Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, mereka akhirnya tiba di vila keluarga Keenan. Vila yang terletak di area dataran tinggi itu, membuat udara sekitar terasa dingin menggigit meski siang hari. Apalagi saat sore dan malam. Namun di saat senja, mereka bisa menyaksikan keindahan saat matahari terbenam sekaligus merenungi keindahan alam yang sedikit berbeda. Tempat yang cocok untuk healing. Emily yang pertama turun lebih dulu dan membawa barangnya dalam bagasi. Membuat Keenan yang melihat itu segera mendekat. Membantu mengeluarkannya. Sayangnya, Emily hanya diam saja dan malah membiarkan Keenan melakukannya sendiri. Semenjak pesan yang Ashley kirimkan, wanita itu terus memasang ekspresi murung dan tanpa semangat. "Ada apa denganmu? Kau memikirkan lelaki itu?" tanya Keenan saat mereka memasuki vila dan disambut oleh orang yang selama ini mengurus vilanya. Namun perhatian Keenan terpecah dengan Emily. Hingga dia tak terlalu menghiraukannya. "Aku baik-baik saja. Aku ingin
"Huh?""M-maksudku, demi Javier. Ini bukan karena aku ingin tidur denganmu. Ini demi Javier. Kau mengerti 'kan?"Emily tercengang dan menatap Keenan dengan bingung. Hingga terjadi keheningan beberapa saat, sampai kemudian dia langsung tertawa. Emily berpikir Keenan sedang bercanda. Suaminya juga tampak tegang. Demi Javier? Lelaki itu membuatnya sakit perut. Javier pasti akan lupa jika mereka tidak membahasnya. "Astaga, perutku sakit, Ken. Bisa-bisanya kau bercanda seperti ini.""Apa? Bercanda? Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, Emily. Ayo kita buat anak!" ucap Keenan sambil menyudutkan tubuhnya ke dinding. Memerangkap Emily dengan kedua tangannya. Jaraknya yang terlalu dekat, membuat Keenan harus bersentuhan dengan tubuh bagian atas Emily. "Yang benar saja! Itu tidak mungkin!" Emily tersenyum meremehkan melihat Keenan yang berani mendekatinya. Apa-apaan lelaki itu, wajah kakunya bahkan tidak menghilang. "Kenapa? Kau tidak perlu memuaskan diri dengan mainanmu lagi. Mama juga
"Oh ... James, ouh ...."Rintihan seorang wanita terdengar lembut bak alunan melodi di bawah kungkungan seorang lelaki yang asyik mencari kepuasan. Tubuhnya keduanya menyatu dan menciptakan suara erotis yang menggema di sebuah kamar mewah yang cukup luas. Wajah si wanita tampak memerah dan keringat terus keluar seiring dengan gerakan si lelaki. Tubuhnya meliuk menyambut hangat pelukan sang kekasih. Itu adalah malam yang bahagia bagi sang wanita yang akhirnya mendapatkan lelaki yang dicintainya. Di saat tubuh mereka tidak lagi terpisah jarak dan waktu. Namun, perasaan memiliki itu hanya ada pada wanita, tidak dengan si lelaki yang hanya menjadikannya sebagai pelampiasan belaka. "Sial, Emily. Kau benar-benar jalang."Tak peduli bagaimana lelaki itu berucap, si wanita tetap menikmatinya. Cinta butanya membuatnya rela direndahkan dan bahkan dihina. Itulah Emily, wanita yang kini dengan sangat erotis menggerakkan pinggulnya dan terus menggoda lelaki di atasnya. Kepiawaiannya memuaskan le
Tak ada yang istimewa setelah percintaan semalam mereka. Emily masih bersikap tak acuh terhadap Keenan dan asyik sendiri menikmati sisa liburannya sambil berbicara dengan Ashley di taman belakang. Dia terus memikirkan Javier yang saat ini jauh darinya. Untunglah ada sahabatnya yang selalu memberi informasi mengenai keadaan Javier. "Terima kasih, Ashley. Aku harap, aku bisa segera bertemu kembali dengan kalian.""Ceritakan padaku apa saja yang kalian lakukan, ok?"Emily tersenyum kecil menyadari Ashley yang sangat ingin tahu tentang kehidupan pernikahannya. "Tidak ada. Kami tidak melakukan apa-apa.""Apa? Kau serius?"Emily mengangkat bahunya tak acuh. Dia bahkan tidak keluar dari area villa. Yang dilakukannya semenjak tiba di sini hanya menikmati waktu sendiri. Minum teh, berenang dan jalan-jalan di sekitar villa. Menikmati pemandangan taman di belakang. Tentunya tanpa Keenan. Lelaki itu juga sibuk sendiri dan sekarang, sepertinya Keenan belum bangun. Mereka hanya bersama saat di ran
Bulan madu yang diinginkan Keenan sebagai waktu istirahatnya, nyatanya tak berjalan baik. Tiada hari tanpa perdebatan, meski hal kecil sekali pun. Emily selalu berbuat ulah bagaimana pun keadaannya. Namun sekarang, Keenan berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan wanita itu. Mereka perlu bicara berdua dan saling mengenal. "Hei, tempat ini bagus juga. Kenapa kau tidak memberitahuku kemarin? Javier pasti sangat senang kalau ke sini."Keenan menoleh dan melihat Emily yang sibuk memandangi sungai di atas jembatan kayu. Suara air yang mengalir terdengar jelas dan tampak sangat jernih terlihat. Ini juga tempat kesukaannya. Kakeknya yang dulu merawat taman ini dan membiarkan sungai mengalir sebagaimana mestinya. Ada juga beberapa bunga yang ditanam sekitar sungai. Rumput liar juga sudah dirapikan dan hanya pepohonan yang dibiarkan tetap hidup. Menjadi satu-satunya tempat untuk berteduh dari terik matahari. "Kaumau berenang?"Emily refleks menoleh. "Kau gila?"Sungai itu tak terlalu leb
"Jadi, itu lelaki yang ke berapa?""Mana aku tahu."Emily mengangkat bahunya tak acuh sambil menarik koper miliknya ke dalam rumah. Tak menghiraukan pertanyaan Keenan yang terus saja penasaran dengan lelaki yang tadi tiba-tiba menciumnya. Makan siangnya pun berakhir berantakan dan Keenan malah menariknya pergi ke restoran lain. "Mana kutahu? Kenapa kau ini santai sekali? Dia mencium bibirmu tadi!""Ya, terus? Apa aku harus berbalik dan mencari tahunya? Dia juga bukan menciumku, hanya mengecup." Emily menjatuhkan dirinya di atas ranjang dan membiarkan kopernya begitu saja untuk sesaat. Tubuhnya sedikit lelah. "Lagian, kenapa kau sensi sekali, Ken? Kau cemburu, huh?"Sejak tadi, Keenan seperti kebakaran jenggot melihat lelaki asing mendekatinya dan sampai menciumnya. Lelaki itu menunjukkan ketidaksukaannya dengan sangat amat jelas tanpa ditutup-tutupi. "Hei, kau tidak jatuh cinta padaku 'kan? Ken, kau tidak cemburu juga 'kan?""Cemburu? Kau bercanda! Aku tidak cemburu atau jatuh cinta
"Jangan bicara aneh, Ken. Aku tidak menghindari apa pun."Emily seketika mengalihkan perhatiannya dan memasang ekspresi murung saat Keenan membahas orang tuanya. Dia tidak mau mendengar dan tidak mau peduli. Emily justru memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah, di mana Javier berada. Namun sepertinya, Keenan sangat gigih. "Benarkah? Kenapa aku merasa hubunganmu dan orang tuamu tidak begitu baik? Kau terlihat ceria saat bicara dengan Ibuku." Pada pertemuan dua keluarga waktu itu, Keenan sebenarnya memerhatikan Emily dan calon mertuanya. Dia menyadari jelas istrinya itu tidak mau menikah dengannya dan seolah tertekan oleh perkataan orang tuanya. Mereka seperti tidak memiliki hubungan baik. "Kau ini sangat cerewet. Hubungan kami baik-baik saja.""Jika kau ada masalah, kau bisa berbagi ceritamu padaku, Emily. Aku siap mendengarkan."Emily refleks berhenti melangkah. Dia terdiam, lalu menatap Keenan sambil berkedip. Terlihat kesungguhan di mata suaminya. Keenan seperti berusa
"Sarah, tolong kamu layani meja nomor 4 ya. Saya ada tamu.""Baik, Bu."Emily berbalik dan melangkah menuju ke ruangannya setelah memberi perintah pada salah satu pelayannya. Dia menutup pintu ruangan dengan sangat hati-hati dan menatap seorang wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Ekspresi masam membingkai wajahnya. Emily paling malas jika harus bertemu dengan orang tuanya. Namun apa boleh buat, dia tidak mungkin mengusir ibunya yang datang dengan sengaja ke restoran. "Ada apa Ibu ke sini?" tanya Emily tanpa basa-basi. "Kamu ini tidak sopan. Langsung bertanya tanpa menjamu sama sekali."Emily mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih, lalu meletakkannya di depan sang ibu. Sementara dirinya lantas duduk berhadapan. "Semua orang sedang sibuk, aku juga tidak punya waktu banyak. Silakan diminum dan jelaskan apa tujuan Ibu datang ke sini."Nyonya Karin membuang napas kasar dan meminum air yang disodorkan anaknya dengan cepat. "Salah Ibu datang ke sini? Ibu cuma mau