Home / Pernikahan / Bukan Suami Pilihan / Bab 3 - Siapa yang Bilang Anak Haram?

Share

Bab 3 - Siapa yang Bilang Anak Haram?

"Mommy!"

Sebuah teriakan terdengar, disusul oleh kemunculan bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari menyambut kedatangannya. Emily yang melihat itu segera berjongkok dan mengecup pipi gembul putranya sambil tertawa. Tak peduli anaknya kegelian. "Kenapa anak Mommy belum tidur, Sayang?"

"Iel nunggu Mommy. Iel mau tidur sama Mommy."

Anak yang menggemaskan. Emily kembali menciumnya dengan membabi buta. Anaknya ini sangat pintar dan tampan, mirip sekali dengan ayahnya. Sayang, mereka tidak bisa bersama. Ada perasaan sedih Emily rasakan ketika mengingat cinta masa lalunya. Dia sudah melepas perasaannya itu, meski sangat sulit. Namun setiap kali melihat Javier, perasaan sedih itu selalu ada.

"Ya udah, yuk kita tidur! Mommy akan menemani Iel."

Emily menutup pintu dengan hati-hati dan menguncinya. Dia memegang tangan Javier sambil berjalan ke kamarnya. Menyadari jika orang tuanya tidak terlihat. Apa mereka sudah tidur? Kenapa putranya dibiarkan terjaga? Emily tidak percaya ibunya akan tega menelantarkan anaknya seperti ini. Padahal ibunya sudah berjanji akan menjaga Javier saat dia bertemu Keenan. Untunglah dia menolak menginap dan pulang dengan segera. Jika tidak, mungkin anaknya akan menunggu sepanjang malam.

"Sini, Sayang." Emily menepuk ranjang dan membantu anaknya naik. Sementara dirinya duduk sambil menyelimuti sang anak. Mengelus rambutnya dengan lembut, sampai tiba-tiba tangannya digenggam.

"Mommy, Mommy tadi ke mana? Kok Mommy nggak bilang Iel sih."

Emily mengangkat alisnya. Dia terkejut saat anaknya bertanya. Tadi memang dia hanya mengantar anaknya ke rumah orang tuanya, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Javier hanya tahu dia akan pergi kembali ke restoran. Namun sebenarnya, orang tuanya menyuruh dia kencan buta. "Memangnya Oma nggak cerita apa-apa?"

Javier terdiam cukup lama, sebelum kemudian menjawab, "Oma bilang Mommy lagi cari Daddy untuk Iel. Beneran, Mommy? Apa Iel nanti punya Daddy?"

"Memangnya Iel mau punya Daddy baru?"

"Mau banget, Mommy! Iel nggak mau jadi anak haram terus."

Emily tersentak kaget oleh perkataan sang anak yang begitu polos. "Anak haram? Siapa yang bilang begitu sama kamu, Sayang?"

"Opa sama Oma. Katanya Iel anak haram karena Iel nggak punya Daddy."

Hati Emily meradang. Dia merasa seperti sebilah pisau mengiris hatinya. Matanya pun terpejam sampai air matanya menetes jatuh. Bagaimana mungkin orang tuanya tega mengatakan itu pada cucunya sendiri? Javier masih kecil dan belum tahu apa-apa.

"Mommy, Mommy nangis? Iel nakal, ya? Mommy jangan nangis. Iel janji nggak akan nakal lagi."

Emily membuka matanya kembali saat mendengar Javier merengek dan menatapnya berkaca-kaca. Dia berusaha tersenyum sambil mengusap air matanya. "Mommy nggak nangis, Sayang. Iel nggak nakal kok. Iel anak Mommy yang paling baik. Jangan dengarkan perkataan itu lagi ya, Sayang?"

"Iya, Mommy, tapi Mommy nggak sedih lagi 'kan? Kalau Mommy sedih karena Iel minta Daddy, Iel nggak akan minta Daddy lagi. Iel nggak papa, Iel punya Mommy."

Dadanya terasa sesak. Emily tidak bisa mengatakan apa pun dan hanya bisa mencium pipi anaknya. "Maafkan Mommy, Sayang."

Emily memerhatikan anaknya yang tersenyum lebar sambil mengusap matanya. Terlihat Javier seperti berusaha menahan kantuk. Putranya pasti menunggu terlalu lama. Ini sudah hampir tengah malam. "Tidurlah, kamu sudah mengantuk."

"Hmm, ayo tidur di sini juga, Mommy! Iel mau peluk Mommy."

"Kamu tidur saja."

"Nggak mau! Iel mau peluk Mommy."

Pipi Javier mengembung. Melayangkan protes sambil melipat kedua tangannya. Emily hanya tersenyum melihat betapa lucu dan manisnya putranya itu.

"Ouh, anak Mommy sangat manja. Kalau gitu, sini peluk Mommy, Sayang, tapi Iel harus tidur ya?"

"Eum!"

Javier mengangguk dengan antusias dan langsung memeluk Emily yang kini terpaksa ikut berbaring. Padahal dia hanya ingin menidurkan anaknya, lalu berganti pakaian karena tubuhnya pasti bau keringat. Namun mau apalagi, anaknya sangat manja padanya. Emily senang, walau kadang dia khawatir saat harus pergi ke restoran dan meninggalkan Javier bersama pengasuh. Apalagi saat Javier pergi ke sekolah. Dia kadang tidak bisa mengantar-jemput putranya karena pekerjaannya.

Lama larut dalam lamunan, Emily mulai melirik anaknya dan menyadari jika Javier sudah tertidur. Putranya itu pasti mengantuk hingga dengan cepat terlelap. Ini memang sudah malam. Tidak seharusnya anaknya masih terjaga. Emily pun merasa lelah. Niat awalnya untuk mengganti pakaian, tampaknya hanya tinggal niat karena sekarang dia sudah mengantuk.

Tetapi, saat Emily baru saja akan terlelap, terdengar suara pintu yang berdecit. Terpaksa, dia pun membuka matanya kembali dan melihat ibunya perlahan masuk. "Ibu?"

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Karin sambil berbisik. Dia melihat cucunya yang tidur dalam pelukan putrinya.

Emily pun melihat Javier dan mau tak mau, dia melepaskan putranya. Berusaha untuk bangun tanpa mengusik tidur sang anak. Hingga setelah memastikan Javier tidak akan bangun dan dia terbebas, Emily mendekati ibunya. "Ada apa?"

"Ikut sini!"

Tubuhnya ditarik keluar dan Emily hanya menurut. Sampai mereka kemudian tiba di ruang tengah dan terlihat ayahnya juga di sana. Mereka berdua belum tidur, tapi tidak ada yang memerhatikan anaknya. Emily mengernyit kesal. Sebegitu enggannya 'kah mengakui Javier sebagai cucu mereka? Emily tidak masalah jika dirinya yang dibenci atau tidak dianggap, tapi tidak dengan Javier. Putranya tidak salah apa-apa.

"Duduklah!" perintah Dave pada Emily, yang langsung diturutinya. "Jadi bagaimana hasilnya? Apa lelaki itu mau menikahimu?"

Emily menghela napas kasar. Dia merasa seperti dijual oleh orang tuanya sendiri. Mereka hanya antusias jika berhubungan dengan lelaki yang hendak dipasangkan padanya. Emily tidak tahu ini sudah yang ke berapa kali dan biasanya ini selalu berakhir gagal. Lelaki yang dijodohkan dengannya menolak dengan berbagai alasan. Tentu alasan itu adalah Emily sendiri. Perilaku yang buruk, kenyataan soal anak atau dia yang menyukai banyak lelaki. Emily tahu caranya untuk membuat para lelaki menolaknya. Namun anehnya itu tidak mempan untuk Keenan.

Keparat itu, Emily belum melupakan rasa jengkelnya karena telah membawanya tanpa izin.

"Emily, bagaimana hasilnya? Kamu tidak ditolak lagi 'kan?" Kini giliran Karin bertanya.

"Sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya satu hal pada kalian." Emily melirik ayah dan ibunya satu persatu. "Mana janji kalian untuk menjaga anakku? Kenapa kalian membiarkannya menungguku hingga larut malam?"

"Ah, anak itu, Ibu sudah menyuruhnya tidur, tapi anakmu sangat nakal."

"Nakal? Lalu setelah itu Ibu biarkan saja? Apa Ibu benar-benar punya hati? Bagaimana jika aku tidak pulang!" Emily menaikkan nada suaranya dengan emosi.

"Cukup, Emily. Itu hanya masalah sepele. Tidak usah memperpanjangnya dan jangan bertindak tidak sopan pada orang tua!"

"Huh? Sepele? Ayah menganggap itu sepele? Javier adalah cucu Ayah, tapi kalian bersikap sangat dingin padanya! Bahkan kalian sangat tega mengatakan Javier anak haram!"

Emily tidak peduli dan tidak lagi takut seperti dulu. Kini dia sangat marah karena anaknya tidak diawasi dengan baik. Emily tidak berharap anaknya mendapat perlakuan sama seperti dirinya dulu. Dia tidak mau anaknya bersikap jahat sepertinya karena lingkungan yang buruk seperti ini. Emily merasakan betapa sakitnya dulu dia diabaikan karena dianggap tidak berguna dan selalu gagal melakukan sesuatu. Membuat rasa iri mendarah daging karena melihat orang sekitarnya mendapat limpahan kasih sayang, sedang dia tidak. Emily tidak mau itu terjadi pada Javier. Cukup dia yang melakukan kesalahan dulu.

"Dia hanya aib. Jangan melewati batas, Emily. Kalau bukan karena kebodohanmu sendiri, semua ini tidak akan terjadi." Dave menahan kepalan tangannya agar tidak melayang. Suasana hatinya yang baik, tidak boleh dirusak karena sikap buruk anaknya. "Sekarang katakan, apa kau berhasil memikat lelaki itu?"

Emily menahan gertakan giginya dan mengepalkan kedua tangannya. Dia merasa sakit hati saat anaknya disebut aib. Ini kesalahannya, tapi Javier tidak salah apa-apa. Dia benci orang tuanya. Dia benci ketidakberdayaan ini. "Ya, mereka meminta untuk mengatur pertemuan."

Wajah kedua orang tuanya sontak langsung berbinar cerah setelah mendengar perkataan Emily. Mereka seolah mendapat jackpot karena berhasil membuat anaknya menggaet laki-laki mapan, sekaligus calon menantu idaman. Namun tidak dengan Emily yang merasa semakin muram melihat reaksi keduanya.

"Sepertinya kalian ingin sekali menjualku dalam pernikahan ini," sindir Emily. Spontan ucapannya membuat orang tuanya langsung menoleh ke arahnya.

"Bicara apa kamu! Sudah untung kami mencari laki-laki yang mau denganmu dan menerima anakmu! Kamu pikir siapa lelaki yang mau menikahi wanita nakal sepertimu! Tidak menikah, tapi memiliki anak!"

Emily tertohok mendengar kalimat tajam ayahnya. Jika dirinya direndahkan oleh orang lain, mungkin rasa sakitnya tidak separah ini. Namun jika orang yang merendahkannya adalah orang tuanya sendiri, Emily sangat benar-benar terluka.

"Ayahmu benar, gara-gara kamu selalu main-main dengan lelaki, kamu harus melahirkan Javier. Ayahnya juga tidak mau menikahimu. Benar-benar tidak berguna. Bersyukur dia hanya di penjara."

"Hentikan, Bu! Ibu tidak boleh berkata seperti itu!" tegas Emily.

"Jangan membela sampah itu! Dia hanya pecundang. Bagaimana kau bisa jatuh cinta pada pecundang itu!"

"Kalian selalu seperti ini! Apa kalian pikir, kalian lebih baik darinya! Kalian juga sangat buruk sebagai orang tua!" Emily meluapkan emosinya sambil menggebrak meja dan berdiri. Dia merasa sedih karena pandangan orang tuanya selalu haus kekuasaan dan kekayaan. Mereka angkuh dan seakan memiliki segalanya, tapi sebenarnya tidak punya apa-apa. Dia malu, dia sangat malu.

Emily tanpa menunggu lagi segera berbalik pergi sambil menjauhi orang tuanya. Dia kembali menuju kamar untuk menemani anaknya yang sedang tertidur. Tak memedulikan kemarahan ayahnya yang berteriak memanggilnya berhenti. Dia sangat lelah hidup seperti ini. Emily lelah dan ingin sekali mengakhiri penderitaannya. Hanya kehadiran Javier yang membuatnya bisa tetap bertahan.

Emily menutup pintu dengan hati-hati dan membiarkan air mata menetes jatuh melewati pipinya. Dia menangis tanpa suara. Mendekat, lalu duduk di pinggir ranjang sambil menatap buah hatinya. "Kamu tidak akan menderita, Javier. Mommy janji, kamu tidak akan menderita."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status