Argan sepertinya sangat tidak sabar untuk menikahkan putrinya. Dia tak ingin menunggu lebih lama. Sehingga dia bergegas mengurus semuanya. Padahal Chelsea sudah melayangkan protes karena berpikir ini terlalu cepat.
"Jika sudah menikah nanti, jangan menunda untuk punya anak." Argan tiba-tiba berceletuk di tengah acara makan. Roan yang mendengarnya langsung tersedak. "Aku tidak keberatan memiliki cucu meski belum begitu tua."
"Ayah!" Chelsea berdesis jengkel, lalu melengos.
Aliya yang menyaksikan itu justru tertawa kecil. Dia tahu jika suaminya sangat senang dengan perjodohan yang dia rancang karena berjalan dengan cukup baik. Aliya menjadi ikut senang karenanya.
"Apapun itu, jika kalian menikah nanti, berusahalah untuk saling mengerti." Aliya memandang putri serta calon menantunya itu dengan penuh perhatian. "Kalian mungkin akan menerima banyak kejutan saat pernikahan. Ada banyak perbedaan dan ketidaksesuaian pendapat, kalian harus bisa mengatasinya. Pertengkaran adalah hal yang akan dialami semua orang. Kalian harus bisa menyikapinya dengan baik. Jangan selalu gunakan emosi."
"Ya." Argan ikut menyahut di tengah kegiatan makannya. Namun dia tak menatap mereka. "Jangan pulang kemari karena merajuk. Aku akan berpesan pada penjaga gerbang supaya tidak membiarkanmu masuk saat kamu sudah menikah."
"Ayah sangat jahat!" protes Chelsea. "Aku ini putrimu. Kenapa kamu begitu?"
"Justru karena kamu putriku, aku berusaha mendidikmu dengan baik," tukas Argan. "Jika tidak, aku akan tetap membiarkanmu dengan bocah gelandangan itu."
"Ayah!" Chelsea menggertakkan giginya, terlihat sangat tidak senang.
Roan juga menyadari kedua tangan Chelsea yang menggenggam alat makan mengerat. Sepertinya, orang yang disebut 'bocah gelandangan' oleh Argan adalah orang yang berharga bagi Chelsea.
Roan memakan makanannya sambil termenung.
Sepertinya, perempuan itu memiliki pria lain di hatinya. Roan mulai mempertimbangkan, apakah akan baik-baik saja jika dia menikah nanti? Sementara perempuan yang menjadi calon istrinya justru menyimpan perasaan pada pria lain.
"Tristan bukan gelandangan!"
"Bisakah kamu tidak menyebut namanya?" Argan mengernyit tak suka. "Telingaku sakit mendengarnya."
Dia tak ingin membahas ini lagi. Waktunya terlalu berharga untuk membahasnya. Argan memusatkan perhatian pada istrinya, mengajaknya membicarakan hal lain tanpa memperdulikan Chelsea yang kini sangat marah. Juga Roan yang merasa sangat canggung di situasi ini.
"Oh ya, Roan?"
Saat Aliya tiba-tiba menyebut namanya, Roan sedikit tersentak.
"Dimana orang tuamu tinggal? Apa kami bisa bertemu dengan mereka?"
Sebelum pernikahan benar-benar dilangsungkan, bukankah mereka harus membicarakan dulu antara kedua belah pihak? Aliya merasa ia harus menemui keluarga Roan sebelum ini.
Roan tersenyum dan menjawab, "Orang tua saya sudah meninggal, Nyonya."
Aliya tertegun. Seketika, dia merasa tidak enak.
Chelsea yang mendengar hal itu pun agak terkejut.
"Saya hanya punya adik, dan sekarang dia tinggal di asrama sekolahnya. Saat pernikahan nanti, hanya kerabat dekat saya saja yang akan datang. Tidak terlalu banyak. Dan selain itu, mungkin saya juga akan mengundang beberapa rekan kerja," tutur Roan. Dia sedikit canggung saat mengatakan tentang pernikahan. Dia melirik ke arah Chelsea sekilas sebelum bicara. Tapi, meski begitu dia tetap harus mengatakannya, bukan? Karena bagaimana pun, ini adalah pernikahannya.
"Aku minta maaf." Aliya menunjukkan perasaan sesal. "Aku tidak tahu jika orang tuamu sudah tiada."
"Tidak apa-apa, Nyonya." Roan tersenyum, menunjukkan jika itu tidak masalah sama sekali. "Sangat wajar jika Anda bertanya tentang orang tua saya, secara saya akan menikahi putri Anda."
"Tolong, bisakah kamu tidak memanggilku seperti itu?" tegur Aliya. Dia benar-benar tidak nyaman dengan panggilan yang diberikan Roan untuknya. "Panggil ibu saja. Bukankah kamu akan menikah dengan putriku?"
"Tapi-" Roan memang merasa tidak enak karena dia membuat Aliya tak nyaman dengan panggilannya. Namun, mendengar permintaannya itu, Roan masih tak berani. Jadi dia melirik Argan untuk melihat pendapatnya.
Pria itu tampak mengangguk, setuju dengan ucapan istrinya.
"Benar. Panggil kami selayaknya orang tuamu. Panggilanmu pada kami sebelumnya benar-benar tidak enak didengar."
Ternyata Argan juga mengeluhkan hal yang sama.
Roan tersenyum kecil. Dia harus mulai terbiasa, karena kedepannya dia akan menjadi bagian dari mereka.
"Baik." Roan memilih untuk patuh. "Maaf karena membuat kalian tidak nyaman sebelumnya."
"Kamu harus tahu, aku tidak menyukaimu!"Chelsea berdiri di depannya, masih mengenakan gaun pengantin. Dia sangat tidak sabar untuk menegaskan semuanya pada Roan supaya pria itu tidak terlalu berharap.Tapi Roan terlihat sangat tenang dan sedikit acuh. Dia menanggapi ucapan Chelsea tanpa emosi, "Aku tahu.""Ada pria lain yang aku cintai."Chelsea tak merasa bersalah saat mengakui hal itu. Dia memperhatikan reaksi Roan. Tapi pria itu tak menunjukkan emosi apapun.Dia tampak melepas dasi dari kerahnya. Dia mendengarkan semua ucapan Chelsea tapi tidak terlalu menanggapi."Aku ingin membuat kesepakatan."Roan menghela napas. Dia menatap Chelsea dan bertanya, "Tidakkah kamu lelah?"Roan saja sudah menahan kantuk sejak tadi. Dia mengikuti acara pernikahan ini sepanjang hari. Dia tidak bisa beranjak dari podium, menerima setiap ucapan selamat dari para tamu. Roan juga kesulitan mencari waktu untuk mengisi perutnya. Dan kini, Chelsea justru malah mencecarnya dengan tidak sabar. Mereka bahkan
Chelsea tidak lagi banyak bicara. Dia merasa telah melakukan kesalahan. Ia bahkan tak berani menatap Roan. Setelah pertemuan tak terduga antara mereka dengan Tristan, perasaan Chelsea mendadak jadi gelisah.Padahal seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah. Karena sejak awal dia sendiri telah menegaskan pada Roan jika dia memiliki pria idaman lain. Namun, Chelsea sendiri tidak mengerti mengapa dia harus merasa bersalah pada Roan."Besok kamu mulai bekerja?"Pertanyaan Roan membuat Chelsea tersentak kecil. Di tengah acara makan malam mereka ini sejak tadi hanya diisi hening. Sampai akhirnya sekarang Roan memecah itu semua. Apakah dia merasa tidak nyaman dengan keterdiaman diantara mereka? Atau mungkin Roan hanya ingin berbasa basi dengannya?"Ya." Chelsea membenarkan. "Bukannya kamu juga?"Roan mengangguk. Mereka memang tidak diberi waktu libur yang lama. Hanya tiga hari. Hal itu karena ulah Argan yang kesal lantaran mereka menolak tawarannya untuk honeymoon. Padahal Argan berjanji ak
Tanpa Roan tahu, Chelsea di rumah menunggu kepulangannya. Dia berjalan mondar mandir, merasa gelisah karena malam semakin larut. Namun Roan belum kunjung pulang."Sebenarnya kemana dia?" gumam Chelsea, menggerutu.Dia ingin menghubungi Roan. Tapi tidak bisa. Betapa bodohnya dia, Chelsea bahkan tak memiliki nomor handphone suaminya sendiri. Hal ini kini menyulitkannya. Karena Chelsea menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya. Kini dia menyesal tidak sempat meminta nomor handphone pria itu.Waktu hampir menunjukkan tengah malam, Chelsea hampir tertidur di sofa. Dia masih belum menyerah untuk menunggu Roan. Tapi, suara dering di handphonenya seketika membuat ia terbangun. Chelsea begitu bersemangat mengintip layar handphone. Namun dia kembali kecewa saat melihat jika bukan suaminya yang menghubunginya, melainkan Tristan. Meski begitu, Chelsea tetap mengangkat panggilan dari pacarnya itu."Ada apa, Tristan?" tanya Chelsea. "Mengapa tengah malam begini menghubungiku?""Tidak apa-apa
Roan menerima banyak ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya saat dia tiba di kantor. Beberapa orang yang sebelumnya tidak bisa hadir di acara pernikahannya bahkan turut memberikan hadiah sebagai permintaan maaf. Roan menghargai semua usaha mereka. Pria itu memiliki sikap yang ramah sehingga banyak orang yang menyukainya."Roan." Seorang perempuan mendekatinya setelah orang-orang yang semula mengerubunginya mulai pergi. Kini hanya tersisa mereka berdua. Perempuan itu memiliki kesempatan untuk bicara. "Ini sangat kejam. Mengapa aku tahu paling akhir tentang pernikahanmu?"Roan tersenyum ringan. "Bagaimana lagi? Saat itu kamu tidak berada di kota ini. Tapi aku sudah mengabarimu, bukan?""Handphone-ku hilang sehari setelah sampai di sana," ucap perempuan itu. Sehingga pesan yang Roan kirim padanya tidak pernah sampai. Hal itulah yang membuat perempuan itu sangat kecewa. "Aku justru mengetahui semuanya saat kembali masuk kantor. Waktu itu, kamu sudah menikah, dan masih cuti.""Maafkan ak
"Roan, tunggu!"Melisa mengejar Roan yang tampak sengaja menghindarinya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya bisa menghentikan pria itu dengan menahan lengannya. Melisa tidak menyukai hubungan mereka yang menjadi seperti ini. Melisa awalnya melakukan ini karena dia hanya ingin jujur, supaya Roan tahu tentang perasaannya. Tapi, Melisa merasa tak terima jika hubungan mereka menjadi seperti ini."Apa kesalahanku?" Melisa terlihat sangat sedih. Dia tidak mengatakan sesuatu yang salah. Perasaannya juga bukan sesuatu yang bisa merugikan Roan. Mengapa pria itu harus bersikap seperti ini padanya. "Kau marah karena aku menyukaimu? Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu? Roan, aku hanya berterus terang. Aku tidak bermaksud apapun.""Aku tahu, Mel." Roan menurunkan tangan perempuan itu dari lengannya. Pria itu menghela napas, lalu menatap Melisa dan berkata, "Maaf jika sikapku membuat kamu sedih. Aku hanya terkejut."Melisa memaklumi hal ini. Tapi, hatinya tetap merasa sedih saat Roan m
Roan baru tiba di rumah. Dia sedikit terlambat pulang karena banyaknya pekerjaan di kantor setelah cuti yang dia ambil. Roan juga sudah mengabari Chelsea supaya perempuan yang kini berstatus sebagai istrinya itu tidak khawatir. Roan tentu tidak ingin membuat istrinya itu menunggu.Setelah dia memarkirkan mobilnya, Roan segera masuk ke dalam rumah. Dia terkejut melihat Chelsea tengah duduk di ruang makan. Ia kira, istrinya itu sudah tidur karena malam sudah semakin larut.Sambil berjalan mendekatinya, Roan bertanya, "Mengapa belum tidur?"Tanpa menoleh pada Roan, Chelsea menjawab, "Apa aku tidak boleh menunggu suamiku?"Roan merasa suasana sekitar menjadi sangat dingin. Mungkin, ini karena sikap Chelsea yang tidak biasa. Perempuan itu menunjukkan sikap permusuhan yang lebih kental dari sebelumnya.Roan mulai berpikir, apakah dia melakukan kesalahan?"Aku sudah mengabarimu untuk tidak menungguku. Itu hanya akan membuat dirimu kerepotan."Chelsea beranjak. Kakinya melangkah mendekati Roa
Chelsea menghembuskan napas kasar. Pagi ini dia hanya berniat menghindari Roan. Tapi dia lupa jika Tristan selalu menunggunya. Dia telah melakukan kebodohan kecil. Chelsea seharusnya segera meminta maaf supaya pacarnya itu tidak berlarut-larut marah padanya.Meski, Chelsea masih sedikit bingung mengapa Tristan sedikit kasar padanya? Biasanya, jika marah pria itu akan lebih memilih mendiamkannya daripada mencecarnya. Ini sangat aneh. Chelsea yang tidak terbiasa merasa terganggu dengan sikap yang berbeda itu."Ada apa? Sudah bosan bekerja?"Chelsea tersentak. Dia tak sadar kapan seseorang datang ke ruang kerjanya. Tiba-tiba saja ayahnya sudah berdiri di depannya, setelah menyimpan sebuah berkas di meja."Ayah, mengagetkan saja." Chelsea mencebikkan bibirnya."Kau melamun di jam kerja. Apa kau pikir ini rumahmu sehingga kau bisa bersikap sesuka hati?""Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," tukas Chelsea. Dia memberikan ayahnya tatapan jengkel. "Berhenti memarahiku! Aku tidak akan fokus m
Chelsea bersiap untuk pulang. Ketika dia melihat mobil yang biasa menjemputnya, dia pun segera mendekat dan masuk."Pak Danang datang tepat waktu," ucap Chelsea seraya menghembuskan napas lega. Saat dia menoleh, dia terkejut mengetahui jika bukan Danang-lah yang mengendarai mobil itu."Roan? Bagaimana kamu bisa di sini?""Untuk menjemputmu," ucap Roan, seraya bersiap untuk kembali melajukan mobilnya.Namun, Chelsea dengan cepat menghentikannya. "Tunggu!"Perempuan itu kembali turun. Roan sempat mengira jika Chelsea menolak untuk dijemput olehnya dan memilih pergi. Tapi ternyata, istrinya itu hanya berpindah ke kursi depan. Tepat di samping Roan."Aku tidak keberatan jika kamu duduk di belakang," ucap Roan."Aku tidak mungkin seperti itu. Kamu bukan supir, melainkan suamiku. Rasanya sangat tidak pantas," tukas Chelsea. Dia tak memperdulikan ekspresi Roan saat ini. Dia menyuruh Roan untuk segera melajukan mobilnya, "ayo pergi!"Roan pun kembali melajukan mobilnya.Selama perjalanan, mer