biarin aja, nanti juga jinak sendiri.” Hanan terkekeh sambil meremas tangan san
Rumi menutup pintu kamar lalu bersandar pada papan kayu tersebut. Gadis itu menghela napas panjang dengan mata yang terpejam. Tangan kanannya terangkat, menyentuh dada yang terasa sesak.“Apa aku cemburu?” gumamnya seraya membuka mata.Begitu cepatkah hatinya jatuh pada sosok Hanan, padahal mereka terbilang belum lama saling mengenal? Memang, Hanan adalah suaminya, tetapi Rumi merasa belum sepenuhnya menjadi istri dari lelaki tersebut. Haruskah dia melakukan sesuatu untuk mendapatkan haknya dari Hanan?“Astaghfirullahalazim.” Rumi beristighfar sambil menggelengkan kepalanya. “Nggak, Rum! Buang jauh-jauh pikiran itu! Mas Hanan dan Mbak Aida sudah baik banget sama kamu. Jangan merusak kepercayaan yang sudah mereka berikan sama kamu!” Rumi menceramahi dirinya sendiri.Gadis itu menarik napas lalu mengembuskannya dengan keras. Kakinya melangkah gontai menuju tempat tidur. Dia raba permukaan ranjang yang dingin, di mana Hanan pernah tidur di sana—ingat, hanya tidur tanpa melakukan sesuatu
Untuk sesaat, Rumi terbuai oleh kehangatan yang Hanan berikan. Lalu tiba-tiba bayangan Aida yang sedang mengelus perut melintas di kepala. Rumi mendorong dada Hanan hingga pelukan itu terlepas. Dia lantas melangkah mundur, membuat jarak dengan sang suami.Hanan mengerutkan alisnya, menatap penuh tanya pada Rumi lalu bertanya, “Kenapa?”Rumi menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam, menghindari bersitatap dengan sang suami.“Maaf, Mas,” ucap Rumi.Hanan menghela napas. “Kenapa minta maaf? Bukankah kita suami-istri?” tanyanya, menduga Rumi merasa tidak nyaman karena pelukannya.“I-iya, tapi ….” Rumi menggantung ucapannya, tak tahu harus memberi alasan apa.“Tapi apa?” desak Hanan.Rumi menggigit bibir dan jemarinya saling meremas. Apa yang dia lakukan itu spontanitas semata karena merasa bersalah pada Aida.“Sebaiknya Mas Hanan kembali ke kamar. K
Hanan panik karena tidak menemukan Rumi di kamarnya. Lelaki itu bergegas membalik badan dan pergi ke lemari pakaian Rumi. Dia buka pintu lemari itu dan memeriksa apakah pakaian sang istri masih ada di sana. Hanan khawatir jika Rumi nekat kabur dari rumah karena debat pagi tadi.“Masih ada,” gumam Hanan.Semua pakaian masih tertata rapi. Lalu, Hanan membuka pintu lemari yang satunya. Kepanikan itu kembali mendera karena dia tak menemukan tas besar berwarna hitam yang Rumi bawa saat datang ke sana. Untuk memastikan dugaannya, Hanan membuka lagi pintu lemari yang sebelumnya. Dia perhatikan baik-baik tumpukan baju itu, mencari pakaian lama Rumi yang dibawa dari panti asuhan. Pikir Hanan, Rumi hanya pergi dengan membawa apa yang dia bawa saat datang ke rumah tersebut.“Nggak ada semua,” ujar Hanan.Lelaki itu mundur satu langkah lalu menyugar rambutnya dengan frustasi. Pikiran macam-macam memenuhi kepala Hanan. Bagaimana dia harus menje
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan
“Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me
“Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali
Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul
Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.
Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid
Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat