Share

2 | Aku Akan Menikah

Chelsea menunggu Tristan yang biasa menjemputnya. Pria itu datang tepat waktu, dan menyapa dengan hangat saat tiba menemuinya.

"Selamat pagi, Sayang!"

Tapi Chelsea pagi ini sedikit berbeda. Dia masih berdiri di samping mobil, melipat kedua tangannya di dada. Dia masih menyimpan kekesalannya tentang kejadian janggal semalam.

Tristan sepertinya menyadari hal itu. Dia pun keluar dari mobil untuk menghampiri Chelsea.

"Ada apa?" tanya pria itu dengan nada yang halus. Dia juga meraih kedua tangan pacarnya itu untuk ia genggam. Tatapannya sangat hangat. Membuat Chelsea terhanyut untuk sesaat.

"Aku meneleponmu semalam," ucap Chelsea. Dia mengatakannya dengan wajah tertekuk. Dia terlihat sedikit kesal. "Bukan kamu yang menjawab."

"Aku tahu." Tristan menjawab dengan tenang. Dia tidak terlihat panik sedikit pun. Pria itu menjelaskan, "Handphoneku terbawa oleh temanku setelah kami bercengkrama di sebuah Caffe. Aku baru mengambilnya pagi ini di apartemennya."

Chelsea akhirnya mengerti setelah mendengar penjelasan Tristan. Ia rasa, pemikirannya sebelumnya memang terlalu berlebihan.

"Apa ada yang dia katakan sampai kamu marah?" Tristan bertanya, khawatir. "Dia membuatmu tersinggung? Apa dia mengatakan kata-kata yang tidak pantas?"

Chelsea mulai merasa bersalah. Chelsea merasa tidak seharusnya dia berprasangka buruk pada pacarnya itu.

"Tidak. Aku hanya mengira jika kamu berada di tempat yang sama dengannya," ungkap Chelsea, dengan wajah bersalah. "Maafkan aku karena sempat curiga."

"Memang dimana?"

"Itu ...." Chelsea ragu-ragu untuk mengatakannya. Dia melirik Tristan sesaat, lalu melanjutkan, "dia sepertinya  berada di club malam."

Mendengar itu, Tristan terperangah.

"Sayang, kamu tahu 'kan aku orang yang seperti apa?" Pria itu meletakkan kedua tangannya di pundak Chelsea, berusaha meyakinkannya. "Mana mungkin aku datang ke tempat itu? Tempat itu bau alkohol, dan dipenuhi wanita-wanita liar. Aku sangat membenci tempat seperti itu."

"Aku tahu." Chelsea tersenyum kecil. Merasa sangat kagum padanya karena sifatnya itu. "Maaf karena sempat mencurigaimu."

"Tidak apa-apa." Tristan tidak mempermasalahkannya. "Kamu hanya perlu percaya padaku sekarang. Tidak perlu banyak berpikir. Aku-"

Ucapan Tristan tak bisa diselesaikan karena suara klakson yang tiba-tiba membuat keduanya terkejut. Mereka menoleh ke samping, melihat Argan yang berada di mobilnya memandang mereka dengan kesal.

"Bisakah kalian menyingkir? Ini bukan tempat umum!" tegur Argan.

Chelsea mendelik kesal.

"Ayah bisa memanggil kami. Kami bisa menyingkir dengan segera. Untuk apa membunyikan klakson? Ayah membuat jantungku hampir copot." Perempuan itu menggerutu, sangat kesal dengan ulah ayahnya yang sepertinya sengaja merusak suasana romantis antara dirinya dengan pacarnya.

Karena tak ingin membuat ayah Chelsea semakin kesal, Tristan menarik tangan Chelsea untuk segera menyingkir. Sehingga mobil Argan bisa melaju tanpa halangan.

Namun, pria itu masih berhenti sebentar untuk memandang mereka dengan sinis.

"Jika ingin bermesraan, pilihlah tempat lain. Mataku sakit melihat kalian. Apalagi pria jelek sepertimu!" Dia menatap Tristan penuh permusuhan.

"Ayah!" Chelsea kembali menegurnya.

Argan melajukan mobilnya, tak memperdulikan protesan putrinya. Dia sudah mengatakan sebelumnya jika dia tak menyukai pria itu. Tapi Chelsea masih saja berhubungan dengannya. Sepertinya, rencana yang dia buat harus segera dilakukan.

"Bocah itu terlalu berani bermimpi menjadi bagian dari Alfred." Argan berdecih sinis.

"Tristan, maafkan ayahku." Chelsea sangat merasa bersalah pada pacarnya. Ini bukan pertama kalinya ayahnya menghina Tristan, dia juga selalu bersikap ketus padanya. Tapi, Tristan yang terlalu baik tak pernah membalas ayahnya atau menaruh dendam.

"Aku baik-baik saja." Tristan tersenyum, meski perasaannya tidak benar-benar baik.

Argan selalu memandangnya dengan sorot merendahkan. Pria itu seperti sangat membencinya. Tiap kali bertemu, dia seolah tak habis-habis membuat Tristan merasa diinjak-injak.

"Sebenarnya, ada yang ingin aku bicarakan."

Chelsea merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya. Semakin cepat akan semakin baik.

Tapi, Chelsea sedikit khawatir jika perkataannya kali ini akan menyakiti pacarnya itu. Dia pun tidak sanggup untuk menatap Tristan saat mengajaknya bicara.

"Bagaimana jika kita melanjutkan pembicaraan sambil berangkat?" ucap Tristan, mengusulkan. "Kamu mungkin akan terlambat."

Chelsea mengangguk, menyetujuinya. Dia juga sadar jika mereka sudah terlalu membuang-buang waktu.

Saat mereka sudah duduk dan mobil pun sudah melaju, Tristan kembali bertanya tentang apa yang ingin dibicarakan Chelsea padanya.

"Sebelumnya, aku ingin minta maaf. Ini mungkin akan menyakitimu."

"Menyakitiku?" Tristan tersenyum geli. Tidak terlalu percaya karena dia tahu Chelsea tidak pernah bisa menyakitinya.  "Benarkah? Memang apa itu?"

"Aku ... sepertinya tidak bisa lebih lama bersamamu."

"Kau ... Apa?!" Tristan yang awalnya santai, kini menoleh terkejut pada Chelsea. Dia menghentikan mobilnya sejenak di tepi jalan. Masalah ini tampaknya lebih serius dari dugaannya.

"Apa maksudmu?" Tristan terkekeh, masih belum percaya. "Kamu pasti bercanda, kan?"

"Aku sungguh-sungguh," tukas Chelsea. Meski khawatir akan menyakiti Tristan, dia tetap mengatakan kebenarannya. Hubungannya dengan Tristan tak bisa bertahan lebih lama. "Ayahku sudah memilihkan calon suami untukku. Aku ... akan segera menikah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status