Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.
Ah, Aida lupa.
Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.
Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat.
"Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.
Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan salat malam.
Cukup lama, Aida tenggelam dalam doa, memohon untuk dikuatkan hatinya. Aida tak beranjak dari sajadah, hingga adzan subuh berkumandang. Bibirnya tak henti melafalkan zikir sebagai tameng untuk menghindari bisikan setan yang dapat melemahkan hatinya.
Persis setelah adzan subuh berhenti berkumandang, wanita itu menoleh ke arah pintu. Lagi-lagi hatinya tercubit, saat sebuah harap tumbuh di dalam hati bahwa lelaki yang biasa menjadi imamnya itu akan muncul dari sana.
"Sekarang bukan aku saja makmumnya," lirih Aida dengan nada getir.
Wanita itu menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Setelah beristigfar beberapa kali, Aida lantas melaksanakan salat subuh seorang diri.
Selesai salat, Aida keluar dari kamar. Dia butuh kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya dari Hanan. Memasak sarapan adalah pilihan Aida. Wanita itu pergi ke dapur dan menyibukkan diri di sana.
"Lho, Bu Aida kenapa di sini?" Mbok Min tergopoh-gopoh mendekat. "Biar saya saja, Bu," imbuhnya seraya mengulurkan tangan untuk mengambil alih pekerjaan Aida.
Sebenarnya bukan sekali dua kali, Aida memasak bersama Mbok Min. Hanya saja, Mbok Min merasa ada yang tidak biasa dari sang Nyonya. Beberapa hari terakhir, Aida begitu sibuk mengurus segala keperluan pernikahan Hanan. Tenaga dan pikiran pasti terkuras, hingga akhirnya terlaksana acara dengan lancar seperti kemarin. Dan dalam kondisi lelah seperti itu, biasanya Aida menyerahkan semua urusan rumah tangga pada asisten. Akan tetapi, pagi ini Aida sudah terlihat menyibukkan diri dengan pisau dan daging.
"Nggak apa-apa, Mbok. Hari ini aku pengin masak menu spesial," kata Aida sambil tersenyum lebar, menutupi batinnya yang gusar.
Mbok Min ikut tersenyum, tetapi batin wanita paruh baya itu merasakan keprihatinan terhadap sikap Aida. Dia merasa kasihan, tetapi takut untuk mengungkapkan.
"Ibu mau masak daging?" Mbok Min melihat daging sapi yang masih terbungkus plastik di atas meja pantry. "Mau dimasak apa, Bu? Biar saya bantu."
"Umh, mending Mbok Min ngerjain yang lain aja, deh. Urusan dapur biar aku yang handle," titah Aida.
"Tapi, Bu–"
"Sudah, Mbok Min nyuci atau ngerjain apa kek. Biar nggak makan gaji buta," tukas Aida tak serius.
Sungguh, Aida butuh sesuatu yang membuatnya sibuk hingga tak sempat memikirkan hal selain apa yang dia kerjakan. Sebab itulah, dia meminta Mbok Min agar tidak membantunya.
Mbok Min pun tidak berani membantah. Wanita itu segera pamit meninggalkan dapur dan mengambil pekerjaan yang lain.
Di tengah-tengah aktivitasnya menyiapkan sarapan, Aida dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Sebuah suara telah berhasil merusak benteng yang susah payah Aida bangun di dalam benaknya.
"Sibuk banget Nyonya Rumah yang satu ini," selorohnya.
Aida terkejut hingga nyaris saja jarinya teriris pisau. Wanita itu memutar badan dan melihat Kenan berjalan ke arahnya dengan senyum mengejek yang sangat menyebalkan.
"Ngapain kamu masih di sini? Bukannya kamu–"
"Sudah pulang?" potong Kenan sambil mendengkus pelan.
Aida berpaling muka dengan bola mata yang berotasi jengah. Aida benci mengakui, tetapi memang tebakan Kenan tepat seperti apa yang dia pikirkan. Sejak meninggalkan lelaki itu di ruangan kemarin, Aida tidak lagi melihat sang adik ipar. Bahkan ketika keluarga berkumpul untuk makan malam, Kenan juga tidak terlihat batang hidungnya. Aida mengira bahwa lelaki itu sudah pulang. Sampai dia melihat Kenan muncul lagi di dapurnya.
Kenan tersenyum miring, menatap Aida yang enggan melihat padanya. Lalu, pandangan Kenan turun pada bahan makanan yang sedang disiapkan oleh wanita itu.
"Tongseng sapi. Ah, makanan paling favorit. Apalagi kalau yang masak kamu," seloroh Kenan.
Aida menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Sekali lagi tebakan Kenan benar. Dia memang ingin memasak tongseng sapi. Entah bagaimana lelaki itu berhasil menerkanya.
"Ken, mending kamu keluar, deh. Jangan ganggu aku, atau aku panggil Hanan ke sini," usir Aida sembari mengancam si lelaki.
Kenan mendengkus lalu menahan tawa dengan cara melipat bibir. Ancaman Aida membuatnya merasa geli.
"Panggil saja," tantang lelaki itu setelahnya. Kenan menarik sudut bibir ke bawah seraya mengedikkan bahu tak acuh. "Aku nggak yakin dia bakal ke sini. Bukankah dia lagi sama istri mudanya?" lanjut lelaki itu.
"Kamu!" Aida menggeram dengan bibir menipis. Ucapan Kenan benar-benar menguras kesabarannya. Dalam sekejap saja, gusar dan gelisah itu telah berganti dengan rasa kesal dan marah.
Senyum serupa seringai licik, terukir di sudut bibir Kenan. Melangkah semakin dekat pada Aida, lelaki itu lantas berkata, "Kasihan sekali mantan pacarku ini."
Aida mundur satu langkah. Dia acungkan pisau daging di tangannya untuk memberi peringatan pada Kenan agar tidak berbuat macam-macam padanya.
"Jangan mendekat! Aku nggak butuh pendapat kamu. Jadi mending sekarang kamu pergi dari sini atau aku bakal teriak!" ancam Aida dengan tangan yang samar-samar tampak gemetar.
Ancaman itu sama sekali tidak membuat Kenan gentar. Lelaki itu justru tertawa, seolah yang dilakukan Aida ini adalah hal yang sangat menggemaskan.
"Teriak saja, kalau kamu mau teriak." Kenan mengikis jarak, mendesak Aida untuk mundur mengikuti ritme langkahnya.
"Mau apa kamu?" hardik Aida dengan suara bergetar, berusaha terlihat berani dan tegar.
Langkah Kenan tidak berhenti. Lelaki itu terus mendesak Aida untuk mundur, hingga punggung wanita itu membentur pintu lemari es di belakangnya. Baru pada saat itu, Kenan berhenti melangkah. Lelaki itu menyelipkan tangan di saku celana dengan dua sudut bibir yang terangkat.
"Kamu mau tahu, apa mauku?" Kenan menatap dua manik Aida lekat-lekat.
Aida mulai panik. Dia tidak memungkiri bahwa tatapan elang Kenan terasa begitu mengintimidasi. Aida menyapu bibir dengan lidah, lantas meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Jantung di dalam dada Aida berdentum-dentum cepat, membuat wanita itu khawatir bahwa Kenan akan mendengar setiap detaknya.
"Aku mau ...." Kenan mengangkat sebelah tangan dan mengarahkannya ke wajah Aida. Hingga membuat wanita itu spontan berpaling muka sembari memejamkan mata.
Kelopak mata Aida terpejam rapat. Ketakutan yang menguasai dirinya membuat raga wanita itu mengerut saat indra penciumannya menghidu aroma parfum dari tubuh Kenan dari jarak yang begitu dekat. Dalam hati, Aida memanggil nama sang suami. Berharap Hanan akan datang dan menyelamatkan dirinya dari sang adik ipar. Demi Allah! Meski Aida dan Kenan pernah terlibat hubungan, wanita itu sudah mengubur dalam-dalam semua kenangan manis di antara mereka. Hati Aida hanya untuk Hanan. Titik! "Aku mau … minum," bisik Kenan, sengaja mengucapkannya dengan lambat persis di samping telinga Aida. Seketika, wanita itu membuka mata seraya memutar kepala. Dia lihat Kenan melangkah mundur sambil tersenyum miring, mengejek dirinya. Di tangan lelaki itu ada sebuah gelas kosong yang baru saja diambil dari rak. "Muka kamu merah, gemesin banget," seloroh Kenan sambil tersenyum geli kala melihat reaksi Aida. Buru-buru wanita itu memalingkan wajah. Aida malu. Dia pikir, Kenan hendak melakukan hal yang tidak-tid
Senyum miring Kenan menyapa indra penglihatan Rumi. Sejak kapan lelaki itu ada di sana?"Bukannya kamu mau ke dapur? Kenapa pergi lagi?" Kenan mengangkat kedua alis, menunggu jawaban Rumi yang tak kunjung dia dengar.Rumi membasahi bibir dengan iris mata yang bergoyang gusar. Gadis itu menundukkan pandangan sembari mencari jawaban yang paling masuk akal."Emh ... saya ...." Rumi menggigit bibir. Entah mengapa otaknya kali ini begitu lamban bekerja. Hingga pertanyaan mudah seperti itu saja sulit sekali dia jawab. Padahal banyak sekali alasan yang bisa dia berikan.Kenan berdecak lalu mendengkus lirih. Sekejap, netranya bergulir ke arah dapur, pada Hanan dan Aida yang tengah bercanda mesra. Dia lantas mengalihkan lagi pandangannya pada Rumi seraya tersenyum samar."Nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya," seloroh Kenan.Rumi mengangkat wajah dengan cepat. Gadis itu meneguk ludah dan terlihat sedikit panik."Saya nggak bermaksud menguping. Demi Allah, saya nggak bermaksud mencuri
Rumah menjadi sepi setelah keluarga besar kembali ke kediaman masing-masing. Usai sarapan, orang tua Hanan langsung pamit pulang. Sementara orang tua Aida pergi saat menjelang siang."Jika ada sesuatu, jangan pernah ragu untuk memberitahu kami," pesan Laila sembari mengusap lengan putri semata wayangnya.Tergambar kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajah wanita paruh baya itu. Aida yang dipoligami, tetapi Laila yang merasa hatinya tercabik-cabik. Namun, ini sudah menjadi keputusan Aida. Dia tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga anaknya. Laila sudah berusaha menasihati, tetapi Aida tetap bersikukuh meminta sang suami untuk menikah lagi. Laila hanya berharap agar putri tercintanya sanggup menjalani pernikahan seperti ini."Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir. Ini sudah menjadi pilihanku. Insyaallah, aku pasti bisa menjalaninya dengan baik. Doakan supaya rumah tangga kami selalu bahagia dan segera dikaruniai momongan, ya, Ma. Biar Mama secepatnya bis
Rumi meletakkan bunga plastik yang sedang dibersihkannya di atas meja. Gadis itu menoleh ke arah dalam rumah, ketika mendengar suara Aida memanggil-manggil Mbok Min. Dia pun bangkit dan mencari sumber suara.“Rum, kamu lihat Mbok Min nggak?” tanya Aida begitu melihat Rumi masuk ke rumah.“Mbok Min tadi bilang mau ke warung, Mbak. Katanya ada bumbu dapur yang habis.” Rumi meneliti wajah Aida yang terlihat pucat. “Mbak sakit? Mukanya pucat gitu,” tanyanya kemudian.Senyum singkat terukir di bibir Aida. Wanita itu menghela napas lalu menjawab, “Nggak tahu nih, Rum. Dari tadi pagi kepalaku pusing. Udah enakan tadi abis minum obat, tapi ini pusingnya datang lagi. Kayaknya aku masuk angin, deh. Badan aku juga nggak enak rasanya. Mau minta dikerokin sama Mbok Min.”“Aku bisa ngerokin juga kok. Kalau Mbak Aida mau,” tawar Rumi.“Nggak ngerepotin kamu?” tanya Aida sedikit ragu.Rumi menggeleng sambil tersenyum.“Aku bisa bersihin bunga itu nanti, habis ngerokin Mbak,” kata gadis itu.Rumi sena
Lantunan ayat suci itu samar-samar menelusup dalam indra pendengaran Aida. Kelopak mata wanita itu mengerjap lambat, seiring dengan suara yang kian jelas terdengar. Merdu, seperti biasanya. Saat melihat jam di nakas, ternyata masih pukul empat pagi. Masih setengah jam lagi menuju waktu subuh. Dia lantas bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diam-diam menikmati suara merdu sang suami yang sedang mengaji.“Kamu kok nggak bangunin aku?” tanya Aida begitu Hanan selesai mengaji dan menyimpan mushaf pada rak di sampingnya.Sontak saja lelaki itu beristigfar sambil mengurut dada. Kepala Hanan menoleh cepat ke arah sang istri yang terkekeh melihat reaksinya.“Aida,” tegurnya lembut, “senang ya bikin aku jantungan.”Lelaki itu kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya.“Semalam kamu pulas banget tidurnya. Gimana? Masih pusing?” tanya Hanan khawatir.Aida menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.“Sudah enteng, kok. Habis minum obat aku langsung tidur. Tadi bangun pas
Netra sehitam jelaga milik Rumi bergoyang pelan. Dia memandang Aida beberapa saat dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak. Setan kecil di dalam hatinya terus berbisik, bahwa dia bukan sekadar menyewakan rahim untuk Aida dan Hanan. Dia adalah istri Hanan yang memiliki hak sama seperti Aida. Namun, hati nurani Aida berteriak kencang. Aida dan Hanan menggantungkan harapan tinggi dengan menghadirkannya di tengah-tengah rumah tangga mereka. Aida hanya ingin Hanan mendapatkan keturunan dengan cara yang halal, dan dia sudah setuju untuk menjalani poligami ini.“Jika dia bertanya tentang hal itu, cukup beri dia senyum.” Kalimat itu begitu jelas terngiang, seolah Hanan sedang berbisik di telinga Rumi.Gadis berusia dua puluh tahun itu menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Rumi tersenyum, meski sesungguhnya senyum itu tidak berasal dari dalam hati. Semua dia lakukan persis seperti arahan sang suami.Sambil menahan degup jantung yang mengentak dada, Aida berusaha mem
Berita kehamilan ini adalah keajaiban bagi Aida. Sebelumnya, dia divonis menderita kelainan hormonal PCOS yang mengakibatkan dirinya sulit hamil. Namun, hari ini Tuhan sedang menunjukkan mukjizat yang tidak pernah Aida sangka sebelumnya. Wanita itu sampai gemetar, nyaris tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. Setelah mendengar beberapa penjelasan, Aida baru mengerti. Janin di dalam kandungannya telah berusia delapan minggu, dan dia tidak pernah menyadarinya selama dua bulan itu.“Alhamdulillah,” ucap Rumi seraya memeluk Aida, setelah beberapa saat membeku.Bukan hanya Aida, Rumi pun ikut terkejut mendengar berita itu. Kantong kresek berisi dua cup es krim di tangannya bahkan hampir saja terjatuh. Beruntung dia segera bisa mengendalikan diri, mengesampingkan rasa tidak nyaman di dalam hati, lalu melempar senyum dan memberi ucapan selamat kepada Aida.“Aku nggak lagi mimpi kan, Rum? Ini beneran, kan? Aku hamil, Rum.” Wanita itu menatap Rumi dengan mata berkaca-kaca.Sebuah senyuma
Keluarga besar berkumpul di ruang makan untuk merayakan kehamilan Aida. Semua terlihat bahagia, semua saling bercanda dan tertawa. Pun begitu dengan Rumi yang turut tersenyum dan tertawa ketika ada yang melempar candaan. Namun sungguh sayang, apa yang dirasakan Rumi tidak sejalan dengan yang terlihat di wajahnya. Gadis dua puluh tahun itu mati-matian bertahan di tengah keluarga demi menghormati Aida dan Hanan.“Iya, lho, Ma. Tadi Rumi sampai bela-belain beli es krim buat aku. Rasanya tuh udah mau ngiler aja pas lihat anak kecil itu makan es krim.” Aida menoleh pada Rumi yang duduk terpisah oleh kursi Hanan darinya. “Makasih, ya, Rum,” tuturnya tulus.“Sama-sama, Mbak. Aku senang kok, bisa ngelakuin sesuatu yang berguna buat Mbak Aida,” balas Rumi.Termasuk duduk seperti orang bodoh di tengah euforia ini. Gadis itu melanjutkan ucapannya di dalam hati.“Kamu harus ekstra hati-hati, ya, Da. Ingat perjuangan kalian untuk bisa menghadirkan calon buah hati ini. Jaga baik-baik kandungan kamu
Aida berdiri di balik dinding ruang tamu, tubuhnya setengah tersembunyi. Dia memegang perutnya yang mulai membesar dengan tangan gemetar. Di depan sana, Hanan dan Rumi duduk di sofa. Wajah Hanan penuh perhatian, menatap Rumi seolah gadis itu sangat rapuh dan mudah hancur.“Mas, nanti aku pergi sendiri saja, ya, ke pantinya,” suara Rumi terdengar lemah, tetapi ada nada manja di dalamnya.Awal pekan depan, Rumi akan mulai menjalani kemoterapi, setelah dibujuk berkali-kali. Hanan berjanji akan mengupayakan pengobatan yang maksimal untuk Rumi.“Nggak boleh.” Hanan melarang dengan tegas. “Aku akan antar kamu.”“Tapi, Mas—”“Kenapa? Aida?” potong Hanan, mendelik pada Rumi. “Kamu nggak perlu mencemaskan Aida. Dia akan baik-baik saja di rumah. Lagipula, aku pergi juga enggak lama.”Rumi tampak hendak berbicara lagi, tetapi Hanan langsung menempelkan telunjuknya di bibir Rumi.“Aku suami kamu. Aku harus memastikan semua berjalan dengan baik.” Hanan meraih jemari Rumi dan meremasnya dengan lemb
"Aida!" Suara itu mengalihkan atensi Aida dan Kenan.Aida menengok ke arah sumber suara, terkejut melihat Hanan berdiri beberapa meter darinya. Wajah Hanan memerah, tatapannya tajam, tetapi sulit dibaca—marah, cemas, atau mungkin keduanya."Kamu ngapain di sini, Da? Kenapa nggak bilang kalau mau pergi? Tahu nggak, aku nyariin kamu ke mana-mana," lanjut Hanan, langkahnya semakin mendekat.Sebelum Aida bisa menjawab, Kenan sudah berdiri, pasang badan untuk sang mantan. Dia tersenyum santai, lalu berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Hei, santai, Han. Nggak usah marah-marah. Kan nggak lucu kalau lo lebih cepet tua daripada gue” Kenan terkekeh sebentar. “Gue yang ngajak Aida ke sini.”Hanan mengalihkan atensi pada Kenan. Dia terlalu khawatir pada Aida, sehingga tidak memperhatikan jika Kenan ada di sana. Lelaki itu mengusap wajah lalu menghela napas lelah.“Lo?” Suara Hanan sedikit rendah.“Tadi gue ke rumah. Gue lihat bini lo bete gitu. Makanya gue inisiatif ajak dia keluar.” Ken
Aida berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil menuju taman yang tak jauh dari rumah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kehamilannya, melainkan beban pikiran yang terus menghantui. Beberapa waktu yang lalu, Hanan bilang padanya akan membawa Rumi ke rumah sakit karena madunya itu sedang sakit. Aida tak memiliki pilihan selain membiarkan mereka pergi. Dan begitu mobil Hanan meninggalkan halaman, Aida memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar untuk melupakan segala pikiran buruk yang coba menguasainya.Sesampainya di taman, Aida duduk di bangku kayu yang menghadap lapangan. Di kejauhan, tawa anak-anak yang bermain layang-layang terdengar riang. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipinya, membawa aroma rumput yang basah. Dia menarik napas dalam, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikiran.“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” pikirnya, menggenggam erat kedua tangannya. “Bukankah ini semua adalah pilihanku?”Namun, logik
Taman kecil di samping rumah yang Rumi rawat kini menjadi pemandangan yang apik untuk dinikmati, tetapi suasana hati Aida tidak sejalan dengan keindahannya sama sekali. Kehamilan yang semakin besar, membuat setiap langkahnya terasa berat. Namun, bukan hanya tubuhnya yang terasa lelah. Jiwanya pun ikut terkikis oleh pergolakan yang sulit dia ceritakan kepada siapa pun.Aida duduk di ruang tamu, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar-putar memikirkan perubahan sikap Hanan akhir-akhir ini. Perhatian lelaki itu terhadap Rumi begitu kentara. Aida mencoba menguatkan hati. Dia tidak boleh cemburu, tidak boleh merasa tersisih. Bukankah dia sendiri yang meminta Hanan untuk menikahi Rumi?Namun, bayangan-bayangan kecil tak henti menyerangnya. Tatapan lembut Hanan kepada Rumi, perhatian yang tak pernah putus—semua itu terasa seperti belati yang perlahan mengiris hati.“Hanan ... aku kangen sama kamu yang dulu,” gumamnya pelan sambil mengelus perut yang mulai membesar
Pagi itu terasa lebih sunyi dibanding biasanya. Di meja makan, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa seperti dulu. Hanan duduk di ujung meja, wajahnya tegang, tampak banyak pikiran. Rumi, yang duduk di sebelah kanan, sesekali melirik ke arah Hanan, tetapi langsung menunduk ketika pandangan mereka bertemu. Sementara itu, Aida, dengan tatapan kosong, memandangi sarapannya yang hampir tak tersentuh.Aida meneguk air putihnya perlahan. Dia memaksakan diri untuk tetap terlihat tenang, meski hatinya bergolak. Matanya mencuri pandang ke arah Hanan yang menyendok makanan, lalu ke Rumi yang tampak gelisah. Perasaan tidak nyaman menyusup di dadanya.“Aida, kamu tahu ini akan terjadi,” batinnya mencoba menghibur diri. “Dia adalah bagian dari pernikahan ini. Kamu tidak berhak cemburu.”Namun, keyakinan itu tidak cukup untuk meredam rasa sakit di hatinya. Tatapan Hanan kepada Rumi—entah mengapa—terasa berbeda pagi ini. Lebih dalam,
Hanan berdiri tegak di tengah kamar, kertas berkop rumah sakit tergenggam erat di tangannya. Mata lelaki itu menatap Rumi dengan tajam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Di hadapannya, Rumi tampak tergagap, membuka dan menutup mulut tanpa suara. Wajahnya memucat, seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar.“Rumi, jelaskan padaku. Apa ini?” Nada suara Hanan rendah, tetapi tegas.Gadis itu mengalihkan pandangan, matanya yang basah bergerak liar mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, tak ada tempat untuk bersembunyi. “Itu … itu bukan apa-apa, Mas. Tolong kembalikan!” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Dia berusaha meraih kertas dari tangan Hanan, namun lelaki itu langsung menghindar.“Bukan apa-apa? Kamu pikir aku bodoh?” Hanan mendekat, kertas di tangannya bergemerisik. “Kalau bukan apa-apa, kenapa kamu takut untuk mengatakannya? Aku ini suami kamu. Masih nggak mau jujur?” Lelaki itu memindai dua manik Rumi bergantian, curiga ada masalah besar yang sedang
Udara terasa dingin menusuk kulit. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin tak mampu menenangkan pikiran Aida. Dia duduk sendirian di ruang keluarga, berselimutkan cardigan abu-abu. Di hadapannya, secangkir teh hangat yang dibuat tadi sudah mulai dingin. Namun, bukan teh itu yang jadi fokusnya. Pikiran Aida melayang-layang, berkecamuk tak tentu arah. Konflik batin yang menerpanya akhir-akhir ini membuat wanita itu gelisah. Perutnya semakin besar, dan emosinya semakin sulit dikendalikan.Aida menghela napas panjang. Semalam, pikirannya tak berhenti membayangkan pernikahan yang dia gagas sendiri, perlahan mengikis kebahagiaan. Tubuhnya terasa lemah, dan pagi itu sakit kepala menyerang. Hanan sudah berangkat kerja lebih pagi, meninggalkan pesan singkat untuk Aida agar menjaga diri. Namun, tak ada kata-kata manis seperti biasa. Mungkin Hanan lupa. Atau mungkin, Aida hanya tak lagi bisa melihat kehangatan itu seperti dulu."Enggak, Aida. Enyahkan pikiran seperti itu! Itu hanya hasutan s
Tidak ada pemandangan yang lebih menyesakkan dada selain melihat suami yang dicinta memandang penuh kekaguman pada wanita lain. Hati Aida mencelus. Diam-diam, wanita itu memperhatikan sang suami yang sedang duduk di ruang tengah, senyum-senyum sendiri sambil memandang Rumi yang sedang menyiangi rumput di halaman samping rumah—lahan sempit yang gadis itu olah, bersama Mbok Min.Pada saat yang bersamaan, Kenan datang berkunjung. Lelaki itu mengerutkan alis, melihat Aida yang mengintip dari balik dinding. Kenan memelankan langkah, sampai-sampai Aida tidak menyadari kehadirannya. Lelaki itu melongokkan kepala, turut melihat ke mana Aida memandang. Dia lantas menarik sudut bibir ke bawah ketika tahu apa yang membuat Aida begitu fokus. Hingga timbul niat usil di hati Kenan.Lelaki itu mendekat lalu berbisik pada Aida, “Awas bintitan!”“Hh!” Aida terlonjak dan spontan memutar badan. Terkejut setengah mati melihat Kenan berada sangat dekat dengannya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Aida sengak.
Tadinya, Rumi berpikir bahwa Hanan akan membelikannya pakaian. Sejak menjadi istri lelaki itu, Rumi baru satu kali dibelikan pakaian baru. Itu pun Aida yang memilihkan. Namun, beberapa toko pakaian terlewat begitu saja, tanpa Hanan tampak ingin berbelok ke sana.“Mas Hanan mau beli apa?” Rumi memberanikan diri untuk bertanya.Lelaki itu menoleh lalu tersenyum. “Nanti kamu juga tahu,” jawabnya.Setelah itu, Rumi tidak lagi bertanya karena dia berpikir bahwa Hanan akan membeli keperluannya sendiri. Seketika merasa bodoh karena terlalu percaya diri. Gadis itu hanya mengikuti ke mana kaki Hanan melangkah, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah toko perhiasan. Rumi melihat ke atas, pada nama toko yang cukup mengundang perhatian. Toko ini cukup terkenal dengan kualitasnya yang tidak diragukan lagi, sebanding dengan harganya yang mahal.‘Apa Mas Hanan mau beli perhiasan untuk Mbak Aida?’ batin Rumi. Dia pikir, Hanan ingin dibantu memilih perhiasan untuk hadiah atas kehamilan Aida.Hanan