"Anda sangat cantik."
Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini.Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkannya. Membuat Emily kembali menatap cermin. Mengamati dirinya yang cantik, tapi sayang nasibnya tidak semujur parasnya. Alasan gaun ini tidak cocok dengannya, bukan satu-satunya hal yang tidak dia sukai. Kenyataannya, gaun ini juga mirip dengan gaun yang dulu pernah dikenakannya. Emily pernah bermimpi menjadi seorang putri di hari pernikahannya. Sayangnya, saat dia menjadi putri, justru sang pangeran malah meninggalkannya.Hari yang harusnya penuh kebahagiaan, berganti dengan cepat menjadi kedukaan. Emily masih tidak dapat melupakan betapa hatinya sangat hancur waktu itu. Meski sudah bertahun-tahun lamanya, dia masih sangat jelas mengingatnya. Hari di mana dirinya berada di titik paling rendah. Tanpa sadar, air matanya menetes begitu saja. Perasaannya mulai kacau, tapi pemilik butik datang di saat yang tepat. Membawa sebuah gaun pengantin lain."Asisten saya akan membantu Anda."Emily hanya mengangguk dan menurut saat seorang wanita muda menuntunnya ke ruang ganti dan membantunya melepas gaun yang cukup merepotkan itu. Menggantinya ke gaun yang lebih sederhana. Emily sampai mendesis tanpa sadar saat terasa semua bebannya seolah menghilang. Mereka kembali ke luar dan melihat penampilannya di depan cermin.Kali ini, Emily berdecak kagum melihat bayangannya yang tampak sangat elegan dengan gaun pengantin model strapless corset mermaid. Gaun pengantin tanpa lengan dan potongan ala korset, cukup memamerkan keseksian tubuh bagian atasnya. Dia sangat menyukainya. Gaun ini juga tidak terlalu pas atau longgar di tubuhnya, dia harap akan pas saat dipakai nanti. "Aku ambil yang ini.""Ternyata mata Anda sangat jeli, Nona. Gaun itu sebenarnya sudah cukup lama dipajang dan tidak ada yang tertarik."Emily hanya tersenyum. "Aku ingin tambahan beberapa detail di bagian dadanya. Aku ingin terlihat seksi.""Baik, Nona. Kami akan mencatatnya.""Apa kau sudah selesai?"Di saat Emily dan pemilik butik masih berbincang mengenai beberapa detail yang diinginkan, sebuah suara terdengar dari arah belakang dan terlihat Keenan muncul dalam balutan tuxedo single breasted berwarna hitam, serta dasi kupu-kupu berwarna senada yang menjadi hiasannya. Lelaki itu tampak menawan dengan pakaian kasual, tapi tetap terlihat sopan dan formal. Membuat Emily yang menoleh, seketika langsung terdiam.Satu kata untuk Keenan. Sempurna.Tak beda jauh dengan Emily yang tiba-tiba terbengong, Keenan pun terlihat kaget mendapati calon istrinya dalam balutan gaun pengantin yang sangat memesona. Matanya bahkan tanpa sadar memindai tubuh wanita itu dan berhenti tepat di area dadanya yang terbuka. Ugh, Keenan refleks menutup mulutnya dan mengalihkan pandangannya pada sang pemilik butik langganan ibunya."Kenapa dia memakai gaun ini? Bukankah sudah kukatakan—""Aku menyukai gaun ini, kenapa?" potong Emily setelah tersadar dari keterkejutannya. Dia langsung mendekat dan menghalangi Keenan melayangkan protes."Tapi gaun ini terlalu terbuka untukmu.""Hei, aku sudah setuju menikah denganmu, ya. Jadi jangan paksa aku memakai gaun yang sesuai seleramu. Aku ingin ini, ok? Tidak ada penolakan atau pernikahan kita batal!" Emily berkacak pinggang sambil mendesak Keenan hingga tubuh mereka menempel. Dia menatap tegas lelaki itu dan menunjukkan kalau dia tidak mau diatur. Bukankah harusnya sudah cukup dengan dia yang akhirnya setuju menikah?Sementara Keenan yang didesak seperti itu, sama sekali tidak bisa fokus. Matanya terus tertuju pada dada Emily yang menekan tubuhnya. Gaun itu seolah menunjukkan kemolekan tubuh calon istrinya. Tidak bagus jika dilihat semua orang, tapi dia tahu Emily pasti akan tetap memilihnya. "Baiklah, tapi untuk gaun resepsi, aku ingin kau memakai yang lebih tertutup."Emily merengut, tapi dia akhirnya setuju dan kembali masuk ke dalam ruang ganti untuk melepas gaun pengantin itu. Setelah ini, mereka masih harus memilih desain cincin dan survey hotel. Kegiatan yang membuat dia malas. Keenan melakukan semuanya dengan super cepat. Lelaki itu bahkan sengaja tidak masuk kantor hanya demi menyiapkan pernikahan mereka dengan cepat, karena waktunya jelas mepet. Semua harus beres sebelum hari pernikahan. Untunglah ada gaun pengantin yang cocok, tanpa mereka harus membuat ulang gaun baru."Jika sudah selesai, ayo pergi! Masih banyak yang harus kita lakukan." Keenan yang juga sudah berganti pakaian, langsung merangkul pinggang Emily dan berpamitan pada pemilik butik."Jangan pegang-pegang!" bentak Emily yang tidak nyaman dengan sentuhan Keenan. Dia menepis tangan itu dan buru-buru masuk ke dalam mobil yang terparkir."Setelah ini, bagaimana kalau kita pergi ke toko perhiasan dulu?" tanya Keenan saat di dalam mobil."Tidak, aku harus menjemput Javier. Aku juga lapar. Kau saja yang urus untuk hal lainnya. Aku akan setuju apa pun yang kau pilih."Keenan melirik Emily sambil mengemudikan mobilnya. Calon istrinya itu masih terus bersikap ketus. "Mana bisa seperti itu. Kita jemput Javier saja dulu, lalu makan dan pilih cincin.""Hmm, sisanya kau yang atur."Keenan menghela napas kasar melihat Emily masih tampak malas-malasan. Untunglah masalah WO dan undangan, ibunya yang mengatur. Dia hanya diminta datang untuk melihat lokasi. Walau mungkin, dia yang harus mengurus berkas pernikahan. "Kau masih belum menerimaku."Emily bergeming. Dia tetap diam dan menatap lurus ke depan. Ucapan Keenan memang benar. Dia belum bisa menerima lelaki itu sebagai calon suaminya. Dia hanya bisa menerima Keenan sebagai calon ayah untuk Javier. Hanya untuk anaknya yang menginginkan keluarga utuh."Emily?""Kurasa kita harus buat perjanjian."Ciitttt ....Keenan refleks mengerem mobilnya mendadak. Membuat Emily langsung mengumpat saat keningnya nyaris menjadi korban karena ulah lelaki itu. "Apa?""Kenapa kau mendadak berhenti? Kauingin aku mati sebelum pernikahan?""Apa maksudmu dengan perjanjian?" Keenan kembali menjalankan mobilnya saat sadar apa yang dilakukannya. Mobil di belakangnya terdengar membunyikan klakson dan mengumpat karena dia berhenti mendadak."Perjanjian pernikahan! Memangnya apalagi?" jawab Emily dengan nada ketus."Maksudmu, harta gono-gini?""Apa?" Emily refleks menoleh dan menatap berang Keenan. "Bukan itu! Aku ingin perjanjian pernikahan, kalau kau tidak akan menyentuhku dan kita akan bercerai!"Keenan mendengkus dan melirik Emily sekilas. "Tidak bisa. Aku tidak berniat menikah untuk bercerai.""Tapi—""Apa kau tidak memikirkan dampak pada anakmu nanti?""Kita bisa bercerai saat Javier sudah agak dewasa. Aku yakin dia akan mengerti.""Kenapa anak yang harus mengerti orang tua? Kenapa bukan orang tua yang harus mengerti anak? Lingkungan dalam keluarga membentuk karakter anak. Seandainya Javier sudah terlanjur menyayangiku, menurutmu bagaimana kalau dia tahu kita akan bercerai? Tidakkah kau sangat egois? Apa yang akan dilakukan anak jika tahu keluarganya hancur?"Emily tersentak. Perkataan Keenan menusuk tepat di jantungnya. Dia hanya tertunduk kaku. "Kau tidak tahu apa-apa, Keenan.""Apa kau menunggu orang lain?""Maksudmu?""Kau menunggu Ayah kandung Javier kembali?" tebak Keenan yang akhirnya membuat Emily membeku beberapa saat. Wanita itu tampak menunjukkan ekspresi tidak nyaman."Tidak.""Kalau begitu, harusnya tidak ada masalah kita tetap bersama. Tidak ada perjanjian perceraian. Aku tidak akan menyetujuinya.""Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat
"Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang
Emily bersenandung ria saat membereskan pakaian miliknya. Dia sampai tidak menyadari sang pemilik kamar masuk dan memerhatikannya. Berjalan pelan mendekatinya yang kini dalam posisi membelakangi. "Ah, akhirnya beres. Aku sangat lelah, tapi di mana aku harus menyimpan ini ya?"Ditatapnya tas kecil berisi mainannya dengan bingung. Emily tidak mungkin menyimpannya sembarangan. Tidak boleh sampai Keenan tahu. Sayangnya, dia tidak sadar jika lelaki itu saat ini justru ada di belakangnya dan terkejut melihat benda yang ada dalam tasnya. Hingga Keenan segera mengambilnya. "Apa ini? Bentuknya mirip—""Keenan! Apa yang kaulakukan di sini!" Emily refleks berteriak dan langsung merebut benda yang diambil Keenan. Dengan wajah merah padam, dia langsung menyembunyikan benda itu dan menutup tas kecilnya dengan cepat. "Ini kamarku juga, tentu saja aku di sini. Kenapa kau menyembunyikan itu? Benda mencurigakan itu bentuknya mirip alat kelamin pria." Emily menganga. Namun wajahnya malu bukan main. "
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, mereka akhirnya tiba di vila keluarga Keenan. Vila yang terletak di area dataran tinggi itu, membuat udara sekitar terasa dingin menggigit meski siang hari. Apalagi saat sore dan malam. Namun di saat senja, mereka bisa menyaksikan keindahan saat matahari terbenam sekaligus merenungi keindahan alam yang sedikit berbeda. Tempat yang cocok untuk healing. Emily yang pertama turun lebih dulu dan membawa barangnya dalam bagasi. Membuat Keenan yang melihat itu segera mendekat. Membantu mengeluarkannya. Sayangnya, Emily hanya diam saja dan malah membiarkan Keenan melakukannya sendiri. Semenjak pesan yang Ashley kirimkan, wanita itu terus memasang ekspresi murung dan tanpa semangat. "Ada apa denganmu? Kau memikirkan lelaki itu?" tanya Keenan saat mereka memasuki vila dan disambut oleh orang yang selama ini mengurus vilanya. Namun perhatian Keenan terpecah dengan Emily. Hingga dia tak terlalu menghiraukannya. "Aku baik-baik saja. Aku ingin
"Huh?""M-maksudku, demi Javier. Ini bukan karena aku ingin tidur denganmu. Ini demi Javier. Kau mengerti 'kan?"Emily tercengang dan menatap Keenan dengan bingung. Hingga terjadi keheningan beberapa saat, sampai kemudian dia langsung tertawa. Emily berpikir Keenan sedang bercanda. Suaminya juga tampak tegang. Demi Javier? Lelaki itu membuatnya sakit perut. Javier pasti akan lupa jika mereka tidak membahasnya. "Astaga, perutku sakit, Ken. Bisa-bisanya kau bercanda seperti ini.""Apa? Bercanda? Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, Emily. Ayo kita buat anak!" ucap Keenan sambil menyudutkan tubuhnya ke dinding. Memerangkap Emily dengan kedua tangannya. Jaraknya yang terlalu dekat, membuat Keenan harus bersentuhan dengan tubuh bagian atas Emily. "Yang benar saja! Itu tidak mungkin!" Emily tersenyum meremehkan melihat Keenan yang berani mendekatinya. Apa-apaan lelaki itu, wajah kakunya bahkan tidak menghilang. "Kenapa? Kau tidak perlu memuaskan diri dengan mainanmu lagi. Mama juga
"Oh ... James, ouh ...."Rintihan seorang wanita terdengar lembut bak alunan melodi di bawah kungkungan seorang lelaki yang asyik mencari kepuasan. Tubuhnya keduanya menyatu dan menciptakan suara erotis yang menggema di sebuah kamar mewah yang cukup luas. Wajah si wanita tampak memerah dan keringat terus keluar seiring dengan gerakan si lelaki. Tubuhnya meliuk menyambut hangat pelukan sang kekasih. Itu adalah malam yang bahagia bagi sang wanita yang akhirnya mendapatkan lelaki yang dicintainya. Di saat tubuh mereka tidak lagi terpisah jarak dan waktu. Namun, perasaan memiliki itu hanya ada pada wanita, tidak dengan si lelaki yang hanya menjadikannya sebagai pelampiasan belaka. "Sial, Emily. Kau benar-benar jalang."Tak peduli bagaimana lelaki itu berucap, si wanita tetap menikmatinya. Cinta butanya membuatnya rela direndahkan dan bahkan dihina. Itulah Emily, wanita yang kini dengan sangat erotis menggerakkan pinggulnya dan terus menggoda lelaki di atasnya. Kepiawaiannya memuaskan le