"Tristan?" Argan mendengus remeh. "Apa yang dia punya? Dia bahkan tidak bisa membelikan sepatu untukmu."
"Ayah!" Chelsea memekik tak terima. Dia tentu sadar jika Tristan tak sekaya keluarganya. Tapi Chelsea benar-benar mencintai pria itu.
"Kamu sangat bodoh," ucap Argan, merutuki putrinya itu. "Setidaknya, pilihlah pria yang lebih baik. Dia bahkan setara dengan gelandangan di jalanan."
"Argan." Aliya merasa khawatir karena kata-kata suaminya terdengar memprovokasi. Putri mereka tidak akan bisa bersabar lebih lama. Dia mungkin sakit hati dan mengamuk. Aliya tentu tak ingin terjadi pertengkaran antara keduanya.
Argan tak mendengarkan teguran Aliya, namun dia tak mengabaikannya. Pria itu menggenggam tangan istrinya yang diletakkan di atas punggung tangannya. Meyakinkannya jika dia baik-baik saja meski bicara demikian pada putri mereka.
"Aku sudah menentukan pria yang layak bagimu, Chelsea. Jika kamu menolak, jangan harap pria pujaanmu itu akan baik-baik saja."
Argan tidak main-main dengan ucapannya. Dia menatap putrinya penuh intimidasi.
Chelsea tercekat. Dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia tidak bisa melarikan diri, saat ayahnya sudah memutuskan. Chelsea juga tidak diberi kesempatan untuk menolak.
Chelsea pun hanya bisa pergi dengan menangis. Ia merasa jika orang tuanya terlalu kejam dengan memaksa dirinya untuk berpisah dengan kekasihnya, juga memaksanya untuk menikah dengan pria lain. Ini tidak adil!
Apa mereka benar-benar orang tuanya? Bagaimana mereka bisa melakukan ini padanya?
"Apa itu tidak keterlaluan?"
Aliya menatap kepergian putrinya dengan perasaan bersalah.
"Kamu menyakiti putri kita."
"Sayang, kamu tahu sendiri pria seperti apa yang dia kencani." Argan menghela napas berat. Mungkin apa yang dia lakukan terkesan kejam. Tapi, sejujurnya Argan hanya ingin melindungi putrinya. "Aku tidak ingin dia bersama pria yang buruk."
Aliya setuju dengan suaminya. Dia sudah melihat pria yang dikencani putrinya. Dan Aliya langsung tidak menyukainya. Pria itu sepertinya bukan pria baik-baik.
Aliya tidak menemukan kesungguhan dari pria itu saat dia bersama Chelsea. Aliya khawatir jika pria itu sebenarnya tidak sungguh-sungguh mencintai putrinya, melainkan hanya memanfaatkannya saja.
"Tapi, seharusnya kamu bisa bicara baik-baik padanya," ucap Aliya. Meski dia juga tidak menyukai pacar Chelsea, Aliya tetap tidak membenarkan cara Argan menegur putri mereka. "Jika kamu seperti ini, dia akan berpikir jika kamu tidak menyayanginya."
"Itu hanya sebentar." Argan menanggapi dengan santai. Istrinya hanya terlalu khawatir. "Dia terlalu muda untuk mengerti. Saat dia sudah sedikit lebih dewasa, aku yakin dia akan paham akan semua sikapku."
Tak ingin membuat istrinya terlalu banyak berpikir, Argan mengusap lembut kepala istrinya itu. "Jangan terlalu memikirkannya."
****
Chelsea berjalan mondar mandir di kamarnya. Dia berusaha menghubungi Tristan. Tapi setelah beberapa kali mencoba, teleponnya tidak diangkat.
Chelsea tidak menyerah. Dia terus mencoba dengan gelisah, berharap Tristan akan segera menjawab panggilan darinya.
Sekitar lima kali mencoba, teleponnya akhirnya diangkat. Chelsea tak bisa menahan kegembiraannya.
Namun, kegembiraan itu menyusut dengan cepat saat menyadari jika yang mengangkat telepon bukan pacarnya.
"Hallo!"
"Ini ... ini siapa?" tanya Chelsea, bingung. "Mana Tristan?"
"Oh, Tristan! Dia sedang sibuk sekarang." Dia memberi jeda sesaat, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. "Sebaiknya, hubungi dia lagi nanti."
Sebelum sempat membalas, telepon itu sudah dimatikan secara sepihak. Chelsea masih termangu. Dia menatap layar handphone sembari termenung.
Sepertinya dia mendengar suara bising di telepon tadi. Mirip suasana saat di club malam. Tapi, bagaimana mungkin pacarnya berada di tempat seperti itu? Tristan adalah pria yang baik, yang bahkan tidak pernah menenggak setetes pun alkohol. Dia bukan pria liar yang senang menginjakkan kaki ke tempat seperti itu.
Lantas, bagaimana telepon Tristan bisa berada di tangan temannya itu? Apa Tristan benar-benar mengunjungi sebuah club malam?
Sepertinya Chelsea perlu memastikannya. Dia harus bertanya pada Tristan besok.
"Aku yakin dia tidak seperti itu," ucap Chelsea. Dia sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Tristan. Tentu dia sangat mengetahui bagaimana sifat pria itu. "Tristan tidak mungkin di sana. Mungkin ... temannya itu yang meminjam handphonenya. Mungkin ...."
Semakin Chelsea berusaha meyakinkan diri, ia justru semakin merasa khawatir. Dia takut, jika kekhawatirannya adalah kebenaran.
Chelsea menunggu Tristan yang biasa menjemputnya. Pria itu datang tepat waktu, dan menyapa dengan hangat saat tiba menemuinya."Selamat pagi, Sayang!"Tapi Chelsea pagi ini sedikit berbeda. Dia masih berdiri di samping mobil, melipat kedua tangannya di dada. Dia masih menyimpan kekesalannya tentang kejadian janggal semalam.Tristan sepertinya menyadari hal itu. Dia pun keluar dari mobil untuk menghampiri Chelsea."Ada apa?" tanya pria itu dengan nada yang halus. Dia juga meraih kedua tangan pacarnya itu untuk ia genggam. Tatapannya sangat hangat. Membuat Chelsea terhanyut untuk sesaat."Aku meneleponmu semalam," ucap Chelsea. Dia mengatakannya dengan wajah tertekuk. Dia terlihat sedikit kesal. "Bukan kamu yang menjawab.""Aku tahu." Tristan menjawab dengan tenang. Dia tidak terlihat panik sedikit pun. Pria itu menjelaskan, "Handphoneku terbawa oleh temanku setelah kami bercengkrama di sebuah Caffe. Aku baru mengambilnya pagi ini di apartemennya."Chelsea akhirnya mengerti setelah mend
"Chelsea." Tristan terkekeh, masih mencoba menyangkalnya. Meski dalam hati dia mulai khawatir. "Hentikan lelucon ini. Okay, kamu berhasil menghiburku. Aku rasa sudah cukup.""Tapi Tristan, aku serius!""Apa kamu marah? Kenapa harus bercanda seperti ini?""Tristan!"Chelsea menghempaskan kedua tangannya yang dipegang Tristan. Dia kehilangan kesabaran karena Tristan terus menyangkal ucapannya. Padahal Chelsea sedang serius saat ini. Dia hanya ingin Tristan mengerti."Aku tidak main-main. Aku serius. Ayahku benar-benar sudah menetapkan calon suami untukku."Chelsea merasa berat mengatakannya. Dia juga tak menginginkan hal ini. Tapi, dia tak bisa melawan keputusan ayahnya."Maafkan aku." Chelsea benar-benar merasa bersalah sekarang.Tristan merasa bahunya melemas. Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Dia tidak menyangka jika hubungan mereka akan menjadi seperti ini."Apakah itu sudah pasti?" Tristan sedikit buntu sekarang. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mencegah hal itu t
Argan sepertinya sangat tidak sabar untuk menikahkan putrinya. Dia tak ingin menunggu lebih lama. Sehingga dia bergegas mengurus semuanya. Padahal Chelsea sudah melayangkan protes karena berpikir ini terlalu cepat."Jika sudah menikah nanti, jangan menunda untuk punya anak." Argan tiba-tiba berceletuk di tengah acara makan. Roan yang mendengarnya langsung tersedak. "Aku tidak keberatan memiliki cucu meski belum begitu tua.""Ayah!" Chelsea berdesis jengkel, lalu melengos.Aliya yang menyaksikan itu justru tertawa kecil. Dia tahu jika suaminya sangat senang dengan perjodohan yang dia rancang karena berjalan dengan cukup baik. Aliya menjadi ikut senang karenanya."Apapun itu, jika kalian menikah nanti, berusahalah untuk saling mengerti." Aliya memandang putri serta calon menantunya itu dengan penuh perhatian. "Kalian mungkin akan menerima banyak kejutan saat pernikahan. Ada banyak perbedaan dan ketidaksesuaian pendapat, kalian harus bisa mengatasinya. Pertengkaran adalah hal yang akan d
"Kamu harus tahu, aku tidak menyukaimu!"Chelsea berdiri di depannya, masih mengenakan gaun pengantin. Dia sangat tidak sabar untuk menegaskan semuanya pada Roan supaya pria itu tidak terlalu berharap.Tapi Roan terlihat sangat tenang dan sedikit acuh. Dia menanggapi ucapan Chelsea tanpa emosi, "Aku tahu.""Ada pria lain yang aku cintai."Chelsea tak merasa bersalah saat mengakui hal itu. Dia memperhatikan reaksi Roan. Tapi pria itu tak menunjukkan emosi apapun.Dia tampak melepas dasi dari kerahnya. Dia mendengarkan semua ucapan Chelsea tapi tidak terlalu menanggapi."Aku ingin membuat kesepakatan."Roan menghela napas. Dia menatap Chelsea dan bertanya, "Tidakkah kamu lelah?"Roan saja sudah menahan kantuk sejak tadi. Dia mengikuti acara pernikahan ini sepanjang hari. Dia tidak bisa beranjak dari podium, menerima setiap ucapan selamat dari para tamu. Roan juga kesulitan mencari waktu untuk mengisi perutnya. Dan kini, Chelsea justru malah mencecarnya dengan tidak sabar. Mereka bahkan
Chelsea tidak lagi banyak bicara. Dia merasa telah melakukan kesalahan. Ia bahkan tak berani menatap Roan. Setelah pertemuan tak terduga antara mereka dengan Tristan, perasaan Chelsea mendadak jadi gelisah.Padahal seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah. Karena sejak awal dia sendiri telah menegaskan pada Roan jika dia memiliki pria idaman lain. Namun, Chelsea sendiri tidak mengerti mengapa dia harus merasa bersalah pada Roan."Besok kamu mulai bekerja?"Pertanyaan Roan membuat Chelsea tersentak kecil. Di tengah acara makan malam mereka ini sejak tadi hanya diisi hening. Sampai akhirnya sekarang Roan memecah itu semua. Apakah dia merasa tidak nyaman dengan keterdiaman diantara mereka? Atau mungkin Roan hanya ingin berbasa basi dengannya?"Ya." Chelsea membenarkan. "Bukannya kamu juga?"Roan mengangguk. Mereka memang tidak diberi waktu libur yang lama. Hanya tiga hari. Hal itu karena ulah Argan yang kesal lantaran mereka menolak tawarannya untuk honeymoon. Padahal Argan berjanji ak
Tanpa Roan tahu, Chelsea di rumah menunggu kepulangannya. Dia berjalan mondar mandir, merasa gelisah karena malam semakin larut. Namun Roan belum kunjung pulang."Sebenarnya kemana dia?" gumam Chelsea, menggerutu.Dia ingin menghubungi Roan. Tapi tidak bisa. Betapa bodohnya dia, Chelsea bahkan tak memiliki nomor handphone suaminya sendiri. Hal ini kini menyulitkannya. Karena Chelsea menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya. Kini dia menyesal tidak sempat meminta nomor handphone pria itu.Waktu hampir menunjukkan tengah malam, Chelsea hampir tertidur di sofa. Dia masih belum menyerah untuk menunggu Roan. Tapi, suara dering di handphonenya seketika membuat ia terbangun. Chelsea begitu bersemangat mengintip layar handphone. Namun dia kembali kecewa saat melihat jika bukan suaminya yang menghubunginya, melainkan Tristan. Meski begitu, Chelsea tetap mengangkat panggilan dari pacarnya itu."Ada apa, Tristan?" tanya Chelsea. "Mengapa tengah malam begini menghubungiku?""Tidak apa-apa
Roan menerima banyak ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya saat dia tiba di kantor. Beberapa orang yang sebelumnya tidak bisa hadir di acara pernikahannya bahkan turut memberikan hadiah sebagai permintaan maaf. Roan menghargai semua usaha mereka. Pria itu memiliki sikap yang ramah sehingga banyak orang yang menyukainya."Roan." Seorang perempuan mendekatinya setelah orang-orang yang semula mengerubunginya mulai pergi. Kini hanya tersisa mereka berdua. Perempuan itu memiliki kesempatan untuk bicara. "Ini sangat kejam. Mengapa aku tahu paling akhir tentang pernikahanmu?"Roan tersenyum ringan. "Bagaimana lagi? Saat itu kamu tidak berada di kota ini. Tapi aku sudah mengabarimu, bukan?""Handphone-ku hilang sehari setelah sampai di sana," ucap perempuan itu. Sehingga pesan yang Roan kirim padanya tidak pernah sampai. Hal itulah yang membuat perempuan itu sangat kecewa. "Aku justru mengetahui semuanya saat kembali masuk kantor. Waktu itu, kamu sudah menikah, dan masih cuti.""Maafkan ak
"Roan, tunggu!"Melisa mengejar Roan yang tampak sengaja menghindarinya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya bisa menghentikan pria itu dengan menahan lengannya. Melisa tidak menyukai hubungan mereka yang menjadi seperti ini. Melisa awalnya melakukan ini karena dia hanya ingin jujur, supaya Roan tahu tentang perasaannya. Tapi, Melisa merasa tak terima jika hubungan mereka menjadi seperti ini."Apa kesalahanku?" Melisa terlihat sangat sedih. Dia tidak mengatakan sesuatu yang salah. Perasaannya juga bukan sesuatu yang bisa merugikan Roan. Mengapa pria itu harus bersikap seperti ini padanya. "Kau marah karena aku menyukaimu? Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu? Roan, aku hanya berterus terang. Aku tidak bermaksud apapun.""Aku tahu, Mel." Roan menurunkan tangan perempuan itu dari lengannya. Pria itu menghela napas, lalu menatap Melisa dan berkata, "Maaf jika sikapku membuat kamu sedih. Aku hanya terkejut."Melisa memaklumi hal ini. Tapi, hatinya tetap merasa sedih saat Roan m