Melisa merasa sangat cemburu saat melihat Roan dan Chelsea keluar dari ruangan dengan bergandengan tangan. Kemesraan mereka membuat dadanya panas. Melisa benar-benar ingin mendekati mereka dan memisahkan keduanya. Mereka tidak cocok! Karena Melisa berharap dirinyalah yang berada di sana, tepat di samping Roan."Roan." Melisa mencoba bersikap biasa. Dia berjalan menghampiri mereka. Sekilas, dia melirik Chelsea dan beradu pandang penuh permusuhan. Namun, Melisa segera memusatkan perhatiannya pada Roan. Dia tak ingin pria itu menyadari ketidaksukaannya terhadap istrinya itu. Melisa juga berpikir jika keberadaan Chelsea di sana tak begitu berarti. Dia hanya cukup memperhatikan Roan saja. Melisa menganggap Chelsea hanya sosok makhluk halus."Kau mau kemana?""Aku akan makan siang dengan istriku," jawab Roan, seadanya. Dia melempar senyum pada Chelsea saat mengatakannya dan dibalas senyum yang sama oleh istrinya itu."Bukankah aku sudah memberikan makan siang untukmu?" tanya Melisa, melipat
Chelsea tersentak saat seseorang menarik tangannya begitu saja. Dia semakin terkejut ketika mengetahui jika ternyata orang yang menariknya adalah mantan kekasihnya yang baru ia campakkan."Lepaskan, Tristan!""Tidak, Chels!" Tristan menolak. Pria itu marah. Apalagi saat dia melihat hubungan Chelsea yang semakin lengket dengan suaminya. Amarah Tristan serasa mau meledak. "Apa maksudnya ini? Kau membuangku karena kau mulai mencintai pria itu?""Memang apa urusanmu?" balas Chelsea tak mau kalah. "Ini pernikahanku. Kau tidak perlu tahu apapun. Lagipula, kita sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi.""Oh, ya?" Tristan mendengus sinis. "Kau pikir mudah untuk lepas dariku, Sayang?"Chelsea mulai waspada. Terlebih, ketika dia menyadari jika pria ini ternyata memiliki sifat yang begitu licik."Apa yang kau inginkan?" tanya Chelsea. "Uang?"Tristan terkekeh. "Chelsea, aku tahu kau kaya. Tapi, aku tidak menginginkan uang darimu."Karena uang yang diberikan Chelsea tidak akan sebanding dengan u
Argan masuk ke dalam setelah salah satu anak buahnya berhasil mendobrak pintu. Dia melangkah dengan santai. Kepalanya menoleh ke arah ranjang, tepat ke arah putrinya yang terlihat meringkuk ketakutan, menyembunyikan tubuhnya dengan selimut tebal.Argan melepas jasnya lalu melemparkannya ke arah Chelsea.Chelsea tersentak. Dia menoleh, baru menyadari jika yang datang menyelamatkannya adalah ayahnya dan anak buahnya. Buru-buru Chelsea mengambil jas yang dilemparkan ayahnya itu dan segera memakainya untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang sudah tak mengenakan apapun.Dia hampir menangis karena gembira melihat kedatangan ayahnya. Ingin dia berlari ke pelukan pria itu. Namun, ayahnya sepertinya masih ingin melampiaskan amarahnya pada Tristan.Sejak awal, pandangan Argan hanya tertuju pada pria yang berani menculik putrinya dan lecehkannya.Pandangan Argan tampak menggebu. Dia melangkah mendekati pria itu yang masih berusaha bangun dari posisinya.Argan membiarkan anak buahnya yang tadi pe
Roan meregangkan tangannya setelah ia merasa puas melampiaskan amarah yang sejak tadi berusaha ia tahan. Kini, orang yang baru saja menjadi pelampiasan amarahnya itu tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Kondisinya mengenaskan. Wajahnya babak belur dan berlumuran darah. Giginya ada yang copot karena Roan yang memukulnya terlalu keras. Roan juga menendang perut korbannya itu hingga dia memuntahkan darah. Sepertinya, kondisinya sangat buruk setelah Roan menghajarnya kali ini."Ini mungkin akan menimbulkan masalah untukku. Tapi aku tidak peduli," gumam Roan. Dia terlalu berlebihan menghukum Tristan. Tapi Roan tak menyesal sedikit pun. Jika dia tak menerima peringatan dari ayah mertuanya, Roan akan memilih untuk membunuh pria ini."Sepertinya tidak akan, Tuan." Bodyguard Argan yang menemani Roan di sisinya menyahut. Dia berpendapat, "kau melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Saya rasa, Tuan Besar justru akan senang dengan tindakanmu ini."Pria itu berjongkok, memeriksa napas dan na
Chelsea memeluk Roan cukup lama. Setelah tiba di rumah dan selepas ia membersihkan diri yang tidak memakan waktu sebentar, Chelsea mendekap tubuh suaminya dengan erat.Roan sudah menegur dan meminta Chelsea melepaskan pelukannya. Bukan tak suka atau tak menginginkannya. Tapi mereka memiliki banyak hal yang harus dilakukan."Sayang!" Roan menegur sekali lagi. Dia sudah hampir menyerah untuk bicara pada istrinya.Namun, jawaban Chelsea masih sama. Perempuan itu tetap menggelengkan kepalanya. Tak ingin menuruti permintaan Roan."Biarkan seperti ini," rengek Chelsea. Dia mendongak, menatap Roan yang lebih tinggi darinya. "Aku masih merindukanmu."Roan terkekeh gemas. Dia mencubit puncuk hidung istrinya itu dan berceletuk, "ternyata kau itu sangat manja, ya?""Seharusnya, kamu sudah tahu itu," tanggap Chelsea. "Bukankah sikapku memang seperti ini? Apa kamu tidak memperhatikan?""Emm, tidak juga." Roan berusaha mengingat saat pertama kali dia mengenal Chelsea. Sejujurnya, ia memang tak meng
"Tristan?" Argan mendengus remeh. "Apa yang dia punya? Dia bahkan tidak bisa membelikan sepatu untukmu.""Ayah!" Chelsea memekik tak terima. Dia tentu sadar jika Tristan tak sekaya keluarganya. Tapi Chelsea benar-benar mencintai pria itu."Kamu sangat bodoh," ucap Argan, merutuki putrinya itu. "Setidaknya, pilihlah pria yang lebih baik. Dia bahkan setara dengan gelandangan di jalanan.""Argan." Aliya merasa khawatir karena kata-kata suaminya terdengar memprovokasi. Putri mereka tidak akan bisa bersabar lebih lama. Dia mungkin sakit hati dan mengamuk. Aliya tentu tak ingin terjadi pertengkaran antara keduanya.Argan tak mendengarkan teguran Aliya, namun dia tak mengabaikannya. Pria itu menggenggam tangan istrinya yang diletakkan di atas punggung tangannya. Meyakinkannya jika dia baik-baik saja meski bicara demikian pada putri mereka."Aku sudah menentukan pria yang layak bagimu, Chelsea. Jika kamu menolak, jangan harap pria pujaanmu itu akan baik-baik saja."Argan tidak main-main denga
Chelsea menunggu Tristan yang biasa menjemputnya. Pria itu datang tepat waktu, dan menyapa dengan hangat saat tiba menemuinya."Selamat pagi, Sayang!"Tapi Chelsea pagi ini sedikit berbeda. Dia masih berdiri di samping mobil, melipat kedua tangannya di dada. Dia masih menyimpan kekesalannya tentang kejadian janggal semalam.Tristan sepertinya menyadari hal itu. Dia pun keluar dari mobil untuk menghampiri Chelsea."Ada apa?" tanya pria itu dengan nada yang halus. Dia juga meraih kedua tangan pacarnya itu untuk ia genggam. Tatapannya sangat hangat. Membuat Chelsea terhanyut untuk sesaat."Aku meneleponmu semalam," ucap Chelsea. Dia mengatakannya dengan wajah tertekuk. Dia terlihat sedikit kesal. "Bukan kamu yang menjawab.""Aku tahu." Tristan menjawab dengan tenang. Dia tidak terlihat panik sedikit pun. Pria itu menjelaskan, "Handphoneku terbawa oleh temanku setelah kami bercengkrama di sebuah Caffe. Aku baru mengambilnya pagi ini di apartemennya."Chelsea akhirnya mengerti setelah mend
"Chelsea." Tristan terkekeh, masih mencoba menyangkalnya. Meski dalam hati dia mulai khawatir. "Hentikan lelucon ini. Okay, kamu berhasil menghiburku. Aku rasa sudah cukup.""Tapi Tristan, aku serius!""Apa kamu marah? Kenapa harus bercanda seperti ini?""Tristan!"Chelsea menghempaskan kedua tangannya yang dipegang Tristan. Dia kehilangan kesabaran karena Tristan terus menyangkal ucapannya. Padahal Chelsea sedang serius saat ini. Dia hanya ingin Tristan mengerti."Aku tidak main-main. Aku serius. Ayahku benar-benar sudah menetapkan calon suami untukku."Chelsea merasa berat mengatakannya. Dia juga tak menginginkan hal ini. Tapi, dia tak bisa melawan keputusan ayahnya."Maafkan aku." Chelsea benar-benar merasa bersalah sekarang.Tristan merasa bahunya melemas. Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Dia tidak menyangka jika hubungan mereka akan menjadi seperti ini."Apakah itu sudah pasti?" Tristan sedikit buntu sekarang. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mencegah hal itu t