Acara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat itu selesai setelah jamuan makan. Satu persatu, tamu meninggalkan kediaman Hanan Pramudya, pengusaha kuliner yang baru saja resmi beristri dua itu.
"Han, nanti aku pulang ke rumah Mama dulu, ya. Besok aku kembali lagi ke sini.” Aida meminta izin pada suaminya.
Mendengar ucapan itu, Hanan berpaling dengan tatapan protes. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Setelah memintanya untuk menikahi wanita lain, Aida malah akan pergi ke rumah orang tuanya.
"Nggak! Kamu tetap di sini!" larang Hanan. Lelaki itu paham, apa tujuan sang istri mengungsi ke rumah orang tuanya.
"Tapi, Han. Ini adalah hari pertama kamu dan Rumi menikah. Aku nggak mau ganggu malam pertama kalian. Kamu ingat tujuan pernikahan ini, kan?" tutur Aida sambil memiringkan kepala dengan sudut bibir yang terangkat.
Lisan Aida memang bisa mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Namun, percayalah bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan berakting yang luar biasa. Senyum di bibirnya adalah sandiwara semata. Jangankan melontar kata, membayangkan malam pertama antara Hanan dan Rumi saja sudah berhasil mengoyak hati Aida. Bayangan sang suami yang akan berbagi ranjang dengan wanita lain, adalah momen kelam yang tidak ingin dia rekam dalam ingatan. Karena itu pula, Aida berniat untuk menginap di rumah orang tuanya.
"Kalau kamu mau ke sana, aku akan pergi sama kamu!" ujar Hanan dengan netra mengarah lurus pada kedua manik istrinya.
"Han–"
"Cukup!" Hanan mengangkat telapak tangan. "Aku ini suami kamu, Da. Kalau aku bilang enggak, ya enggak!" tegasnya.
Lelaki itu merasa kesal pada Aida. Memang sekarang status Rumi sudah sah menjadi istrinya. Namun maaf, untuk menjalankan kewajiban sebagai suami di malam pertama mereka, Hanan merasa belum siap. Lelaki itu tidak sampai hati melukai perasaan sang istri pertama.
Aida menundukkan kepala dengan raut kecewa. Jika suaminya melarang, dia bisa apa? Mau tidak mau, Aida harus mengurungkan niat untuk menginap di rumah sang ibu.
"Ya sudah, aku mau kasih tahu Mama dulu kalau aku nggak jadi menginap di sana," kata Aida dengan nada lesu.
Masih dengan raut kesal, Hanan mengangguk kecil dan membiarkan istrinya pergi. Lelaki itu lantas membalik badan dan tak sengaja melihat Rumi yang masih mengenakan kebaya putih, baru saja muncul dari arah dapur.
Gadis muda itu terlihat canggung dan sedikit bingung. Jika boleh jujur, Rumi sudah gerah memakai kebaya tersebut. Namun, dia tidak tahu di mana dia bisa membersihkan diri dan berganti pakaian. Parahnya lagi, Rumi tidak tahu di mana tas pakaian yang kemarin malam dia bawa dari panti asuhan itu disimpan.
"Kenapa kamu masih pakai kebaya itu?" tegur Hanan sedikit ketus.
Sebenarnya, lelaki itu tidak bermaksud kasar. Hanya saja, rasa kesal terhadap Aida membuat nada bicaranya terbawa tinggi saat menegur istri barunya.
Rumi bahkan tak berani bersitatap dengan sang suami. Gadis itu mengarahkan pandang pada kaki Hanan dengan perasaan yang tidak keruan.
"Saya ... tidak tahu di mana Bu Salma menaruh tas pakaian saya, Pak," jawab Rumi yang terdengar kaku dan sedikit menggelikan.
Hanan menghela napas keras mendengar cara Rumi berbicara, apalagi cara gadis itu memanggil dirinya.
"Tas kamu ada di kamar itu," ujar Hanan seraya menunjuk kamar tamu yang ada di dekat tangga. "Tenang saja. Itu hanya kamar sementara. Nanti kalau rumah sudah beres, kamu bisa menempati kamar yang di atas," imbuhnya datar.
Menilik pintu kamar yang tertutup rapat di samping kanan tangga, Rumi lantas menganggukkan kepala. Tidak masalah kamar mana yang akan dia tempati, asalkan dia diperlakukan dengan baik di rumah ini.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya permisi," ucap Rumi atas informasi yang Hanan beri.
Gadis itu segera mengayun kaki untuk meninggalkan sang suami. Namun, suara Hanan membuat langkah kaki Rumi terhenti. Gadis itu pun memutar badan, menunggu apa yang hendak Hanan ucapkan.
"Kalau ngomong sama aku tuh biasa saja. Nggak usah kaku begitu. Dan satu lagi," kata Hanan yang sengaja menjeda ucapannya, "jangan panggil aku 'Pak'. Aku suami kamu, bukan bapak kamu," tandas lelaki itu.
Rumi melongo melihat Hanan yang langsung memutar badan dan meninggalkannya usai berkata demikian. Gadis itu pun bertanya-tanya di dalam hati, apakah Hanan marah karena dipanggil "Pak"?
"Lalu aku harus memanggilnya apa?" gumam Rumi sambil menggaruk kepala.
Mengesampingkan masalah panggilan untuk Hanan, Rumi lantas pergi ke kamar yang dimaksud sang suami. Dia menarik tas pakaian yang ada di atas ranjang lalu membukanya. Dia ambil satu setel pakaian ganti yang modelnya sudah ketinggalan zaman. Jujur saja, Rumi merasa khawatir jika penampilannya akan membuat keluarga itu malu.
Rumi mendudukkan diri di tepi ranjang. Lalu, dia edarkan pandangan ke sekitar. Semalam dia masih bisa bercerita panjang lebar dengan Salma–Ibu pantinya. Namun, usai acara ijab qabul, Salma harus segera kembali ke panti asuhan karena ada acara lain yang harus dihadiri. Pikiran Rumi pun berkelana, membayangkan apa yang akan terjadi padanya malam nanti.
Tetiba saja jantung Rumi berdegup kencang. Telapak tangannya yang menggenggam pakaian, terasa sedingin es. Gadis itu menggigit bibir, memikirkan bagaimana dia akan melakukan malam pertamanya dengan sang suami. Orang-orang bilang, pertama kali melakukannya akan terasa sakit, dan doktrin itu berhasil membuat Rumi merasa gelisah setengah mati.
Rumi tidak akan lupa dengan kata-kata Aida waktu melamar dirinya untuk sang suami.
"Menikahlah dengan suamiku dan berikan keturunan untuknya."
Itu adalah kalimat yang tak akan pernah Rumi lupakan. Gadis itu bahkan sempat berpikir, bahwa setelah nanti dia berhasil memberikan anak untuk Hanan, dia akan segera diceraikan. Sehingga, makin cepat mereka berhubungan badan, akan semakin cepat pula ikatan ini terlepas.
Namun sayangnya, yang Aida pikirkan tidak sejalan dengan yang ada dalam kepala Rumi. Aida ingin mereka mengasuh anak tersebut bersama-sama.
"Menikah itu sama artinya dengan kita tanda tangan kontrak sama Allah. Nggak boleh dimain-mainin. Jika kamu mau menikah dengan Hanan, maka kita akan menjalani rumah tangga ini bersama-sama." Begitulah yang dikatakan Aida.
Rumi menggeleng kepala, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang menghampirinya. Dia lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap dengan begitu otaknya bisa berpikir dengan jernih.
Tepat saat Rumi baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar pintu kamarnya diketuk. Dengan sedikit kepayahan, Rumi meneguk saliva. Gadis itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, mencari keberadaan jam dinding dalam ruangan tersebut.
"Seprtinya masih sore. Apa iya Pak Hanan sudah mau melakukannya?" gumam Rumi dengan perasaan gugup sambil menggenggam erat handuk di tangan.
Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget."I-iya, sebentar," sahut Rumi.Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga."Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mere
Pintu ditutup. Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang. "Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan. Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya. Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya. Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "ga
Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.Ah, Aida lupa.Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat."Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan sal
Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid
Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri
Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis
Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena
Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas
Aida berdiri di balik dinding ruang tamu, tubuhnya setengah tersembunyi. Dia memegang perutnya yang mulai membesar dengan tangan gemetar. Di depan sana, Hanan dan Rumi duduk di sofa. Wajah Hanan penuh perhatian, menatap Rumi seolah gadis itu sangat rapuh dan mudah hancur.“Mas, nanti aku pergi sendiri saja, ya, ke pantinya,” suara Rumi terdengar lemah, tetapi ada nada manja di dalamnya.Awal pekan depan, Rumi akan mulai menjalani kemoterapi, setelah dibujuk berkali-kali. Hanan berjanji akan mengupayakan pengobatan yang maksimal untuk Rumi.“Nggak boleh.” Hanan melarang dengan tegas. “Aku akan antar kamu.”“Tapi, Mas—”“Kenapa? Aida?” potong Hanan, mendelik pada Rumi. “Kamu nggak perlu mencemaskan Aida. Dia akan baik-baik saja di rumah. Lagipula, aku pergi juga enggak lama.”Rumi tampak hendak berbicara lagi, tetapi Hanan langsung menempelkan telunjuknya di bibir Rumi.“Aku suami kamu. Aku harus memastikan semua berjalan dengan baik.” Hanan meraih jemari Rumi dan meremasnya dengan lemb
"Aida!" Suara itu mengalihkan atensi Aida dan Kenan.Aida menengok ke arah sumber suara, terkejut melihat Hanan berdiri beberapa meter darinya. Wajah Hanan memerah, tatapannya tajam, tetapi sulit dibaca—marah, cemas, atau mungkin keduanya."Kamu ngapain di sini, Da? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Tahu nggak, aku nyariin kamu ke mana-mana," lanjut Hanan, langkahnya semakin mendekat.Sebelum Aida bisa menjawab, Kenan sudah berdiri, pasang badan untuk sang mantan. Dia tersenyum santai, lalu berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Hei, santai, Han. Nggak usah marah-marah. Kan nggak lucu kalau lo lebih cepet tua daripada gue” Kenan terkekeh sebentar. “Gue yang ngajak Aida ke sini.”Hanan mengalihkan atensi pada Kenan. Dia terlalu khawatir pada Aida, sehingga tidak memperhatikan jika Kenan ada di sana. Lelaki itu mengusap wajah lalu menghela napas lelah.“Lo?” Suara Hanan sedikit rendah.“Tadi gue ke rumah. Gue lihat bini lo bete gitu. Makanya gue inisiatif ajak dia keluar.” Ken
Aida berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil menuju taman yang tak jauh dari rumah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kehamilannya, melainkan beban pikiran yang terus menghantui. Beberapa waktu yang lalu, Hanan bilang padanya akan membawa Rumi ke rumah sakit karena madunya itu sedang sakit. Aida tak memiliki pilihan selain membiarkan mereka pergi. Dan begitu mobil Hanan meninggalkan halaman, Aida memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar untuk melupakan segala pikiran buruk yang coba menguasainya.Sesampainya di taman, Aida duduk di bangku kayu yang menghadap lapangan. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain layang-layang terdengar riang. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipinya, membawa aroma rumput yang basah. Dia menarik napas dalam, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikiran.“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” pikirnya, menggenggam erat kedua tangannya. “Bukankah ini semua adalah pilihanku?”Namun, logik
Taman kecil di samping rumah yang Rumi rawat kini menjadi pemandangan yang apik untuk dinikmati, tetapi suasana hati Aida tidak sejalan dengan keindahannya sama sekali. Kehamilan yang semakin besar, membuat setiap langkahnya terasa berat. Namun, bukan hanya tubuhnya yang terasa lelah. Jiwanya pun ikut terkikis oleh pergolakan yang sulit dia ceritakan kepada siapa pun.Aida duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar-putar memikirkan perubahan sikap Hanan akhir-akhir ini. Perhatian lelaki itu terhadap Rumi begitu kentara. Aida mencoba menguatkan hati. Dia tidak boleh cemburu, tidak boleh merasa tersisih. Bukankah dia sendiri yang meminta Hanan untuk menikahi Rumi?Namun, bayangan-bayangan kecil tak henti menyerangnya. Tatapan lembut Hanan kepada Rumi, perhatian yang tak pernah putus—semua itu terasa seperti belati yang perlahan mengiris hati.“Hanan ... aku kangen sama kamu yang dulu,” gumamnya pelan sambil mengelus perut yang mulai membesar
Pagi itu terasa lebih sunyi dibanding biasanya. Di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa seperti dulu. Hanan duduk di ujung meja, wajahnya tegang, tampak banyak pikiran. Rumi, yang duduk di sebelah kanan, sesekali melirik ke arah Hanan, tetapi langsung menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Sementara itu, Aida, dengan tatapan kosong, memandangi sarapannya yang hampir tak tersentuh.Aida meneguk air putihnya perlahan. Dia memaksakan diri untuk tetap terlihat tenang, meski hatinya bergolak. Matanya mencuri pandang ke arah Hanan yang menyendok makanan, lalu ke Rumi yang tampak gelisah. Perasaan tidak nyaman menyusup di dadanya.“Aida, kamu tahu ini akan terjadi,” batinnya mencoba menghibur diri. “Dia adalah bagian dari pernikahan ini. Kamu tidak berhak cemburu.”Namun, keyakinan itu tidak cukup untuk meredam rasa sakit di hatinya. Tatapan Hanan kepada Rumi—entah mengapa—terasa berbeda pagi ini. Lebih dalam,
Hanan berdiri tegak di tengah kamar, kertas berkop rumah sakit tergenggam erat di tangannya. Mata lelaki itu menatap Rumi dengan tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Di hadapannya, Rumi tampak tergagap, membuka dan menutup mulut tanpa suara. Wajahnya memucat, seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar.“Rumi, jelaskan padaku. Apa ini?” Nada suara Hanan rendah, tetapi tegas.Gadis itu mengalihkan pandangan, matanya yang basah bergerak liar mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, tak ada tempat untuk bersembunyi. “Itu … itu bukan apa-apa, Mas. Tolong kembalikan!” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Dia berusaha meraih kertas dari tangan Hanan, namun lelaki itu langsung menghindar.“Bukan apa-apa? Kamu pikir aku bodoh?” Hanan mendekat, kertas di tangannya bergemerisik. “Kalau bukan apa-apa, kenapa kamu takut untuk mengatakannya? Aku ini suami kamu. Masih nggak mau jujur?” Lelaki itu memindai dua manik Rumi bergantian, curiga ada masalah besar yang sedang
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan