Beranda / Pernikahan / Bukan Suami Pilihan / Bab 2 - Salah Paham

Share

Bab 2 - Salah Paham

Penulis: Koran Meikarta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Emily tidak langsung turun dari mobil milik Keenan. Dia terdiam sambil melirik lelaki yang kini sibuk membuka sabuk pengaman dan mematikan mesin mobil. Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya refleks mengawasi sekitar sembari memasang ekspresi penuh waspada. Sayangnya, saat Emily sibuk mengamati sekeliling, dia tidak menyadari Keenan kini mendekat dan berniat membuka sabuk pengamannya.

"Turunlah, sampai kapan kau akan diam?" bisik Keenan tepat di telinga Emily. Posisinya saat ini, membuat jarak hampir tidak ada di antara mereka.

"Aaakhhhh!"

Sayangnya tak lama setelah Keenan bicara, teriakan melengking disertai sebuah tepukan keras mendarat mulus di pipinya. Tubuh lelaki itu terdiam kaku saat rasa panas mulai menjalar di salah satu pipinya. Keenan dihadapkan pada Emily yang menatapnya dengan mata membulat sempurna. Mata hitam yang terlihat terkejut sekaligus takut. Sangat berlawanan dari ekspresi sebelumnya. Mereka bertatapan untuk sesaat, sampai Keenan segera menjauh dan memutus kontak matanya dengan Emily.

"Tidak perlu berteriak, aku tidak melakukan apa-apa. Keluarlah."

Pintu mobil dibuka oleh Keenan. Lelaki itu keluar dan berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu di sebelah Emily. Namun, wanita yang masih terdiam kaku itu, hanya bisa mengedipkan mata. Mata bulat yang penuh kecurigaan dan kebingungan, kini memindai lekat ke arah Keenan.

"Aku tidak mau. Kau membawaku ke sini tanpa izin."

"Keluar," ulang Keenan tanpa peduli kalimat penolakan dari Emily.

"Pada akhirnya kau sama seperti mereka. Berengsek," dengkus Emily kasar. Kedua alis tebalnya berkerut dan nyaris menyatu. Hingga dengan sangat terpaksa, dia turun dan langsung membanting pintu mobil dengan keras sebagai bentuk protes.

Emily mengikuti langkah kaki Keenan yang membawanya menuju ke rumah dalam suasana hati memanas. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti permainan lelaki asing itu. Matanya melirik sekilas rumah milik Keenan. Seperti yang orang tuanya bilang, lelaki yang berniat dijodohkan dengannya itu adalah anak dari pengusaha dan kini mewarisi perusahaan property. Muda, lajang dan pastinya tampan. Rumahnya pun menunjukkan demikian. Sangat besar, bagaimana bagian dalamnya?

Sesaat Emily lupa diri dan hanya memerhatikan bangunan kokoh di hadapannya. Ukiran-ukiran rumit di pintu, sepertinya dipahat sempurna oleh sang pengrajin. Kini, dia pun mengerti kenapa orang tuanya sangat ingin dirinya berjodoh dan menikah dengan lelaki ini. Mereka pasti ingin uang atau untuk menjalin kerja sama bisnis. Keenan dan keluarganya akan menjadi mitra bisnis paling menjanjikan.

"Sedang apa kau? Masuklah!"

Teguran halus Keenan menyadarkan Emily yang tanpa sadar melamun. Dia tersentak. Mata hitamnya kemudian menatap lekat lelaki itu dan bergegas masuk. Emily tanpa ragu dan memberi jeda sedikit pun, segera menggenggam tangan Keenan. Dia menarik lelaki itu sembari mendorongnya ke dinding, bersamaan dengan pintu rumah yang tertutup.

Keenan terlihat kaget, tapi reaksi lelaki itu tidak terlalu dipedulikan oleh Emily yang kini lantas mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Tubuhnya yang hanya sebatas bahu Keenan, membuat dia harus mendongak agar bisa bertatap muka dengan lelaki itu. "Kau, aku ingin membuat sebuah kesepakatan."

"Emily, menyingkirlah."

Suara bernada berat dan dalam milik Keenan, sedikit menggelitik telinga Emily, tapi dia berusaha tak mengacuhkannya. Dengan nekat, Emily justru memajukan tubuhnya hingga menempel pada lelaki itu, sampai nyaris tak ada jarak. Dia juga membuka tiga kancing teratas bajunya dan memperlihatkan kedua dadanya yang mengintip pada Keenan.

"Ini 'kan yang kaumau? Aku bisa melakukannya, tapi kau harus berjanji untuk membatalkan perjodohan ini. Katakan pada orang tuaku kalau aku bukan tipemu."

"Apa?"

Emily menjawab rasa penasaran Keenan dengan sentuhan lembut di tubuh lelaki itu. Dia menjinjit dan meletakkan bibirnya di leher Keenan. Memberikan cumbuan di sana. Tubuh lelaki itu menegang. Reaksi kaku atas tindakan Emily yang berani. Desisan kasar dan napas yang tercekat masuk ke dalam gendang telinganya. Sepasang tangan kekar merangkul erat pinggangnya dan itu membuat Emily semakin berani memprovokasi Keenan. "Bicaralah. Katakan kau tidak akan menikahiku."

Satu-satunya cara gila yang bisa Emily lakukan hanya ini. Lelaki seperti Keenan, pasti hanya ingin kepuasan. Meski dia merasa tak rela tubuhnya dijamah, tapi apa pun yang terjadi, itu harus dilakukan agar Keenan mau mengurungkan niat untuk menikahinya.

"Keenan, bicaralah," desak Emily saat melihat lelaki itu menatapnya dalam. Namun Keenan tak menunjukkan reaksi seperti ingin melanjutkannya. Itu membuat Emily kebingungan untuk beberapa saat. Apa Keenan setahan itu digoda olehnya? Tidak, ini pasti pura-pura!

"Hentikan. Menjauh sekarang, Em. Kita harus—"

"Bukankah ini maksud tersembunyi saat mengajakku ke rumahmu? Bajingan sepertimu tidak ada bedanya dengan yang lain." Emily meremas kedua pundak Keenan dengan pandangan berapi-api. Dia sudah tahu hampir semua sifat lelaki. Dari yang polos sampai yang paling berengsek sekali pun, dia sudah mencobanya. Keenan sudah pasti tidak jauh beda dari lelaki yang sering ditemuinya dulu.

Mata bulatnya memicing dan tersenyum sinis saat mendapati wajah Keenan memerah. Lelaki yang masih mempertahankan ekspresi datar itu, berusaha mengatur napasnya. Memaksa Emily untuk mau tak mau memberi waktu, hingga hanya kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Bisa tolong menjauh? Kau sepertinya salah paham," ujar Keenan setelah berhasil mengendalikan pikirannya kembali. Dia melepas rangkulan di pinggang Emily dengan cepat. Namun seakan mempermainkannya, wanita di depannya malah semakin menempel dan meletakkan tangannya di dada.

"Ahh, seperti itu. Kau bisa meremasnya, Ken."

Kedua mata Keenan sontak melotot mendengar desahan wanita di depannya. Refleks, dia pun menarik kembali tangannya. "Emily, tutup mulutmu."

"Kenapa? Kau tegang? Aku tahu kau itu yang kauma—"

"Keenan, kamu sudah pulang? Eh?"

Sebuah suara bernada ceria terdengar dari arah belakang Emily. Tangannya yang kini tengah berusaha membuka gesper milik Keenan terhenti dan langsung menoleh. Hingga tubuhnya seketika dibuat membeku begitu mendapati sosok wanita tua yang berdiri memandangnya terkejut. Tubuhnya refleks bergeser, tapi itu malah membuat penampilan Keenan yang dibuat berantakan olehnya jadi terlihat. Apalagi ketika celana lelaki itu telah terbuka dan celakanya, tangan Keenan masih memegang dadanya.

Tak hanya Emily, Keenan pun panik dan langsung memasangkan kembali gespernya sambil mendekati wanita tua tadi. "M-ma, ini salah paham. Aku tidak melakukan apa-apa."

Ma?

Emily melotot dan melirik Keenan serta wanita itu bergantian. Wajahnya langsung pucat ketika melihat wanita yang dipanggil 'ma' itu, menutup wajahnya dan memandangnya berkaca-kaca. Emily hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia siap menerima bentakan atau cacian karena telah meraba-raba Keenan. Namun yang terjadi, wanita tua itu justru berbalik dan berlari cepat ke dalam.

"ASTAGA, SAYANG! TERNYATA ANAK KITA NORMAL!"

Teriakan membahana mengisi heningnya rumah. Baik Emily atau Keenan bisa mendengarnya. Namun bagi Emily yang baru pertama kali melihatnya, hanya menyunggingkan senyum aneh. Jelas ibunya tidak pernah seperti itu. Berlari sambil berteriak heboh di malam hari. Keluarga aneh macam apa ini?

"Mama!"

Keenan menatap kepergian ibunya dengan gusar. Mengusap kasar wajahnya. Dia lalu menarik tangan Emily sebelum ibunya membuat kehebohan atau mengabarkan berita memalukan.

"Normal? Apa kau gay? Jangan bilang kau menikah karena kelainanmu ini?" tanya Emily penasaran setelah tersadar dari lamunannya. Melihat reaksi heboh ibunya Keenan, sepertinya lelaki ini memiliki masalah dan itulah alasan kenapa Keenan ingin mereka tetap menikah. Untuk menutupi fakta bahwa lelaki itu mengalami penyimpangan seksual. Sulit dipercaya.

"Jangan bicara sembarangan."

Wajah kesal Keenan dan tatapan sinisnya, membuat Emily spontan menaikkan kedua alisnya. Dari tadi lelaki itu berbicara sopan, tapi kali ini Keenan memperlihatkan sisinya yang sedang kesal. "Kau tersinggung? Sepertinya itu benar. Tuan muda ini mengalami penyimpangan seksual."

"Kau—"

"Keenan, kemarilah. Ajak gadis itu bergabung!" seru wanita yang tadi berteriak heboh, membuat Keenan dan Emily mau tak mau mendekat.

Emily tersenyum canggung saat dihadapkan pada sepasang suami-istri yang duduk di sofa. Keenan sialan, bisa-bisanya lelaki itu mengajaknya langsung bertemu dengan orang tuanya. Jika seperti ini, Emily tidak bisa melakukan apa pun selain duduk di hadapan mereka. Melihat wanita tua tadi tersenyum malu-malu dan menatapnya bergantian. Kubur dia sekarang. Berani sekali dirinya berbuat tak senonoh di sini.

"Selamat datang di rumah kami. Maaf untuk yang barusan. Jadi, siapa namamu, Sayang?" tanya Ibu Keenan pada Emily.

"Saya Emily Aprina Karina, Tante." Emily tersenyum kaku. Dia cukup tegang dan tidak nyaman mendapati wanita tua tadi terus memerhatikannya sambil tersenyum manis.

"Oh, jadi ini Emily, anak Karin dan Dave 'kan? Cantiknya kamu, Sayang. Kenalkan, ini Mama Silvi dan ini Papa Vian. Jangan panggil kami Om atau Tante. Panggil Papa dan Mama, ok?" Nyonya Silvi tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya saat tahu kalau Emily adalah wanita yang akan dijodohkan dengan putranya. Apalagi setelah melihat apa yang terjadi tadi. Baginya, Emily adalah penyelamat putranya.

"Itu ... hmm, baik Ma, Pa."

"Kau bisa gugup juga ternyata," gumam Keenan sambil melirik wanita di sebelahnya. Namun dia dapat selanjutnya, malah cubitan keras di area paha.

"Tutup mulutmu, sialan." Emily berbisik sambil tersenyum lebar. Dia rasanya ingin menenggelamkan Keenan ke dasar palung terdalam.

"Ahh, kalian sangat romantis. Iya 'kan, Sayang? Jadi kapan kalian mau menikah?"

Suara itu mengalihkan kembali perhatian Emily ke depan dan melihat wanita tua tadi bergelayut manja di lengan pria berwajah tegas di sebelahnya. Tampan, mirip seperti Keenan dalam versi tua. Namun, apa katanya tadi? Menikah?

"Maaf, Tan—eh, Ma, sebenarnya ada kesalahpahaman. Saya dan dia tidak bisa menikah, maksudnya, saya sudah memiliki anak. Jadi saya—"

"Astaga, kamu sudah punya anak? Berapa usianya? Kamu janda?"

"Sayang," tegur Vian saat mendengar istrinya mengorek hal yang cukup sensitif.

"Sekitar enam tahun lebih. Saya belum pernah menikah."

Emily berusaha menjawab setenang mungkin. Tetapi jawabannya itu, membuat suasana hening untuk sesaat. Emily tidak berani menatap langsung pasangan suami istri itu. Dia takut dipandang hina seperti biasa. Melahirkan tanpa memiliki suami adalah aib yang selalu dikatakan orang tuanya. "Saya rasa, saya tidak bisa menikah dengan putra Anda. Maafkan saya."

"Jika itu yang mengganggumu, kami tidak masalah."

Huh?

Emily mendongak dan menatap pria tua yang bersuara. Dia tidak melihat tatapan mengejek atau cemoohan dari pasangan suami-istri itu. Nyonya Silvi tetap tersenyum hangat padanya, seakan itu bukan masalah.

"Iya, Mama juga tidak masalah."

"Keenan, bagaimana denganmu? Kau masalah dengan itu?" tanya Tuan Vian pada anaknya.

Pandangan semuanya kini tertuju pada lelaki yang bersandar di sofa dan meliriknya tanpa emosi. Perkataan itu seolah menjadi penentu nasib Emily kedepannya. Emily yang menyadari itu, memelototi Keenan. Berharap lelaki itu akan menolaknya. Sayangnya, Emily malah mendapat firasat buruk ketika melihat senyum kecil di bibir Keenan.

"Tidak, Pa. Aku akan menikahinya."

"Bagus, kalau begitu Papa akan mengatur pertemuan dua keluarga untuk membahas pernikahan kalian."

Eh, apa? Pertemuan? Pernikahan! Tidak! Emily ingin bicara dan menolaknya, tapi dia tidak bisa mengeluarkan kata-katanya sedikit pun.

Bab terkait

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 3 - Siapa yang Bilang Anak Haram?

    "Mommy!"Sebuah teriakan terdengar, disusul oleh kemunculan bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari menyambut kedatangannya. Emily yang melihat itu segera berjongkok dan mengecup pipi gembul putranya sambil tertawa. Tak peduli anaknya kegelian. "Kenapa anak Mommy belum tidur, Sayang?""Iel nunggu Mommy. Iel mau tidur sama Mommy."Anak yang menggemaskan. Emily kembali menciumnya dengan membabi buta. Anaknya ini sangat pintar dan tampan, mirip sekali dengan ayahnya. Sayang, mereka tidak bisa bersama. Ada perasaan sedih Emily rasakan ketika mengingat cinta masa lalunya. Dia sudah melepas perasaannya itu, meski sangat sulit. Namun setiap kali melihat Javier, perasaan sedih itu selalu ada. "Ya udah, yuk kita tidur! Mommy akan menemani Iel."Emily menutup pintu dengan hati-hati dan menguncinya. Dia memegang tangan Javier sambil berjalan ke kamarnya. Menyadari jika orang tuanya tidak terlihat. Apa mereka sudah tidur? Kenapa putranya dibiarkan terjaga? Emily tidak percaya ibunya akan

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 4 - Daddy Baru Untuk Javier

    "Ashley!"Emily melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, saat melihat kedatangan temannya. Wanita cantik yang kini tampak sangat bersinar di usia dewasanya. Teman yang pernah dia khianati ketulusannya dan dia tusuk dari belakang. Emily kadang malu ketika Ashley masih bersikap sangat baik padanya setelah apa yang dia perbuat apa wanita itu di masa lalu. Ashley benar-benar seperti malaikat. "Rajin sekali kau sudah datang, Em."Restoran masih belum buka. Emily kini masih membantu para karyawan beres-beres mempersiapkan meja untuk pelanggan. Dia tidak bekerja di sini, dia adalah pemilik restoran ini bersama dengan Ashley. Lima tahun yang lalu saat dirinya benar-benar di masa sulit, Ashley datang dan menawarkan ide brilian. Emily sama sekali tidak menyangka temannya itu masih bisa mempercayainya dan bahkan membantunya. Padahal dia masih sangat malu dengan kelakuannya hingga sekarang. Meski peristiwa itu sudah berlalu hampir tujuh tahun lamanya. Namun sikap Ashley masih sangat baik pada

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 5 - Jangan Terlalu Dekat dengan Anakku

    "Hey, soal ucapanmu tadi pada Javier. Kau tidak sungguh-sungguh 'kan?" tanya Emily sambil melirik Keenan yang menggendong Javier yang tertidur. Menuntun lelaki itu ke arah kamar anaknya. Pada akhirnya, Keenan harus ikut menumpang karena mobil jemputannya tidak datang. Sayangnya, tak hanya pergi bersama, mereka juga makan siang bersama hingga anaknya yang kekenyangan pun jatuh tertidur. Emily juga mau tak mau memberitahu Ashley kalau dia akan datang terlambat ke restoran. Melihat Javier yang senang pada Keenan, dia jadi sulit untuk menolak keinginan anaknya makan bersama."Yang mana?" Keenan meletakkan Javier di tempat tidurnya dan membantu melepaskan sepatu yang masih dipakai anak itu. Baru kemudian dia menoleh ke arah Emily. "Yang itu, memanggilmu Daddy. Apa-apaan itu, memangnya aku memperbolehkannya?""Kaubilang terserah, apa masalahnya? Kita juga akan menikah. Bukankah itu wajar? Dia akan jadi anakku juga," ucapnya. Keenan tanpa canggung duduk di pinggir ranjang sambil memerhatik

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 6 - Rencana Pernikahan

    "Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar? Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba. Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin,"

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 7 - Semua Demi Javier

    "Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 8 - Tinggallah Bersamaku

    "Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 9 - Tidur Bersama

    Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 10 - Hari Pernikahan

    Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat

Bab terbaru

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 111 - Kejutan Untuk Keenan (Extra Part)

    "Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 110 - Kelahiran Malaikat Kecil (End)

    Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 109 - Cinta Terakhir

    "Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 108 - Apa pun Demi Anak Kita

    "Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 107 - Perkara Camilan

    Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 106 - Kecemburuan Emily

    "Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 105 - Takut Kehilangan

    "Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 104 - Mengkhawatirkan Keenan

    "Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 103 - Cinta Tak Harus Memiliki

    Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P

DMCA.com Protection Status