Share

4 | Rencana Pernikahan

Argan sepertinya sangat tidak sabar untuk menikahkan putrinya. Dia tak ingin menunggu lebih lama. Sehingga dia bergegas mengurus semuanya. Padahal Chelsea sudah melayangkan protes karena berpikir ini terlalu cepat.

"Jika sudah menikah nanti, jangan menunda untuk punya anak." Argan tiba-tiba berceletuk di tengah acara makan. Roan yang mendengarnya langsung tersedak. "Aku tidak keberatan memiliki cucu meski belum begitu tua."

"Ayah!" Chelsea berdesis jengkel, lalu melengos.

Aliya yang menyaksikan itu justru tertawa kecil. Dia tahu jika suaminya sangat senang dengan perjodohan yang dia rancang karena berjalan dengan cukup baik. Aliya menjadi ikut senang karenanya.

"Apapun itu, jika kalian menikah nanti, berusahalah untuk saling mengerti." Aliya memandang putri serta calon menantunya itu dengan penuh perhatian. "Kalian mungkin akan menerima banyak kejutan saat pernikahan. Ada banyak perbedaan dan ketidaksesuaian pendapat, kalian harus bisa mengatasinya. Pertengkaran adalah hal yang akan dialami semua orang. Kalian harus bisa menyikapinya dengan baik. Jangan selalu gunakan emosi."

"Ya." Argan ikut menyahut di tengah kegiatan makannya. Namun dia tak menatap mereka. "Jangan pulang kemari karena merajuk. Aku akan berpesan pada penjaga gerbang supaya tidak membiarkanmu masuk saat kamu sudah menikah."

"Ayah sangat jahat!" protes Chelsea. "Aku ini putrimu. Kenapa kamu begitu?"

"Justru karena kamu putriku, aku berusaha mendidikmu dengan baik," tukas Argan. "Jika tidak, aku akan tetap membiarkanmu dengan bocah gelandangan itu."

"Ayah!" Chelsea menggertakkan giginya, terlihat sangat tidak senang.

Roan juga menyadari kedua tangan Chelsea yang menggenggam alat makan mengerat. Sepertinya, orang yang disebut 'bocah gelandangan' oleh Argan adalah orang yang berharga bagi Chelsea.

Roan memakan makanannya sambil termenung.

Sepertinya, perempuan itu memiliki pria lain di hatinya. Roan mulai mempertimbangkan, apakah akan baik-baik saja jika dia menikah nanti? Sementara perempuan yang menjadi calon istrinya justru menyimpan perasaan pada pria lain.

"Tristan bukan gelandangan!"

"Bisakah kamu tidak menyebut namanya?" Argan mengernyit tak suka. "Telingaku sakit mendengarnya."

Dia tak ingin membahas ini lagi. Waktunya terlalu berharga untuk membahasnya. Argan memusatkan perhatian pada istrinya, mengajaknya membicarakan hal lain tanpa memperdulikan Chelsea yang kini sangat marah. Juga Roan yang merasa sangat canggung di situasi ini.

"Oh ya, Roan?"

Saat Aliya tiba-tiba menyebut namanya, Roan sedikit tersentak.

"Dimana orang tuamu tinggal? Apa kami bisa bertemu dengan mereka?"

Sebelum pernikahan benar-benar dilangsungkan, bukankah mereka harus membicarakan dulu antara kedua belah pihak? Aliya merasa ia harus menemui keluarga Roan sebelum ini.

Roan tersenyum dan menjawab, "Orang tua saya sudah meninggal, Nyonya."

Aliya tertegun. Seketika, dia merasa tidak enak.

Chelsea yang mendengar hal itu pun agak terkejut.

"Saya hanya punya adik, dan sekarang dia tinggal di asrama sekolahnya. Saat pernikahan nanti, hanya kerabat dekat saya saja yang akan datang. Tidak terlalu banyak. Dan selain itu, mungkin saya juga akan mengundang beberapa rekan kerja," tutur Roan. Dia sedikit canggung saat mengatakan tentang pernikahan. Dia melirik ke arah Chelsea sekilas sebelum bicara. Tapi, meski begitu dia tetap harus mengatakannya, bukan? Karena bagaimana pun, ini adalah pernikahannya. 

"Aku minta maaf." Aliya menunjukkan perasaan sesal. "Aku tidak tahu jika orang tuamu sudah tiada."

"Tidak apa-apa, Nyonya." Roan tersenyum, menunjukkan jika itu tidak masalah sama sekali. "Sangat wajar jika Anda bertanya tentang orang tua saya, secara saya akan menikahi putri Anda."

"Tolong, bisakah kamu tidak memanggilku seperti itu?" tegur Aliya. Dia benar-benar tidak nyaman dengan panggilan yang diberikan Roan untuknya. "Panggil ibu saja. Bukankah kamu akan menikah dengan putriku?"

"Tapi-" Roan memang merasa tidak enak karena dia membuat Aliya tak nyaman dengan panggilannya. Namun, mendengar permintaannya itu, Roan masih tak berani. Jadi dia melirik Argan untuk melihat pendapatnya.

Pria itu tampak mengangguk, setuju dengan ucapan istrinya.

"Benar. Panggil kami selayaknya orang tuamu. Panggilanmu pada kami sebelumnya benar-benar tidak enak didengar."

Ternyata Argan juga mengeluhkan hal yang sama.

Roan tersenyum kecil. Dia harus mulai terbiasa, karena kedepannya dia akan menjadi bagian dari mereka.

"Baik." Roan memilih untuk patuh. "Maaf karena membuat kalian tidak nyaman sebelumnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status