Share

Bab 3. Aku Ikhlas

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.

Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget.

"I-iya, sebentar," sahut Rumi.

Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga.

"Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.

Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”

Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mereka, tak peduli apa pun statusnya.

“Oya, Bu Aida nyuruh saya manggil Non Rumi untuk ikut makan malam,” ujar Mbok Min sambil menunjuk arah belakang dengan ibu jarinya.

"Makan malam?" cicit Rumi.

"Iya, Non. Anggota keluarga yang lain sudah menunggu di meja makan," jelas Mbok Min.

"Oh, i-iya, Mbok. Saya akan segera ke sana," kata Rumi selanjutnya.

Gadis itu merasa canggung untuk berkumpul dengan keluarga suaminya. Rumi merasa tidak layak berada di antara orang-orang kaya itu. Namun, mau tidak mau dia harus menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah ini. Karena dia sudah setuju untuk menerima pinangan Aida.

Setelah merapikan penampilan, Rumi segera pergi ke ruang makan. Gadis itu berjalan ragu-ragu mendekat ke arah keluarga yang tengah berkumpul di sana. Masih ada orang tua Aida dan Hanan di rumah itu yang juga ikut makan malam. Sehingga membuat Rumi merasa semakin canggung dan tidak nyaman.

"Nah, itu Rumi," seloroh Aida saat melihat madunya datang.

Rumi tersenyum kaku. Gadis itu tampak kikuk dan bingung harus melakukan apa. Melihat seluruh anggota keluarga berkumpul seperti itu, membuat si gadis gemetar. Diam-diam, kedua tangan Rumi meremas bagian samping tunik yang dikenakannya. Di dalam hati, Rumi tak henti merapalkan afirmasi positif agar kakinya tidak goyah. Sungguh! Tidak lucu jika dia terjatuh karena sendi-sendi di kakinya lemas gara-gara rasa gugup. Pasti akan sangat merepotkan jika harus mengarang alasan agar kekonyolan itu terdengar masuk akal.

"Maaf, membuat kalian menunggu," ucap Rumi dengan suara pelan dan sedikit bergetar. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya Rumi berhasil membuka suara.

Aida tersenyum kecil lalu berujar, "Enggak, kok. Hanan juga belum turun. Ayo, duduk, Rum!"

Gadis itu mengangguk. Saat dia hendak melangkah, tiba-tiba saja Hanan berjalan mendahuluinya, hingga membuat gadis itu terkejut. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Rumi pun bergegas melanjutkan langkah dan duduk di kursi yang ditunjuk Aida.

Hanan duduk di kursi yang biasa dia tempati tanpa banyak bicara. Dia bahkan tidak sedikit pun menoleh pada Rumi yang duduk di kursi sebelahnya, seolah gadis itu tidak benar-benar ada di sana.

"Ambilin nasi untuk Hanan, Rum," titah Aida dengan senyum di bibirnya.

Seketika itu, Hanan melirik protes pada Aida. Tergambar raut tidak senang saat sang istri pertama meminta Rumi melayani dirinya. Namun, tatapan balasan dari Aida mampu menjinakkannya.

Rumi pun tidak menyangka bahwa Aida akan memintanya melakukan hal itu. Dia melirik pada Hanan dan melihat lelaki itu tampak tidak senang.

"Mbak Aida saja yang mengambilkannya," kata Rumi sambil tersenyum kaku. Jujur dia takut melihat raut tak bersahabat Hanan.

Aida melemaskan bahu dengan ekspresi kecewa.

"Aku kan sudah sering. Sekarang kamu yang ambilin, ya," pinta Aida dengan raut memohon.

Ingin menolak, tetapi sungkan. Ekspresi Aida membuat Rumi tidak sanggup untuk berkata “tidak”. Akhirnya, Rumi melakukan apa yang Aida perintahkan. Dia mengambil nasi untuk Hanan.

“Cukup!” kata Hanan sedikit ketus.

“Lauknya mau yang mana?” tanya Rumi takut-takut.

Hanan melepas napas keras lalu menjawab sambil menunjuk udang saus, “Itu saja.”

Rumi mengangguk lalu mengambilkan lauk untuk sang suami. Saat dia bertanya apa lagi yang Hanan inginkan sebagai lauk, gadis itu malah mendapat ucapan ketus. Sontak saja, anggota keluarga yang lain langsung menegur Hanan dan meminta Rumi mengambil makanan untuk diri sendiri.

“Jangan kasar sama istri!” tegur Rifkah—ibunya.

Hanan tidak membalas dan lebih memilih menyantap makan malam dalam diam. Percuma juga dia membela diri, karena semua jari pasti akan menunjuk kepadanya.

Selama makan malam itu, para orang tua terlihat saling pandang. Hanya Aida yang terlihat paling riang. Para orang tua tahu betul bahwa senyum yang terlukis di bibir Aida hanyalah sebuah kepalsuan. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain memberi dukungan.

Usai makan malam, Hanan dan Aida sempat berdebat tentang di mana Hanan akan tidur malam ini. Lelaki itu ingin tetap tidur bersama Aida. Namun, Aida memintanya untuk tidur bersama Rumi.

"Han, ini malam pertama kalian. Pergi ke kamar Rumi dan berikan haknya sebagai istrimu," kata Aida.

"Aku nggak bisa. Aku belum siap, Da. Bukankah kita sudah membicarakan masalah ini? Aku bersedia menikah lagi, tetapi untuk urusan itu, tunggu sampai aku siap." Hanan bersikeras menolak.

"Jangan begitu dong, Han. Itu namanya kamu nggak adil," protes Aida.

"Bukankah aku juga sudah pernah bilang kalau aku nggak yakin bisa bersikap adil?" Hanan mengungkit perdebatan mereka yang telah lalu. "Aku tahu kamu terluka, Da. Please, jangan membuatku semakin merasa bersalah," mohon lelaki itu dengan raut sedih sambil memegang kedua bahu Aida.

"I'm okay. Aku sudah memikirkan masalah ini berulang kali." Aida menurunkan tangan sang suami lalu menggenggamnya. Dia tatap kedua netra lelaki itu lekat-lekat, lalu berkata dengan senyum hangta, "Lakukan kewajiban kamu, Han. Aku ikhlas.”

Hanan balas menatap lekat-lekat kedua mata Aida. Lelaki itu meneguk ludah. Entah mengapa, senyum yang terukir di bibir istrinya terasa begitu menyayat hati. Hanan seolah tak rela untuk membiarkan istrinya tidur seorang diri. Namun, Aida terus mendesak bahkan setengah mengusirnya dari kamar. Hingga mau tak mau, lelaki itu pun pergi ke peraduan istri keduanya.

"Jangan lupa berdoa," pesan Aida pada suaminya.

Setelah itu, Aida menutup pintu. Wanita itu bersandar pada papan kayu tersebut sambil menyentuh dada. Bibirnya tampak bergetar, kala mengembuskan napas panas yang mengundang air mata untuk meleleh di pipi.

Deru napas Aida berubah semakin berat, hingga rasanya begitu tercekat. Perlahan, tubuh wanita itu merosot, bersimpuh di lantai sambil menyandarkan kepala pada pintu. Tubuhnya terasa begitu lemas dan Aida tergugu seorang diri.

Bab terkait

  • Bukan Surga Terindah   Bab 4. Kamar Istri Muda

    Pintu ditutup. Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang. "Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan. Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya. Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya. Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "ga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 5. Makmum yang Lain

    Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.Ah, Aida lupa.Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat."Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan sal

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 6. Jiwa Liar

    Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 7. Bicara Empat Mata

    Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 8. Menunggu Jandamu

    Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 9. Makan Malam yang Canggung

    Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 10. Harga Diri

    Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Surga Terindah   Bab 11. Aku Hamil

    Netra sehitam jelaga milik Rumi bergoyang pelan. Dia memandang Aida beberapa saat dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Setan kecil di dalam hatinya terus berbisik, bahwa dia bukan sekadar menyewakan rahim untuk Aida dan Hanan. Dia adalah istri Hanan yang memiliki hak sama seperti Aida. Namun, hati nurani Aida berteriak kencang. Aida dan Hanan menggantungkan harapan tinggi dengan menghadirkannya di tengah-tengah rumah tangga mereka. Aida hanya ingin Hanan mendapatkan keturunan dengan cara yang halal, dan dia sudah setuju untuk menjalani poligami ini.“Jika dia bertanya tentang hal itu, cukup beri dia senyum.” Kalimat itu begitu jelas terngiang, seolah Hanan sedang berbisik di telinga Rumi.Gadis berusia dua puluh tahun itu menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Rumi tersenyum, meski sesungguhnya senyum itu tidak berasal dari dalam hati. Semua dia lakukan persis seperti arahan sang suami.Sambil menahan degup jantung yang mengentak dada, Aida berusaha mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 37. Kertas Keramat

    Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s

  • Bukan Surga Terindah   Bab 36. Awas Bintitan!

    Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 35. Berlian

    Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 34. Pura-pura Tegar

    “Kamu yakin?” Salma menatap Rumi dengan wajah sendu.Rumi menganggukkan kepala. “Yakin, Bu,” jawabnya.Salma menghela napas panjang. Wanita itu menyentuh sisi wajah Rumi dengan lembut. Air mata meleleh dari netranya yang teduh.“Malang sekali nasib kamu, Nak,” ucapnya sedih.“Ibu jangan sedih,” kata Rumi, menyeka air mata di wajah Salma. “Ini sudah ketetapan Allah. Manusia bisa apa selain berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas? Insyaalloh aku ikhlas, Bu,” tuturnya yang membuat air mata Salma semakin deras.Wanita paruh baya itu kemudian memeluk Rumi dan mengusap punggung gadis itu dengan penuh kasih.“Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang. Rasanya Ibu yang masih belum ikhlas, kamu sakit begini, Rum,” kata wanita itu.Kanker darah memang salah satu penyakit yang memberikan kesempatan kecil bagi penderitanya untuk selamat. Sebab itu, Salma takut jika Rumi menjadi salah satu dari yang tidak memiliki kesempatan tersebut. Meski tidak sedikit pula para penyintas yang berhasil me

  • Bukan Surga Terindah   Bab 33. Vonis

    “Bu Salma,” panggil Rumi sambil mengetuk pintu kamar. Tak lama setelah itu, pintu dibuka. “Ada apa, Rum? Kok kamu belum tidur?” tanya Salma. Pasalnya waktu itu sudah pukul sebelas malam. “Boleh aku tidur sama Ibu?” tanya Rumi penuh harap. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, memberikan izin untuk Rumi tidur di kamarnya. Dengan senyum lebar, Rumi melangkahkan kakinya masuk ke kamar wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri tersebut. “Kenapa? Ada apa?” tanya Salma begitu dia menutup pintu lalu menghampiri Rumi yang duduk di tepian kasur, seolah tahu bahwa gadis itu memiliki sebuah maksud. “Kangen aja sama Ibu,” jawab Rumi sambil nyengir. Salma tertawa kecil. Wanita itu kemudian duduk di samping Rumi. “Ibu nggak percaya. Pasti ada maunya,” canda wanita itu. Rumi tertawa, tetapi terdengar hambar. Perlahan, tawa itu berubah menjadi senyuman sendu. “Aku takut, Bu,” kata Rumi selanjutnya. “Takut?” Salma mengerutkan ali

  • Bukan Surga Terindah   Bab 32. Ciuman di Pipi

    Perjalanan menuju panti asuhan berlalu cukup lama. Kemacetan melanda di saat orang-orang pulang dari rutinitasnya bekerja. Perjalanan itu semakin membosankan karena keheningan yang memisahkan Hanan dan Rumi di dalam mobil.“Kamu lapar?” tanya Hanan memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa waktu.“Hm?” Rumi berpaling, tidak fokus pada pertanyaan Hanan.Lelaki itu pun mengulang pertanyaanya dengan sabar, “Kamu lapar?”“Ehm, enggak, Mas,” jawab Rumi. Sayangnya, perut gadis itu tidak bisa diajak kerjasama. Selesai dia menjawab, perutnya mengeluarkan bunyi yang seketika membuat Rumi menyembunyikan wajahnya karena malu.Hanan berpaling ke jendela sambil melipat bibir, menahan senyum. Sejenak kemudian, dia berdehem dan menoleh lagi pada Rumi.“Kamu mau makan apa?” tanya lelaki itu kemudian.Tak ada lagi gunanya menolak. Yang ada Rumi hanya akan semakin malu karenanya.“Terserah Mas Hanan saja,” jawab gadis itu.Hanan menilik kaca spion kanan dan melihat antrean kemacetan yang mengul

  • Bukan Surga Terindah   Bab 31. Rencana Dadakan Rumi

    Meski memiliki usaha yang terbilang sukses, Hanan bukanlah orang yang super sibuk. Usaha yang dia jalankan tidak menuntutnya untuk selalu standby di tempat kerja. Kadang kala, waktunya memang habis untuk bekerja, namun tak jarang pula lelaki itu menghabiskan sebagian besar waktunya bersama sang istri di rumah.Sore ketika Hanan sedang senggang, Rumi mendatanginya. Lelaki yang tengah bersantai dengan ditemani secangkir kopi dan kue itu mengalihkan perhatian dari koran di tangan pada istri mudanya yang berdiri di hadapan. Dia tunggu-tunggu, Rumi tidak kunjung mengatakan sesuatu. Gadis tersebut berdiri kikuk dengan jari-jemari yang saling meremas.“Kenapa berdiri saja di situ? Duduk!” titah Hanan.Rumi menggigit bibir. Gadis dua puluh tahun itu kemudian melangkahkan kaki menuju kursi yang terpisah oleh sebuah meja bundar dengan Hanan.“Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Hanan setelah gadis itu duduk.

  • Bukan Surga Terindah   Bab 30. Sebelum Perdebatan Berujung Pertengkaran

    Beberapa hari tak melakukan banyak aktivitas membuat tubuh Aida terasa kaku. Wanita itu akhirnya terbebas dari penjara bedrest setelah satu minggu berlalu.“Han, kita jalan-jalan, yuk! Seminggu ini rasanya aku seperti dipenjara,” ajak Aida.Hanan mengerutkan alis. Lelaki itu mengusap kepala istrinya lalu berkata, “Sayang, biarpun kamu sudah nggak bedrest lagi, itu nggak berarti kalau kamu bisa bebas ngelakuin apa aja. Kamu harus tetap menjaga aktivitas biar nggak capek. Ini masih trimester awal. Masih rawan kalau kata dokter.”Bibir Aida mengerucut. Iya, dia tahu trimester awal masih sangat rawan, tetapi dia juga merasa bosan. Aida ingin mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran. Bukankah ibu hamil juga tidak boleh stres?“Ya kita jalan-jalannya nggak usah yang terlalu capek. Aku cuma pengin pergi ke taman. Menghirup udara segar sambil ngelihatin anak-anak kecil bermain,” rayu Aida.Hanan menatap sang istri yang tampak sangat berharap. Dia jadi kasihan melihat raut wajah istrinya, tid

  • Bukan Surga Terindah   Bab 29. Suami Dambaan Kaum Hawa

    Sudah waktunya sarapan, tetapi meja makan masih sepi. Mbok Min celingukan, melihat ke arah penghubung ruang tengah dan ruang makan. Bibir wanita itu melengkungkan senyuman tatkala melihat siluet seseorang.“Nah, akhirnya ada yang datang juga,” seloroh Mbok Min ketika melihat Rumi muncul di ruang makan.“Kenapa, Mbok?” tanya Rumi sambil mengerutkan alis.Wanita paruh baya itu tersenyum.“Enggak, Non. Ini lho, saya nunggu dari tadi kok nggak ada yang datang. Biasanya jam segini sudah pada ngumpul buat sarapan,” jawab asisten rumah tangga itu. “Oh,” balas Rumi sambil tersenyum tipis lantas mengalihkan pandang pada meja makan yang masih kosong. “Mungkin masih siap-siap, Mbok,” lanjutnya seraya menarik sebuah kursi. Rumi memang sengaja turun pada waktu yang mepet dengan sarapan untuk menghindari terlalu banyak berinteraksi dengan Hanan.Tepat setelah itu, Hanan muncul. Rumi yang sempat berpaling pun cepat-cepat menundukkan pandangan. Jantung di dalam dadanya berdegup tak keruan, teringat

DMCA.com Protection Status