"Sarah, tolong kamu layani meja nomor 4 ya. Saya ada tamu.""Baik, Bu."Emily berbalik dan melangkah menuju ke ruangannya setelah memberi perintah pada salah satu pelayannya. Dia menutup pintu ruangan dengan sangat hati-hati dan menatap seorang wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Ekspresi masam membingkai wajahnya. Emily paling malas jika harus bertemu dengan orang tuanya. Namun apa boleh buat, dia tidak mungkin mengusir ibunya yang datang dengan sengaja ke restoran. "Ada apa Ibu ke sini?" tanya Emily tanpa basa-basi. "Kamu ini tidak sopan. Langsung bertanya tanpa menjamu sama sekali."Emily mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih, lalu meletakkannya di depan sang ibu. Sementara dirinya lantas duduk berhadapan. "Semua orang sedang sibuk, aku juga tidak punya waktu banyak. Silakan diminum dan jelaskan apa tujuan Ibu datang ke sini."Nyonya Karin membuang napas kasar dan meminum air yang disodorkan anaknya dengan cepat. "Salah Ibu datang ke sini? Ibu cuma mau
"Lho, Ashley, kenapa kau membawa Javier ke sini?"Langkah Emily terhenti seketika meja pelanggan, saat matanya mendapati Ashley datang membawa Evelyn dan Javier. Dua bocah yang baru pulang sekolah. Javier bahkan belum berganti baju. Ashley memang sempat berpamitan untuk menjemput anaknya, tapi dia tidak mengira temannya akan membawa Javier ke sini. Jika tahu begitu, lebih baik dia yang menjemput Javier. "Evelyn ingin bermain bersama anakmu. Kita biarkan saja mereka bermain di ruangan. Tidak apa-apa 'kan, ya?""Mom, Iel nggak akan nakal kok. Iel janji."Emily melirik Javier yang menarik ujung bajunya. Dia menghembuskan napas kasar karena tidak memiliki pilihan lain. Hingga kemudian, Emily berbalik dan mengangguk. Dia berjalan mengajak anaknya menuju ruangan setelah selesai melayani pelanggan. Untungnya, ruangan yang mereka miliki cukup luas dan bisa menjadi tempat untuk Evelyn bermain, seperti keinginan Ashley sewaktu membuat ruangan khusus untuknya. "Mainlah di sini, ya. Jangan naka
"Udah selesai belum, Sayang, ngerjain PR-nya?""Belum, Mom, dikit lagi."Emily menghembuskan napas kasar sembari mengonta-ganti channel TV. Dia melirik Javier yang asyik mengerjakan tugasnya sendiri sembari menunggu kedatangan Keenan yang telat. Anaknya yang pintar, selalu berusaha melakukan semuanya sendirian tanpa bantuannya. Rajin sekali. Padahal dia tak terlalu pintar, masih kalah dengan Ashley. Mungkin kepintaran Javier menurun dari ayahnya. Saat Emily kembali sibuk melihat berita dan Javier sibuk mengerjakan tugas sekolah, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Sang pemilik rumah berjalan santai dengan wajah lelahnya. Tas dan jas bertengger di lengannya. Hingga langkahnya berhenti di ruang tengah, di mana Emily dan Javier berada. "Daddy pulang. Wah, anak Daddy rajin sekali.""Daddy!" Javier spontan menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Menatap Keenan yang tersenyum sembari berjongkok demi mensejajarkan tubuhnya dengan Javier. "Ada banyak PR dari bu guru, Dad.""Banyak? Kamu mengerjak
Emily tersenyum sembari mengelus kepala putranya yang tertidur. Malam ini entah mengapa dia ingin menemani Javier. Perasaannya juga aneh. Dia terus teringat dengan James. Lelaki itu harusnya sudah bebas sekarang. Emily juga harusnya datang untuk melihat, tapi dia terlalu pengecut. Dia tidak akan sanggup melihat tatapan kebencian di mata lelaki itu. "Kamu mirip sekali dengannya, Sayang." Emily tersenyum karena beruntung memiliki Javier. Dia mungkin tidak bisa memiliki lelaki yang dicintainya, tapi memiliki anak dari lelaki yang dia cintai, sudah cukup untuknya. "Apa Javier sangat mirip ayahnya? Kau sepertinya sangat tergila-gila pada ayah kandung Javier."Emily tersentak. Dia refleks menoleh saat mendengar sebuah suara menimpali perkataannya. Didapatinya Keenan yang kini mendekat sembari melipat kedua tangannya di dada. Lelaki itu melirik anaknya, sebelum dengan sengaja menarik kursi belajar dan duduk di depannya. "Kau bukannya sibuk? Kenapa ke sini?" Emily mengernyitkan dahi tidak
"Mom, Mommy?""Ssttt, tidak usah dibangunkan."Keenan menutup bibirnya dengan jari telunjuk, sekaligus memberi kode pada Javier agar tidak usah membangunkan Emily yang saat ini tertidur pulas. Dia berinisiatif untuk turun lebih dulu dan menyambut sang anak turun. Lalu kemudian berjalan memutar dan membuka pintu mobil di sebelah Emily. Keenan dengan cepat meraih tubuh istrinya dan membawanya keluar dalam gendongan. Emily terdengar melenguh dan terusik dalam tidurnya, tapi wanita itu masih tertidur pulas. Keenan pun hanya tersenyum dan meminta sopir untuk segera memasukkan mobilnya ke garasi. "Javier, ayo masuk."Sambil melangkah di belakang Javier yang sudah lebih dulu masuk, Keenan mengamati Emily yang kini tampak mencari kenyamanan dalam gendongannya. Istrinya itu pasti kelelahan, gara-gara marah-marah dan terus berusaha menyainginya di setiap permainan. Keenan tidak bisa menghilangkan ekspresi Emily yang terlihat lucu di matanya. Apalagi saat merasa frustrasi. "Unghh, James."Degh
Keenan bersandar di kursi untuk melepas lelah setelah seharian tadi bermain bersama anak istrinya. Dia mengurung diri di ruang kerja untuk bersantai sekaligus melihat beberapa foto hasil jepretan kameranya tadi. Tertawa kecil saat matanya melihat wajah jelek Emily dan ekspresi kesal sang anak. Javier marah karena Emily selalu terlihat main-main saat di foto. Tak dipungkiri, perasaan hangat pun menyusup ke dalam hatinya. Keenan merasa dirinya lebih bahagia sekarang. Kehidupan pernikahan tidak terlalu buruk, walau memang ini mungkin masih terlalu dini untuk menyimpulkan, tapi dengan keberadaan Javier, hidupnya berubah. "Dia seperti kucing saat musim kawin," gumamnya sambil terkekeh saat teringat dengan Emily yang terus melancarkan tatapan cemburu, karena Javier lebih mendukungnya. Bukannya tidak sadar, Keenan jelas bisa merasakannya. Hanya saja dia senang mempermainkan wanita itu. Rasanya sangat menyenangkan. Dia jadi ingin melihat sisi lain dari Emily. Wanita yang selalu memandangnya
"Ken, bangun. Ini sudah pagi, sampai kapan kaumau tidur? Kau harus bekerja. Ayo bangun!"Guncangan pelan dan suara lembut mengusik ketenangan Keenan yang saat ini tengah terlelap. Lelaki itu menggeliat sembari berusaha membuka matanya. Dia tanpa sadar tersenyum saat merasakan usapan lembut di kepalanya, tapi kemudian matanya dibuat melotot saat melihat orang yang mengusapnya adalah Emily. Refleks, tubuhnya menjauh dan terbangun. "Emily?""Ada apa dengan reaksimu itu, Ken? Kau seperti melihat hantu."Keenan mengernyit bingung melihat senyum di bibir Emily. Wanita itu tidak berteriak dan bahkan malah memanggilnya dengan lembut. "Kau tersenyum padaku? Apa, apa kau juga mengusap wajahku?""Kenapa? Kau 'kan yang mau?" Tangan Emily terulur meraih pipi Keenan dan mengelusnya. Dia mendekat sembari mendaratkan kecupan ringan di pipi suaminya. "Selamat pagi, Ken. Mandilah, aku akan siapkan sarapan."Perintah Emily sayangnya tak didengar oleh Keenan yang saat ini membeku dengan kedua pipi yang m
Lonceng tanda pulang sekolah berbunyi. Anak-anak saat itu langsung berhamburan keluar dan disambut oleh para orang tua yang menunggu. Beberapa lainnya berjalan bersama teman-temannya, termasuk Javier yang kini digandeng oleh Evelyn. Gadis kecil itu dengan centilnya tersenyum sembari duduk di tempat yang kosong untuk menunggu neneknya menjemput, bersama Javier yang juga menunggu sopir datang. Tak butuh waktu lama berselang, seorang wanita berumur muncul dari arah kerumunan para siswa yang berjalan keluar sekolah. Membuat Evelyn langsung bersorak senang saat melihatnya. "Nenek!""Cucu Nenek, maaf Nenek lama menjemutmu, Sayang," ucapnya sembari mengusap kepala Evelyn. "Nggak apa-apa, Nek. Eve juga nungguin di sini sama Javier."Javier tersenyum kecil dan memberi salam. Dia tahu siapa nenek Evelyn karena mereka pernah bertemu. "Halo, Nek.""Halo, Sayang. Kamu nunggu sendirian? Ibumu belum datang, ya?"Javier dengan cepat menggeleng. "Mommy nggak akan datang, Nek. Jadi Iel nunggu Pak Ad