Chelsea menunggu Tristan yang biasa menjemputnya. Pria itu datang tepat waktu, dan menyapa dengan hangat saat tiba menemuinya.
"Selamat pagi, Sayang!"
Tapi Chelsea pagi ini sedikit berbeda. Dia masih berdiri di samping mobil, melipat kedua tangannya di dada. Dia masih menyimpan kekesalannya tentang kejadian janggal semalam.
Tristan sepertinya menyadari hal itu. Dia pun keluar dari mobil untuk menghampiri Chelsea.
"Ada apa?" tanya pria itu dengan nada yang halus. Dia juga meraih kedua tangan pacarnya itu untuk ia genggam. Tatapannya sangat hangat. Membuat Chelsea terhanyut untuk sesaat.
"Aku meneleponmu semalam," ucap Chelsea. Dia mengatakannya dengan wajah tertekuk. Dia terlihat sedikit kesal. "Bukan kamu yang menjawab."
"Aku tahu." Tristan menjawab dengan tenang. Dia tidak terlihat panik sedikit pun. Pria itu menjelaskan, "Handphoneku terbawa oleh temanku setelah kami bercengkrama di sebuah Caffe. Aku baru mengambilnya pagi ini di apartemennya."
Chelsea akhirnya mengerti setelah mendengar penjelasan Tristan. Ia rasa, pemikirannya sebelumnya memang terlalu berlebihan.
"Apa ada yang dia katakan sampai kamu marah?" Tristan bertanya, khawatir. "Dia membuatmu tersinggung? Apa dia mengatakan kata-kata yang tidak pantas?"
Chelsea mulai merasa bersalah. Chelsea merasa tidak seharusnya dia berprasangka buruk pada pacarnya itu.
"Tidak. Aku hanya mengira jika kamu berada di tempat yang sama dengannya," ungkap Chelsea, dengan wajah bersalah. "Maafkan aku karena sempat curiga."
"Memang dimana?"
"Itu ...." Chelsea ragu-ragu untuk mengatakannya. Dia melirik Tristan sesaat, lalu melanjutkan, "dia sepertinya berada di club malam."
Mendengar itu, Tristan terperangah.
"Sayang, kamu tahu 'kan aku orang yang seperti apa?" Pria itu meletakkan kedua tangannya di pundak Chelsea, berusaha meyakinkannya. "Mana mungkin aku datang ke tempat itu? Tempat itu bau alkohol, dan dipenuhi wanita-wanita liar. Aku sangat membenci tempat seperti itu."
"Aku tahu." Chelsea tersenyum kecil. Merasa sangat kagum padanya karena sifatnya itu. "Maaf karena sempat mencurigaimu."
"Tidak apa-apa." Tristan tidak mempermasalahkannya. "Kamu hanya perlu percaya padaku sekarang. Tidak perlu banyak berpikir. Aku-"
Ucapan Tristan tak bisa diselesaikan karena suara klakson yang tiba-tiba membuat keduanya terkejut. Mereka menoleh ke samping, melihat Argan yang berada di mobilnya memandang mereka dengan kesal.
"Bisakah kalian menyingkir? Ini bukan tempat umum!" tegur Argan.
Chelsea mendelik kesal.
"Ayah bisa memanggil kami. Kami bisa menyingkir dengan segera. Untuk apa membunyikan klakson? Ayah membuat jantungku hampir copot." Perempuan itu menggerutu, sangat kesal dengan ulah ayahnya yang sepertinya sengaja merusak suasana romantis antara dirinya dengan pacarnya.
Karena tak ingin membuat ayah Chelsea semakin kesal, Tristan menarik tangan Chelsea untuk segera menyingkir. Sehingga mobil Argan bisa melaju tanpa halangan.
Namun, pria itu masih berhenti sebentar untuk memandang mereka dengan sinis.
"Jika ingin bermesraan, pilihlah tempat lain. Mataku sakit melihat kalian. Apalagi pria jelek sepertimu!" Dia menatap Tristan penuh permusuhan.
"Ayah!" Chelsea kembali menegurnya.
Argan melajukan mobilnya, tak memperdulikan protesan putrinya. Dia sudah mengatakan sebelumnya jika dia tak menyukai pria itu. Tapi Chelsea masih saja berhubungan dengannya. Sepertinya, rencana yang dia buat harus segera dilakukan.
"Bocah itu terlalu berani bermimpi menjadi bagian dari Alfred." Argan berdecih sinis.
"Tristan, maafkan ayahku." Chelsea sangat merasa bersalah pada pacarnya. Ini bukan pertama kalinya ayahnya menghina Tristan, dia juga selalu bersikap ketus padanya. Tapi, Tristan yang terlalu baik tak pernah membalas ayahnya atau menaruh dendam.
"Aku baik-baik saja." Tristan tersenyum, meski perasaannya tidak benar-benar baik.
Argan selalu memandangnya dengan sorot merendahkan. Pria itu seperti sangat membencinya. Tiap kali bertemu, dia seolah tak habis-habis membuat Tristan merasa diinjak-injak.
"Sebenarnya, ada yang ingin aku bicarakan."
Chelsea merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya. Semakin cepat akan semakin baik.
Tapi, Chelsea sedikit khawatir jika perkataannya kali ini akan menyakiti pacarnya itu. Dia pun tidak sanggup untuk menatap Tristan saat mengajaknya bicara.
"Bagaimana jika kita melanjutkan pembicaraan sambil berangkat?" ucap Tristan, mengusulkan. "Kamu mungkin akan terlambat."
Chelsea mengangguk, menyetujuinya. Dia juga sadar jika mereka sudah terlalu membuang-buang waktu.
Saat mereka sudah duduk dan mobil pun sudah melaju, Tristan kembali bertanya tentang apa yang ingin dibicarakan Chelsea padanya.
"Sebelumnya, aku ingin minta maaf. Ini mungkin akan menyakitimu."
"Menyakitiku?" Tristan tersenyum geli. Tidak terlalu percaya karena dia tahu Chelsea tidak pernah bisa menyakitinya. "Benarkah? Memang apa itu?"
"Aku ... sepertinya tidak bisa lebih lama bersamamu."
"Kau ... Apa?!" Tristan yang awalnya santai, kini menoleh terkejut pada Chelsea. Dia menghentikan mobilnya sejenak di tepi jalan. Masalah ini tampaknya lebih serius dari dugaannya.
"Apa maksudmu?" Tristan terkekeh, masih belum percaya. "Kamu pasti bercanda, kan?"
"Aku sungguh-sungguh," tukas Chelsea. Meski khawatir akan menyakiti Tristan, dia tetap mengatakan kebenarannya. Hubungannya dengan Tristan tak bisa bertahan lebih lama. "Ayahku sudah memilihkan calon suami untukku. Aku ... akan segera menikah."
"Chelsea." Tristan terkekeh, masih mencoba menyangkalnya. Meski dalam hati dia mulai khawatir. "Hentikan lelucon ini. Okay, kamu berhasil menghiburku. Aku rasa sudah cukup.""Tapi Tristan, aku serius!""Apa kamu marah? Kenapa harus bercanda seperti ini?""Tristan!"Chelsea menghempaskan kedua tangannya yang dipegang Tristan. Dia kehilangan kesabaran karena Tristan terus menyangkal ucapannya. Padahal Chelsea sedang serius saat ini. Dia hanya ingin Tristan mengerti."Aku tidak main-main. Aku serius. Ayahku benar-benar sudah menetapkan calon suami untukku."Chelsea merasa berat mengatakannya. Dia juga tak menginginkan hal ini. Tapi, dia tak bisa melawan keputusan ayahnya."Maafkan aku." Chelsea benar-benar merasa bersalah sekarang.Tristan merasa bahunya melemas. Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Dia tidak menyangka jika hubungan mereka akan menjadi seperti ini."Apakah itu sudah pasti?" Tristan sedikit buntu sekarang. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mencegah hal itu t
Argan sepertinya sangat tidak sabar untuk menikahkan putrinya. Dia tak ingin menunggu lebih lama. Sehingga dia bergegas mengurus semuanya. Padahal Chelsea sudah melayangkan protes karena berpikir ini terlalu cepat."Jika sudah menikah nanti, jangan menunda untuk punya anak." Argan tiba-tiba berceletuk di tengah acara makan. Roan yang mendengarnya langsung tersedak. "Aku tidak keberatan memiliki cucu meski belum begitu tua.""Ayah!" Chelsea berdesis jengkel, lalu melengos.Aliya yang menyaksikan itu justru tertawa kecil. Dia tahu jika suaminya sangat senang dengan perjodohan yang dia rancang karena berjalan dengan cukup baik. Aliya menjadi ikut senang karenanya."Apapun itu, jika kalian menikah nanti, berusahalah untuk saling mengerti." Aliya memandang putri serta calon menantunya itu dengan penuh perhatian. "Kalian mungkin akan menerima banyak kejutan saat pernikahan. Ada banyak perbedaan dan ketidaksesuaian pendapat, kalian harus bisa mengatasinya. Pertengkaran adalah hal yang akan d
"Kamu harus tahu, aku tidak menyukaimu!"Chelsea berdiri di depannya, masih mengenakan gaun pengantin. Dia sangat tidak sabar untuk menegaskan semuanya pada Roan supaya pria itu tidak terlalu berharap.Tapi Roan terlihat sangat tenang dan sedikit acuh. Dia menanggapi ucapan Chelsea tanpa emosi, "Aku tahu.""Ada pria lain yang aku cintai."Chelsea tak merasa bersalah saat mengakui hal itu. Dia memperhatikan reaksi Roan. Tapi pria itu tak menunjukkan emosi apapun.Dia tampak melepas dasi dari kerahnya. Dia mendengarkan semua ucapan Chelsea tapi tidak terlalu menanggapi."Aku ingin membuat kesepakatan."Roan menghela napas. Dia menatap Chelsea dan bertanya, "Tidakkah kamu lelah?"Roan saja sudah menahan kantuk sejak tadi. Dia mengikuti acara pernikahan ini sepanjang hari. Dia tidak bisa beranjak dari podium, menerima setiap ucapan selamat dari para tamu. Roan juga kesulitan mencari waktu untuk mengisi perutnya. Dan kini, Chelsea justru malah mencecarnya dengan tidak sabar. Mereka bahkan
Chelsea tidak lagi banyak bicara. Dia merasa telah melakukan kesalahan. Ia bahkan tak berani menatap Roan. Setelah pertemuan tak terduga antara mereka dengan Tristan, perasaan Chelsea mendadak jadi gelisah.Padahal seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah. Karena sejak awal dia sendiri telah menegaskan pada Roan jika dia memiliki pria idaman lain. Namun, Chelsea sendiri tidak mengerti mengapa dia harus merasa bersalah pada Roan."Besok kamu mulai bekerja?"Pertanyaan Roan membuat Chelsea tersentak kecil. Di tengah acara makan malam mereka ini sejak tadi hanya diisi hening. Sampai akhirnya sekarang Roan memecah itu semua. Apakah dia merasa tidak nyaman dengan keterdiaman diantara mereka? Atau mungkin Roan hanya ingin berbasa basi dengannya?"Ya." Chelsea membenarkan. "Bukannya kamu juga?"Roan mengangguk. Mereka memang tidak diberi waktu libur yang lama. Hanya tiga hari. Hal itu karena ulah Argan yang kesal lantaran mereka menolak tawarannya untuk honeymoon. Padahal Argan berjanji ak
Tanpa Roan tahu, Chelsea di rumah menunggu kepulangannya. Dia berjalan mondar mandir, merasa gelisah karena malam semakin larut. Namun Roan belum kunjung pulang."Sebenarnya kemana dia?" gumam Chelsea, menggerutu.Dia ingin menghubungi Roan. Tapi tidak bisa. Betapa bodohnya dia, Chelsea bahkan tak memiliki nomor handphone suaminya sendiri. Hal ini kini menyulitkannya. Karena Chelsea menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya. Kini dia menyesal tidak sempat meminta nomor handphone pria itu.Waktu hampir menunjukkan tengah malam, Chelsea hampir tertidur di sofa. Dia masih belum menyerah untuk menunggu Roan. Tapi, suara dering di handphonenya seketika membuat ia terbangun. Chelsea begitu bersemangat mengintip layar handphone. Namun dia kembali kecewa saat melihat jika bukan suaminya yang menghubunginya, melainkan Tristan. Meski begitu, Chelsea tetap mengangkat panggilan dari pacarnya itu."Ada apa, Tristan?" tanya Chelsea. "Mengapa tengah malam begini menghubungiku?""Tidak apa-apa
Roan menerima banyak ucapan selamat dari rekan-rekan kerjanya saat dia tiba di kantor. Beberapa orang yang sebelumnya tidak bisa hadir di acara pernikahannya bahkan turut memberikan hadiah sebagai permintaan maaf. Roan menghargai semua usaha mereka. Pria itu memiliki sikap yang ramah sehingga banyak orang yang menyukainya."Roan." Seorang perempuan mendekatinya setelah orang-orang yang semula mengerubunginya mulai pergi. Kini hanya tersisa mereka berdua. Perempuan itu memiliki kesempatan untuk bicara. "Ini sangat kejam. Mengapa aku tahu paling akhir tentang pernikahanmu?"Roan tersenyum ringan. "Bagaimana lagi? Saat itu kamu tidak berada di kota ini. Tapi aku sudah mengabarimu, bukan?""Handphone-ku hilang sehari setelah sampai di sana," ucap perempuan itu. Sehingga pesan yang Roan kirim padanya tidak pernah sampai. Hal itulah yang membuat perempuan itu sangat kecewa. "Aku justru mengetahui semuanya saat kembali masuk kantor. Waktu itu, kamu sudah menikah, dan masih cuti.""Maafkan ak
"Roan, tunggu!"Melisa mengejar Roan yang tampak sengaja menghindarinya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya bisa menghentikan pria itu dengan menahan lengannya. Melisa tidak menyukai hubungan mereka yang menjadi seperti ini. Melisa awalnya melakukan ini karena dia hanya ingin jujur, supaya Roan tahu tentang perasaannya. Tapi, Melisa merasa tak terima jika hubungan mereka menjadi seperti ini."Apa kesalahanku?" Melisa terlihat sangat sedih. Dia tidak mengatakan sesuatu yang salah. Perasaannya juga bukan sesuatu yang bisa merugikan Roan. Mengapa pria itu harus bersikap seperti ini padanya. "Kau marah karena aku menyukaimu? Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu? Roan, aku hanya berterus terang. Aku tidak bermaksud apapun.""Aku tahu, Mel." Roan menurunkan tangan perempuan itu dari lengannya. Pria itu menghela napas, lalu menatap Melisa dan berkata, "Maaf jika sikapku membuat kamu sedih. Aku hanya terkejut."Melisa memaklumi hal ini. Tapi, hatinya tetap merasa sedih saat Roan m
Roan baru tiba di rumah. Dia sedikit terlambat pulang karena banyaknya pekerjaan di kantor setelah cuti yang dia ambil. Roan juga sudah mengabari Chelsea supaya perempuan yang kini berstatus sebagai istrinya itu tidak khawatir. Roan tentu tidak ingin membuat istrinya itu menunggu.Setelah dia memarkirkan mobilnya, Roan segera masuk ke dalam rumah. Dia terkejut melihat Chelsea tengah duduk di ruang makan. Ia kira, istrinya itu sudah tidur karena malam sudah semakin larut.Sambil berjalan mendekatinya, Roan bertanya, "Mengapa belum tidur?"Tanpa menoleh pada Roan, Chelsea menjawab, "Apa aku tidak boleh menunggu suamiku?"Roan merasa suasana sekitar menjadi sangat dingin. Mungkin, ini karena sikap Chelsea yang tidak biasa. Perempuan itu menunjukkan sikap permusuhan yang lebih kental dari sebelumnya.Roan mulai berpikir, apakah dia melakukan kesalahan?"Aku sudah mengabarimu untuk tidak menungguku. Itu hanya akan membuat dirimu kerepotan."Chelsea beranjak. Kakinya melangkah mendekati Roa