"Mommy!"
Sebuah teriakan terdengar, disusul oleh kemunculan bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari menyambut kedatangannya. Emily yang melihat itu segera berjongkok dan mengecup pipi gembul putranya sambil tertawa. Tak peduli anaknya kegelian. "Kenapa anak Mommy belum tidur, Sayang?""Iel nunggu Mommy. Iel mau tidur sama Mommy."Anak yang menggemaskan. Emily kembali menciumnya dengan membabi buta. Anaknya ini sangat pintar dan tampan, mirip sekali dengan ayahnya. Sayang, mereka tidak bisa bersama. Ada perasaan sedih Emily rasakan ketika mengingat cinta masa lalunya. Dia sudah melepas perasaannya itu, meski sangat sulit. Namun setiap kali melihat Javier, perasaan sedih itu selalu ada."Ya udah, yuk kita tidur! Mommy akan menemani Iel."Emily menutup pintu dengan hati-hati dan menguncinya. Dia memegang tangan Javier sambil berjalan ke kamarnya. Menyadari jika orang tuanya tidak terlihat. Apa mereka sudah tidur? Kenapa putranya dibiarkan terjaga? Emily tidak percaya ibunya akan tega menelantarkan anaknya seperti ini. Padahal ibunya sudah berjanji akan menjaga Javier saat dia bertemu Keenan. Untunglah dia menolak menginap dan pulang dengan segera. Jika tidak, mungkin anaknya akan menunggu sepanjang malam."Sini, Sayang." Emily menepuk ranjang dan membantu anaknya naik. Sementara dirinya duduk sambil menyelimuti sang anak. Mengelus rambutnya dengan lembut, sampai tiba-tiba tangannya digenggam."Mommy, Mommy tadi ke mana? Kok Mommy nggak bilang Iel sih."Emily mengangkat alisnya. Dia terkejut saat anaknya bertanya. Tadi memang dia hanya mengantar anaknya ke rumah orang tuanya, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Javier hanya tahu dia akan pergi kembali ke restoran. Namun sebenarnya, orang tuanya menyuruh dia kencan buta. "Memangnya Oma nggak cerita apa-apa?"Javier terdiam cukup lama, sebelum kemudian menjawab, "Oma bilang Mommy lagi cari Daddy untuk Iel. Beneran, Mommy? Apa Iel nanti punya Daddy?""Memangnya Iel mau punya Daddy baru?""Mau banget, Mommy! Iel nggak mau jadi anak haram terus."Emily tersentak kaget oleh perkataan sang anak yang begitu polos. "Anak haram? Siapa yang bilang begitu sama kamu, Sayang?""Opa sama Oma. Katanya Iel anak haram karena Iel nggak punya Daddy."Hati Emily meradang. Dia merasa seperti sebilah pisau mengiris hatinya. Matanya pun terpejam sampai air matanya menetes jatuh. Bagaimana mungkin orang tuanya tega mengatakan itu pada cucunya sendiri? Javier masih kecil dan belum tahu apa-apa."Mommy, Mommy nangis? Iel nakal, ya? Mommy jangan nangis. Iel janji nggak akan nakal lagi."Emily membuka matanya kembali saat mendengar Javier merengek dan menatapnya berkaca-kaca. Dia berusaha tersenyum sambil mengusap air matanya. "Mommy nggak nangis, Sayang. Iel nggak nakal kok. Iel anak Mommy yang paling baik. Jangan dengarkan perkataan itu lagi ya, Sayang?""Iya, Mommy, tapi Mommy nggak sedih lagi 'kan? Kalau Mommy sedih karena Iel minta Daddy, Iel nggak akan minta Daddy lagi. Iel nggak papa, Iel punya Mommy."Dadanya terasa sesak. Emily tidak bisa mengatakan apa pun dan hanya bisa mencium pipi anaknya. "Maafkan Mommy, Sayang."Emily memerhatikan anaknya yang tersenyum lebar sambil mengusap matanya. Terlihat Javier seperti berusaha menahan kantuk. Putranya pasti menunggu terlalu lama. Ini sudah hampir tengah malam. "Tidurlah, kamu sudah mengantuk.""Hmm, ayo tidur di sini juga, Mommy! Iel mau peluk Mommy.""Kamu tidur saja.""Nggak mau! Iel mau peluk Mommy."Pipi Javier mengembung. Melayangkan protes sambil melipat kedua tangannya. Emily hanya tersenyum melihat betapa lucu dan manisnya putranya itu."Ouh, anak Mommy sangat manja. Kalau gitu, sini peluk Mommy, Sayang, tapi Iel harus tidur ya?""Eum!"Javier mengangguk dengan antusias dan langsung memeluk Emily yang kini terpaksa ikut berbaring. Padahal dia hanya ingin menidurkan anaknya, lalu berganti pakaian karena tubuhnya pasti bau keringat. Namun mau apalagi, anaknya sangat manja padanya. Emily senang, walau kadang dia khawatir saat harus pergi ke restoran dan meninggalkan Javier bersama pengasuh. Apalagi saat Javier pergi ke sekolah. Dia kadang tidak bisa mengantar-jemput putranya karena pekerjaannya.Lama larut dalam lamunan, Emily mulai melirik anaknya dan menyadari jika Javier sudah tertidur. Putranya itu pasti mengantuk hingga dengan cepat terlelap. Ini memang sudah malam. Tidak seharusnya anaknya masih terjaga. Emily pun merasa lelah. Niat awalnya untuk mengganti pakaian, tampaknya hanya tinggal niat karena sekarang dia sudah mengantuk.Tetapi, saat Emily baru saja akan terlelap, terdengar suara pintu yang berdecit. Terpaksa, dia pun membuka matanya kembali dan melihat ibunya perlahan masuk. "Ibu?""Bisa kita bicara sebentar?" tanya Karin sambil berbisik. Dia melihat cucunya yang tidur dalam pelukan putrinya.Emily pun melihat Javier dan mau tak mau, dia melepaskan putranya. Berusaha untuk bangun tanpa mengusik tidur sang anak. Hingga setelah memastikan Javier tidak akan bangun dan dia terbebas, Emily mendekati ibunya. "Ada apa?""Ikut sini!"Tubuhnya ditarik keluar dan Emily hanya menurut. Sampai mereka kemudian tiba di ruang tengah dan terlihat ayahnya juga di sana. Mereka berdua belum tidur, tapi tidak ada yang memerhatikan anaknya. Emily mengernyit kesal. Sebegitu enggannya 'kah mengakui Javier sebagai cucu mereka? Emily tidak masalah jika dirinya yang dibenci atau tidak dianggap, tapi tidak dengan Javier. Putranya tidak salah apa-apa."Duduklah!" perintah Dave pada Emily, yang langsung diturutinya. "Jadi bagaimana hasilnya? Apa lelaki itu mau menikahimu?"Emily menghela napas kasar. Dia merasa seperti dijual oleh orang tuanya sendiri. Mereka hanya antusias jika berhubungan dengan lelaki yang hendak dipasangkan padanya. Emily tidak tahu ini sudah yang ke berapa kali dan biasanya ini selalu berakhir gagal. Lelaki yang dijodohkan dengannya menolak dengan berbagai alasan. Tentu alasan itu adalah Emily sendiri. Perilaku yang buruk, kenyataan soal anak atau dia yang menyukai banyak lelaki. Emily tahu caranya untuk membuat para lelaki menolaknya. Namun anehnya itu tidak mempan untuk Keenan.Keparat itu, Emily belum melupakan rasa jengkelnya karena telah membawanya tanpa izin."Emily, bagaimana hasilnya? Kamu tidak ditolak lagi 'kan?" Kini giliran Karin bertanya."Sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya satu hal pada kalian." Emily melirik ayah dan ibunya satu persatu. "Mana janji kalian untuk menjaga anakku? Kenapa kalian membiarkannya menungguku hingga larut malam?""Ah, anak itu, Ibu sudah menyuruhnya tidur, tapi anakmu sangat nakal.""Nakal? Lalu setelah itu Ibu biarkan saja? Apa Ibu benar-benar punya hati? Bagaimana jika aku tidak pulang!" Emily menaikkan nada suaranya dengan emosi."Cukup, Emily. Itu hanya masalah sepele. Tidak usah memperpanjangnya dan jangan bertindak tidak sopan pada orang tua!""Huh? Sepele? Ayah menganggap itu sepele? Javier adalah cucu Ayah, tapi kalian bersikap sangat dingin padanya! Bahkan kalian sangat tega mengatakan Javier anak haram!"Emily tidak peduli dan tidak lagi takut seperti dulu. Kini dia sangat marah karena anaknya tidak diawasi dengan baik. Emily tidak berharap anaknya mendapat perlakuan sama seperti dirinya dulu. Dia tidak mau anaknya bersikap jahat sepertinya karena lingkungan yang buruk seperti ini. Emily merasakan betapa sakitnya dulu dia diabaikan karena dianggap tidak berguna dan selalu gagal melakukan sesuatu. Membuat rasa iri mendarah daging karena melihat orang sekitarnya mendapat limpahan kasih sayang, sedang dia tidak. Emily tidak mau itu terjadi pada Javier. Cukup dia yang melakukan kesalahan dulu."Dia hanya aib. Jangan melewati batas, Emily. Kalau bukan karena kebodohanmu sendiri, semua ini tidak akan terjadi." Dave menahan kepalan tangannya agar tidak melayang. Suasana hatinya yang baik, tidak boleh dirusak karena sikap buruk anaknya. "Sekarang katakan, apa kau berhasil memikat lelaki itu?"Emily menahan gertakan giginya dan mengepalkan kedua tangannya. Dia merasa sakit hati saat anaknya disebut aib. Ini kesalahannya, tapi Javier tidak salah apa-apa. Dia benci orang tuanya. Dia benci ketidakberdayaan ini. "Ya, mereka meminta untuk mengatur pertemuan."Wajah kedua orang tuanya sontak langsung berbinar cerah setelah mendengar perkataan Emily. Mereka seolah mendapat jackpot karena berhasil membuat anaknya menggaet laki-laki mapan, sekaligus calon menantu idaman. Namun tidak dengan Emily yang merasa semakin muram melihat reaksi keduanya."Sepertinya kalian ingin sekali menjualku dalam pernikahan ini," sindir Emily. Spontan ucapannya membuat orang tuanya langsung menoleh ke arahnya."Bicara apa kamu! Sudah untung kami mencari laki-laki yang mau denganmu dan menerima anakmu! Kamu pikir siapa lelaki yang mau menikahi wanita nakal sepertimu! Tidak menikah, tapi memiliki anak!"Emily tertohok mendengar kalimat tajam ayahnya. Jika dirinya direndahkan oleh orang lain, mungkin rasa sakitnya tidak separah ini. Namun jika orang yang merendahkannya adalah orang tuanya sendiri, Emily sangat benar-benar terluka."Ayahmu benar, gara-gara kamu selalu main-main dengan lelaki, kamu harus melahirkan Javier. Ayahnya juga tidak mau menikahimu. Benar-benar tidak berguna. Bersyukur dia hanya di penjara.""Hentikan, Bu! Ibu tidak boleh berkata seperti itu!" tegas Emily."Jangan membela sampah itu! Dia hanya pecundang. Bagaimana kau bisa jatuh cinta pada pecundang itu!""Kalian selalu seperti ini! Apa kalian pikir, kalian lebih baik darinya! Kalian juga sangat buruk sebagai orang tua!" Emily meluapkan emosinya sambil menggebrak meja dan berdiri. Dia merasa sedih karena pandangan orang tuanya selalu haus kekuasaan dan kekayaan. Mereka angkuh dan seakan memiliki segalanya, tapi sebenarnya tidak punya apa-apa. Dia malu, dia sangat malu.Emily tanpa menunggu lagi segera berbalik pergi sambil menjauhi orang tuanya. Dia kembali menuju kamar untuk menemani anaknya yang sedang tertidur. Tak memedulikan kemarahan ayahnya yang berteriak memanggilnya berhenti. Dia sangat lelah hidup seperti ini. Emily lelah dan ingin sekali mengakhiri penderitaannya. Hanya kehadiran Javier yang membuatnya bisa tetap bertahan.Emily menutup pintu dengan hati-hati dan membiarkan air mata menetes jatuh melewati pipinya. Dia menangis tanpa suara. Mendekat, lalu duduk di pinggir ranjang sambil menatap buah hatinya. "Kamu tidak akan menderita, Javier. Mommy janji, kamu tidak akan menderita.""Ashley!"Emily melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, saat melihat kedatangan temannya. Wanita cantik yang kini tampak sangat bersinar di usia dewasanya. Teman yang pernah dia khianati ketulusannya dan dia tusuk dari belakang. Emily kadang malu ketika Ashley masih bersikap sangat baik padanya setelah apa yang dia perbuat apa wanita itu di masa lalu. Ashley benar-benar seperti malaikat. "Rajin sekali kau sudah datang, Em."Restoran masih belum buka. Emily kini masih membantu para karyawan beres-beres mempersiapkan meja untuk pelanggan. Dia tidak bekerja di sini, dia adalah pemilik restoran ini bersama dengan Ashley. Lima tahun yang lalu saat dirinya benar-benar di masa sulit, Ashley datang dan menawarkan ide brilian. Emily sama sekali tidak menyangka temannya itu masih bisa mempercayainya dan bahkan membantunya. Padahal dia masih sangat malu dengan kelakuannya hingga sekarang. Meski peristiwa itu sudah berlalu hampir tujuh tahun lamanya. Namun sikap Ashley masih sangat baik pada
"Hey, soal ucapanmu tadi pada Javier. Kau tidak sungguh-sungguh 'kan?" tanya Emily sambil melirik Keenan yang menggendong Javier yang tertidur. Menuntun lelaki itu ke arah kamar anaknya. Pada akhirnya, Keenan harus ikut menumpang karena mobil jemputannya tidak datang. Sayangnya, tak hanya pergi bersama, mereka juga makan siang bersama hingga anaknya yang kekenyangan pun jatuh tertidur. Emily juga mau tak mau memberitahu Ashley kalau dia akan datang terlambat ke restoran. Melihat Javier yang senang pada Keenan, dia jadi sulit untuk menolak keinginan anaknya makan bersama."Yang mana?" Keenan meletakkan Javier di tempat tidurnya dan membantu melepaskan sepatu yang masih dipakai anak itu. Baru kemudian dia menoleh ke arah Emily. "Yang itu, memanggilmu Daddy. Apa-apaan itu, memangnya aku memperbolehkannya?""Kaubilang terserah, apa masalahnya? Kita juga akan menikah. Bukankah itu wajar? Dia akan jadi anakku juga," ucapnya. Keenan tanpa canggung duduk di pinggir ranjang sambil memerhatik
"Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar? Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba. Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin,"
"Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann
"Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat
"Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P