Tak ada yang istimewa setelah percintaan semalam mereka. Emily masih bersikap tak acuh terhadap Keenan dan asyik sendiri menikmati sisa liburannya sambil berbicara dengan Ashley di taman belakang. Dia terus memikirkan Javier yang saat ini jauh darinya. Untunglah ada sahabatnya yang selalu memberi informasi mengenai keadaan Javier. "Terima kasih, Ashley. Aku harap, aku bisa segera bertemu kembali dengan kalian.""Ceritakan padaku apa saja yang kalian lakukan, ok?"Emily tersenyum kecil menyadari Ashley yang sangat ingin tahu tentang kehidupan pernikahannya. "Tidak ada. Kami tidak melakukan apa-apa.""Apa? Kau serius?"Emily mengangkat bahunya tak acuh. Dia bahkan tidak keluar dari area villa. Yang dilakukannya semenjak tiba di sini hanya menikmati waktu sendiri. Minum teh, berenang dan jalan-jalan di sekitar villa. Menikmati pemandangan taman di belakang. Tentunya tanpa Keenan. Lelaki itu juga sibuk sendiri dan sekarang, sepertinya Keenan belum bangun. Mereka hanya bersama saat di ran
Bulan madu yang diinginkan Keenan sebagai waktu istirahatnya, nyatanya tak berjalan baik. Tiada hari tanpa perdebatan, meski hal kecil sekali pun. Emily selalu berbuat ulah bagaimana pun keadaannya. Namun sekarang, Keenan berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan wanita itu. Mereka perlu bicara berdua dan saling mengenal. "Hei, tempat ini bagus juga. Kenapa kau tidak memberitahuku kemarin? Javier pasti sangat senang kalau ke sini."Keenan menoleh dan melihat Emily yang sibuk memandangi sungai di atas jembatan kayu. Suara air yang mengalir terdengar jelas dan tampak sangat jernih terlihat. Ini juga tempat kesukaannya. Kakeknya yang dulu merawat taman ini dan membiarkan sungai mengalir sebagaimana mestinya. Ada juga beberapa bunga yang ditanam sekitar sungai. Rumput liar juga sudah dirapikan dan hanya pepohonan yang dibiarkan tetap hidup. Menjadi satu-satunya tempat untuk berteduh dari terik matahari. "Kaumau berenang?"Emily refleks menoleh. "Kau gila?"Sungai itu tak terlalu leb
"Jadi, itu lelaki yang ke berapa?""Mana aku tahu."Emily mengangkat bahunya tak acuh sambil menarik koper miliknya ke dalam rumah. Tak menghiraukan pertanyaan Keenan yang terus saja penasaran dengan lelaki yang tadi tiba-tiba menciumnya. Makan siangnya pun berakhir berantakan dan Keenan malah menariknya pergi ke restoran lain. "Mana kutahu? Kenapa kau ini santai sekali? Dia mencium bibirmu tadi!""Ya, terus? Apa aku harus berbalik dan mencari tahunya? Dia juga bukan menciumku, hanya mengecup." Emily menjatuhkan dirinya di atas ranjang dan membiarkan kopernya begitu saja untuk sesaat. Tubuhnya sedikit lelah. "Lagian, kenapa kau sensi sekali, Ken? Kau cemburu, huh?"Sejak tadi, Keenan seperti kebakaran jenggot melihat lelaki asing mendekatinya dan sampai menciumnya. Lelaki itu menunjukkan ketidaksukaannya dengan sangat amat jelas tanpa ditutup-tutupi. "Hei, kau tidak jatuh cinta padaku 'kan? Ken, kau tidak cemburu juga 'kan?""Cemburu? Kau bercanda! Aku tidak cemburu atau jatuh cinta
"Jangan bicara aneh, Ken. Aku tidak menghindari apa pun."Emily seketika mengalihkan perhatiannya dan memasang ekspresi murung saat Keenan membahas orang tuanya. Dia tidak mau mendengar dan tidak mau peduli. Emily justru memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah, di mana Javier berada. Namun sepertinya, Keenan sangat gigih. "Benarkah? Kenapa aku merasa hubunganmu dan orang tuamu tidak begitu baik? Kau terlihat ceria saat bicara dengan Ibuku." Pada pertemuan dua keluarga waktu itu, Keenan sebenarnya memerhatikan Emily dan calon mertuanya. Dia menyadari jelas istrinya itu tidak mau menikah dengannya dan seolah tertekan oleh perkataan orang tuanya. Mereka seperti tidak memiliki hubungan baik. "Kau ini sangat cerewet. Hubungan kami baik-baik saja.""Jika kau ada masalah, kau bisa berbagi ceritamu padaku, Emily. Aku siap mendengarkan."Emily refleks berhenti melangkah. Dia terdiam, lalu menatap Keenan sambil berkedip. Terlihat kesungguhan di mata suaminya. Keenan seperti berusa
"Sarah, tolong kamu layani meja nomor 4 ya. Saya ada tamu.""Baik, Bu."Emily berbalik dan melangkah menuju ke ruangannya setelah memberi perintah pada salah satu pelayannya. Dia menutup pintu ruangan dengan sangat hati-hati dan menatap seorang wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Ekspresi masam membingkai wajahnya. Emily paling malas jika harus bertemu dengan orang tuanya. Namun apa boleh buat, dia tidak mungkin mengusir ibunya yang datang dengan sengaja ke restoran. "Ada apa Ibu ke sini?" tanya Emily tanpa basa-basi. "Kamu ini tidak sopan. Langsung bertanya tanpa menjamu sama sekali."Emily mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih, lalu meletakkannya di depan sang ibu. Sementara dirinya lantas duduk berhadapan. "Semua orang sedang sibuk, aku juga tidak punya waktu banyak. Silakan diminum dan jelaskan apa tujuan Ibu datang ke sini."Nyonya Karin membuang napas kasar dan meminum air yang disodorkan anaknya dengan cepat. "Salah Ibu datang ke sini? Ibu cuma mau
"Lho, Ashley, kenapa kau membawa Javier ke sini?"Langkah Emily terhenti seketika meja pelanggan, saat matanya mendapati Ashley datang membawa Evelyn dan Javier. Dua bocah yang baru pulang sekolah. Javier bahkan belum berganti baju. Ashley memang sempat berpamitan untuk menjemput anaknya, tapi dia tidak mengira temannya akan membawa Javier ke sini. Jika tahu begitu, lebih baik dia yang menjemput Javier. "Evelyn ingin bermain bersama anakmu. Kita biarkan saja mereka bermain di ruangan. Tidak apa-apa 'kan, ya?""Mom, Iel nggak akan nakal kok. Iel janji."Emily melirik Javier yang menarik ujung bajunya. Dia menghembuskan napas kasar karena tidak memiliki pilihan lain. Hingga kemudian, Emily berbalik dan mengangguk. Dia berjalan mengajak anaknya menuju ruangan setelah selesai melayani pelanggan. Untungnya, ruangan yang mereka miliki cukup luas dan bisa menjadi tempat untuk Evelyn bermain, seperti keinginan Ashley sewaktu membuat ruangan khusus untuknya. "Mainlah di sini, ya. Jangan naka
"Udah selesai belum, Sayang, ngerjain PR-nya?""Belum, Mom, dikit lagi."Emily menghembuskan napas kasar sembari mengonta-ganti channel TV. Dia melirik Javier yang asyik mengerjakan tugasnya sendiri sembari menunggu kedatangan Keenan yang telat. Anaknya yang pintar, selalu berusaha melakukan semuanya sendirian tanpa bantuannya. Rajin sekali. Padahal dia tak terlalu pintar, masih kalah dengan Ashley. Mungkin kepintaran Javier menurun dari ayahnya. Saat Emily kembali sibuk melihat berita dan Javier sibuk mengerjakan tugas sekolah, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Sang pemilik rumah berjalan santai dengan wajah lelahnya. Tas dan jas bertengger di lengannya. Hingga langkahnya berhenti di ruang tengah, di mana Emily dan Javier berada. "Daddy pulang. Wah, anak Daddy rajin sekali.""Daddy!" Javier spontan menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Menatap Keenan yang tersenyum sembari berjongkok demi mensejajarkan tubuhnya dengan Javier. "Ada banyak PR dari bu guru, Dad.""Banyak? Kamu mengerjak
Emily tersenyum sembari mengelus kepala putranya yang tertidur. Malam ini entah mengapa dia ingin menemani Javier. Perasaannya juga aneh. Dia terus teringat dengan James. Lelaki itu harusnya sudah bebas sekarang. Emily juga harusnya datang untuk melihat, tapi dia terlalu pengecut. Dia tidak akan sanggup melihat tatapan kebencian di mata lelaki itu. "Kamu mirip sekali dengannya, Sayang." Emily tersenyum karena beruntung memiliki Javier. Dia mungkin tidak bisa memiliki lelaki yang dicintainya, tapi memiliki anak dari lelaki yang dia cintai, sudah cukup untuknya. "Apa Javier sangat mirip ayahnya? Kau sepertinya sangat tergila-gila pada ayah kandung Javier."Emily tersentak. Dia refleks menoleh saat mendengar sebuah suara menimpali perkataannya. Didapatinya Keenan yang kini mendekat sembari melipat kedua tangannya di dada. Lelaki itu melirik anaknya, sebelum dengan sengaja menarik kursi belajar dan duduk di depannya. "Kau bukannya sibuk? Kenapa ke sini?" Emily mengernyitkan dahi tidak