Beranda / Romansa / Bukan Surga Terindah / Bab 2. Menikah demi Keturunan

Share

Bab 2. Menikah demi Keturunan

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-30 11:13:39

Acara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat itu selesai setelah jamuan makan. Satu persatu, tamu meninggalkan kediaman Hanan Pramudya, pengusaha kuliner yang baru saja resmi beristri dua itu.

"Han, nanti aku pulang ke rumah Mama dulu, ya. Besok aku kembali lagi ke sini.” Aida meminta izin pada suaminya.

Mendengar ucapan itu, Hanan berpaling dengan tatapan protes. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Setelah memintanya untuk menikahi wanita lain, Aida malah akan pergi ke rumah orang tuanya.

"Nggak! Kamu tetap di sini!" larang Hanan. Lelaki itu paham, apa tujuan sang istri mengungsi ke rumah orang tuanya.

"Tapi, Han. Ini adalah hari pertama kamu dan Rumi menikah. Aku nggak mau ganggu malam pertama kalian. Kamu ingat tujuan pernikahan ini, kan?" tutur Aida sambil memiringkan kepala dengan sudut bibir yang terangkat.

Lisan Aida memang bisa mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Namun, percayalah bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan berakting yang luar biasa. Senyum di bibirnya adalah sandiwara semata. Jangankan melontar kata, membayangkan malam pertama antara Hanan dan Rumi saja sudah berhasil mengoyak hati Aida. Bayangan sang suami yang akan berbagi ranjang dengan wanita lain, adalah momen kelam yang tidak ingin dia rekam dalam ingatan. Karena itu pula, Aida berniat untuk menginap di rumah orang tuanya.

"Kalau kamu mau ke sana, aku akan pergi sama kamu!" ujar Hanan dengan netra mengarah lurus pada kedua manik istrinya.

"Han–"

"Cukup!" Hanan mengangkat telapak tangan. "Aku ini suami kamu, Da. Kalau aku bilang enggak, ya enggak!" tegasnya.

Lelaki itu merasa kesal pada Aida. Memang sekarang status Rumi sudah sah menjadi istrinya. Namun maaf, untuk menjalankan kewajiban sebagai suami di malam pertama mereka, Hanan merasa belum siap. Lelaki itu tidak sampai hati melukai perasaan sang istri pertama.

Aida menundukkan kepala dengan raut kecewa. Jika suaminya melarang, dia bisa apa? Mau tidak mau, Aida harus mengurungkan niat untuk menginap di rumah sang ibu.

"Ya sudah, aku mau kasih tahu Mama dulu kalau aku nggak jadi menginap di sana," kata Aida dengan nada lesu.

Masih dengan raut kesal, Hanan mengangguk kecil dan membiarkan istrinya pergi. Lelaki itu lantas membalik badan dan tak sengaja melihat Rumi yang masih mengenakan kebaya putih, baru saja muncul dari arah dapur.

Gadis muda itu terlihat canggung dan sedikit bingung. Jika boleh jujur, Rumi sudah gerah memakai kebaya tersebut. Namun, dia tidak tahu di mana dia bisa membersihkan diri dan berganti pakaian. Parahnya lagi, Rumi tidak tahu di mana tas pakaian yang kemarin malam dia bawa dari panti asuhan itu disimpan.

"Kenapa kamu masih pakai kebaya itu?" tegur Hanan sedikit ketus.

Sebenarnya, lelaki itu tidak bermaksud kasar. Hanya saja, rasa kesal terhadap Aida membuat nada bicaranya terbawa tinggi saat menegur istri barunya.

Rumi bahkan tak berani bersitatap dengan sang suami. Gadis itu mengarahkan pandang pada kaki Hanan dengan perasaan yang tidak keruan.

"Saya ... tidak tahu di mana Bu Salma menaruh tas pakaian saya, Pak," jawab Rumi yang terdengar kaku dan sedikit menggelikan.

Hanan menghela napas keras mendengar cara Rumi berbicara, apalagi cara gadis itu memanggil dirinya.

"Tas kamu ada di kamar itu," ujar Hanan seraya menunjuk kamar tamu yang ada di dekat tangga. "Tenang saja. Itu hanya kamar sementara. Nanti kalau rumah sudah beres, kamu bisa menempati kamar yang di atas," imbuhnya datar.

Menilik pintu kamar yang tertutup rapat di samping kanan tangga, Rumi lantas menganggukkan kepala. Tidak masalah kamar mana yang akan dia tempati, asalkan dia diperlakukan dengan baik di rumah ini.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya permisi," ucap Rumi atas informasi yang Hanan beri.

Gadis itu segera mengayun kaki untuk meninggalkan sang suami. Namun, suara Hanan membuat langkah kaki Rumi terhenti. Gadis itu pun memutar badan, menunggu apa yang hendak Hanan ucapkan.

"Kalau ngomong sama aku tuh biasa saja. Nggak usah kaku begitu. Dan satu lagi," kata Hanan yang sengaja menjeda ucapannya, "jangan panggil aku 'Pak'. Aku suami kamu, bukan bapak kamu," tandas lelaki itu.

Rumi melongo melihat Hanan yang langsung memutar badan dan meninggalkannya usai berkata demikian. Gadis itu pun bertanya-tanya di dalam hati, apakah Hanan marah karena dipanggil "Pak"?

"Lalu aku harus memanggilnya apa?" gumam Rumi sambil menggaruk kepala.

Mengesampingkan masalah panggilan untuk Hanan, Rumi lantas pergi ke kamar yang dimaksud sang suami. Dia menarik tas pakaian yang ada di atas ranjang lalu membukanya. Dia ambil satu setel pakaian ganti yang modelnya sudah ketinggalan zaman. Jujur saja, Rumi merasa khawatir jika penampilannya akan membuat keluarga itu malu.

Rumi mendudukkan diri di tepi ranjang. Lalu, dia edarkan pandangan ke sekitar. Semalam dia masih bisa bercerita panjang lebar dengan Salma–Ibu pantinya. Namun, usai acara ijab qabul, Salma harus segera kembali ke panti asuhan karena ada acara lain yang harus dihadiri. Pikiran Rumi pun berkelana, membayangkan apa yang akan terjadi padanya malam nanti.

Tetiba saja jantung Rumi berdegup kencang. Telapak tangannya yang menggenggam pakaian, terasa sedingin es. Gadis itu menggigit bibir, memikirkan bagaimana dia akan melakukan malam pertamanya dengan sang suami. Orang-orang bilang, pertama kali melakukannya akan terasa sakit, dan doktrin itu berhasil membuat Rumi merasa gelisah setengah mati.

Rumi tidak akan lupa dengan kata-kata Aida waktu melamar dirinya untuk sang suami.

"Menikahlah dengan suamiku dan berikan keturunan untuknya."

Itu adalah kalimat yang tak akan pernah Rumi lupakan. Gadis itu bahkan sempat berpikir, bahwa setelah nanti dia berhasil memberikan anak untuk Hanan, dia akan segera diceraikan. Sehingga, makin cepat mereka berhubungan badan, akan semakin cepat pula ikatan ini terlepas.

Namun sayangnya, yang Aida pikirkan tidak sejalan dengan yang ada dalam kepala Rumi. Aida ingin mereka mengasuh anak tersebut bersama-sama.

"Menikah itu sama artinya dengan kita tanda tangan kontrak sama Allah. Nggak boleh dimain-mainin. Jika kamu mau menikah dengan Hanan, maka kita akan menjalani rumah tangga ini bersama-sama." Begitulah yang dikatakan Aida.

Rumi menggeleng kepala, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang menghampirinya. Dia lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap dengan begitu otaknya bisa berpikir dengan jernih.

Tepat saat Rumi baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar pintu kamarnya diketuk. Dengan sedikit kepayahan, Rumi meneguk saliva. Gadis itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, mencari keberadaan jam dinding dalam ruangan tersebut.

"Seprtinya masih sore. Apa iya Pak Hanan sudah mau melakukannya?" gumam Rumi dengan perasaan gugup sambil menggenggam erat handuk di tangan.

Bab terkait

  • Bukan Surga Terindah   Bab 3. Aku Ikhlas

    Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget."I-iya, sebentar," sahut Rumi.Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga."Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mere

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-30
  • Bukan Surga Terindah   Bab 4. Kamar Istri Muda

    Pintu ditutup. Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang. "Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan. Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya. Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya. Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "ga

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-30
  • Bukan Surga Terindah   Bab 5. Makmum yang Lain

    Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.Ah, Aida lupa.Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat."Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan sal

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-30
  • Bukan Surga Terindah   Bab 6. Jiwa Liar

    Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-22
  • Bukan Surga Terindah   Bab 7. Bicara Empat Mata

    Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-24
  • Bukan Surga Terindah   Bab 8. Menunggu Jandamu

    Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-27
  • Bukan Surga Terindah   Bab 9. Makan Malam yang Canggung

    Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-30
  • Bukan Surga Terindah   Bab 10. Harga Diri

    Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-01

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 83. Bahagia dalam Cara yang Berbeda

    Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany

  • Bukan Surga Terindah   Bab 82. Ikhlas yang Sesungguhnya

    “Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet

  • Bukan Surga Terindah   Bab 81. Dari Hanan untuk Rumi

    Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal

  • Bukan Surga Terindah   Bab 80. Pecah

    Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 79. Cahaya dalam Gelap

    Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“

  • Bukan Surga Terindah   Bab 78. Keputusan Berat

    Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja

  • Bukan Surga Terindah   Bab 77. Suara yang Menenangkan

    Rumi perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, tetapi dia bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya. Ruangan tempat dia berada kini lebih tenang dibandingkan saat di ICU. Dia tahu dirinya telah dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi tubuhnya masih terasa sangat lemah. Alat bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Bibir kering itu bergerak samar, ketika mendengar suara yang begitu menenangkan.Perhatian Rumi tertuju pada suara yang mengalun di dekatnya. Pelan, merdu, dan penuh ketulusan. Rumi mencoba memfokuskan pendengarannya. Itu suara Hanan yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.Rumi terdiam, membiarkan setiap kata masuk ke dalam hatinya. Perasaan tenang yang sudah lama hilang tiba-tiba kembali. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. Ada banyak beban yang membuat dadanya terasa begitu sesak, dan suara Hanan seakan perlahan meruntuhkannya.Hanan menutup mushaf yang dia baca, menyelesaikan ayat terakhirnya. Ketika dia menoleh, dia terkejut melihat Rumi

  • Bukan Surga Terindah   Bab 76. Maira

    Hanan menyesap kopi sambil menatap Kenan yang duduk di depannya dengan sikap santai. Restoran kecil itu hampir kosong, memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Hanan sudah memulai pembicaraan dengan ucapan terima kasih, tetapi kini dia menggenggam cangkir kopinya lebih erat.“Gue benar-benar berterima kasih sama lo, Ken,” kata Hanan dengan suara pelan, tetapi tegas. “Lo sudah banyak bantu gue selama Aida dirawat.”Kenan mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Nggak perlu dibahas. Gue Cuma nggak tega bini lo ngadepin masa sulit begini sendiri. Sementara lo sibuk sama bini muda lo.”“Rumi kolaps, Ken,” sahut Hanan.“Iya, gue tahu.” Kenan membalas dengan santai, lalu menyesap kopinya.Hanan menghela napas berat. “Gue nggak tahu gimana jadinya kalau lo nggak ada. Rumi kolaps, Aida lahiran prematur. Gue kayak lagi jalan di jembatan siratal mustaqim.” Dia terlihat menyesal.Kenan mengangkat pandangan, melihat Hanan yang terlihat kacau. Dia kasihan, tapi juga kesa

  • Bukan Surga Terindah   Bab 75. Cinta Masa Lalu

    Kenan melangkah masuk ke sebuah ruangan dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya. Tatapan matanya segera tertuju pada bayi mungil yang baru saja selesai disusui oleh Aida.“Boleh aku gendong dia?” tanya lelaki itu sambil mengangkat sedikit tangannya.Aida menatap Kenan sebentar, ragu sebab bayinya membutuhkan perlakuan khusus, tak seperti bayi pada umumnya. Mata Aida melirik perawat, dan perawat itu memberikan senyum sebagai respons, lalu dia mengangguk pelan pada Kenan.“Sebentar saja, ya,” kata perawat.Kenan tak mampu menyembunyikan senyumnya. Dia mengangguk dengan antusias. Perawat yang berada di ruangan itu membantu memindahkan bayi perempuan Aida ke tangan Kenan dengan hati-hati.Kenan memandang bayi itu dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Tubuh mungil itu bergerak sedikit di pelukannya, membuat Kenan tersenyum lebih lebar. “Lucu banget, sih,” gumamnya sambil mengusap pelan pipi bayi itu dengan jari telunjuknya.Aida memperhatikan dari tempat tidur. Pemandangan itu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status