"Kamu harus tahu, aku tidak menyukaimu!"
Chelsea berdiri di depannya, masih mengenakan gaun pengantin. Dia sangat tidak sabar untuk menegaskan semuanya pada Roan supaya pria itu tidak terlalu berharap.
Tapi Roan terlihat sangat tenang dan sedikit acuh. Dia menanggapi ucapan Chelsea tanpa emosi, "Aku tahu."
"Ada pria lain yang aku cintai."
Chelsea tak merasa bersalah saat mengakui hal itu. Dia memperhatikan reaksi Roan. Tapi pria itu tak menunjukkan emosi apapun.
Dia tampak melepas dasi dari kerahnya. Dia mendengarkan semua ucapan Chelsea tapi tidak terlalu menanggapi.
"Aku ingin membuat kesepakatan."
Roan menghela napas. Dia menatap Chelsea dan bertanya, "Tidakkah kamu lelah?"
Roan saja sudah menahan kantuk sejak tadi. Dia mengikuti acara pernikahan ini sepanjang hari. Dia tidak bisa beranjak dari podium, menerima setiap ucapan selamat dari para tamu. Roan juga kesulitan mencari waktu untuk mengisi perutnya. Dan kini, Chelsea justru malah mencecarnya dengan tidak sabar. Mereka bahkan baru selesai. Mereka baru bisa beristirahat.
"Jika ingin membicarakan sesuatu, kita bisa membicarakannya besok."
Roan melenggang ke kamar mandi setelah berhasil melepas dasinya. Dia membiarkan dua kancing teratasnya terbuka. Dia sudah kegerahan dan lengket karena keringat. Dia ingin segera merasakan segarnya air. Penampilannya tampak berantakan, tidak seperti biasanya.
Tapi Chelsea yang melihatnya justru terpana. Pria itu terlihat lebih tampan. Bahkan, sejak pria itu melayangkan tatapan kesal tadi, Chelsea dibuat tertegun.
Setelah Roan sepenuhnya masuk ke kamar mandi, Chelsea membenamkan wajahnya di bantal dan memekik frustasi. Bagaimana bisa dia terpesona pada suaminya itu?
****
Roan selesai mandi dalam lima menit, dia melihat Chelsea juga sudah berganti pakaian dan tampak lebih segar. Dia sepertinya menggunakan kamar mandi di kamar lain karena tak ingin menunggu Roan selesai.
Diam-diam, Chelsea memperhatikan Roan dari bayangan cermin sembari mengenakan perawatan kulitnya. Saat Roan melirik ke arahnya, Chelsea akan berpura-pura tidak melihatnya.
Chelsea mungkin tidak tahu, tapi Roan sadar jika perempuan itu memperhatikannya sejak tadi. Roan tak ingin mengungkitnya.
"Aku akan tidur di karpet." Roan melihat permadani berukuran sedang di kamar itu. Sepertinya itu cukup untuk tubuhnya.
Mendengar hal itu, Chelsea terperangah. Dia membanting produk perawatan kulitnya dan berjalan mendekati Roan.
"Apa maksudmu? Kamu menolak tidur denganku?" tanya Chelsea marah.
Roan terkejut. Dia tidak tahu jika Chelsea akan marah hanya karena dia berkata akan tidur di karpet. Bukankah perempuan itu tidak menyukainya? Seharusnya, dia juga tak ingin mereka tidur bersama, kan?
"Apa ... kamu mau melakukan itu?" Roan bertanya hati-hati.
Wajah Chelsea seketika memerah padam. Dia menjauh, dan memalingkan wajah dengan kesal. "Bu-bukan itu!"
Dia memelankan suaranya, tidak seperti sebelumnya. Chelsea kini sedikit malu. Karena ucapannya yang ambigu, Roan jadi salah paham terhadapnya.
"Aku hanya merasa jika kamu menolakku. Aku merasa harga diriku terluka." Chelsea berusaha menjelaskan. "Bukan berarti aku ingin melakukan 'itu'. Tapi, bukankah terlalu kejam membiarkan aku tidur sendiri di malam pertama pernikahan kita?"
Roan meliriknya. Dia mencoba mengerti perkataan Chelsea. Perempuan itu mungkin hanya tersinggung.
Roan sebenarnya tetap ingin menolak, tapi dia tak sampai hati jika harus melukai Chelsea. Bagaimana pun, perempuan itu kini adalah istrinya. Roan tidak mungkin menyakitinya saat mereka baru saja sah menjadi suami istri.
"Baiklah." Roan mengangguk, menyetujuinya. "Aku akan tidur di ranjang, bersamamu."
Chelsea menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dia mencoba bersikap tenang meski sebenarnya cukup gugup.
"Aku berjanji tidak akan menyentuhmu."
Itulah yang ingin dia dengar. Pria itu sangat tahu diri. Chelsea seharusnya senang. Tapi, kenapa dia justru merasa kesal?
Saat Roan berbaring di ranjang, menyamping ke arah kanan. Seolah sengaja akan memunggunginya sepanjang malam, Chelsea pun mendelik jengkel.
"Suami macam apa dia?!" batin Chelsea menjerit.
****
Chelsea dibuat kesal di pagi hari karena Roan meninggalkannya untuk bangun lebih awal. Seharusnya pria itu membangunkannya, bukan? Meski Chelsea tidak terlambat, rasanya dia tetap tidak terima dengan sikap Roan yang seakan tidak memperdulikannya.
Untuk memperbaiki moodnya yang buruk, Chelsea meminta Roan untuk menemaninya berbelanja. Mereka masih cuti, jadi mereka memiliki cukup banyak waktu untuk bersenang-senang.
Mereka berdua pergi ke sebuah Mall setelah selesai sarapan.
Chelsea menyeret Roan ke berbagai toko. Dari mulai toko baju, tas, hingga sepatu.
Roan sampai pusing melihat bagaimana lincahnya istrinya ini bergerak melihat berbagai barang yang menarik di matanya.
Tapi, di tengah kegiatan itu, Chelsea tiba-tiba membeku. Dia menemukan seseorang yang dia kenal di Mall itu. Lalu tanpa ragu memanggilnya, "Tristan!"
Roan menoleh, melihat siapa yang dipanggil Chelsea. Dia ingat jika dia telah mendengar nama itu sebelumnya.
"Chelsea?" Tristan terkejut melihat keberadaan pacarnya itu. Dia hanya terpaku di tempat, sementara Chelsea berlari ke arahnya.
"Tristan, aku sangat senang kita bisa bertemu di sini."
"Oh, ya?" Tristan tertawa kecil dengan kaku. Pandangannya lalu menemukan pria lain yang tampaknya bersama Chelsea sebelumnya. Dia juga berjalan mendekat. "Kamu dengan dia? Siapa dia?"
Saat Tristan bertanya seperti itu, Chelsea menegang. Dia hampir lupa jika saat ini Roan bersamanya.
"Aku Roan." Roan dengan senang hati mengulurkan tangannya. "Suami Chelsea."
Baik Chelsea maupun Tristan terkejut mendengar pengakuan Roan yang berani.
"Kau?" Tristan terkekeh sinis. Kini pandangannya menjadi sangat tidak bersahabat. "Jangan bercanda! Gadis ini adalah pacarku!"
Dia tanpa segan merangkul Chelsea di depannya. Roan yang melihat itu merasa tidak nyaman. Saat istrinya sendiri justru berada di pelukan pria lain. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena Chelsea sendiri seolah tidak menolak.
"Tapi kami sudah menikah. Janji suci yang kami ucapkan di hadapan Tuhan juga bukan sebuah lelucon," balas Roan. Dia menatap Chelsea dan bertanya, "Benar 'kan, istriku?"
Chelsea menjadi sangat malu. Perlahan, dia menjauh dari Tristan, melepaskan tangan pria itu dari bahunya. Tapi, Tristan yang tidak terima justru memeluk Chelsea semakin erat.
Chelsea tidak lagi banyak bicara. Dia merasa telah melakukan kesalahan. Ia bahkan tak berani menatap Roan. Setelah pertemuan tak terduga antara mereka dengan Tristan, perasaan Chelsea mendadak jadi gelisah.Padahal seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah. Karena sejak awal dia sendiri telah menegaskan pada Roan jika dia memiliki pria idaman lain. Namun, Chelsea sendiri tidak mengerti mengapa dia harus merasa bersalah pada Roan."Besok kamu mulai bekerja?"Pertanyaan Roan membuat Chelsea tersentak kecil. Di tengah acara makan malam mereka ini sejak tadi hanya diisi hening. Sampai akhirnya sekarang Roan memecah itu semua. Apakah dia merasa tidak nyaman dengan keterdiaman diantara mereka? Atau mungkin Roan hanya ingin berbasa basi dengannya?"Ya." Chelsea membenarkan. "Bukannya kamu juga?"Roan mengangguk. Mereka memang tidak diberi waktu libur yang lama. Hanya tiga hari. Hal itu karena ulah Argan yang kesal lantaran mereka menolak tawarannya untuk honeymoon. Padahal Argan berjanji ak
Tanpa Roan tahu, Chelsea di rumah menunggu kepulangannya. Dia berjalan mondar mandir, merasa gelisah karena malam semakin larut. Namun Roan belum kunjung pulang."Sebenarnya kemana dia?" gumam Chelsea, menggerutu.Dia ingin menghubungi Roan. Tapi tidak bisa. Betapa bodohnya dia, Chelsea bahkan tak memiliki nomor handphone suaminya sendiri. Hal ini kini menyulitkannya. Karena Chelsea menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya. Kini dia menyesal tidak sempat meminta nomor handphone pria itu.Waktu hampir menunjukkan tengah malam, Chelsea hampir tertidur di sofa. Dia masih belum menyerah untuk menunggu Roan. Tapi, suara dering di handphonenya seketika membuat ia terbangun. Chelsea begitu bersemangat mengintip layar handphone. Namun dia kembali kecewa saat melihat jika bukan suaminya yang menghubunginya, melainkan Tristan. Meski begitu, Chelsea tetap mengangkat panggilan dari pacarnya itu."Ada apa, Tristan?" tanya Chelsea. "Mengapa tengah malam begini menghubungiku?""Tidak apa-apa
Roan menerima banyak ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya saat dia tiba di kantor. Beberapa orang yang sebelumnya tidak bisa hadir di acara pernikahannya bahkan turut memberikan hadiah sebagai permintaan maaf. Roan menghargai semua usaha mereka. Pria itu memiliki sikap yang ramah sehingga banyak orang yang menyukainya."Roan." Seorang perempuan mendekatinya setelah orang-orang yang semula mengerubunginya mulai pergi. Kini hanya tersisa mereka berdua. Perempuan itu memiliki kesempatan untuk bicara. "Ini sangat kejam. Mengapa aku tahu paling akhir tentang pernikahanmu?"Roan tersenyum ringan. "Bagaimana lagi? Saat itu kamu tidak berada di kota ini. Tapi aku sudah mengabarimu, bukan?""Handphone-ku hilang sehari setelah sampai di sana," ucap perempuan itu. Sehingga pesan yang Roan kirim padanya tidak pernah sampai. Hal itulah yang membuat perempuan itu sangat kecewa. "Aku justru mengetahui semuanya saat kembali masuk kantor. Waktu itu, kamu sudah menikah, dan masih cuti.""Maafkan ak
"Roan, tunggu!"Melisa mengejar Roan yang tampak sengaja menghindarinya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya bisa menghentikan pria itu dengan menahan lengannya. Melisa tidak menyukai hubungan mereka yang menjadi seperti ini. Melisa awalnya melakukan ini karena dia hanya ingin jujur, supaya Roan tahu tentang perasaannya. Tapi, Melisa merasa tak terima jika hubungan mereka menjadi seperti ini."Apa kesalahanku?" Melisa terlihat sangat sedih. Dia tidak mengatakan sesuatu yang salah. Perasaannya juga bukan sesuatu yang bisa merugikan Roan. Mengapa pria itu harus bersikap seperti ini padanya. "Kau marah karena aku menyukaimu? Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu? Roan, aku hanya berterus terang. Aku tidak bermaksud apapun.""Aku tahu, Mel." Roan menurunkan tangan perempuan itu dari lengannya. Pria itu menghela napas, lalu menatap Melisa dan berkata, "Maaf jika sikapku membuat kamu sedih. Aku hanya terkejut."Melisa memaklumi hal ini. Tapi, hatinya tetap merasa sedih saat Roan m
Roan baru tiba di rumah. Dia sedikit terlambat pulang karena banyaknya pekerjaan di kantor setelah cuti yang dia ambil. Roan juga sudah mengabari Chelsea supaya perempuan yang kini berstatus sebagai istrinya itu tidak khawatir. Roan tentu tidak ingin membuat istrinya itu menunggu.Setelah dia memarkirkan mobilnya, Roan segera masuk ke dalam rumah. Dia terkejut melihat Chelsea tengah duduk di ruang makan. Ia kira, istrinya itu sudah tidur karena malam sudah semakin larut.Sambil berjalan mendekatinya, Roan bertanya, "Mengapa belum tidur?"Tanpa menoleh pada Roan, Chelsea menjawab, "Apa aku tidak boleh menunggu suamiku?"Roan merasa suasana sekitar menjadi sangat dingin. Mungkin, ini karena sikap Chelsea yang tidak biasa. Perempuan itu menunjukkan sikap permusuhan yang lebih kental dari sebelumnya.Roan mulai berpikir, apakah dia melakukan kesalahan?"Aku sudah mengabarimu untuk tidak menungguku. Itu hanya akan membuat dirimu kerepotan."Chelsea beranjak. Kakinya melangkah mendekati Roa
Chelsea menghembuskan napas kasar. Pagi ini dia hanya berniat menghindari Roan. Tapi dia lupa jika Tristan selalu menunggunya. Dia telah melakukan kebodohan kecil. Chelsea seharusnya segera meminta maaf supaya pacarnya itu tidak berlarut-larut marah padanya.Meski, Chelsea masih sedikit bingung mengapa Tristan sedikit kasar padanya? Biasanya, jika marah pria itu akan lebih memilih mendiamkannya daripada mencecarnya. Ini sangat aneh. Chelsea yang tidak terbiasa merasa terganggu dengan sikap yang berbeda itu."Ada apa? Sudah bosan bekerja?"Chelsea tersentak. Dia tak sadar kapan seseorang datang ke ruang kerjanya. Tiba-tiba saja ayahnya sudah berdiri di depannya, setelah menyimpan sebuah berkas di meja."Ayah, mengagetkan saja." Chelsea mencebikkan bibirnya."Kau melamun di jam kerja. Apa kau pikir ini rumahmu sehingga kau bisa bersikap sesuka hati?""Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," tukas Chelsea. Dia memberikan ayahnya tatapan jengkel. "Berhenti memarahiku! Aku tidak akan fokus m
Chelsea bersiap untuk pulang. Ketika dia melihat mobil yang biasa menjemputnya, dia pun segera mendekat dan masuk."Pak Danang datang tepat waktu," ucap Chelsea seraya menghembuskan napas lega. Saat dia menoleh, dia terkejut mengetahui jika bukan Danang-lah yang mengendarai mobil itu."Roan? Bagaimana kamu bisa di sini?""Untuk menjemputmu," ucap Roan, seraya bersiap untuk kembali melajukan mobilnya.Namun, Chelsea dengan cepat menghentikannya. "Tunggu!"Perempuan itu kembali turun. Roan sempat mengira jika Chelsea menolak untuk dijemput olehnya dan memilih pergi. Tapi ternyata, istrinya itu hanya berpindah ke kursi depan. Tepat di samping Roan."Aku tidak keberatan jika kamu duduk di belakang," ucap Roan."Aku tidak mungkin seperti itu. Kamu bukan supir, melainkan suamiku. Rasanya sangat tidak pantas," tukas Chelsea. Dia tak memperdulikan ekspresi Roan saat ini. Dia menyuruh Roan untuk segera melajukan mobilnya, "ayo pergi!"Roan pun kembali melajukan mobilnya.Selama perjalanan, mer
Chelsea menemui ayahnya hanya untuk memastikan sesuatu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak ia ketahui tentang suaminya."Katakan sejujurnya padaku Ayah, sebenarnya siapa Roan itu?""Suamimu, tentu saja," jawab Argan lugas. Pria itu mengedikkan bahunya dengan acuh. "Bukankah kamu sudah tahu tentang itu? Mengapa masih bertanya? Apa kamu lupa ingatan?""Maksudku bukan itu!" pekik Chelsea, geram.Status yang tersemat di diri pria itu tentu saja tidak akan dia lupakan. Hanya saja, setelah kejadian kemarin, Chelsea merasa ia tidak mengetahui apapun tentang Roan."Aku menerima uang dari Roan, dan jumlahnya tidak sedikit. Aku rasa ini sangat aneh. Bukankah dia hanya karyawan biasa? Rasanya tidak mungkin jika gajinya sebesar itu," ucap Chelsea. Kepalanya penuh dengan tanda tanya. Karena itu, dia mendatangi ayahnya dengan harap bisa menemukan jawaban."Itu bagus." Argan terlihat sangat puas mendengarnya. "Aku tahu dia bisa dipercaya.""Apa maksud Ayah?" tanya Chelsea jengkel. Ucapan ayahnya itu s